114 BAB 30: Pria-Pria di Masa Lalu

Rania sedang menyusun aneka laporan-laporan manajemen krisis dari 4 perusahaan yang mereka tangani dalam 2 minggu terakhir ini. Bulan ini sungguh berat untuk Rania dan departemennya, karena selain mengurusi berbagai kasus di beberapa perusahaan, ia juga harus berkonsentrasi untuk menyiapkan pernikahan Jasmina dan Devon. Sukurlah badai telah berlalu, kini ia tinggal mengurusi aneka laporan yang harus ia serahkan kepada Bayu.

"Harusnya di setiap kantor itu ada panduan cara berpakaian yang baik dan benar ya. Kostum halloween sebaiknya tidak dipakai di sekitar kantor", celetuk seorang pria yang tiba-tiba muncul di kubikel Rania. Gadis itu sontak kaget, sehingga nyaris aneka laporan yang baru saja ia cetak hampir bertebaran ke segala arah. Rania dengan sigap memasukkan laporan-laporan itu ke folder yang sesuai dan mendongak ke arah gangguan.

"Mau apa kamu Bagas? Asal kamu tahu, kantor akunting bukan disini. Jangan gara-gara kita sister company, kamu bisa seenaknya datang dan mengganggu para karyawan", Rania berkata sambil menumpuk folder-folder yang telah rapi itu. Waktu telah menunjukkan pukul 5.15 sore, dan sepertinya sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk berada di kantor lebih lama lagi. Beberapa karyawan kantor Cecilia Marcomm sudah pulang, tinggal beberapa orang sekretaris yang sedang menunggu sang atasan yang masih belum beranjak. Rania juga berencana untuk pulang setelah memberikan laporan-laporan tersebut ke kantor Bayu, sang atasan.

"Sore-sore begini enaknya ngajak gadis cantik ngopi. Bagaimana? Tertarik?", tanya Bagas dengan senyum jahil.

"Ah enggak mauuuu!", jawab Rania sambil dengan sistematis mulai mematikan seluruh perangkat elektroniknya. Dimulai dari laptop, mencabut daya HP miliknya, dan memasukkan tablet ukuran 10 inchi ke dalam tasnya.

"Tapi aku serius soal baju halloween itu Ran, mencolok sekali! Hahahahah", komentar Bagas sambil menatap tubuh jenjang Rania yang baru saja berdiri. Gadis yang biasanya selalu cuek dan percaya diri itu, untuk sedetik merasa insecure. Ia berusaha berkaca melalui pantulan kaca di kubikelnya. Secara samar-samar ia dapat melihat tampilannya hari ini.

Gaun hitam tanpa lengan dengan panjang rok di atas lutut, stoking berwarna hitam, sepatu hitam dengan sol berwarna merah, dilengkapi dengan blazer merah yang cukup ngepas di badan. Rambutnya yang berwarna coklat tua tadinya bergelung-gelung rapi di pagi hari. Sore ini, ia sudah mencepolnya tapi masih cukup rapi. Ia tidak bisa melihat pantulan make-up di wajahnya, tapi sepertinya tidak ada yang horor disitu. Jadi? Apa yang salah?

"Tidak ada yang salah dengan penampilan aku, Bagas. Jadi menyingkirlah kauuuu sana", kata Rania sambil mengibaskan tangannya agar Bagas menyingkir dari pintu kubikelnya. Ia ingin lewat.

"Kamu seperti ingin menggoda satu gedung kalau pakai baju begini Ran", kata Bagas sambil mengibaskan telunjuknya dari kepala Rania sampai kaki, dan bolak-balik. Rania menjadi geram karenanya.

"Siapa yang ingin aku goda disini. Hampir 70 persen karyawan bu Cecilia itu perempuan, dan kami sungguh nyaman disini. Jangan bully aku Bagas. Kamu juga berpakaian tidak pantas!", kata Rania sambil melotot ke arah kaki Bagas, naik ke kepala cowok itu dan bolak-balik seakan-akan balas memindai penampilannya. Bagas berpura-pura insecure, ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

"Kenapa memang aku? Terlalu menggoda? Apa kamu terganggu?", tanya Bagas dengan wajah sarkartis. Seperti akuntan pada umumnya, Bagas menggunakan kemeja putih berkualitas tinggi, dengan celana panjang berwarna biru tua. Pakaiannya menunjukkan fitur tubuh Bagas yang tinggi semampai. Berbeda dengan Devon yang memiliki otot disana sini, Bagas tetap ramping dan proporsional. Rambutnya ia tata seperti aktor drama korea, yang sangat cocok dengan fitur wajahnya yang putih mulus. Sebuah kartu tanda pengenal masih tersampir di lehernya, menunjukkan dengan bangga ia adalah bagian dari Kantor Akuntan Publik Adnan and Abraham.

"Terlalu kuno dan...dan...dan jelekkkk!", komentar Rania. Bagas tertawa mengakak.

"Sebelum ngejek orang, coba kamu perbaiki dulu bahasa Indonesia kamu tuh. Kamu ngomongnya mirip transletan film kartun ahhhh hahahahah", ejek Bagas sambil mencondongkan badannya ke arah Rania. Ia bertambah geram!

"Sialan kamu Bagas! Awas! Minggir! Aku mau lewat!", kata Rania sambil memukul lengan Bagas dengan folder yang akan dia serahkan kepada Bayu.

"Aouucchh wanita ini, seram juga", kata Bagas tapi ia tidak konon memberikan jalan kepada Rania untuk lewat. Entah kenapa ia semakin penasaran dan semakin ingin menggoda Rania hari ini. Biasanya ia cukup terintimidasi bila berdekatan dengan Rania. Tidak seperti Jasmina yang cukup ramah dan positif dengan siapa saja, Rania lebih selektif dalam berteman. Walau ia cantik dan menarik, ia tidak segan-segan menunjukkan taring judesnya kepada siapa saja yang menurutnya mengganggu. Ya seperti Bagas sekarang ini, sang pengganggu.

"Minggiiirrrr!", kata Rania. Minggu yang berat, hari yang lelelahkan, ia hanya ingin ini semua segera berlalu. Tidak seru di kantor tanpa Jasmina, apalagi ia berangkat ke kantor sendirian. Biasanya ia bisa bergantian menyupir dengan Jasmina. Berhubung kakak ipar dan abangnya itu sedang berbulan madu, Rania lebih suka pulang dan pergi menggunakan taksi online.

"Sepertinya aku datang tepat waktu yahhh. Tenang aja Rania, I will save you (aku akan menyelamatkan kamu)", tutur seorang pria yang seakan-akan muncul bak pangeran dengan kuda putih ke arah Bagas dan Rania. Bagas yang sudah hafal dengan suara bariton itu, memutar tubuhnya dengan malas ke arah sang pria. Ia adalah sang pengganggu nomor 2, pengacara Miko Raja Lubis.

"Kenapa semua berkumpul disini? Apa ini klub para lajang, menurutmu? Ini kantor ya, tempat untuk bekerja. Dan ini sudah tidak jam kerja lagi, jadi aku mau pulang. Byeeee", jawab Rania patah-patah. Kebiasaan kalau ia sudah kesal, bahasa Indonesianya jadi agak berbelit-belit.

"Ada bunga ada kumbang", jawab Miko dengan senyum manis sambil memeluk jas yang ia lipat di dadanya. Hari ini Miko tampil bak pengacara yang pulang dari suksesnya sebuah persidangan. Ia mengenakan kemeja putih yang tak kalah mahal dari yang dikenakan Bagas. Hanya saja ia mengenakan setelan jas berwarna senada berwarna biru hitam yang membuat penampilannya terlihat seperti sejuta dollar. Wajah tampannya dihiasi rambutnya hitam kelam yang ia panjangkan hampir seleher, membuat kesan seperti mafia Italia. Jasmina benar, ia tampan.

Melihat kedua cowok dari masa lalu Jasmina itu, sebenarnya Rania merasa heran bila kakak iparnya itu akhirnya memilih Devon. Secara penampilan, Bagas dan Miko memang dua orang cassanova yang memiliki daya tarik luar biasa. Tampan, pintar, pandai bergaya dan pasti memiliki banyak penggemar. Seakan-akan mereka tahu kalau memiliki daya tarik sempurna, mereka tahu bagaimana cara menggunakannya.

Tidak seperti Devon yang selalu berpakaian santai dan casual. Walaupun baju-baju yang ia beli memiliki merek yang bagus, namun abangnya itu selalu tampil seakan-akan ia baru saja lulus SMA. Selama perkuliahan pun, ia hampir tidah pernah melihat sang abang secara khusus berpakaian super duper rapi. Rania dan Jasmina harus bekerja keras memilih kemeja-kemeja yang rapi, meyakinkannya untuk memilih pakaian berkualitas bagus dan menjauhkannya sebisa mungkin dari aura-aura pantai dan surfing. Sukurnya tampangnya lumayan, sehingga bisa membuat apapun yang ia kenakan terasa pantas saja untuknya.

"Jasmina mana Ran?", tanya Miko sambil celingak-celinguk melihat kantor yang mulai sepi.

"Ya honeymoon lah, belum ada masuk kantor", kata Rania sambil menyampirkan tas ke bahunya dan memeluk folder. Ia benar-benar telah siap untuk melangkah keluar dari kubikel. Tapi sekarang harus bagaimana? Sudah ada dua orang cowok yang menghambat di pintu masuk kubikelnya.

"Lama amat bulan madu? Ke Bali doank padahal", komentar Bagas sinis sambil melipat tangan di dadanya dan bersandar di dinding kubikel Rania.

"Ya aku sih bilang sama Jasmina dan Devon, jangan pulang sebelum bawa bayi untukku", kata Rania santai. Miko menahan tawanya dengan punggung tangannya. Rania ada-ada saja.

"Hahhhh, lo kira bikin anak kayak ngadon cireng apa? Sejam jadi?", tanya Bagas heran.

"Apa itu cireng?", tanya Rania polos.

"Ya Devon pasti paling taulah, secara dia dokter. Huh gak nyangka ya, akhirnya kawin juga mereka. Gue kira dia bakal kawin ama elu nyong", komentar sinis Miko sambil menendang tulang kering Bagas dengan pelan. Walau pelan tapi cukup sakit!

"Wadaaww, Sialan lo Mik, mentang-mentang senior. Kayak elu gak main sosor Jasmina aja. Lu sendiri yang ngejar dia sampe ke Bali. Tumben lu gak ikut nyusul dia lagi kesana sekarang. Siapa tau Jasmina berubah pikiran kali ini hahahahaha", ejek Bagas sambil memukul belakang pundak seniornya itu.

"Sialan loooooo Gas!", Miko memberi gesture seakan-akan ia akan melayangkan bogem mentahnya ke bibir Bagas, tapi tentu saja hanya bercanda. Bagas tidak bisa berhenti tertawa. Rania semakin kesal.

"Sudahhh kalau mau berkelahi, out! Out! Keluar dari kantor aku. Minggirrr aku mau lewat!", kata Rania sambil mengibaskan kedua tangannya dan membuat palang agar ia bisa menyingkirkan 2 pria tampan di hadapannya.

"Rania! Bisa ke kantor saya sebentar?", tanya Bayu yang berdiri sekitar 5 meter dari kubikel Rania. Panggilan itu terasa begitu nyaman di telinga Rania, seakan-akan bel kemenangan untuk menghindari dari Bagas dan Miko.

"Ok bye guys, I'm leaving. Kalau ketika aku kembali kalian masih disini, I'm calling security (aku akan memanggil pihak keamanan)", ancam Rania sambil berlalu berjalan ke arah kantor Bayu. Gaun hitamnya berkibar, dan dari belakang ia terlihat seperti seorang super model yang berjalan di catwalk memperagakan koleksi baju musim gugur. Miko dan Bagas secara refleks menahan nafas dan terdiam ketika gadis itu berlalu sampai ia benar-benar memasuki kantor atasannya.

"Fiuhhh seksi juga nih adek si Devon", komentar Miko impulsif sambil masih menatap kantor Bayu dari kejauhan, seakan-akan ia bisa melihat Rania dari dinding kaca bertekstur itu. Bagas yang tadinya ikut menatap kantor itu, tersadar dari lamunan dan menatap lekat wajah Miko.

"Jangan bilang kalo lo ada maksud aneh-aneh sama Rania. Jangan mimpi Lo!", sinis Bagas sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya.

"Loh? Apa masalahnya? Ada yang salah sama aku? I'm single, she's available, kami kenal cukup dekat, dan mungkin kami akan cocok-cocok aja", jawab Miko santai.

"Lo kira Devon bakal ngijinin hah? Semua juga tau kredibilitas 3 bulan lo!", sinis Bagas lagi.

"Kredibilitas apa maksud loh?", tanya Miko benar-benar tidak mengerti.

"Lo cuma deketin cewe dan lo pacarin 3 bulan, trus bhaaayyyy", ejek Bagas lagi sambil mengibaskan tangannya dengan gesture bye bye.

"Sialan lo Gas. Bilang aja kalo lo juga ada hati sama Rania. Iya kan? Lo lagi usaha kan?", tanya Miko kepada Bagas setengah mengancam. Bagas tidak siap. Memang pernah Jasmina menganjurkannya untuk dekat dengan Rania, tapi ia tidak benar-benar serius menanggapinya. Lagian Rania itu adek Devon, dan mereka bekerja di perusahaan yang sama. Ya tidak secara teknis di perusahaan yang sama sih. Tapi tetap akan canggung bila mereka dekat. Benar kan?

"Apaan sih loooo!", pekik Bagas berusaha untuk menyangkal.

"Alaaaahhhh lo jangan muna untuk yang kesekian kali Gas. Gak inget loh jaman-jaman lo denial abis-abisan ama Jasmina. Galau lo sama Sharon dan Jasmina bikin dia patah hati tau gaakkk", ejek Miko. Bagas terdiam. Teganya sang kakak kelas menyinggung soal kebodohannya di masa lampau.

"Tapi walau dia patah hati, butuh pundak bersandar, tetap nyandarnya gak sama elu ya Mik Hahahahah" ejek Bagas sambil berjalan meninggalkan Miko.

"Sialan lo Gas!", tutur Miko sambil berjalan ke arah Bagas.

------------------------

"Akrab banget sama mereka Ran. Kalian dekat?", komentar Bayu kepada Rania sambil memperhatikan Bagas dan Miko saling bertukar ejekan di kejauhan.

"Ah mereka pak, hanya laki-laki di masa lalu", jawab Rania santai sambil meletakkan folder-folder laporan kegiatan mereka di atas meja Bayu.

"Hah, mereka itu mantan-mantan pacar kamu?", tanya Bayu kaget. Rania gelagapan.

"Ah tidak pak! Bukan! Bukan masa lalu saya. Mereka itu laki-laki masa lalu Jasmina", jelas Rania.

"Mantan-mantan pacar Jasmina?", tanya Bayu kebingungan. Ia memang jarang melihat Jasmina bersama cowok selama magang dan bekerja di Cecilia Marcomm. Walau Jasmina selalu mengaku dekat dengan seseorang (Devon), hampir tidak pernah mereka bertemu dengannya. Jadi kehadiran Miko dan Bagas ini merupakan kejutan juga.

"Heemmm ya dan tidak. Panjang ceritanya pak. I think I need to explain it in english (sepertinya saya harus menjelaskannya memakai bahasa inggris)", tutur Rania karena pasti akan sulit menceritakan keseluruhannya dengan memakai bahasa Indonesia seadanya.

"Ah sudahlah. Yang penting mereka gak ganggu kamu kan?", tanya Bayu. Rania menggeleng sambil tersenyum manis. Hal terakhir yang ia inginkan adalah bila Bayu menjadi salah paham. Kenapa? Karena sebenarnya di dalam lubuh hati Rania yang paling dalam, ia mengagumi atasannya ini. Ia diam-diam berharap semoga kekaguman ini tidak meningkat menjadi rasa suka, karena itu pasti akan sangat merepotkannya.

Ya, Rania mengaguminya sejak entah kapan. Bayu adalah atasan pertamanya di lingkungan kerja profesional, dan selalu menjadi mentor yang sempurna untuk Rania. Sosok yang selalu sabar menghadapi Rania yang mengalami shok kultur, pecicilan, berisik, dan gampang panik. Pembawaannya mungkin seperti Devon yang tenang seperti air, namun berwibawa dan penyayang (sepertinya). Menjadi atasan di divisi krisis manajemen, sikap tenangnya menjadi andalan bu Cecilia. Tapi dibalik itu, ia memiliki berjuta strategi yang mampu menggiring para klien menghadapi krisis-krisis mereka. Ia mampu menuntun anggota tim untuk bersama-sama melewati badai-badai kasus mereka. Siapa yang tidak kagum?

Teman-teman sekantor sebenarnya menjodohkan Rania dengan Jason, atasan Jasmina. Mereka merasa Rania mampu mengimbangi Jason, sang idola kantor. Tidak seperti Jason yang memiliki tampang setengah bule, Bayu benar-benar seperti pria gagah bak gatot kaca yang Indonesia sekali. Dengan kulit kecoklatan, rambut hitam legam, tubuh tinggi dan kekar, dengan fitur muka pria Melayu. Bicaranya santun, tanpa embel-embel istilah-istilah dalam bahasa Inggris. Selera makannya juga klasik, dan hobinya travelling ke wilayah-wilayah di Indonesia. Berbeda dengan Rania yang hampir seluruh hidupnya di habiskan di luar Indonesia, Ia selalu tertarik dengan kisah-kisah Bayu.

"Raniaa….. Raniaa… Kamu dengar?, Bayu memotong lamunan Rania.

"Hah? Apa pak? Bapak manggil saya?", tanya Rania. Sungguh tidak bisa di percaya, ia sedang melamun di kantor atasannya!

"Iya, kan kamu udah saya panggil. Bahkan sudah duduk. Kamu melamun Rania. Ada yang mengganggu pikiran kamu?", tanya Bayu dengan bahasa baku, berharap Rania mengerti. Rania menggeleng.

"Ah enggak pak. Bapak perlu apalagi?", tanya Rania malu-malu.

"Ini laporan 4 project terakhir?", tanya Bayu.

"Iya pak",

"Sudah kamu cek satu-satu?", tanya Bayu lagi.

"Sudah pak",

"Mau makan malam denganku?", tanya Bayu dengan intonasi yang sama.

"Sudah pak", jawab Rania refleks. Namun ia merasa ada yang salah, ia kemudian menatap lekat wajah sang atasan. Ia berusaha mengingat pertanyaan terakhir, yang sepertinya tidak ada hubungannya dengan laporannya.

"Kapan kita makan malam, Rania?", tanya Bayu jahil, masih dengan intonasi yang sama.

"Hah? Maksudnya pak? Bapak tadi apa? Ajak saya makan malam? Are you asking me out? (Apakah bapak mengajak saya kencan?)", tanya Rania panik.

"Iyah, saya mau ajak kamu makan malam. Mau kan? Kamu siap?", tanya Bayu. Rania mengangguk-angguk dengan pelan. Ia secara refleks meremas ujung gaunnya. Untung saja ia menggunakan dress yang tepat. Kita tidak pernah salah pilih dengan gaun hitam dan stocking hitam! Selalu berhasil!

"Ok, sebentar saya matikan laptop dulu ya", pinta Bayu. Rania kembali mengangguk dengan pelan sambil menatap ke segala arah, selain ke wajah sang atasan. Ini terlalu canggung. Momen ketika Bayu mematikan ini itu, merapikan ini itu, menyisakan keheningan yang mencekam di ruangan itu. Rania menjadi tersiksa. Untuk pertama kalinya ia berada di sebuah perasaan yang aneh, selama ia menginjak usia 20an. Waktu terasa begitu lama, apakah Bayu sengaja melakukan semua hal secara lamban, atau memang waktu berputar lebih lama? Entah lah. Ingin rasanya Rania berdiri dan pamit menunggu di luar saja. Ketika secara iseng Rania menatap Bayu, tepat saat itu juga Bayu sedang menatapnya, yang membuat mata mereka bertubrukan.

"Sebentar ya Rania, sedikit lagi. Ada dokumen yang harus aku simpan dulu di laptop.", tuturnya ramah sambil terus mengetik sesuatu di laptop. Aduh ini bisa selamanya, gumam Rania. Ia mengeluarkan HP miliknya untuk mengatasi kecanggungan. Ia berfikir untuk mengganggu Jasmina dan Devon. Ia mengetikkan pesan untuk Jasmina.

"Kapan pulang Jas, jangan lupa bawa bayi!", ketik Rania sambil tersenyum.

"Bayi on process. Sabar!", balas Jasmina. Rania tidak mampu menahan senyumnya. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana rupa bayi perpaduan antara Jasmina dan Devon!

"Jasmina apa kabar?", tanya Bayu tiba-tiba.

"Sedang buat bayi pak", jawab Rania refleks sambil terus mengetik sesuatu kepada Jasmina. Kemudian ia berhenti untuk merefleksikan jawabannya ke sang atasan. Apakah ia baru saja menjawab SEDANG MEMBUAT BAYI kepada Bayu? Refleks Rania menatap wajah Bayu yang sedang menahan tawa.

"Oh begitu rupanya…", jawab Bayu tersenyum jahil.

"Eh….ya ampun pak maaf. Maksud saya, Jasmina masih di Bali pak sama suaminya. Itu abang saya. Mereka masih honeymoon pak", jawab Rania sambil menepok jidatnya. Ya inilah akibat bila tidak fokus, menjawab pertanyaan sambil membalas pesan kepada orang lain.

Bayu tertawa mengekeh.

"Hahahah tidak apa-apa Rania. Yuk, kita jalan.", ajak Bayu sambil menyambar jas berwarna senada dengan celana panjangnya. Rania tercekat melihat penampilan sang atasan hari ini. Sudah beratus-ratus kali ia mendampingi sang bos, sudah sering sekali ia melihat penampilannya yang cukup klasik, tapi entah kenapa hari ini rasanya sangat berbeda. Apa hanya gara-gara ajakan makan malam? Makan malam dan perasaan ini, apakah mereka illegal? Rania ingin sekali lagi menepok jidatnya.

Mereka berjalan menuju tempat parkir. Rania beruntung karena hari ini tidak membawa mobil. Ya siapa tau saja Bayu mau sekalian mengantarkannya pulang.

Bayu membukakan pintu mobil sedannya untuk Rania, seperti seorang laki-laki sejati.

"Silahkan Ran", katanya sambil mempersilahkan Rania masuk.

"Makasih Pak Bayu", jawab Rania sopan. Ia segera duduk dan merapikan gaun dan blazernya. Ia menyesal sekali kenapa tidak mampir dulu di toilet untuk merapikan dandanannya. Sekarang akan terasa agak memaksa bila ia membuka peralatan perangnya di mobil pak Bayu. Ketika Bayu memasuki mobil dan duduk di balik kemudi, ia menatap Rania dengan datar, seakan ingin berkata atau bertanya sesuatu.

"Pak Bayu, ada masalah?", tanya Rania. Bayu seakan ingin maju mundur kea rah Rania. Gadis itu serba salah. Apa yang ingin bayu lakukan? Ini lebih canggung dari pada di kantor tadi. Mereka berdua duduk di ruangan sekecil mobil sedan ini, dan suasana sangat hening. Bahkan mesin mobil belum hidup, boro-boro suara pendingin udara atau radio!

"Itu Ran, jangan lupa seatbelt. Perlu bantuan?", tanya Bayu sambil menunjuk kea rah sabuk pengaman Rania. Gadis itu sekali lagi ingin menepok jidatnya dan juga jidat pak Bayu.

"Oh iya pak, Baik akan segera aku kenakan. Lihat!", tutur Rania setelah berhasil mengenakan seatbelt. Pak Bayu tersenyum. Ia menghidupkan mobilnya, begitu juga dengan pendingin udara dan memainkan lagu. Alunan music jazz oleh penyanyi tanah air mengalun lembut.

Rania untuk pertama kali menghela nafas lega dan tenang, dan menyamankan duduknya. Biarkan ia bernafas sebentar dan menyesapi proses kencan pertamanya dengan Pak Bayu. Namun perjalanan mereka ternyata tidak terlalu lama. Mereka berhenti di restoran bergaya Prancis yang selalu menjadi langganan perusahaan mereka. Dari makan-makan bila ada yang berulang tahun, merayakan keberhasilan proyek sampai menjamu para klien penting dan tidak penting.

"Yuk turun", ajak Bayu sambil turun dari mobil. Rania mengangguk. Ia turun perlahan dari mobil sambil berusaha mengatur nafasnya. Ia berjalan anggun mendamping sang bos. Ketika mereka berdua mencapai pintu restoran, Rania bertemu dengan dua sosok yang tidak ingin ia temui malam ini.

"Pak Bay, lama amat baru dateng. Ada meeting lagi tadi?", tanya Miko sambil merapikan kerah jasnya.

"Ah enggak, tadi ngobrolin laporan dulu sama Rania. Kita berempat aja kan malam ini?", tanya Bayu sambil tersenyum ke arah Miko dan Bagas. Bagas tersenyum ke arah Rania.

"Iya Pak Bay, nanti hasil meeting bisa aku sampein ke klien kok. Yuk manis, kita masuk dulu", kata Bagas sambil mempersilahkan Rania masuk ke dalam restoran.

Rania kembali mengatur nafasnya. Mimpi apa dia hari ini, ketika kencan pertamanya ternyata berubah menjadi rapat kerja?

avataravatar
Next chapter