1 1 ~ MASALAH KELUARGA JEON

"Jaemin, kemarilah sebentar! Ayah ingin bicara denganmu!" Jeon Nam Gi, kepala rumah tangga dari keluarga terkenal Jeon, memanggil putra bungsunya, Jeon Jae Min. Ia duduk di atas sofa dan melipat tangannya.

"Kenapa lagi ayah? Kalau ayah ingin membicarakan soal perjodohan itu, aku tidak ingin membicarakannya lagi! Aku tidak ingin menikahi Chae Min Ji, ayah! Tolonglah!" Jaemin mendekati ayahnya dan duduk di hadapannya.

"Jaemin! Bisa tidak kau sehari saja mendengarkan ayah dan berhenti bersikap seperti anak kecil?! Kau akan mempermalukan nama keluarga! Apa kata orang-orang nanti? Apa kata presiden Moon? Beliau sudah mempercayakan perusahaan ayah untuk mengekspor lebih banyak ginseng!"

Jaemin tidak menjawab ayahnya. Ia hanya diam dan menatap ke arah ayahnya.

"Ayah.."

"Jaemin, dengarkan ayah! Usiamu sudah dua puluh lima tahun! Bukankah itu usia yang matang untuk seorang pria? Dan kerjaanmu itu hanya minum dan minum saja! Ayah tidak suka kebiasaanmu itu! Kau adalah pewaris perusahaan ayah, dan seharusnya kau menuruti ayah!"

"Ayah! Berhentilah! Aku tidak mau melanjutkan usaha ayah! Kenapa ayah memberikannya padaku? Kenapa tidak Jae Hwang hyung saja? Kenapa harus aku?"

"Jaemin!"

"Juga, aku tidak pernah meminta uang ayah kan untuk minum? Jadi, bukankah seharusnya ayah biasa-biasa saja?"

"JAEMIN! Dasar ka—"

"Sudahlah ayah! Besok ayah ada pertemuan dengan Park Jin Hae kan? Si um.. Ketua grup Musagi itu? Sebaiknya ayah istirahat! Ya?"

Jaemin menyudahi percakapan antara ayahnya dengannya. Ia tahu akhir dari kisah ini bagaimana. Ayahnya dan dia akan bertengkar. Sebenarnya itu sudah biasa, tapi hari ini ia sedang tidak ingin menyulitkan pikirannya.

"Jaemin! Begitukaha caramu memperlakukan ayahmu? Sudahlah! Kau membuat kepalaku pusing saja! Pergi! Jangan sampai aku melihat wajahmu di rumahku hari ini!"

Ayah Jaemin kesal dan pergi meninggalkan Jaemin sendirian. Kepala Jaemin terasa pusing. Ia cepat-cepat mengambil HP nya yang ada di kantong celannya.

"Hei hyung, hari ini.. Hyung ada waktu?"

"Ya, hari ini aku tidak ada apa-apa. Kenapa Jaemin?"

"Hyung... Hari ini.. Hyung mau pergi.. Minum?"

"Minum?"

Mereka sepakat untuk segera bertemu di salah satu bar yang menjual aneka jenis minumn secara lengkap. Jaemin minum banyak sekali sampai ia tak sadar kalau ia sudah mabuk dan malah melantur tidak jelas sambil menangis.

"Hei, Jaemin! Sudahi minumnya! Kau sudah minum dua botol soju!" Park Yung Sik, dia adalah teman dekat Jaemin.

Yung Sik lebih tua tiga tahun dari Jaemin, dan itu menjadikannya seorang pendengar dan pemberi nasihat yang baik bagi Jaemin.

"Hyung.. Aku Benci ayahku! Hiks.. Ayahku itu bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah dibilang tidak mau ya tidak mau! Dasar pak tua! Ia tidak sadar umur ya?! Hah?!"

"Hei, tenangkan dirimu! Ini soal perjodohan it kan?"

"Hyung.. Kau tahu kan kalau aku itu tidak suka dengan Minji? Dan lagi, aku tidak pandai bergaul.. Aku juga tidak minta diwarisi perusahaan jelek itu! Kenapa harus aku, hyung?! Kenapa!! Hiks.. Ayah bodoh, bodoh!"

Jaemin menangis. Ia benar-benar membenci ayahnya. Apalagi sejak ayahnya menceraikan ibunya setahun yang lalu, Jaemin benar-benar terpukul. Yung Sik mendengarkan Jaemin dan membantu menenangkannya. Memang sulit menjinakkan Jaemin, karena semua orang tahu kalau Jaemin itu sangat keras kepala.

"H-hyung.. Kau tahu kan? Kau itu.. Satu-satunya temanku yang kupercaya.. Terima kasih.. Uhk!" Wajah Jaemin terlihat pucat.

"Hei, Jaemin! Bangunlah!"

"A hahaha... Hyung.. Sepertinya.. Aku sudah terlalu.. Hik.. Mabuk.. Hik!"

BRUK!! Jaemin terjatuh dari kursinya. Ia tertidur. Orang-orang menatap ke sekeliling karena mendengar suara yang mengejutkan mereka. Yung Sik bertindak cepat.

"Ahahaha, maaf, kawanku terlalu mabuk!"

Yung Sik segera meletakkan sejumlah uang du atas mejanya dan menindihnya dengan sebotol soju kosong supaya tidak jatuh tertiup angin. Ia kemudian turun dari kkursinya dan membopong Jaemin pulang.

Ia berjalan dan membawa Jaemin sampai ke depan rumahnya. Beruntung jarak antara bar dan rumah Jaemin tidak terlalu jauh. Saat Yung Sik ingin menekan tombol bel yang terpasang di depan gerbang, Jaemin menghentikannya.

"H-hyung... Jangan bawa aku ke situ.. Hik.."

"Jaemin? Kau sudah sadar?"

"Tidak... Aku.. UHK! Ingin muntah..."

"APA?!"

Yung Sik berlari dengan cepat. Ia membawa Jaemin ke rumahnya. Yung Sik tahu persis bagaimana kondisi keluarga Jaemin setelah Jaemin menceritakannya padanya saat pemakaman ibunya.

Ayahnya sangat keras padanya dan hanya membela kakaknya saja. Jaemin benci sekali pada ayahnya tetapi ia hanya diam dan masih menghormati ayahnya. Ayahnya tidak tahan bau alkohol, jadi Jaemin dibawa oleh Yung Sik ke rumahnya.

"Hosh hosh.. A-aku... Lelah sekali! Mei, tolong bukakan pintunya dong! Jaemin mabuk, Mei!" Teriaknya.

Mei adalah adik kandung Yung Sik dan mereka tinggal bersama dengan ibu mereka. Ayah Yung Sik terlalu sibuk sehingga kadang lebih sering tidur di tempat kerjanya, kantor manajemen perusahaan Gijeong.

Sebenarnya, keluarga Yung Sik itu setengah keturunan Jepang. Ibu mereka dari Korea tetapi ayah mereka dari Jepang. Mei mendapatkan nama Jepang dan mewarisi marga ayahnya, sedangkan Yung Sik mendapatkan nama Korea dan mewarisi nama keluarga ibunya.

"Ya? Astaga, kakak!" Mei berlari dan segera membukakan pintu gerbang untuk kakaknya.

Yung Sik cepat-cepat membawa Jaemin ke toilet. Jaemin masih setengah sadar tapi ia bisa mengeluarkan isi perutnya di tempat yang benar.

Setelah selesai, Jaemin keluar dari WC dan mencari kamar tamu. Jaemin sudah sering ke rumah Yung Sik dan ia sudah hafal letak-letak kamar di rumah itu. Ia kemudian berbaring di atas kasur di ruang tamu yang terletak tidak jauh dari WC. Jaemin benar-benar mabuk, dan ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.

"Aduh, kakak! Kenapa sih hari ini harus minum lagi? Kan besok kakak harus menemani Namgi sunbae untuk pertemuan dengan ketua grup Musagi itu kan? Bagaimana onee-san akan fokus kala mabuk? Hah?" Omel Mei. Mei sangat peduli pada kakaknya dan selalu berada di pihak kakaknya.

"Ah.. Maaf.. Hari ini Jaemin ada masalah. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian, dia itu bukan peminum yang kuat." Yung Sik tersenyum, seolah mengatakan 'terima kasih' karena sudah mengkhawatirkannya.

"Hh.. Ya sudahlah. Kalau begitu, sebaiknya kakak tidur. Ya?"

"Baiklah, terima kasih Mei."

Mereka pun terlelap di ruangan masing-masing.

avataravatar
Next chapter