2 Tentang Arjuna alias Joon

Suatu hubungan dapat terjalin begitu saja, bahkan dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal. Tidak perlu ikatan darah juga untuk menjadi keluarga. Seperti padaku.

Ya, namaku Arjuna Raizaski, tapi lebih akrab disapa Joon-chan. Mungkin karena aku ada turunan Jepang, jadi semuanya menyematkan honorofik-chan pada namaku.

Aku remaja yang kata orang tuaku tampan, keturunan Jepang yang tinggal di Indonesia sejak kecil, juga siswa kelas 1 SMA di salah satu sekolah swasta di kota Jakarta ini.

Brak!

Brak!

Brak!

Suara pintu toilet digebrak dari luar. Huufft, bahkan mereka tak membiarkanku berkonsentrasi dengan kegiatanku ini.

"Joon-chan! Buruan! A-Aku sudah tak dapat lagi membendung hasrat yang tertahan ini," jerit tertahan lelaki di depan pintu tadi.

Brak!

Brak!

Brak!

"Joon-chan! Kamu nggak ketiduran di toilet, kan? Woy! Buruan!"

Ckriet!

Dengan terpaksa aku akhirnya membukakan pintu toilet.

"Berisik! Pakai toilet di bawah kan bisa. Dasar jomblo tua!" ketusku pada pria bertubuh atletis di hadapanku.

"Hei! Kamu berani melawan ya sekarang? Minggu ini uang jajanmu papa potong."

Blam!

Pintu dibanting dengan nistanya.

Apa katanya tadi?

Uang jajan dipotong?

Huwaakh, ini tak boleh terjadi!

Brak! Brak! Brak!

Aku memggedor pintu dengan sekuat tenaga.

"Huwaaa! Papa, jangan potong uang jajanku! Aku butuh beli CD game terbaru. Aku minta maaf, Papa!"

Hening.

"Papa! Joon minta maaf! Besok Joon kenalin dengan guru Joon yang cantik deh. Papa, jangan potong uang jajanku, ya?"

"BODO' AMAT!!"

Brak!

Sepertinya mood papa sedang tak baik saat ini. Baiklah, minta tambahan uang jajan sama ayah saja.

Ah ya, nama papaku adalah Hirano Kevin.

***

Sepertinya memang hari ini hari tersialku.

"Joon-chan! Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus rajin belajar! Kalau sampai nilaimu merah lagi, ayah tidak hanya memotong uang jajanmu, tapi kamu nggak akan ayah kasih uang selama tiga bulan. MENGERTI?!"

"Mengerti, Ayah."

Aku masih berlutut di lantai mendengar omelan-omelan ayah. Padahal sebelumnya aku sudah menyembunyikan kertas ulangan itu.

Ayah lebih menakutkan dari daddy dan papa.

"Tapi ngomong-ngomong," ucapku sambil tertunduk.

"Apa lagi, hah?!" bentak ayah kembali padaku.

"Kapan Joon boleh berdiri? Huwaa ... kaki Joon kesemutan ini."

"Tidak boleh sampai kami selesai makan siang!"

"Ayah, hukumannya diganti saja, ya? Kaki Joon sungguhan kaku dan kesemutan ini."

"Baiklah, hukumannya ganti kamu harus membersihkan cafe selama satu minggu penuh!"

"Apa? Kenapa tambah berat hukumannya, Yah?? Lebih baik berlutut aja kalau gitu," dengusku.

Ayah meninggalkanku begitu saja yang masih dalam posisi berlutut. Dia ayahku, namanya Jaya Raizaski. Jangan kira gara-gara marga kita sama-sama, lantas mengira dia ayah kandungku. Bukan, kalian salah besar.

Asal tahu saja, bahkan namaku ini hasil undian kata mereka. Seperti lotre saja. Nama yang keluar saat diundi berarti berhak memberikan marganya padaku.

Dan kebetulan pria yang galaknya minta ampun tadi berhak menamaiku dengan marganya. Mengenai nama Arjuna aku tak tahu mereka mendapatkan dari mana.

Mungkin mereka menginginkan diriku menjadi sosok seperti Arjuna, kesatria hebat berpanah yang ada di serial Mahabharata itu.

Atau mungkin, Daddy mengambil nama salah satu karakter dari sinema pintu taubat yang suka ia tonton itu. Entahlah.

***

Tok tok tok!

Aku mengetuk pintu kamar Daddy.

"Daddy! Apa aku boleh masuk!"

"Masuklah, Joon!"

Kriet!

Dengan santai aku memasuki kamar tersebut. Tapi ini sungguh mengejutkan.

"Huwaaakkhhh!! Setaaannn!"

Plak!!

Pipiku ditampar dengan kejamnya.

"Ini daddy, Joon!"

"Astaga! Kenapa pakai masker sore-sore begini, Mommy? Joon kira hantu."

"Husshh! Panggil 'mommy' kalau di sekolah saja! Kalau di rumah panggil 'daddy' seperti biasa!"

"Hahaha iya, lupa. Habis sudah terbiasa panggil mommy pada Daddy sih."

"Ada apa cari Daddy, heum?"

Aku mendekat ke arahnya. Pria yang memiliki sifat lembut seperti wanita. Yang biasanya menyamar menjadi ibuku kalau ada pertemuan wali murid di sekolah, Daddy Kenichi. Dia asli Jepang memang, tapi saat ini sudah menjadi warga Indonesia.

Dahulu, saat aku berusia 4 tahun, aku akan menangis sejadi-jadinya saat melihat bulu kasar tumbuh di atas bibirnya, yang kini kuketahui rambut itu namanya kumis.

Dan sejak saat itu, daddy selalu melakukan perawatan pada wajahnya. Hanya ayah yang sampai saat ini menumbuhkan kumis tipis. Bahkan, jika ayah tanpa kumis pun, aku akan tetap takut terhadapnya. Ibarat kata, dia lebih seram dari rajanya para iblis.

"Daddy, hari ini ayah dan papa sungguh kejam terhadapku. Bahkan, mereka memotong jatah uang jajanku tanpa sebab. Apa seperti ini rasanya diabaikan?

Aku merasa sudah tak ada tempat lagi di rumah ini. Hanya daddy satu-satunya yang menyayangiku. Aku tak tahu bagaimana jadinya aku jika tanpa Daddy. Mungkin aku akan dijadikan pembantu oleh ayah dan papa, huhuhu," ungkapku dengan penuh kesedihan dan suara isakan yang memilukan.

Daddy menatap sendu ke arahku. Kurasa berhasil. Biasanya daddy selalu terbawa perasaan jika menonton drama, apalagi drama yang diciptakan anak kesayangannya sendiri, benar?

"Joon, sebenarnya apa yang kau inginkan, eum?" tanyanya lembut sambil menangkupkan kedua tangan di pipiku.

"Aku ingin tambahan uang jajan," jawabku dengan wajah yang kubuat sepolos mungkin.

Plak!

"Aaiisshh! Kenapa Daddy malah menamparku, eum?!" dengusku kembali, kesal.

"Kamu kira Daddy tidak tahu? Nilaimu merah, berani mengatai papamu jomblo tua. Kamu kira Daddy tak dengar semua itu, hah?! Sekarang, pergi dari kamarku! Aku sedang tak ingin marah-marah saat ini, nanti wajahku keriput lagi. Jadi, sekarang cepat pergi!"

BLAM!!

Pintu tertutup dengan kerasnya. Daddy menendangku dengan kejamnya dari kamar. Sepertinya benar-benar ini hari tersial. Nama Daddy-ku, Nakagawa Kenichi. Pria yang sangat macho, tapi terkadang juga sangat feminim di saat-saat tertentu.

***

Sebab menurutku ini Sabtu tersial, jadi kuputuskan untuk mengurung diri di kamar. Sebelumnya aku juga menempelkan sebuah kertas di pintu kamarku yang bertuliskan 'JOON MERAJUK DAN TIDAK MAU BICARA DENGAN SIAPA PUN'.

Drrtt!

Sebuah panggilan dari ponselku.

"Ada apa, Gilang?"

"Aku sudah ada di pertigaan kompleks rumahmu. Cepatlah turun dan kemarilah!!" suara dari seberang.

"Baiklah, tunggu aku! Jangan sekali-kali mendekat ke arah rumahku jika kita tak mau dihajar oleh ketiga ayahku."

"Ya, cepatlah!"

Sesaat kemudian, Gilang mematikan ponselnya. Dia adalah Gilang, teman sekelasku. Kami satu sekolah sejak kami duduk di sekolah dasar.

Aku keluar melalui jendela kamar dan melompat ke pohon besar yang berada di dekatnya. Pohon ini yang selama ini menjadi tangga darurat bagiku saat aku kabur dari rumah.

***

Seusai hang out di tempat karaoke, Gilang mengantarku pulang. Tentu saja ia menurunkanku di pertigaan seperti tadi. Sekarang sudah jam 1 malam, semoga orang rumah tak ada yang menyadari kalau aku tak berada di kamar.

Seperti sebelumnya, aku memanjat pohon jambu untuk naik ke jendela kamar. Sejenak aku dapat melupakan kekesalanku pada orang rumah. Aku yakin jika mereka melihat tulisan di pintu kamarku, mereka akan menyesal. Dan besok pasti mereka akan mengajakku berlibur untuk membujukku yang merajuk.

Ini trik yang memang keren, bukan?

Aku telah sampai di depan jendela kamar, aku berpijak di balkon sempit yang bahkan tak ada pembatasnya. Entah ini bisa disebut balkon atau tidak?

Aku mencoba membuka jendela yang sebelumnya tak kukunci. Tapi, kenapa susah?

Terkunci? Astaga! Kenapa jendelaku terkunci dari dalam?

BRAK! BRAK! BRAK!

"Permisi! Siapapun yang ada di dalam tolong bukakan jendelanya!" teriakku.

Hening.

Tak ada yang menyahut.

"Ayah! Daddy! Papa! Tolong bukakan jendelanya!"

Hening.

Astaga, apa-apaan mereka ini? Kenapa tega sekali pada remaja tampan sepertiku?

Aku turun kembali melalui pohon, mungkin saja mereka menungguku di ruang tamu.

Brak! Brak! Brak!

Aku menggedor pintu utama.

"Ayah, daddy, papa! Tolong bukakan pintunya! Joon janji tak akan keluar tanpa ijin lagi!" teriakku kembali.

Entah mereka sudah pada tidur atau sedang menghukumku?

Baiklah, sepertinya aku harus lewat jendela dapur. Kebetulan jendela dapur sedang rusak.

Perlahan kulompati jendela yang memang sudah rusak.

Berhasil. Aku kini telah berada di dalam rumah. Fiuuhh, ini sungguh melelahkan.

Dapur sangat gelap, sepertinya mereka sudah terlelap tidur.

Aku mengendap-endap menuju kamarku. Namun, tiba-tiba lampu dinyalakan secara mendadak membuatku sedikit terlonjak.

Di pintu kamarku sudah berdiri tiga pria bertubuh atletis. Tatapan mereka sungguh tajam dan mengerikan.

Seolah itu adalah bilah pedang yang siap menghujamku.

Sial! Aku ketahuan.

"Ngg ... anu ... tadi Joon hanya butuh menghirup udara malam sebentar. Joon hanya keliling kompleks, sungguh!" ucapku sambil menggaruk tengkuk.

Mereka hanya terdiam. Tangan mereka dilipat di depan dada mirip tiga orang pimpinan yakuza. Bahkan, mungkin lebih mengerikan menurutku.

Aku digeret oleh ayah dengan tidak elitnya seperti biasa menuju pintu. Daddy menendang pantatku keluar dari rumah, masih dengan nista juga. Papa? Papa bagian melemparkan bantal ke arahku.

Blam!!

"Malam ini kau tidur di luar!" bentak Ayah sambil menutup pintu dengan tidak kerennya.

Aku hanya terdiam meratapi nasibku yang sungguh-sungguh sial hari ini.

Aku menengadah ke langit lepas sambil bergumam,

"Apakah ini boleh disebut ratapan anak pungut?"

Aku melihat setitik cahaya di angkasa. Semakin lama semakin mendekat. Sesaat kemudian telah berdiri dengan gagahnya pria tampan bersayap. Kulitnya sangat putih seperti boneka dari porselain.

Ia tersenyum ke arahku.

Aku sudah mempersiapkan tiga permintaan kepadanya, sebelum akhirnya,

Brugh!!

Ayah melempar selimut tepat ke wajahku membuat pria gagah itu menghilang begitu saja.

"Cepat tidur! Besok bagianmu yang jaga cafe! Dan lagi, jangan terus berhalusinasi akan datang peri yang mengabulkan permintaanmu, Bocah!"

"Asshhh, kalian menyebalkan!" gerutuku sambil menata bantal beralaskan selimut. Ini sungguh mirip gelandangan yang ada di pinggir jalan. Bedanya aku gelandangan tampan yang berkelas.

***

Aku menggeliat kala tetesan embun membasahi wajah tampan ink. Bahkan, sang embun pun berlomba-lomba menjajahi lekukan-lekukan di wajahku yang memang Tuhan mengukirnya secara sempurna.

Semakin lama, semakin ... basah? Apa iya embun sebanyak ini? Aku mengerjap-erjapkan mata, menyesuaikannya dengan cahaya yang menyilaukan.

Byur!!

"Huwaakh! Banjiir!!" teriakku sambil bangun gelagapan.

"Bangun, woy! Sekarang giliranmu jaga cafe!"

Aku mendongak ke sumber suara sambil menyipitkan mata.

"Aashh, ini hari Minggu, Ayah. Aku sibuk hari ini. Suruh Papa dan Daddy saja yang jaga!" ucapku sambil bangkit dan menuju kamar. Aku harus melanjutkan tugasku yang terbengkalai, yaitu tidur.

Ayah menahan bahuku. Astaga! Entah kenapa mereka kejam padaku akhir-akhir ini. Apa karena umurku sudah 15 tahun jadi aku sudah tak jadi Joon kesayangan mereka lagi? Ini sungguh menyebalkan!

"Siapa yang menyuruhmu masuk, hah?!" ucap Ayah dengan tatapan tajam, seolah aku ini adalah pencuri yang akan mencuri celana dalam Iron Man-nya.

"Aku hanya ingin mandi, Ayah. Setelah itu akan belajar kelompok sampai malam di rumah Gilang," ucapku asal masih dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya.

"Jangan bohong! Ayah sudah menghubungi Gilang dan dia bilang tak ada kerja kelompok hari ini. Jangan alasan lagi! Mandi dan berangkat ke cafe! Kau akan dibantu Paman Leman nanti."

"Astaga! Aku merasa ruang gerakku semakin sempit saja. Apa semua pria dewasa bertingkah seperti Anda, Tuan Jaya? Apakah Anda tidak pernah melalui masa-masa muda? Menyedihkan. Kurasa masa muda Anda pasti sama menyebalkannya seperti Anda," gerutuku yang tentu saja tak sampai didengar ayah. Bisa dimutilasi dan dijadikan soup aku kalau berkata seperti itu di depannya.

Ayah sudah pergi dengan motor sp juniornya beberapa menit lalu setelah memerintah. Lagaknya sudah seperti Ketua Tim Investigasi memerintah juniornya. Kurasa kalau tak mengurus cafe, ayah akan masuk di Kepolisian dan menjadi Letnan Jaya, sang anjing liar 'grauww'.

Aku masuk kamar dengan gontai dan membanting tubuhku kembali di kasur. Tidur di lantai seolah tulang-tulangku jadi remuk. Sepertinya tidur beberapa jam lagi tak akan ketahuan. Lagipula sepertinya Papa dan Daddy juga akan keluar rumah.

Drrrttt!

Sebuah pesan masuk.

Aku membukanya dengan malas, pasti dari Gilang.

[ JOON-CHAN! JANGAN COBA-COBA TIDUR LAGI! AYAH SUDAH MENYURUH PAMAN LEMAN UNTUK MENGAWASIMU SELAMA DI CAFE HARI INI! ]

Mataku perih seketika setelah melihat pesan yang isinya capslock semua. Hasshh, orang ini! Sepertinya dia sungguh tak mengijinkanku menikmati hidup.

Dan lagi, untuk apa juga aku disuruh ke cafe. Biarpun appa, papa, ayah sebagai pemilik cafe tak datang, tapi kan sudah ada tiga pegawai di sana. Ada Paman Leman, Paman Ujang dan Paman Parmin.

Dan sepertinya, ini hari pertamaku untuk kerja di cafe dan begitu seterusnya. Aku merasa mereka akan memperlakukanku lebih kejam dari ini. Tak ada waktu bermanja-manja lagi sepertinya.

Asshh! Tapi umurku baru 15 tahun Juli lalu, rasanya terlalu cepat untuk melatihku bekerja.

Tapi kalau dipikir ini dapat dijadikan alasan saat nilaiku merah lagi, ha ha ha.

Setelah mandi, berangkat ke cafe dan duduk santai di ruangan atas sambil main PSP. Ayah menyuruhku jaga saja kan tak menyuruhku jadi pelayan? Baiklah, hari ini aku akan menjadi Bos Muda Arjuna.

Sungguh keren, bukan?

***

Seusai mandi aku menatap bayangan wajahku di cermin. Tapi ....

"Aaakkh! A-apa ini?! Ini tidak mungkin!!"

"Joon-chan ada apa?"

Aku tahu itu suara Daddy. Aku dapat merasakan tangan lembutnya mengusap punggungku. Tapi, aku masih tak sanggup menatap dia. Aku menenggelamkan wajah diantara dua lutut.

Aku juga mendengar derap langkah kaki lagi mendekatiku. Mungkin itu papa.

"Joon-chan, kenapa? Jangan membuat kami khawatir!"

Aku masih terdiam, memeluk lututku dan menyembunyikan wajah.

"Joon-chan, bicaralah! Jangan seperti ini! Kau sakit? Biar papa panggil dokter, ya?" ucap papa sambil berusaha membuatku menoleh ke arahnya.

"Joon-chan, daddy gendong ke ranjang, ya?"

Perlahan aku mendongak ke arah mereka.

"Bwahahaha!" tawa papa menggelegar seantero ruangan.

"Wuhahaha." Daddy ikut-ikutan tertawa dengan tidak kerennya.

Apa-apaan mereka ini?

"Kenapa kalian malah menertawakanku, eum? Huwaakh, wajahku tidak keren lagi, huhuhuhu!"

"Hahaha, memangnya itu bentol-bentol karena apa, Joon?" tanya Daddy.

"Wahahaha, pasti ini yang namanya kutukan anak durhaka. Inilah hukumannya kalau Joon mengatakan papa jomblo tua," ejek papa dengan wajah yang sungguh menjengkelkan.

"Berhenti menertawakanku! Ini sungguh gatal, Pa. Beginilah jadinya kalau kalian menyuruhku tidur di luar, sudah tahu aku alergi dingin. Aakkhh, bentol ini pasti karena aku terlalu stres akhir-akhir ini."

Aku mendongak ke langit-langit ruangan.

"Oh Tuhan, ampunilah mereka yang telah menyebabkan aku begini!"

Ctak!!

Papa menyentil keningku.

"Berhenti ngedrama! Ini mungkin hanya biduran atau digigit serangga, Joon. Tak perlu mendramatisir masalah! Lagipula, beberapa jam lagi pasti hilang. Astaga, papa kira kenapa kau teriak, ternyata hanya wajah berbentol," ucap papa sambil bangkit meninggalkanku.

Beberapa menit kemudian, aku juga mendengar mobilnya meninggalkan garasi.

"Aashh! Kalian sudah tak menyayangiku lagi, kan? Aku tahu itu," dengusku.

"Hahaha, Daddy masih menyayangimu, sungguh! Sini biar Daddy obati!" Daddy mengoleskan saleb ke bentol-bentol yang tak keren ini.

"Daddy juga akan keluar. Joon baik-baik ya jaga cafe!"

Aku hanya menanggapi dengan anggukan.

***

Aku sudah sampai cafe saat ini. Cafe dan rumah berjarak sekitar 700 meter, cukup jauh karena aku berjalan kaki. Ayah belum mengizinkanku bermotor sendiri. Kalau ke mana-mana aku biasanya nebeng mobil milik Gilang.

Pagi ini, aku sengaja memakai jas milik papa yang lama meski agak kebesaran. Ya, tentu saja. Bukankah aku bos hari ini?

Dari penampilan sempurnaku pagi ini, hanya ada satu kekuranganku. Aku harus memakai masker untuk menutupi sebagian wajah. Bukan masker kecantikan yang biasa daddy pakai, tapi ini masker ski setengah wajah berwarna hitam. Mirip yang dipakai Hatake Kakashi-sensei itu lho.

Paman Leman, Paman Ujang dan Paman Parmin sudah berada di cafe. Mereka membersihkan cafe dan menata meja. Aku berjalan santai sambil bersiul menuju ke lantai dua, sebelum ....

"Arjuna! Siapa yang mengizinkanmu ke atas, huh? Bersihkan dapur sekarang! Aku diberi kewenangan oleh Bos Jay  untuk membimbingmu."

Itu suara Paman Leman.

Astaga! Sepertinya hari ini gagal main PSP sambil bersantai. Sial!

"Ini seragammu!" ucap Paman Ujang sambil melemparkan seragam pelayan Sacred Lotus's cafe.

"Haruskah aku memakai ini, Paman?"

"Tentu saja harus, Junior!" sahut Paman Parmin.

Hmm, benar-benar gagal total jadi bos muda.

***

Sudah jam sembilan pagi, cafe sudah dibuka beberapa menit lalu. Kami sudah bersiap menyambut pelanggan. Walau aku memakai seragam pelayan, tapi ini sama sekali tak mengurangi kadar ketampananku. Sungguh!

Pelanggan satu per satu berdatangan hingga beberapa jam kemudian bahkan tak ada satu pun kursi kosong. Cafe kami menyediakan berbagai macam minuman dan waffle. Cafe ini dapat dikatakan sebagai cafe berkelas karena jenis minuman yang berkelas dan desain ruangan yang berkelas juga.

Dulunya namanya Prince's Cafe, tapi setelah kedatanganku yang merupakan berkah terindah dari Tuhan kata mereka, yang ketampanannya di atas rata-rata, yang menjadi idola di sekolah, maka diubahlah namanya menjadi Sacred Lotus's Cafe.

Entah apa yang menyebabkan mereka memberi nama itu pada cafenya. Mereka terinspirasi dariku sepertinya. Entahlah. Dan itu juga tak penting bagiku.

Sekelebat aku melihat bayangan hitam bersayap jauh di atas tiang listrik di sana. Sosok itu seperti tengah memerhatikanku. Itu sosok yang mirip dengan sosok bersayap putih yang menemuiku semalam.

Setelah aku amati sekian lama, sosok itu tiba-tiba menghilang. Apa ini hanya halusinasi? Aku menggeleng cepat, dan aku tak melihat lagi sosok bersayap hitam itu. Mungkin, ini benar-benar hanya halusinasi karena aku stres akhir-akhir ini.

Aku menuju dapur cafe dan mulai mencuci gelas-gelas yang entah sejak kapan sudah menumpuk seperti gunung. Huuft!

"Joon! Antar Vanilla Latte ini ke meja nomor enam!"

"Aashh! Aku masih nyuci gelas, Paman," sahutku.

"Nanti saja nyucinya. Antar pesanan ini dulu! Paman yang lain sedang sibuk membuat pesanan."

Aku membawa nampan berisi 5 minuman dan beberapa waffle ke meja nomor ....

"Astaga! Kenapa mereka semua ada di sini?"

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter