18 Hari Pertama ke Sekolah Modern

Fei terkesima luar biasa ketika dia melihat berapa banyak nominal yang diberikan Pak Yan di saldo rekening atas nama Ren. Itu sebesar 100 juta!

"Kenapa, Fei?" Ren menoleh ke Fei yang sedang bengong.

"Mas, kok … kok banyak sekali?" bisiknya karena tak mau penumpang angkot lainnya mendengar. Tentunya bahaya, bukan? Kita tak tahu apa isi hati orang di sekitar kita.

"Hm? Ini banyak, yah? Ohh, oke." Ren lega karena ternyata nominal yang diberikan Pak Yan tergolong banyak menurut Fei. Itu artinya orang tua itu sungguh royal dan menghargai hubungan.

Lalu, Ren memasukkan buku rekening itu ke dalam amplop lagi dan merogoh benda lainnya. Ternyata itu adalah amplop yang lebih kecil dan ketika dibuka, ada banyak lembaran uang berwarna merah yang masih lurus rapi dalam segel kertas ikatannya.

Tentu saja, Fei terkesiap. Itu pasti satu juta di tiap segel kertasnya! Dan ada 5 bundel, yang berarti semuanya adalah 5 juta rupiah!

Seketika, Ren merasakan pinggang sampingnya disentuh sesuatu yang berujung tajam. Sebuah pisau lipat. Ketika dia menoleh ke arah sumber rasa sakit itu, ada seorang lelaki berpenampilan lusuh dan berantakan yang menatapnya, memberikan tatapan ancaman. Mata lelaki itu melirik ke lembaran merah di tangan Ren, memberikan isyarat menggunakan matanya.

Angkot ini sedang melaju kencang. Jika tidak, mungkin preman itu akan nekat menusuk Ren sambil merampas 5 juta di tangan Ren lalu kabur ketika angkot makin pelan.

Untung saja ini masih berjalan kencang. Maka, yang bisa dilakukan preman itu adalah memberikan ancaman melalui tatapan tajam mata dan pisau lipat yang dia tempelkan ujungnya ke pinggang Ren.

Dalam situasi begini, meski ada banyak orang di angkot bahkan kernet melihatpun, mereka biasanya akan diam saja dan menganggap tak melihat apa-apa. Demikianlah yang kerap terjadi di kota besar. Semua orang berusaha menghindari masalah sebisa mungkin dan tidak terlibat dalam masalah orang lain yang tidak berkaitan dengan mereka.

Namun, sepertinya preman ini apes karena bertemu korban seperti Ren. Itu karena Ren malah menggenggam pisau lipat itu begitu saja tanpa gentar.

Justru premannya yang merasa gentar, terlebih ketika bilah pisau lipatnya malah dibengkokkan dengan muda oleh remasan tangan Ren, bagai pemuda itu sedang meremas penggaris mika saja.

Pisau lipat sudah bengkok sempurna. Dari penampilannya saja, menandakan senjata tak mempan digunakan pada pemuda itu. Preman segera berpikir cepat bahwa Ren memiliki ilmu kanuragan tubuh kebal senjata yang banyak dimiliki banyak orang belakangan ini yang mendalami ilmu tertentu di padepokan khusus.

Tak ingin berlama-lama sial dan juga takut pada Ren yang sedang ganti menatap tajam padanya, preman itu bergegas berganti mendekati kernet sebelum berseru, "Kiri! Kiri!" Sembari dia mengetuk-ketuk kaca angkot menggunakan uang koin.

Angkot terpaksa memelankan lajunya dan preman itu melompat segera tanpa menunggu angkot benar-benar berhenti. Bahkan dia tidak menoleh lagi, pun membayar. Kernet malas menagihnya, daripada berperkara dengan orang macam itu, lebih baik relakan saja berapa ribu asalkan nyawa aman sentosa.

Fei meremas lengan Ren. Dia tadi melihat aksi itu dan sampai tak bisa mengeluarkan suara apapun saking takutnya. Ternyata Ren bisa dengan mudah menangani preman tadi hingga si preman terbirit-birit meninggalkan angkot. "Mas …."

"Iya, aku tahu. Tenang saja." Ren menepuk-nepuk punggung tangan Fei untuk menenangkan gadis itu. Apakah Fei sudah lupa seberapa kuat dirinya?

Sementara, orang-orang di angkot tetap diam. Tidak mungkin mereka tidak tahu aksi kecil dari Ren tadi. Mata Ren segera menatap mereka dan mencemooh mereka di hatinya. Sungguh manusia-manusia egois tanpa hati nurani.

Tapi, mau bagaimana lagi. Ini adalah jaman dimana keselamatan diri sendiri dalam segala hal jauh lebih utama daripada yang lainnya. Kecuali mereka mau kompak melawan preman itu, maka mereka akan berani. Kecuali mereka kuat secara fisik dan tak takut berhadapan dengan preman. Dan banyak kecuali lainnya yang tetap saja percuma jika tidak dilakukan.

Tak sampai setengah jam setelah insiden preman tadi, angkot pun mulai menepi dan akhirnya berhenti di tepi jalan, berbaur dengan banyak angkot lainnya. Semua penumpang pun turun, tak terkecuali Ren dan Fei.

Dengan entengnya, Ren menyodorkan selembar uang merah tadi kepada kernet sebagai biaya angkot dia dan Fei.

Mata si kernet sampai terbelalak lebar menerima uang itu. "Wah, belum ada kembalian, nih Dik! Masih pagi begini."

"Ya sudah, ambil saja semuanya. Aku juga dari awal ingin memberikan semuanya." Ren menyahut secara sambil lalu.

"Se-Semuanya?" Kernet itu masih bingung. Apa dia bermimpi? Tiba-tiba saja mendapatkan rejeki nomplok begini.

"Yuk, Fei!" ajak Ren tanpa memerdulikan lagi kernet tadi dan berjalan menjauhi angkot untuk berjalan sedikit ke SMA Harapan Luhur.

Orang-orang yang tadi di angkot melihat adegan Ren begitu 'dermawan' pada kernet, harus lekas memupuskan niat buruk apapun dari benak mereka. Di depan mata mereka, Ren begitu mudah membengkokkan bilah pisau. Bayangkan kalau itu terjadi pada jari mereka, pasti mengerikan!

Ketika kedua remaja itu berjalan gontai dan memasuki area sekolahnya, ada banyak tatapan tertuju pada Ren dan Fei. Khususnya pada Ren. Terlebih para gadis belia yang langsung kasak-kusuk berbisik pada temannya.

"Ehh, itu siapa, yah? Kok aku baru tahu muka dia?"

"Mungkin anak baru?"

"Tapi, kalau anak baru, kok sudah pakai seragam kita?"

"Kau lihat saja seragam dia … masih kinclong!"

"Ohh, kau benar!"

"Ya ampun, dia kenapa setampan itu!"

"Aku harus buru-buru gerak cepat sebelum didahului yang lain!"

"Wah, mangsa baru, nih!"

Para siswi perempuan sibuk memuji Ren mengenai ketampanan lelaki era kuno itu. Dan tak sedikit pula yang menatap penuh prasangka terhadap Fei.

"Ehh, siapa dia?"

"Siapa sih perempuan yang di sebelah si tampan?"

"Apakah itu pacarnya?"

"Huh! Lihat saja nanti perempuan itu! Dia milikku!"

"Sepertinya aku tahu siapa perempuan itu. Bukannya itu yang sering di-bully Kai?"

"Iya kah? Aku kurang memerhatikan orang tak penting, apalagi yang sejelek dia."

"Jelek? Menurutku dia manis, kok!"

"Sialan! Kalau aku bilang dia jelek, yah berarti dia jelek! Kau minta kupukul, hah?"

Mengabaikan bisik-bisik di sekitarnya, Ren dan Fei terus saja berjalan menyusuri halaman depan sekolah untuk menuju ke kelas mereka. Pak Yan menjanjikan Ren sudah langsung bisa duduk di kelas Fei, 2 IPA 3.

Ren semakin mantap melangkah sambil matanya mengedar ke sekeliling untuk mengenali bangunan beserta orang-orang di dekatnya. Ternyata bangunan era modern seperti ini. Cukup banyak berbeda dari bangunan di jaman dia yang lebih didominasi batu alam.

Tangan Ren mencengkeram mantap tali tas ransel yang dibelikan Pak Yan kemarin, ketika mendadak saja ada segerombolan siswa lelaki menghadang jalannya.

avataravatar
Next chapter