17 Balas Budi Pak Yan

Tanpa disangka-sangka, ternyata Fei menolak tawaran Pak Yan untuk berpindah sekolah. Padahal SMA Harapan Luhur yang ada di kota Adidhyarta sangatlah bermutu buruk dengan banyaknya siswa-siswa yang senang melakukan tawuran dan balap motor liar.

Namun, demi setia pada persahabatannya pada Lan, maka Fei tidak ingin pindah dari sana. Seburuk apapun sekolah dia saat ini, dia akan tetap bertahan demi Lan.

Ren menoleh ke Fei dan menjumpai wajah penuh kekukuhan seakan tak akan tergoyahkan oleh apapun. Ia pun menghela napas panjang sebelum bicara ke Pak Yan. "Kalau begitu, biar aku bersekolah di sana juga, Pak Yan. Tolong dibantu mengurusnya."

Pak Yan dan Rei heran. Dua bocah ini sungguh masih ingin bersekolah di tempat bermutu rendah yang biasanya dihindari para orang tua yang ingin anaknya mendapatkan ilmu yang baik.

Tetapi, karena ini sudah keputusan keduanya, maka Pak Yan tidak ingin lagi membujuk apalagi memaksa. Mungkin ada alasan tersendiri bagi kedua bocah itu untuk terus berada di SMA Harapan Luhur.

"Baiklah, serahkan saja urusan itu padaku. Akan aku pastikan kalian bisa bersekolah dengan baik di sana. Kuharap kalian tidak terpengaruh apapun hal buruk di sana." Pak Yan sudah memutuskan untuk mengikuti kemauan dua bocah remaja itu saja. "Ren, tolong jaga adikmu ketika di sekolah."

"Itu sudah pasti, Pak, tak perlu Anda katakan, aku sudah tahu. Dan tolong, tempatkan aku di kelas yang sama dengan Fei." Ren masih memberikan permintaannya.

Mata Pak Yan dan Rei terlihat kaget. "Kelas yang sama dengan Fei? Kenapa?"

Setahu mereka, Ren adalah kakaknya Fei, dan itu artinya Ren seharusnya berada di tingkat di atas Fei, bukannya sejajar di akademik.

"Aku ingin lebih bisa menjaga adikku setelah sekian lama aku tidak mendampinginya. Semoga Bapak bisa mengabulkan permintaan sederhana aku ini." Meski sedang memohon, tapi Ren tidak ingin terdengar rendah. Dia adalah pangeran utama di kerajaannya, mana mungkin terlalu menunduk ketika memohon pada orang lain?

Kepala Pak Yan terangguk dengan cepat. "Baiklah. Aku akan langsung suruh bawahanku untuk mengurus ini. Besok, kalian bisa langsung bersekolah di sana. Untuk urusan seragam, mungkin butuh sehari atau dua hari dulu untuk Ren, karena ini sudah hari Minggu."

"Tak masalah, yang penting, aku sudah bisa bersekolah dengan Fei mulai besok."

"Kalau memang kau ingin memakai seragam mulai besok juga, aku bisa memaksakan itu agar mereka bisa memberikan seragam untukmu malam ini untuk kau pakai besok." Apa yang tidak bisa dilakukan seorang Jayantaka Swadipta alias milyader Yan ini? Mungkin hanya mendatangkan komet saja atau memindah matahari dan bulan.

Ren mengangguk saja. Dia yakin nanti malam sudah ada seragam untuknya dari Pak Yan melalui anak buahnya.

Benar saja, ketika malam usai santap makan berdua saja di apartemen baru, mereka menerima tamu yaitu anak buah Pak Yan yang memang mengantarkan seragam untuk Ren. Hebatnya, ukurannya pun tepat.

"Kata Tuan, untuk sementara, seragam ini dulu sebelum seragam yang lebih bagus mutunya jadi besok siang." Anak buah Pak Yan menyampaikan sesuai yang diperintahkan bosnya.

"Um." Ren mengangguk saja dan menerima bungkusan berisi seragam itu.

-0—00—0-

Pagi harinya, Ren dan Fei sudah siap berangkat ke sekolah. Ketika mereka baru saja keluar dari unit penthouse-nya, tiba-tiba saja ada dua orang berpakaian jas hitam bergegas ke arah mereka dan salah satunya mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Ren.

Fei diam saja memerhatikan semua adegan aneh di depannya. Herannya, Ren tetap bersikap tenang seperti ini sudah biasa terjadi padanya saja.

"Hm, baiklah. Sampaikan terima kasih ke majikan kalian." Ren mengangguk setelah memeriksa isi amplop besar itu meski hanya sekejap dan memasukkan ke dalam tasnya.

"Tuan Muda, Anda dan adik Anda juga diperkenankan pergi ke sekolah menggunakan mobil yang sudah disiapkan untuk kalian. Silahkan ikut kami." Salah satu lelaki berjas hitam berkata dengan sedikit tundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.

Ren menoleh lebih dulu ke Fei dan bertanya. "Mau pakai mobil ke sekolah?"

Fei menggelengkan kepala.

'Kakak'nya paham dan berkata ke orang-orang suruhan Pak Yan, "Aku dan adikku akan naik angkutan umum saja. Katakan terima kasih pada tawaran Pak Yan, karena kami tidak ingin terlalu mencolok di sekolah."

"Baik, Tuan Muda!" Orang itu pun bergegas pergi dengan rekannya.

Sepeninggal dua lelaki itu, Ren menoleh ke adiknya. "Kau sungguh tidak menyesal karena tak naik mobil mahal?"

"Mas Ren ini apa, sih? Aku sudah biasa pakai angkot ke sekolah. Atau bahkan jalan kaki saja jika tidak sedang tergesa-gesa." Fei tersipu. Ini memang sesuai dengan yang dulu dia alami. Dia hanya naik angkot jika sedang tergesa-gesa takut terlambat, atau ketika hujan saja.

Selebihnya, cukup menggunakan kedua kaki untuk berjalan dari perumahannya hingga sekolah yang jaraknya hampir mencapai 3 km.

Jauh? Yah, itulah yang sehari-hari dijalani oleh Fei karena tuntutan dari sang bibi yang ingin menghemat uang angkot, sementara Nai bebas mengendarai motor sendiri ke manapun.

Mengenang masa-masa itu, Fei hanya tersenyum kecil dan mensyukuri saja apa yang dia dapatkan sekarang ini. Mungkin ini merupakan karma baik untuknya sehingga dia akhirnya menemukan keberuntungan sebagus ini.

Teringat dulu dia sering digoda dan disiuli oleh pemuda-pemuda di jalan saat Fei pergi atau pulang sekolah. Dia harus berjalan cepat sambil tundukkan kepala saking takutnya.

Sekarang, tidak perlu lagi ketakutan. Ada Ren di sisinya. Ahh, kalau dipikir-pikir, dia merasa Ren adalah keberuntungannya. Mungkin ayah dan ibunya di akherat sana ikut berdoa untuk hidup Fei yang lebih baik.

"Ya sudah, ayo kita pakai angkot. Kebetulan Pak Yan memberikan cukup banyak uang untuk kita." Suara Ren membuyarkan lamunan Fei.

"Ohh? Ohh, iya, Mas." Fei mengikuti Ren yang berjalan cepat turun ke lobi dan keluar untuk mencari angkot yang tepat.

Mereka tak mungkin berjalan kaki seperti dulu Fei menjalaninya. Selain jarak apartemen dan sekolah mereka cukup jauh, kini mereka juga punya uang dari Pak Yan. Jadi, untuk apa menyiksa diri dengan berjalan kaki?

Di dalam angkot, Ren mengeluarkan amplop cokelat besar dari Pak Yan. Dia mengeluarkan salah satu isinya. Itu adalah buku rekening tabungan sebuah bank swasta terbesar dan terkokoh di Indonesia. Ketika dilihat saldo yang tertera di sana, ada 100 juta rupiah.

Ketika mata Fei melirik ke rekening itu, dia sampai melongo. Apa dia tak salah lihat? Matanya waraskah saat ini? Berapa tadi yang dia lihat?

Sekali lagi, Fei melirik ke sana dan saldo benar-benar tertera 100 juta rupiah.

Ya ampun!

avataravatar
Next chapter