1 Si Gadis dengan Sejuta Mimpi

Suara langkah kaki yang mendekat membuat cowok yang duduk di dekat perpustakaan itu menoleh. Berjarak beberapa meter darinya, Aila berjalan pelan dengan senyum di bibir tipisnya. Mendekati seseorang yang begitu dibutuhkannya saat ini.

"Udah lama ya? Maaf hehe."

Pertanyaan itu sebagai sapaan pertama untuk cowok yang duduk itu. Namun, bukannya menjawab, cowok itu justru memukul pelan lengan Aila hingga membuat gadis itu mendesis kesal.

"Belajar apa lagi hari ini?" tanya cowok itu balik mengabaikan pertanyaan Aila membuat si empunya ingin menjambak rambut model comma hair milik cowok itu.

"Eum ... sesuai kemauan keluarga. Biologi lagi, setidaknya buat mapel satu ini I like mwehe," jawab Aila dengan pelan namun penuh semangat.

Dari nada suaranya sangat terdengar bahagia untuk jawaban itu, akan tetapi dia melakukan hal itu karena kewajiban jadinya ada sedikit rasa enggan. Huft, gadis berkacamata minus itu harus melakukannya dengan ikhlas tanpa banyak tetek bengeknya. Sejujurnya Aila lebih suka jika melakukan segalanya atas kemauan sendiri bukan seperti ini.

"Aila, kalo lo tuh nggak suka sama yang itu ya jangan dipaksain juga buset. Kalo lo ikutin kemauan keluarga mah kagak bakalan kelar-kelar," balas cowok itu.

Aila diam saja lantas melenggang pergi untuk memasuki perpustakaan yang dihuni oleh siswa-siswi pintar dan ingin belajar. Namun, Aila bukanlah salah satu dari mereka. Karena meskipun menyukai beberapa mata pelajaran tetapi kapasitas otaknya sangat jauh di bawah standar.

"Nggak ada gunanya mengeluh Ryan, mendingan aku kerjain aja. Toh sama-sama menguntungkan buat aku, inget ya aku melakukan semuanya buat kebaikan," sahut Aila dengan santai.

Saking santainya meski suasana hati sedang tak baik-baik saja dia tetap menyapa guru yang kebetulan lewat. Setidaknya meskipun tak pintar tapi jangan membuat masalah!

Cowok bernama Ryan itu ingin mengetuk kepala Aila menggunakan penggaris rasanya. Dia kelihatan frustasi padahal semestinya Aila yang seharusnya begini, Ryan kan tak mendapatkan tuntutan dari keluarga berbeda dengannya.

Terlalu memaksakan itu sangat tidak baik. Tapi dibuang keluarga sendiri jauh lebih buruk dari pada dugaan kalian semua. Tidur beralaskan tikar di jalan tetap tak lebih baik dari memejamkan mata di atas sutra meski di dalam bui.

"Ya. Memang untung. Tapi Aila, semua orang punya impian sendiri. Toh, yang menjalaninya kita bukan keluarga kita nantinya. Lo baru 16 tahun, umur segini, pertengahan SMA harusnya bisa banyak main bukan ditekan kayak gini," timpal Ryan yang tau segalanya tentang gadis ini.

Aila menghela nafas dan menatap manik mata Ryan. Merasa lelah kalo harus terus adu mulut dengannya. Sampai Upin-Ipin besar pun tidak akan kelar kalau melawan mulut seorang Ryan.

Dan karenanya Aila tidak ingin melakukan hal itu.

"Udah ah. Temenin aku belajar ayo," ajaknya lagi, lebih merujuk pada malas berdebat saja si.

Aila menarik tangan Ryan menuju rak buku biologi. Bibirnya bergumam tidak jelas sambil membawa judul dari buku paket itu. Ah, istirahat kali ini cukup sepi. Mungkin karena istirahat pertama, jadi siswa-siswi lebih memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu.

"Percuma juga dibaca terus. Nggak ada yang nyangkut di otak lo, suka bukan berarti semua hak yang ada di buku biologi bisa dicerna otak bangunan lo ini," dumel temannya.

Aila tahu bahwa Ryan kesal terbukti kalau saat ini dia sedang memutar bola matanya. Sudah sering menemani Aila belajar, nanti di akhir gadis itu akan mengeluh bahwa tidak ada yang nyangkut sedikitpun di otaknya. Tentu saja Ryan ingin menjitak kepalanya agar bisa normal sedikit.

Aila mendesis kesal. Memang benar tidak ada yang nyangkut di otaknya. Tapi apa salahnya usaha coba? Sadar kok otaknya hanya berisi semen dan bangunan susun juga berbagai macam teknik cetak biru bab arsitektur itu.

"Ya gini nih. Kalo belajarnya lebih banyak ngeluh dari pada belajar seriusan. Lagian kamu yang udah pinter dari lahir mana paham susahnya jadi aku," cetus Aila sambil memeletkan lidahnya kepada Ryan.

"Udah ah. Buruan belajar. Biar kita sempet makan siang. Belum makan siang kan lo?" tanya Ryan, begitu perhatian hingga ada segelintir rumor di antara mereka berdua.

Aila hanya menggeleng. Makan siang itu urusan akhir. Urusan yang lebih penting adalah nilai biologinya harus bagus dan keluarganya bangga.

"Sabar elah. Lama-lama aku jitak nih, bawel banget," cibir Aila dan berjalan menuju kursi yang sudah di sediakan.

Dan Ryan? Dia hanya bermain game online di gawai miliknya seraya menunggu Aila selesai belajar dan mengeluh. Nantinya gadis ini akan mencak-mencak karena meskipun belajar sangat keras tapi satu pun saja gak ada yang bisa dipahami olehnya.

Namun, tak masalah. Untuk Ryan bisa bersama dengan gadis ini saja sudah memperbaiki mood-nya. Meskipun gosip menyebalkan masih seliweran, andai saja Aila sedikit ingin keluar dari garis kehidupan yang telah ditentukan oleh orang tuanya maka Ryan tanpa ragu akan membawanya pada ... kisah manis yang memabukkan.

***

"Makasih ya, Yan."

Ryan mengangguk saja sebagai jawaban. Sudah kewajiban baginya untuk mengantar Aila pulang ke rumah dengan selamat. Meskipun sebetulnya setelah ini dia harus putar arah dan kembali ke sekolah.

Bulu kuduk Ryan meremang, dia rasa para anggota basket lagi-lagi sedang bergosip tentang bagaimana malangnya nasibnya. Ryan tak peduli, selagi mereka masih menerimanya sebagai anggota maka segalanya pasti aman-aman saja.

"Dah sana masuk. Gue liatin dari sini. Ntar kalau orang tua lo macem-macem gue bisa tolongin. Gih masuk," suruh Ryan sambil mendorong pelan pundak Aila.

Namun, Aila malah mendesisi kesal. Ryan tahu semuanya karena memang sedekat itulah mereka. Hanya saja gadis kecil ini terkadang masih pura-pura tak peduli padanya.

"Bunda sama Ayah aku baik tau! Dih, nggak mungkin mereka jahat sama aku," sebal Aila.

Dalam keadaan ngambek berat dia langsung memutar balik tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah. Tak lupa memeletkan lidahnya terlebih dahulu kepada Ryan sebagai salam sampai jumpa.

Begitu tiba di depan pintu rumahnya yang mewah, Aila membalikkan badannya ke arah gerbang. Memastikan bahwa di sana Ryan sudah pergi. Namun, salah, ternyata cowok itu masih di sana sambil menatap ke arahnya.

Mau tidak mau, Aila hanya nyengir dan masuk ke dalam rumah dengan pelan. Jantungnya sudah berdegup cepat saat sudah menginjakkan kakinya di lantai rumah itu. Nerakanya sudah kembali. Aila harus siap-siap dengan itu semua.

"Udah pulang?"

Gadis berambut sebahu itu tersentak kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Bundanya yang duduk di sofa dengan santai. Tidak ada beban dalam hidupnya sekarang, karena hanya dia dan saudara kembarnya yang masih sekolah. Sisanya sudah menjadi orang sukses semua.

"Iya Bunda," jawab gadis itu dengan pelan. Lebih baik menghindari masalahkan daripada mendapatkan masalah?

"Kamu makan, terus langsung belajar. Bunda udah siapin air hangat buat mandi kamu nanti," jelas Wanita berstatus Bundanya tapi tak mau memainkan perannya itu.

"Iya, Bunda."

Tanpa banyak bantahan, Aila segera melangkah menuju kamarnya yang terletak di bawah tangga. Tidak jauh jaraknya, karena dia sengaja memilihnya di sana agar tidak terlalu lelah naik turun tangga.

"Aku masih capek. Udah disuruh belajar lagi," gumamnya pada dirinya sendiri. Lelahnya belum hilang, tetapi kini sudah dituntut belajar lagi.

Tidak ada kata lelah untuk Bundanya dalam belajar, karena baginya belajar adalah sumber kesuksesan. Namun, berbeda dengannya yang lebih menyukai dunia lain daripada dunia biologi.

Ya, dia hanya dituntut mempelajari pelajaran Ilmu pengetahuan alam atau IPA saja. Sisanya, tidak terlalu dipermasalahkan. Sedikit suka mata pelajaran alam bukan berarti bisa, 'kan?

Karena tujuannya adalah, agar dia bisa menjadi dokter seperti kakaknya yang lain. Tapi, setiap kapasitas orang itu berbeda. Dan dia juga seperti itu. Kapasitas otaknya berbeda dengan ke empat saudaranya yang sudah sukses jadi dokter semuanya.

"Nggak ada waktu mengeluh, ayo semangat! Buktikan kamu bisa!" serunya menyemangati diri sendiri meskipun nanti ... hasilnya tak akan sesuai ekspektasi.

-Bersambung ....

avataravatar
Next chapter