1 GABY LUCIA WILSON

"Maaf ekonomi keluarga kami sedang tidak bagus. Kami tidak bisa menampungmu, Gaby."

Ucapan tante Laura masih terngiang di telinganya. Andai saat itu paman Robert ada di rumah mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Setidaknya dia dapat menginap di sana untuk malam ini.

Kaki Gaby sudah mulai lecet karena berjalan terlalu lama. Dia menyusuri jalan berkilo-kilo jauhnya sambil menarik koper. Malam sudah semakin larut, jalanan terlihat sangat sepi. Gaby sudah tidak kuat lagi berjalan. Badannya lemas dan ambruk di samping koper.

••••

Seorang pemuda dengan perawakan tinggi dan bertubuh atletis sedang berolahraga di ruangan khusus miliknya. Pemuda itu berjalan cepat di atas sebuah treadmill. Keringat mengucur membasahi wajah tampannya.

Pikirannya melayang memutar kembali memori kejadian yang dia alaminya semalam. Di perjalanan pulang seusai shooting dia mendapati seorang gadis tergeletak di pinggir jalan.

Awalnya dia tidak ingin menolong seseorang yang belum di kenalnya, bisa saja dia orang jahat. Tapi setelah menimbang-nimbang lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali memundurkan mobilnya dan berhenti di tempat gadis itu berada.

Diamatinya gadis itu dengan seksama. Dia masih berpikir sejenak di sana. Melihat sisa-sisa air mata dan luka di tumit dan kakinya, pemuda itu merasa kalau dia gadis baik-baik. Mungkin nasibnya aja yang kurang baik. Entah kejadian buruk apa yang menimpanya.

Pemuda itu memutuskan untuk membawa gadis itu ke apartemennya. Ada rasa iba di hatinya melihat seorang gadis muda dan cantik pingsan di tepi jalan.

Bel pintu berbunyi. Pemuda itu bergegas membukakan pintu.

"Selamat pagi, Tuan!"

"Pagi, Ana!"

Ana, seorang ART yang bekerja di apartemen itu di waktu pagi hingga sore hari. Dia tidak menginap di sana. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang tinggal tidak jauh dari tempatnya bekerja.

"Tuan mau sarapan apa pagi ini?"

"Sandwich sajalah," ucapnya sambil berlalu. Namun tiba - tiba pemuda itu kembali berhenti.

"Buatkan untuk dua orang. Ada seseorang yang menginap di kamar tamu. Tolong kau bangunkan dia!"

"Baik Tuan!" Seseorang? Menginap? Setahu Ana majikannya itu seorang mysophobia. Tidak semua orang bisa mendekatinya apalagi menyentuh barang-barangnya. Ah, sudahlah. Ana tidak mau ambil pusing. Dia segera menyiapkan apa yang diminta majikannya.

Di ruangan lain seorang gadis mengerjapkan matanya melihat sekeliling. Semuanya terasa asing. Dia meraba dadanya, tubuhnya dan membuka selimutnya. Huh, aman.

Gadis itu bernapas lega. Dia berpikir akan mengalami nasib buruk seperti di film-film dimana pemeran utamanya ternoda saat sadar dan berada di tempat yang asing. Gila. Pikiran macam apa itu.

Gaby bangkit dari ranjang empuk itu. "Auw!" dia meringis kesakitan saat merasakan tumit dan jari-jarinya terluka. Dirasa sudah sedikit terbiasa kemudian dia merapikan tempat tidurnya. Gaby mengambil satu stel baju dari kopernya lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Lumayan," ucap Gaby melihat kamar mandi mewah itu.

Tubuh Gaby terasa segar setelah mandi pagi itu. Hanya kakinya terasa semakin perih, apalagi dia berjalan tanpa alas kaki. Gaby juga merasa perutnya sangat lapar karena sejak kemarin siang dia belum makan.

Suara ketukan pintu membuat jantung Gaby berdebar. Pasalnya dia akan bertemu dengan seseorang yang menolongnya dan membawanya kemari. Semoga dia bukan orang jahat. Gaby terus berdoa dalam hati.

"Selamat pagi!" sapa Ana. Dia sangat terkejut melihat gadis cantik di depannya. Ini kabar yang sangat mengejutkan baginya. Setahu Ana majikannya tidak pernah dekat dengan seorang gadis. Bahkan dia sempat mengira kalau dia gay.

"Se ... selamat pagi," ucap Gaby merasa lega.

"Terima kasih sudah menolongku semalam. Namaku Gaby." Gaby mengulurkan tangannya.

"Aku Ana. Tapi sepertinya Anda salah paham Nona. Bukan saya yang menolong Anda. Saya hanya bekerja di sini dari pagi hingga sore hari," jelas Ana.

"Jika bukan kamu yang menolong saya, lalu ...." ucapan Gaby terputus saat terdengar suara seorang laki - laki memanggil nama Ana.

"Mari ikut saya, Nona!" Ana meminta Gaby ikut dengannya.

Gaby berjalan terseok-seok sambil meringis menahan nyeri. Dia berhenti saat melihat seorang pemuda tampan di hadapannya.

'Apa aku sedang bermimpi?' batin Gaby.

Dengan tingkah konyolnya Gaby menampar-nampar mukanya sendiri. Sakit. Belum puas akan hal itu dia menggigit ujung jarinya.

Ya Tuhan. Rupanya ini nyata. Dia bertemu dengan sosok idola yang selama ini dia kagumi. Josen Lee. Mungkinkah dia orang yang menyelamatkannya semalam? Berbagai pertanyaan berseliweran muncul di kepalanya.

"Hei, kamu! Apa kau akan terus berdiri di sana?" ucap Josen datar.

"Em, i ... iya." Gaby berjalan mendekat dia belum berani duduk di kursi manapun sebelum Josen mengijinkannya. Dia tahu bahwa idolanya itu seorang pengidap mysophobia.

"Duduklah. Di kursi itu. Ingat, jangan duduk di kursi selain itu setelah ini!" tegas Josen.

"Baik. Em, apakah kamu yang menolongmu semalam?"

"Bukan. Temanku yang menolongmu. Karena dia tidak punya tempat untuk menampungmu dia menitipkanmu padaku," bohong Josen. Dia tidak mau gadis di depannya merasa besar kepala jika tahu dia yang menolongnya.

"Oh ...." ada rasa kecewa di hati Gaby.

"Tolong sampaikan ucapan terima kasihku dan terima kasih untukmu juga karena sudah menampungku semalam," ucap Gaby kemudian.

"Hmm."

"Makanlah. Kalau kau tak suka kau bisa minta Ana membuatkan kesukaanmu," ucap Josen sekilas melirik Gaby.

"Aku suka apapun. Aku akan memakannya."

Mereka makan sandwich buatan Ana dan minum segelas susu. Tak ada suara di sana. Gaby terus melirik ke arah Josen, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melihat idolanya dari dekat.

"Kalau boleh tahu apa rencanamu hari ini?" tanya Josen.

"Aku ... aku belum ada rencana. Aku sedang mencari pekerjaan," ucap Gaby hati-hati.

"Apa kau tidak pulang hari ini?"

"Aku tidak punya rumah lagi," ucap Gaby sedih. Please jangan nangis Gaby. Kamu tidak boleh terlihat lemah.

"Apa?" Josen merasa heran. Ada perasaan aneh yang mendorongnya untuk bertanya lagi.

"Ceritakan padaku, apa yang terjadi padamu? Ingat, kau harus jujur! Jika aku sampai tahu kamu berbohong, kau akan tahu akibatnya."

Gaby mulai bercerita perihal kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya. Papa dan mama tirinya menjadi korban jatuhnya pesawat menuju negara X dua hari yang lalu. Rumah dan aset yang mereka punya disita dengan alasan pelunasan hutang dan menutup biaya operasional perusahaan orang tuanya. Perusahaan itu kini dipegang oleh kakak tirinya. Gaby tidak begitu mengerti urusan seperti itu karena dia baru berusia 20 tahun dan kuliah mengambil jurusan tata busana.

Josen mendengar cerita Gaby dengan seksama. Pantas penampilan gadis itu terlihat elegan dan anggun. Rupanya dia putri dari keluarga berada sebelumnya.

"Ehmm. Siapa namamu?" tanya Josen ketika Gaby selesai bercerita.

"Namaku Gaby Lucia Wilson. Putri dari Gerry dan Bianca Wilson," jelasnya.

"Jadi kau putri keluarga Wilson?" Josen terkejut mendengar Gaby menyebut nama Wilson.

****

Bersambung...

avataravatar
Next chapter