webnovel

First Kiss

Rintik gerimis berjatuhan secara tergesa-gesa. Meninggalkan kesan manis pada senja yang hampir tiba.

"Terkadang manusia yang terlihat baik, belum tentu sampai pada bagian dalamnya. Hanya penampilan yang menjadi daya tarik dan tak pernah memperlihatkan suatu keanehan saat sekilas mata memandang."

Kehadiran Kakrataka benar-benar membuat Kirana merasa sedikit lebih tenang. Pembelaan yang Kakrataka lakukan tadi, membuat dua manusia yang berbuat tak senonoh di hadapan umum, lari tunggang-langgang. Ketakutan karena ancaman yang benar akan terjadi jika saja Kirana tak memperingatkan pada Kakrataka.

"Terima kasih," lirih Kirana.

"Maka, akan kujaga sampai saatnya apa yang kau jaga selama ini harus kau serahkan pada yang berhak," ujar Kakrataka secara spontan.

Muncul kerutan di dahi Kirana. Efek keraguan serta kurang pahamnya diri terhadap apa yang barusan ditangkap oleh pendengarannya.

"Maksudmu?"

"Mahkotamu tidak akan pernah jatuh pada sesiapa, sebelum kau sah menjadi milik suamimu."

Ada sepotong kabel yang tak sengaja terpegang dan masih menimbulkan sengatan mengerikan. Kirana melengos pasrah tatkala mendengarnya. Seolah tiada harapan serta celah walau selebar jalan debu.

"Biarkan saya menjagamu, sampai kau menemukan sosok yang tepat sebagai pendamping dalam hidupmu," ucap Kakrataka.

"Saya bisa menjaga diri saya sendiri." Kirana mulai mengeluarkan kalimat ketusnya. Ia sudah muak jika harus terus mendengar ucapan Kakrataka yang tak pernah sesuai dengan ekspektasi.

"Baiklah, maka saya akan mengawasimu dari kejauhan. Beres, bukan?"

Kedua mata Kirana berbinar. Ia kembali menoleh pada sosok lelaki yang tak lain adalah bosnya sendiri.

"Untuk apa?"

"Menjaga. Bukankah sudah jelas dari setiap kalimat yang kutekankan?"

"Pak Bos. Kita hanyalah rekan kerja, tak perlu sampai mengurus kehidupan masing-masing."

"Kau sudah tahu kehidupanku, bukan? Lalu, adilkah jika saya tidak turun tangan dalam kehidupanmu?"

"Bukankah mobil mewah sudah cukup? Untuk apa Pak bo--"

"Sssstttt." Telunjuk Kakrataka menempel tepat di bibir merah merona Kirana. Sepasang iris coklat dan kehitaman itu sempat bertatap canggung selama beberapa detik.

Kirana menikmatinya. Bahkan deru napas yang entah mengapa sedikit memburu mulai memenuhi rongga dadanya.

"Jangan membantah, ini perintah!" tegas Kakrataka tanpa sedikit pun ada keinginan untuk ditolak.

Telunjuknya menjauh dari bibir merah merona. Mereka saling memandang pada arah yang berlawanan.

"Hujan. Ayo, kita masuk mobil saja." Seperti biasa, Kakrataka memimpin jalan, sedangkan Kirana berada lima langkah di belakang lelaki itu.

Walau hujan deras tiba-tiba jatuh membasuh bumi, keduanya berjalan santai membelah kerumunan air yang jatuh dan saling berebut.

"Masuk!" titah Kakrataka setelah mereka sampai di depan mobil, sedang lelaki itu membukakan pintu untuk Kirana.

'Tidak biasanya,' batin Kirana.

Keduanya sudah berada dalam mobil. Kakrataka beberapa kali terlihat mencuri pandang ke arah Kirana. Sampai akhirnya sebuah jaket yang diambil dari jok belakang diserahkan pada Kirana.

"Pakai, bajumu transparan dan saya tidak ingin terpancing ketika selama perjalanan tidak sengaja menatap itu." Kakrataka berkata tanpa malu sedikit saja.

"Ma-makasih." Kirana terbata saat mengucapkan kata tersebut. Ia segera meraih jaket dan menutup bagian dada. Tahu akan maksud Kakrataka, ia mencoba untuk tidak dekat dengan lelaki itu. Walau basah kuyup serta merasa dingin, Kirana berusaha menahan. Tidak ingin menarik perhatian.

Agenda mereka sore ini gagal. Dari yang awalnya ke bukit berniat untuk melihat sunset, justru ada satu kejadian yang membuat Kirana termenung karena mentalnya terguncang. Usai mendapat ketenangannya, tidak ada kelanjutan cerita melihat senja, justru hujan menyapa. Keduanya memutuskan untuk pulang, walau sudah dalam keadaan basah kuyup.

***

"Ini, handuknya." Kirana menyerahkan handuk yang baru ia ambil dari lemari.

"Orang tuamu ke mana?" Kakrataka dan Kirana berada dalam satu rumah, berdua saja.

"Mereka sedang ke rumah Kakek dan Nenek," jawab Kirana.

"Kapan pulang?"

"Besok, mungkin."

"Lalu, malam ini kau akan sendirian di rumah?"

"Hm, iya. Memang saya harus sama siapa?"

"Saya," ucap Kakrataka dengan sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar sama sekali.

"Siapa, Pak Bos?" Kirana mungkin mendengar, tetapi berusaha memastikan saja supaya tidak salah.

"Besok ... saya akan membawamu ke dokter supaya kesehatan telingamu diperiksa."

Malu. Beberapa kali Kirana seperti orang dengan permasalahan pada pendengarannya. Bertanya walau hanya sekadar dengar dan kadang tak jelas, katanya.

"Saya buatkan teh hangat dulu, Pak." Kirana hampir berlalu, sebelum cekalann tangan kuat dari Kakrataka memintanya untuk berbalik secara kasar.

Karena sentakan Kakrataka, mereka berdua berakhir pada sofa panjang yang pas untuk setengah postur tubuh Kirana.

Posisi mereka begitu ambigu jika dipandang dari luar sana. Ditambah dengan cahaya remang serta gemercik hujan yang seolah menambah kesan penuh kehangatan.

Kirana berada di atas Kakrataka dengan tangan yang menempel pada dada bidang telanjang. Wajah mereka begitu dekat, tinggal berjarak satu jengkal saja.

Deru napas keduanya memburu. Sampai-sampai mampu menyibakkan anak surai Kirana yang berjatuhan.

Kirana memejam karena terlalu larut dalam suasana.

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir gadis itu. Sontak membuat Kirana semakin dimabuk kepayang. Dadanya berdegup kencang sampai tak mampu mengendalikan rasa panas yang menjalar di sekujur tubuh.

"Ah, maaf." Tubuh Kirana didorong dengan kencang. Kakrataka mengambil kembali baju basahnya di tepi sofa. Memakainya dan bergegas pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata.

Kirana mematung, padahal tubuhnya baru saja terpelanting. Bola matanya mengikuti pergerakan Kakrataka yang grusak-grusuk. Berhenti di tempat seraya merenung akan apa yang baru saja terjadi secara nyata. Sedang, tersangka telah lari keluar rumah dan deru mobilnya terdengar keluar dari pekarangan rumah.

Tersadar dari itu semua, Kirana berlari sedikit lebih cepat menghampiri pintu utama. Melihat sebuah mobil telah sampai pada belokan depan rumah. Tidak lagi terlihat dan saat itu pula, Kirana menutup pintunya dengan keras. Menguncinya rapat-rapat dan memastikan bahwa semua pintu rumahnya telah terkunci. Karena baru saja mendapat pesan dari orang tuanya jika malam ini benar-benar tak akan pulang.

Gadis itu berlari menuju kamarnya. Menutup pintu dan berlari sampai menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dalam posisi tengkurap.

"Argh!" teriaknya. Merasa bahwa dunia seolah tengah berada dalam genggaman.

"Apa yang barusan terjadi? Mengapa semua itu sangat cepat?"

"Mengapa dia pergi begitu saja, setelah mengambil ...." Kirana tak lagi mampu melanjutkan kata. Masih terlalu aneh rasanya untuk bermonolog panjang.

Kakrataka begitu romantis dan Kirana menikmatinya. Namun, mengingat kembali bahwa derajat mereka berbeda dan dari ungkapan Kakrataka, Kirana mampu mengartikan bahwa lelaki itu tak pernah menyukainya. Menyukai dalam aspek rasa dan juga cinta.

"Argh, Kakrataka membuatku tak bisa tidur malam ini." Kirana berlanjut mengusap bibirnya dengan penuh keanehan.

"Dia telah mengambil first kiss-ku dan dia harus bertanggungjawab nantinya, bagaimanapun itu caranya!"