8 Cukup tau

Waktu berjalan begitu cepat, mengubah langit biru langit menjadi hitam kelam. Terang cahaya bulan yang sangat benderang, masih terlalu kalah untuk membunuh gelap. Rapatnya tumbuh pepohonan besar yang mengelilingi, seakan tak mampu menyibak area kosong yang kali ini menjadi tempat bermalam sementara waktu.

Angin bertiup lebih kencang, menggetarkan tubuh yang hanya berbenteng kain berbentuk melengkung dengan tiang penyangga yang menjadi kerangka. Sunyi makin terasa, saat bunyi serangga bersahutan, terlebih dengan gabungan suara gemerisik dedaunan yang bergesekan.

Setelah sepanjang hari di tempa dengan permainan outbound. Tubuh letih serta kulit yang sedikit gatal karena lumpur yang mengering. Merangkak, berlari, serta dicurangi dengan final yang di guyur air walau sebagian dari mereka dapat melalui rintangan yang terbatas tali. Kesimpulannya bukan hal menarik untuk bisa di kenang.

Tali tampar yang di hubungkan di antara dua pohon, menjadi tempat berjemur seragam mereka yang basah kuyup dan kotor. Berjajar, tepat di belakang barisan tenda yang di bangun, layaknya batas akhir kuasa yang dapat di jamah.

Semua siswa baru yang begitu penat, jelas langsung jatuh dalam mimpi. Dalam posisi sempit dari rata-rata penghuni tenda di isi 10 sampai 12 orang, seakan tak jadi masalah malah di anggap menguntungkan karena sekalian bisa saling menghangatkan suhu tubuh yang hampir membeku.

Namun tidak untuk seseorang yang masih sibuk menggulingkan tubuh mencari posisi nyaman. Di posisinya yang paling ujung, membuatnya mendapatkan celah angin malam yang begitu dingin. Posisi kain tenda yang makin nenurun, beberapa kali menyentuh kulitnya dengan rasa basah yang membekukan dari embun yang mulai menebal.

Sementara tak merasa terbiasa dengan keriuhan tidur bersama, terlebih dengan suara mendengkur dari beberapa orang yang membuatnya merasa terganggu.

Mengerang kesal, lengannya yang terus di gosok, kupingnya yang di sumpal, seperti tak mampu menjadi solusinya untuk terlelap.

Arka pun memposisikan tubuhnya miring, menghadap Brian yang mengusap bawah dagunya yang terdapat bekas memerah. Ya, itu karena ulahnya.

Sedikit pun tak merasa bersalah, Arka bahkan menggoyang-goyangkan tubuh milik kawannya yang telah memejamkan mata, berusaha terlelap sama sepertinya. "Bri... Gue nggak bisa tiduran, nih!" rengek Arka dengan mendekatkan bibirnya tepat di depan pendengaran Brian.

"Mata lo pejemin, aja! Nanti juga tidur sendiri," balas Brian yang jelas merasa terganggu. Raut wajahnya berkerut, bahkan posisi tubuhnya di ubah untuk membelakangi Arka.

"Tapi gue bener-bener nggak bisa tidur..." Tekan Arka yang merasa kesal saat Brian nampak tak mempedulikannya.

Sementara pria yang merindukan rasa nikotin itu pun mengerang, saat tiba-tiba saja Arka mempunyai kekuatan untuk membalikkan posisi tubuhnya untuk bisa berhadapan kembali. 

"Ya, elah! Trus gue harus apa biar lo tidur, eh? Nina bobo in lo sambil pukul pantat?" sungut Brian, yang konyolnya malah di anggap serius oleh Arka yang berubah sumringah.

"Boleh juga, sih. Lakuin, bri! Nggak papa deh, gue anggap lo ngegantiin tugas mama buat hari ini."

Apa yang Arka katakan? Menggantikan tugas mama Arka untuk menina bobo kan kawannya itu? Benar-benar, berarti yang di katakan Mika- adik Arka itu benar, jika predikat anak bungsunya tergeser oleh sang kakak yang jauh lebih manja karena seringnya menyusup ke kamar kedua orang tuanya.

Demi apa pun, apakah Arka orang sama yang sering di ajaknya kelayapan malam menonton pertandingan balap liar? Juga orang sama yang seringkali memancing musuh untuk berdatangan karena ketengilannya?

"Bangsat! Emang nih, anak."

Namun meski pun begitu, Brian seperti tak ada pilihan lain jika masih mengharapkan esok harinya sedikit lebih bisa berjalan dengan baik tanpa perlakukan Arka yang bisa saja lebih seenaknya.

Menuruti lengan Arka yang menggiringnya sampai ke atas pantat kawannya itu, lantas mengusap permukaannya perlahan sembari menepuk pelan gumpalan daging itu.

Arka yang makin menyusupkan wajahnya ke dada bidang milik Brian, lantas keduanya yang beransur menghangat dengan perlahan bujukan kantuk mulai menggiurkan.

Dalam posisi tidur berpelukan yang terkesan begitu mesra. Kaki yang saling membelit sontak saja membuat posisi Arka dan Brian semakin tak bisa terlepaskan. Sepanjang malam, sama-sama terlelap pulas dan terlihat saling menyamankan.

Jangan tanyakan mimik wajah penghuni tenda yang sama. Dengan pandangan yang sedikit memburam saat satu per satu dari mereka mulai membuka mata keesokan harinya. Terkejut dengan kemesraan kedua pria itu sudah pasti. Bahkan wajah mereka kompak memerah, situasi bertambah makin canggung untuk mereka yang menjadi penonton. Tanpa menunggu waktu lama, mereka yang satu tenda dengan Arka dan Brian pun berebut keluar lebih dulu. Sampai membuat kegaduhan karena tenda yang hampir saja roboh, nyawa mereka yang belum sepenuhnya terkumpul menjadi penyebab sempoyongan.

"Gila! Selengket-lengketnya gue sama karib gue, masih nggak bakalan sudi buat kelonan kayak gitu," gidik seorang pria yang seperti mendapatkan kesialan hanya karena posisi tidurnya yang berada di dekat Brian. Tubuhnya berjingkrak, sementara telapak tangannya yang mengibaskan satu sisi lengannya yang tak sengaja bersentuhan dengan milik Arka yang memeluk Brian.

Seorang remaja dengan rambut cepak nya pun menimpali. "Gue apa lagi, jelas nggak sudi di cap homo."

Sementara ke sepuluh pria yang berkerumun tepat di belakang tenda itu membuat formasi melingkar dengan duduk berjongkok. Masih tak berkutik walau matahari mulai benderang. Semua peserta bahkan nampak berlarian dengan handuk dan perlengkapan mandi, berebut antre ke toilet yang hanya terdapat beberapa.

"Kalian pasti nggak nyangka tentang apa gue denger kemarin malam."

"Apaan, woy! Cerita-cerita!" desak yang lain pada sang ketua regu yang nampak jelas masih terlihat di pertengahan khayalannya.

"Mereka berdua semalem emang kelonan. Bahkan yang paling parahnya, si Brian ngelus-elus pantatnya Arka." Yang lain pun lantas kepok jidat.

"Waduh! Jadi berabe urusannya, nih! Gimana kalo mereka sampe macem-macem di depan kita-kita?"

"Tau deh, angkat tangan!" pasrah menyerah. Karena memang tak bisa memperkirakan kalau sampai bisa sejauh dari yang mereka saksikan sesaat tadi.

Sementara Yuda dan Zaki yang sudah bersiap dengan wajah segar pun berniat menghampiri Arka dan juga Brian. Melewati murid seregu dengan kedua kawan mereka yang nampak berwajah tegang.

Yuda dan Zaki pun kompak mengernyitkan dahi, pandangan keduanya yang kompak mengikuti arah kepergian dari segerombolan itu. "Zak, kira-kira apa yang di lakuin Arka sama Brian, ya?" tanya Yuda. Ya, keduanya sudah terlalu hapal dengan tingkah konyol Arka dan Brian yang seringkali membuat orang lain salah paham.

Zaki yang di tanya pun hanya menggidikkan bahu. Meski pun setelahnya, tebakan remaja yang paling terkesan dewasa itu di benarkan saat mendapati pertunjukan di dalam tenda yang terbuka itu.

"Yakin, sih... Mereka pasti nganggep kedekatan Arka dan Brian udah nggak wajar," imbuh Yuda yang sudah lelah untuk memberikan peringatan dari dulu. Sementara Zaki yang nampak sedikit pun tak mempersalahkan, lantas berniat membangunkan dua manusia yang masih tak sadar perilaku menggemparkan yang mereka buat.

"Woy! Bangun, woy! Dah pagi, nih!" teriak Zaki sembari menarik jempol kaki milik Brian yang mencuat keluar dari balik selimut. Namun rupanya masih tak sanggup untuk bisa mengusik keduanya dari alam mimpi.

"Ye... Mana asik pelukan, lagi!" imbuh Yuda yang sampai menepuk-nepuk pantat keduanya. "Bri! Ar!"

Yuda dan Zaki yang tak menyerah untuk mengusik tidur Brian dan Arka yang layaknya kerbau. Benar saja jika usaha keduanya membuahkan hasil.

Brian yang lebih dulu menggeliat, menjatuhkan kepala Arka yang sebelumnya masih bertumpu di dada pria itu.

"Aduh! Eeunggh..." pekik Arka yang kemudian merengek kesal. Tidur nyenyaknya terusik, sementara saat nyawanya belum terkumpul benar, lehernya malah seperti terjepit dengan tempurung kepala yang membentur permukaan tanah.

"Eunghh! Paan, sih!? Ganggu orang tidur aja."

Tak jadi meninju wajah Brian, saat Arka mendapati Yuda dan Zaki yang menyusup ke dalam tenda regunya.

"Woi, kalian berdua, bisa tolong tutup tendanya, nggak? Silau, nih!" pinta Arka dengan suara paraunya. Bahkan seperti hilang ingatan tentang di mana mereka berada, Arka malah kembali membuntal tubuhnya dengan selimut, dan lekas menyusup ke dalam dekapan Brian kembali. Kalau saja Zaki tak menarik lepas kenyamanannya.

"Ye... Jangan kira lo berdua ada di penginapan nyaman dan bisa leha-leha, ya!" sentak Zaki, kembali pada sikap tegasnya saat berhadapan dengan Arka dan Brian yang sangat sulit di atur.

"Cepet bangun, atau kalian pasrah aja dapat hukuman karena telat berbaris."

Prit Prit Prit Prittt

Terlambat karena saat Arka dan Brian masih di kamar mandi, peluit pendek yang di bunyikan beberapa kali sudah di perdengarkan.

Meninggalkan baju ganti dengan peralatan mandi begitu saja, Arka dan Brian yang menyabet seragam mereka di gantungan tali yang jelas masih setengah basah, lantas berlari pontang-panting ke dalam barisan.

Meski sialnya, keduanya terlebih dahulu di ciduk oleh panitia yang sepertinya menaruh kesal karena sikap tak hormat Arka. Ya, yang pastinya turut menarik Brian untuk mempertanggung jawabkan.

"Lo, sih! Jalan kaki kelamaan, mana mandinya lama banget kayak bintang iklan sabun," bisik Brian sembari menyaduk sikunya ke dada Arka. "Kita jadi di hukum, kan!" lantas menyalahkan.

"Ya elah, bri... Orang hukumannya sama aja, kok! Mereka juga pada baris berdiri, kan?" balas Arka sembari mengikuti arahan membentangkan kedua lengannya.

Jangan tanyakan sebab wajah Arka yang memerah meski pun baru terpapar cahaya matahari pagi sejenak. Nino- kakak Brian yang menjadi pemandangan segar, berdiri di hadapan Arka tetap dengan gaya jantannya.

"Ya, tapi malu-maluin banget kalo harus baris di depan dan jadi contoh gerakan senam. Anjir!"

"Huahaa...!"

Semua orang menertawai. Bagaimana tidak, Arka yang terlalu bersemangat untuk menyita perhatian Nino, sejalan pula dengan gerak tubuh mengikuti irama musik dengan menghentak-hentak.

Brian yang berdiri hanya dengan Arka di barisan terdepan, hanya bisa menyembunyikan wajahnya dengan rasa malu yang menularinya.

Brian benar-benar tak menyangka jika Arka yang terlalu aktif itu menghafal setiap gerakan senam. Instruktur dari seorang wanita yang merupakan panitia seperti tak ada gunanya. Semua orang sibuk bersorak dengan kelincahan serta gemulainya Arka yang di pertontonkan.

Memang bakat yang tak memalukan, hanya saja sosok Arka yang membuatnya menjadi konyol. Perlukah Brian mempertimbangkan persahabatannya dengan Arka yang sedikit pun tak menguntungkan?

avataravatar
Next chapter