1 PACAR PSIKOPAT (1)

Maira masih terus berlari tanpa henti menyusuri setiap belokan Gang yang telah sepi dengan penerangan lampu jalan seadanya, ia tak sanggup lagi untuk berteriak apalagi tenaganya juga sudah terkuras habis bahkan air matanya saja sudah tidak mampu lagi mengalir .

Dengan sisa tenaga yang ada , ia memutuskan bersembunyi dibalik bak pembuangan sampah dengan posisi meringkuk dan mencoba untuk tetap tenang meskipun jantungnya merasa gregetan dengan ketakutan yang sulit untuk didefinisikan.

Penampilannya saat ini benar-benar amat berantakan, jika dipikir-pikir takkan ada orang yang bakal menyadari keberadaannya dibalik bak sampah karena rupanya yang sudah sangat menjijikan. Dengan luka lebam yang memenuhi sekujur tubuhnya dan rambut acak-acakan dengan pakaian yang telah bersimbah darah semakin membuat rupanya mengerikan.

"Berhentilah bersembunyi, Maira!"

Dari kejauhan terdengar suara seorang pemuda misterius yang membuat bulu kuduk Maira menjadi berdiri dan dalam sekejap rasa paniknya menjadi tak karuan.

Maira mencoba untuk tetap tenang, ia sebisa mungkin membungkam mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara sama sekali dan rasanya ia enggan untuk sekedar mengintip kearah sumber suara yang tanpa disadarinya semakin lama mulai mendekat.

"Kau takkan bisa kabur dariku!" Suara pemuda misterius itu semakin lama semakin terdengar jelas ditelinga Maira tapi tetap saja sama sekali maira tak bergeming dari sana seakan-akan ia sudah cukup yakin kalau tempat persembunyian adalah lokasi yang sangat aman.

"Ketemu juga kau sayang." ucap Pemuda itu seraya tertawa bahagia ,ia langsung menarik rambut Maira secara kasar sampai gadis itu menjerit kesakitan dan lebih kejamnya lagi ia mencengkram leher Maira lalu menyandarkannya di tembok gang.

"Kau gak seharusnya melarikan dariku lagi karena kau adalah milikku." ketus Pemuda itu, lalu ia menampar kasar wajah Maira dan mendaratkan tinjunya diperut gadis itu sampai maira tergeletak ditanah.

"Lain kali jangan buat ulah ya sayang atau aku bakal diluar kendali!" ancam Pemuda itu yang seakan-akan telah menganggap Maira hanyalah gadis lemah kepunyaannya saja , tanpa ia sadari Maira yang sejak awal telah menyimpan pecahan botol kaca yang diperolehnya dari bak sampah langsung menggores wajah Pemuda itu dan menendang Pemuda itu sekuat-kuatnya. Dan dengan cepat ia berusaha berlari kembali kearah yang berlawanan tanpa sekalipun mendongak kearah belakang.

Maira terus-menerus berlari, kali ini ia tak sempat lagi mengeluh soal rasa letihnya selain berusaha menyelamatkan diri dari kejaran sang Pemuda , Beruntungnya nasib baik masih berpihak pada Maira ketika ia bertemu dengan seorang gadis SMA seusianya yang sedang berjalan pulang sembari menelepon seseorang.

Tanpa pikir panjang Maira mendekati gadis itu dan memohon-mohon padanya saat itu juga yang membuat sang gadis bingung dan merasa iba sampai ia mengacuhkan seseorang yang sedang berbicara di panggilan telepon miliknya.

"Hubungi polisi, suruh datang kesini sekarang! Aku mohon."

Gadis itu cukup lama menatap bingung kearah Maria, sampai akhirnya ia mulai memahami ketakutan Maria dan teringat pada Ayahnya yang saat ini kebetulan saja sedang dihubunginya.

"Ada gadis yang terluka disini, Ayah bisa datang kesini sekarang dan bawa beberapa rekan ayah sepertinya ada orang jahat yang melukainya." pinta gadis itu dari telepon , setelah ia menerima respon positif dari ayahnya langsung saja gadis itu mengakhiri panggilan tersebut lalu mengantongi handphonenya dan tetap membiarkan GPS nya menyala .

"Ayo kita pergi dari sini! Dia akan datang." ajak maira, tetapi belum sempat mereka benar-benar bisa kabur dari sana mendadak terdengar suara langkah kaki dari ujung sana yang kini langkah itu mulai berlari kearah mereka.

"Harusnya kau gak perlu ikut campur!!!" bentak Pemuda itu lagi seraya menghantamkan pisaunya ke perut sang Gadis, anehnya ia seperti tak berniat mengincar Maira sama sekali dan malah melampiaskan emosinya pada orang asing.

Secara brutal ia menusuk-nusuk gadis itu dan meninju wajah gadis itu dengan tangannya sampai babak belur, maira yang sepertinya sudah sangat mengenal pemuda itu langsung menarik sang pemuda agar menjauhi sang gadis yang kini sudah terkapar lemas diaspal gang.

"Hentikan, aku mohon...." lirihnya yang sudah tak kuat lagi melihat orang lain menjadi tumbal kekesalan kekasihnya itu.

"Sudah kubilang sama mu jangan cari masalah, atau orang lain jadi tumbalnya!" ancam Pemuda itu seraya membelai wajah Maira.

"Tapi maaf, aku harus menuntaskannya dulu baru kita bisa pulang." tukasnya yang sudah membulatkan tekad, ia seperti seorang psikopat yang tengah sibuk menyantap mangsanya Sehingga tak ada siapapun yang berhak menghentikannya saat ini.

Dan tanpa rasa bersalah sedikitpun, ia mengambil pisau yang jauh lebih tajam dari ranselnya dan bersiap memulai start untuk menusukkan pisau itu kepada sang gadis . Namun semua itu tak kesampaian begitu Maira memeluk erat Pacarnya itu dari depan sampai membuat pisau tersebut malah menusuk perutnya.

Kini darah segar mulai membanjiri sarung tangan sang pemuda yang membuat ia langsung histeris tak terima dan memeluk erat Maira, ia merobek lengan bajunya dan membuat balutan donat diluka tusuk tersebut dilapisi kembali dengan balutan tebal agar darahnya tak banyak keluar.

"Tekan lukamu sekarang!" Perintahnya yang sudah tak karuan, ia benar-benar sangat takut kehilangan maira dan secara paksa ia meletakkan kedua tangan maira di posisi luka untuk menekan perdarahannya sendiri .

"Kau harus hidup, aku mohon!" ucap Pemuda itu sembari menidurkan maira diaspal dengan hati-hati, lalu secara membabi-buta ia memukul wajah gadis itu secara berulang-ulang seraya mencekik lehernya sampai gadis itu mengembuskan nafas terakhirnya.

Maira yang melihat pemandangan itu cuman bisa menangis saja, ia juga tak mempunyai kemampuan untuk menolong sang gadis ditambah lagi ia harus menuruti kemauan sang pacar untuk tetap menekan perdarahan pada luka tusuknya dibagian perut.

"Ah, buat kesal saja. Lebih baik kita pulang sekarang!" ajak sang pemuda yang berniat menggendong maira , tapi lagi-lagi nasib baik masih berpihak pada Maira sebab disaat yang bersamaan terdengar bunyi suara sirine mobil polisi mendekati area yang membuat sang pemuda buru-buru menyimpan kembali benda tajamnya keransel dan mencium kening Maira sebelum beranjak melarikan diri sendirian.

"Aku akan menjemputmu nanti." bisiknya ditelinga maira sebelum akhirnya maira melihat kerumunan polisi menghampirinya dengan Kilauan penerang yang menyilaukan mata ditambah lagi sebelum akhirnya ia pingsan sempat terdengar jelas ditelinganya suara isak tangis dari seorang polisi kepada jasad sang gadis yang tadi berniat menolongnya.

****

Saat membuka kedua matanya, Maira terkejut mengetahui dirinya sudah berada dirumah sakit dengan beberapa perban yang membalutinya dan rasa nyeri dari arena perutnya.

Saat ini ia tak bisa menanggapi hal apapun selain memberikan respon linglung, ia sendiri juga tak bisa percaya kalau dirinya bisa selamat dari kejadian malam itu dan entah kenapa kalau boleh jujur ia sedikit merasa tenang bisa terbebas dari jeratan sang pacar.

Namun perasaan lega itu hanya bisa bertahan sejenak, sebab tak beberapa lama setelah usai diperiksa oleh Pak Dokter mendadak ia didatangi oleh seorang wanita paruh baya yang berlari kearahnya sambil menangis histeris menarik-narik tangan Maira.

Sontak saja maira tampak terkejut dan tak bisa berkata apapun selain mendengarkan semua keluhan Wanita itu.

"Kembali anakku! Kau telah membuatnya meninggal!!! Kembalikan Nadia sekarang!!!!" bentaknya berulangkali yang diiringi oleh isak tangis.

"Aku..." ucap Maira yang terasa sangat berat untuk mengeluarkan kata-kata saat itu, jauh didalam lubuk hatinya ia merasa sangat menyesal atas kematian gadis baik itu yang ternyata bernama Nadia. Ya, setidaknya kini ia bisa mengetahui nama gadis tersebut yang telah membantunya melarikan diri dari kejaran sang pacar.

"Kenapa kau diam saja? Apa kau enggak merasa bersalah telah membuat anakku terbunuh?" bentak Wanita paruh baya itu lagi yang bisa saja akan mendorong Maira jatuh dari ranjangnya bila tidak segera ditahan oleh seorang polisi yang tampak tak asing bagi Maira.

"Kau baik-baik saja, Maira?" tanya seorang wanita yang juga menggunakan seragam detektif, sepertinya usia wanita itu jauh lebih muda dari polisi laki-laki itu.

"Kau bisa mendengarkanku, kan?" tanya Polisi wanita itu lagi, Maira hanya mengangguk saja meskipun sorot matanya masih belum sadar sepenuhnya akibat efek obat bius seusai operasi beberapa hari yang lalu.

"Itu tadi ibunya Nadia, gadis yang menjadi korban saat kejadian malam itu ." beritahu Sang polisi wanita.

"Lalu Polisi tua itu adalah seniorku, atau bisa dikatakan sebagai Ayahnya Nadia sekaligus detektif yang juga menangani kasus ini bersamaku." timbal Polisi wanita itu lagi, Maira menatap serius kearah sang Polisi yang mungkin lebih dikenal sebagai Detektif.

"Dan kau bisa memanggilku sebagai Detektif Raisa." ia tersenyum Ramah pada Maira.

"Jadi apa aku boleh menanyakan sesuatu padamu?" tanya Detektif wanita yang kini bisa ketahui namanya adalah detektif Raisa.

Maira hanya mengangguk saja, tubuhnya masih terlalu lemas untuk duduk sehingga ia memilih tetap berbaring .

"Ibu mau nanyak apa?" tanya Maira dengan suara gemetarnya, sepertinya ia belum memiliki cukup kekuatan penuh untuk menanggapi semua pertanyaan yang diajukan Raisa Sehingga Raisa memutuskan untuk mengurungkan niatnya tersebut karena ia tak ingin Maira malah semakin down bila dipaksa mengingat kejadian yang cukup mengerikan untuk anak remaja seusianya.

"Saya pikir mungkin lain kali saja kita berbincang ya dan mungkin hari ini kamu bisa istirahat saja dulu." ucap Raisa yang ingin beranjak pergi , tetapi tangannya keburu ditahan oleh Maira.

"Namanya Ridho, tapi terkadang dia juga bukan Ridho." ucap Maira setengah berbisik , lalu ia melepaskan tangannya dari Raisa.

"Dia akan kembali lagi untuk menangkapku, aku mohon lindungi aku...." lirih Maira yang memperlihatkan sorotan mata memohon kepada Raisa.

"Kami akan menjagamu kok, kamu tenang aja ya."  

Raisa mencoba tetap menenangkan Maira yang terlihat gemetaran, ia bisa merasakan rasa takut dari gadis remaja yang terpaut usia sepuluh tahun darinya itu.

"Ini kalung dari Ridho yang aku kenal, teka-tekinya ada disini." ucap Maira yang langsung menyerahkan kalung berbentuk kunci yang tadi dikenakannya kepada Raisa, lalu ia kembali membaringkan dirinya membelakangi Raisa seakan-akan ingin memberitahu Raisa kalau ia mau istirahat sekarang.

Jelas saja Raisa menjadi kebingungan dengan beberapa informasi yang diberikan Maira, ia sebenarnya ingin bertanya lebih jauh tetapi  tak mungkin juga ia memaksa Maira untuk menceritakan segalanya dikondisi seperti ini.

Makanya ia memutuskan untuk segera beranjak dari saja dan mencaritahu tentang kalung itu lebih lanjut sesuai dengan instruksi Maira.

Dan kini Maira kembali merasa sunyi didalam keheningan ruangan ketika Raisa pergi meninggalkannya, ia kembali merubah posisinya menjadi terlentang dan menatap keatas langit-langit kamar.

Dan dalam kesendiriannya ia menangis pelan , melihat kembali jemarinya yang memiliki beberapa luka memar yang diperbuat oleh Ridho .

Gadis itu terlalu takut untuk memejamkan mata sebab ia masih bia jelas mengingat bayangan tentang Ridho diingatannya.

"Ridho...bukan Ridho...Ridho... bukan Ridho...," bisiknya berulangkali dalam kesendirian seakan-akan ia cukup jauh mengenal Ridho.

avataravatar
Next chapter