webnovel

Terpeleset

Masa tak tenang terus dirasakan oleh dua manusia yang saling bersinggungan mengenai perasaan.

"Selamat pagi, Mbak Kirana." Kedatangan Kirana di kantor sudah seperti ratu yang amat dihormati.

"Selamat pagi," balas Kirana dengan senyum tak kalah ramah.

Sepatu dengan hak tinggi berbenturan dengan ubin lantai. Sejenak memecah keheningan di pagi hari.

Tak ingin berlama-lama di luar ruangan, Kirana bergegas masuk ke dalam ruangan pribadinya. bergerak secepat mungkin dan menutup pintu secara perlahan.

"Sudah dua hari ku menghindari saya. Ada apa?"

Mampus!

Kedatangannya ternyata sudah disambut oleh seorang manusia yang beberapa hari ini mencoba ia hindari. Lebih tepatnya setelah kejadian malam itu.

"Ti-tidak. Ma-maksud Pak Bos apa?" Percobaan mengelak justru menjurus pada keterbatasan saat mengucapkan kata apa saja.

"Pesan saya tidak pernah kau buka, padahal ada beberapa kepentingan kerja yang harus kita diskusikan bersama."

Sepasang bola mata Kirana hampir lepas dari naungannya. Bibirnya terbungkam rapat-rapat. Jantungnya berdebar kuat.

"Pak Bos becanda, ya?"

"Hari ini saya beri waktu untuk menyusun berkas yang sudah saya perintahkan melalui pesan pribadi aplikasi hijau!" Selepas itu, Kakrataka keluar dari ruangan Kirana. Berlalu begitu saja tanpa menoleh saat sampai di samping gadis yang baru ia ambil first kiss-nya.

Lain daripada itu, Kirana tertunduk malu. Rencananya untuk menghindar barang satu atau dua hari saja tak pernah benar-benar berhasil.

"Argh! Menyebalkan, sialan," umpatnya.

Meski begitu, profesional kerjanya tak pernah luntur. Kirana mengerjakan apa yang bosnya titahkan. Membuka pesan dengan jumlah hampir 500 pesan tersebut. Matanya terbelalak saat apa yang telah dikirimkan manusia itu padanya.

"Permintaan maaf?" Kirana bergumam, bahkan tanpa sadar tas kerjanya sudah jatuh di lantai dengan mengenaskan.

***

Pulang larut malam sudah bukan lagi rahasia. Bagi seorang Kirana pulang pukul 11 malam sudah seperti anugerah. Bisa mengistirahatkan badan serta pikiran dengan tenang.

Sayangnya, semua sekadar angan tak bertepi. Malam ini tuntutan kerja lebih berat lagi. Matanya tinggal satu garis untuk terbuka, sedangkan kedua tangan masih harus aktif mengetik di papan ketik laptopnya.

"Sialan, makin lama kerja kayak di zaman penjajahan!" Sampai detik ini, Kirana telah mengeluarkan kata-kata emasnya, entah berapa ribu kali. Namun, tak lagi terhingga atau sekadar dihitung dengan jemari saja.

Sampai secara perlahan, kedua mata Kirana benar-benar terpejam. Menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kedua tangan.

"Dasar, lemah."

Tanpa banyak kata, Kakrataka masuk ke dalam ruangan tersebut. Menggendong tubuh Kirana yang amat ringan bagi pria kekar sepertinya. Membiarkan semua peralatan kerja milik Kirana tertinggal di sana.

"Hah! Lepaskan!" Kirana terbangun dan memukul dada Kakrataka kuat-kuat. Tubuhnya jatuh dan menjadi santapan empuk lantai. Kakrataka meringis kesakitan karena dadanya yang dipukul keras oleh Kirana. Tenaga gadis itu tak pernah disangka olehnya, tetapi secara tersembunyi Kirana memang memiliki kemampuan khusus ketika berada dalam bahaya.

"Argh," pekik Kakrataka.

Kirana berdiri dengan raut wajah panik. Kala melihat Kakrataka yang tengah memegangi dadanya sendiri, Kirana seperti merasa ada penderitaan dalam diri pria itu.

"Pak Bos, apakah sakit?" tanya Kirana seraya memegangi tangan Kakrataka yang mengepal di depan dada.

"Tidak, tidak apa, May."

Karena merasa bersalah, Kirana memapah Kakrataka untuk masuk ke dalam ruangannya dan duduk di sofa panjang. Kirana yang tidak tahu apa-apa segera memeriksa dada Kakrataka. Membuka kancing baju pria itu dengan cekatan dan melihat ada warna biru di dadanya.

Bukan hanya itu, Kirana menempelkan telinga di dada Kakrataka. Mendengar detak jantungnya yang amat cepat. Kekhawatiran semakin meraja, tetapi ia tak bisa apa-apa. Jika ingin membopong Kakrataka sendiri, juga tidak mungkin.

"May, bisa sedikit menjauh?" Kirana mendongak setelah mendengar kalimat sederhana barusan.

Tanpa disadari, mereka bersentuhan dengan jarak yang benar-benar tidak ada. Mereka saling menempel dan Kirana baru sadar mengapa detak jantungnya mulai tak beraturan.

"Astaga, maaf, Pak Bos," ujar Kirana seraya mengambil jarak tiga kali mundur dari tempat yang ia duduki.

Mereka berdua di ambang canggung. Dengan keadaan sekitar yang telah gelap, seluruh jendela dan juga satu pintu tertutup. Kirana merasa sesak.

"HAH!" teriak Kirana kala Kakrataka telah duduk begitu dekat di sampingnya. Aroma parfum yang manis kembali menguar dan membuat Kirana benar-benar menghirupnya amat dalam.

"Kita pulang sekarang," ajak Kakrataka, kemudian beranjak dari sana. Menanti Kirana di ruang seberang, sebagai tempat Kakrataka yang sesungguhnya.

Beberapa detik sempat termangu di tempat. Kirana mulai sadar jika jam telah menunjukkan pukul dua dini hari, dan dirinya tidak mungkin bisa pulang sendiri. Tidak membawa mobil hari ini dan membuatnya terpaksa harus pulang bersama Kakrataka, lagi.

Tanpa menunggu lama, Kirana membereskan semua pekerjaannya dan memasukkan ke dalam tas. Berjalan pelan keluar ruangan dan menemui Kakrataka telah berada di persimpangan jalan turun tangga. Mereka tidak pernah menggunakan lift ketika sudah malam. Bukan kemauan Kakrataka, tetapi Kirana yang selalu merengek memintanya dengan keras.

Jalan yang mereka tuju tidak terlalu jauh. Tempat parkir mobil Kakrataka tak begitu menjorok ke dalam. Karena masih ada satpam, Kakrataka meminta tolong.

"Sebentar, saya ingin membuang sampah dulu, Pak Bos." Kirana meminta izin pada Kakrataka. Pria itu mengangguk saja, tetapi saat sampai di depannya, Kirana justru terpeleset. Untungnya Kakrataka cekatan merengkuh pinggang langsing gadis itu.

"Lain kali, kalau jalan hati-hati. Bukan hanya pakai mata, tetapi juga kaki!" Kegeraman Kakrataka terlampiaskan setelah menangkap Kirana.

Gagal fokus dengan kalimat tadi, Kirana justru menatap dada bidang telanjang yang ada di depan mata. Dengan warna biru yang masih cukup terlihat walau keadaan tengah gelap.

"Pak."

Keduanya segera melepas pelukan tersebut.

"Mo-mobilnya su-sudah siap," ucap Satpam yang sebelumnya mendapat perintah dari Kakrataka.

"Baik, terima kasih."

Mungkin merasa malu dengan yang baru saja terjadi. Kakrataka berlalu lebih dulu, meninggalkan Kirana yang berjalan tak jauh di belakangnya.

Dua manusia dengan perasaan yang entah sama atau tidak. Sekarang sudah berada di dalam mobil. Dalam keadaan canggung dan salah satunya menahan debar hebat dalam dada yang membabi-buta.

"Pak Bos, bisa tolong kancingkan baju," ucap Kirana tanpa menoleh.

"Ha?"

Mendengarnya, membuat Kirana bergegas menoleh dan melihat Kakrataka yang menatap bagian baju atasannya.

"Ah, maksud saya, baju Pak Bos masih terbuka sedari tadi."

Kakrataka salah paham atas kalimat yang Kirana ucapkan.

"Terima kasih sudah diberi tahu."

Mobil berjalan setelah pengemudinya selesai mengancingkan baju. Mereka terdiam tanpa berkata seperti biasanya.

Kirana yang mulai gila dengan perasaannya mulai tak nyaman. Setelah kejadian malam itu, kejadian memalukan terus saja terjadi. Padahal sudah berusaha menghindari, tetapi Kakrataka justru seperti manusia yang mencoba mendekatinya.

Next chapter