12 Semok

Tersulut marah secepat sumbu lilin yang terbakar api, begitu pun cara kembali Arka yang hanya sekejap. Lihatlah bagaimana dirinya yang sudah bergelayut manja di lengan Brian, menumpukan segala beban langkahnya pada sang kawan. Ya, Arka hanya bisa seperti itu pada Brian.

Mulutnya yang cakap mengumpat, bicara kasar tanpa pikir panjang, namun sangat berlawanan jika Arka sedang ingin berkeluh kesah. Ingin di bujuk dengan hiburan, atau bahkan perhatian sekecil apa pun. Tatapan matanya bahkan bisa sememelas anjing kelaparan, begitu berkilau dengan kedipan kelopaknya yang lebih cepat. Bibir bawahnya yang dicebikkan, kepala mendongak dengan telapak tangan tertakup memohon pengertian.

Untuk satu dua detik, langkah mereka yang terhenti hanya terdiam. Brian masih menerka, walau tahu Arka tengah menginginkan sesuatu.

Dingg

Waktu berpikir yang terlalu singkat sudah habis, dan raut wajah langka Arka sudah lenyap. Meski harapannya masih ingin terkabul, Arka menghentakkan kakinya seperti bocah merengek.

"Bri.... Haus banget..."

Oh! Hanya itu? Pikir Brian. Lantas melengos sembari memutar bola mata. Merangkul bahu Arka dan menggiring kawannya itu kembali berjalan lebih cepat, sebelum jarak mereka dengan anggota regu lain tertinggal jauh.

"Ambil di tas Reza, tuh!" Tunjuk Brian pada salah satu anggota yang kebetulan mendapat bagian membawa botol air mineral.

"Ishhh.... Tapi itu bekas mulutnya mereka, bri..." Gidik Arka merasa jijik, ia tak biasa berbagi minuman bersama seperti itu, bau jigong.

"Ya, terus? Lo mau gue tampungin air kali buat lo sruput?" Brian memberikan penawaran lebih buruk.

"Temenin gue minta ke panitia," rengek Arka, sembari genggamannya yang menggoyang-goyangkan lengan Brian.

"Alesan lo ketebak banget, mau coba ngedeketin abang gue, kan?"

"Hah?"

"Noh!" Tunjuk Brian, kali ini bukan pada objek yang bisa membuat Arka lekas berpaling karena tak berminat, malah membuat raut wajahnya terkesiap, terlalu terpesona.

Setengah hari yang begitu melelahkan, seketika saja lenyap. Seperti mendapatkan pasokan energi berlebih, Arka begitu bersemangat, hanya karena melihat raut wajah datar saat merespon orang lain. Nino di sana, menjadi penyambut di rintangan terakhir.

"Tapi sayangnya, lo udah keduluan."

"Bri, kalo gue berbaris di belakang tuh cewek-cewek pantat tepos, kira-kira malu-maluin, nggak?" Celetuk Arka yang jelas saja merasa cemburu. Nino, apakah mungkin kakak Brian itu terlihat seperti butiran gula kristal yang sangat manis hingga dikerumuni semut tanpa menunggu waktu lama?

Hampir saja langkah Arka berlari beranjak dan memecah gerombolan, kalau saja Brian tak lebih dulu menahan pergelangannya dan lagi-lagi mengingatkan,

"Ya... Palingan lo di cap uke binal, gitu aja sih...!"

Mereka berbaris, menunggu regu lain menyelesaikan misi. Sementara Arka masih saja sibuk menoleh ke belakang, tempat di mana Nino berada.

"Ekhem!"

Namun sebuah deheman suara yang tak asing mengusiknya, sementara Brian yang masih merangkul Arka pun makin mencengkram erat. Perang dunia ke dua.

"Hahaha... Kayaknya peserta lainnya nggak se cemong lo, deh!"

"Bukan urusan lo, bacot banget!" Melisa berucap ketus, memancing Arka bersungut. Yang seperti inilah yang membuat Brian was-was, tak mungkin membiarkan keduanya baku hantam di tengah keramaian, kan?

Sampai detik ini, Brian masih berusaha meyakini jika Arka dan Melisa memang saudara kandung, sebatas hubungan yang tak harmonis, yang terkadang saling ejek, kan? Meski intens bertolak belakang keduanya jauh lebih besar.

Saat Arka yang berniat melangkah pergi, namun Melisa malah bergeser menutup jalan.

"Mau lo tuh apaan, sih?! Buru minggat, nggak!"

"Eitss, Ar! Rame orang nih!" Brian menangkap lengan Arka yang hendak menyentak bahu milik Melisa. Yang pastinya Arka yang memberontak meminta di lepaskan tak akan main-main untuk beradu dengan sang kakak.

Keributan mereka yang berlangsung beberapa waktu lalu, rupanya sudah sanggup menyita perhatian pengunjung lain di area air terjun.

"Jangan lupa, sekalian basuh tuh wajah."

"Dah tau, lo nggak usah sok perhatian." Ketus Arka, yang membuat Melisa berdecih, Brian tepuk jidat.

"Yee... Siapa yang perhatian sama lo? Orang gue cuman mau lihat muke lo habis lepas masker lumpur. Makin ganteng, atau malah lebih parah kayak nyemot!" Tunjuk Melisa, pada seekor monyet yang kebetulan berlayut di pepohonan dekat mereka.

"Uu- aa! Wekk!" Lebih-lebih Melisa yang sampai memperagakan gerakan monyet garuk-garuk pantat dengan mulut di tongoskan.

Jelas-jelas Melisa mendiskriminasi hewan, lebih-lebih menyamakan manusia bentuk tersempurna ciptaan Tuhan. Sungguh, Arka ingin sekali menjapit bibir Melisa, namun sayang saja kakak jahanamnya itu lebih dulu berlindung ke kerumunan panitia lainnya. Dasar pengecut!

"Ehhh...  Bangsat emang!" Arka hanya bisa mengumpat saat Melisa menjulurkan lidah dan menggoyangkan pantat di posisi jauh, di tabok nanti nangis! Dan Arka juga yang salah, sialan!

"Bri, napa gue punya saudara kayak gitu, sih?! Tuker di pasar malem bisa nggak, ya?"

"Kalo bisa, udah dari dulu gue mau tuker bang Nino yang kelewat sempurna itu, Ar..." Melas Brian yang baru menyadari jika keluhannya dengan Arka sama, saudara yang menyebalkan. Lihatlah bagaimana Nino dan Melisa yang kompak menyita perhatian dengan paras sempurna mereka.

"Cari batu akik, harus dapat untuk menyelesaikan misi kali ini."

Dasar tak waras! Setelah seragam hampir kering, para peserta di celup kan lagi ke hilir air sungai. Di perintahkan untuk menyisir ke dalam air jernih, di tuntut teliti, namun tanpa pengetahuan rupa dari benda yang di maksudkan.

Arka benar-benar sudah pegal, posisi membungkuk dengan konsentrasi penuh membuatnya muak.

"Nih!" Asal-asalan Arka menyabet sebuah batu terkecil, diberikannya pada Melisa yang ongkang-ongkang kaki di atas sebuah jembatan kecil.

"Paan, nih! Lo nggak ngerti perintah, ya? Suruh nyari baru akik, bukan batu gosok!"

Untung saja mereka di tengah keramaian, dengan banyak pengunjung air terjun yang tengah menikmati acara penindasan. Arka yang hanya tersisa sedikit kesabaran, bisa saja melayangkan batu kecil di tangannya, merontokkan deretan gigi putih milik Melisa yang terlihat begitu sumringah saat mendapatinya menahan emosi.

"Kak-kak, kalo punya saya, kak?"

"Bener nih! Naik, deh! Nikmati pemandangan air terjun dari deket, sono!"

Bangsat memang! Salah seorang siswa dari anggota regunya maju, dan menyodorkan batu dengan permukaan yang begitu kasar dan berukuran sangat besar, yang membawa bahkan sampai kepayahan. Dan itu benar?

"Sialan! Kayaknya dia cuman mau ngerjain gue, deh!" Sungut Arka yang masih tetap bertumbuk tatapan tajam dengan Melisa.

"Dah tenang aja, gue bantu lo sampek nemu."

Ya, bahkan Brian yang harusnya sudah naik ke atas sejak tadi, memilih untuk menemani Arka yang menjadi satu-satunya yang tersisa. Regu lain yang jalannya paling akhir bahkan sudah di loloskan terlebih dahulu. Melisa sangat keterlaluan, dan Arka jelas tak sudi untuk menurunkan sedikit pun egonya.

"Eh, Nino?"

"Hai, Mel."

Arka yang sudah terlalu sensitif dengan nama yang di sebutkan, sementara suara berat dan namun begitu sopan memasuki telinganya. Otomatis Arka mengangkat pandang, wajahnya lantas tersipu walau singkat obsidian milik Nino bertemu dengannya.

"Masih belum juga, Bri?"

"Udah bang, tapi temen gue, nih!"

"Dah lah, naik aja. Wajah Arka dah pucet, tuh!"

Demi apa pun! Nino mengingat nama Arka? Namanya yang begitu sederhana namun dengan penuh doa di sematkan orangtuanya itu akhirnya terucap di bibir Nino? Mimpi apa ia semalam? Walau pun sedikit perhatian karena belas, rasanya sudah mampu membuat Arka melayang-layang di udara.

Mengabaikan keindahan air terjun yang menjadi objek berebut untuk swafoto. Semua orang sangat bersemangat untuk melepas penat dengan cuci mata, sementara Arka hanya asik terlamun, duduk setengah berjongkok dan bertopang dagu. Merasakan angin sepoi-sepoi bercampur tetesan-tetesan air alam yang ikut terbawa, menghujaminya. Rasanya begitu damai, terlebih dengan kedua bola matanya yang mendapatkan objek terindah. Oh... Nino...

"Ar, mau cilok nggak?" Tawar Yuda menyodorkan satu bungkusan miliknya. Tanpa lidi untuk menusuk butiran kecil yang kenyal dengan bumbu kacang itu, melainkan Yuda yang lebih memilih menali ujung plastik terbuka, dan melubangi satu sudut kecil di bawahnya dengan begitu saja dikenyot.

Zaki yang baru datang dengan jajanan serupa, namun bedanya jauh lebih rapi dan elegan, makan cilok dengan semestinya. Mengerutkan dahi, lantas bertanya pada Brian yang hanya duduk diam menemani Arka yang terlamun.

"Biarin aja. Tuh anak sawan cuman karena abang gue yang inget namanya."

"Oh..." Zaki dan Yuda pun kompak mengerti. Pastinya memang tergila-gila karena cinta membuat seseorang tak waras.

Setelah langit cerah beransur memerah, hanya ada satu potret yang mengabadikan persahabatan mereka berempat, panitia terlalu cepat memerintahkan gerombolan yang di asuhnya untuk kembali ke kandang.

"Eh, nanti jangan lupa minta foto kita berempat tadi ke panitia, ya. Lumayan buat ngeramein kamar, gue cetak ukuran satu meter, dah!" Celetuk Arka yang suasana hatinya sedang sangat girang.

"Yee... Awas aja kalau bohong!" Zaki memperingati, sementara Arka mengangguk yakin.

Beda hanya dengan aturan jalan keberangkatan mereka, saat ini mereka bersama-sama santai bersama untuk kembali ke tenda.

"Ar, di belakang celana lo ada permen karetnya, tuh!" Fahmi- ketua regu dari Arka dan Brian yang kebetulan ada di belakang keduanya menemukan hal itu.

Arka dan Brian kompak menoleh, sementara Yuda dan Zaki yang asik mengobrol sudah jalan lebih dulu.

"Eh, mana-mana?" Arka bergidik jijik, pasalnya permen karet itu pasti bebas kunyahan orang, yang pastinya lagi-lagi bau jigong.

Arka yang sudah melenting ke belakang, tak bisa menemukan benda lengket yang di maksudkan. "Bri, bantuin!"

Sebenarnya tanpa di minta, Brian sudah membantu. Memetik daun yang berukuran sedikit lebar, menjapit benda lengket yang menempel di celana Arka. "Dih, ninggalin bekas, Ar.." beritahu Brian setelah gumpalan kecil itu berhasil di hilangkan, namun tidak dengan bekasnya yang sudah mengerat.

"Yahh... Nanti di marahin mama, kalau gini caranya, bri..."

Ok, Brian sudah bisa menerka kalimat penuh kekhawatiran dari mama Arka. "Jangan sedikit pun ada baret di tubuh kamu, nak... Jaga diri baik-baik. Kalau malam, jangan lupa pakai selimutnya, pastikan sudah memakan lotion anti gigitan nyamuk supaya tidak bentol merah. Dan lagi, mama tak suka kalau Arka tak rapi."

Ya, yang terakhir jelas tak masuk akal. Mereka tengah di tempa fisik, usaha keras, emosi yang di permainkan, dan mama Arka yang masih mementingkan tampilan rapi anaknya?

Tanpa menolak, kali ini Brian berusaha menghilangkan serat permen karet itu dengan kuku panjangnya. Mengerat-erat di sisi pantat kiri milik Arka, yang konyolnya malah bilah empuk itu yang ikut memantul, sesaat Brian salah fokus.

"Ngomong-ngomong, pantat lo empuk juga ya, Ar. Semok."

Plakk

Dengan isengnya, Brian malah menepuk pantat Arka.

"Bri..."

"Boleh gue tanya sesuatu?"

"Asal lo tahu kosekuensinya, aja."

"Jadi persiapan fisik lo buat tawuran itu, senam skj, ya?"

Plakkk

Ya, Brian memang cari masalah. Lagi-lagi mendiskriminasinya, karena Arka jelas tak menangkap adanya nada pujian.

Sementara kawan-kawan satu regu mereka yang penasaran ikut diam mengawasi. Dan seperti yang bisa di duga, kali ini Brian berani menggoda sensual Arka dengan terang-terangan. Hampir saja mereka pingsan berjamaah. Apa-apaan?!

avataravatar
Next chapter