webnovel

Sahabat?

"Jess?!" Sophia hampir saja terpekik saat mendapati sahabatnya berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Jessica, gadis yang telah ditunggu kabarnya sejak seminggu lalu akhirnya muncul.

Jessica tersenyum tipis. "Apa kamu merindukanku, heh?"

Sophia menghela napas panjang dengan wajah yang ditekuk sambil menahan rasa kesal. Sungguh dia kesal melihat sahabatnya yang tampak mengejek. Dia dilanda rasa khawatir yang tak berkesudahan, sedangkan sahabatnya ini justru memasang wajah yang menyebalkan.

"Bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu, Jess? Tapi dibandingkan dengan itu aku jauh lebih khawatir dengan keadaanmu. Kamu baik-baik saja 'kan?"

Sebuah anggukan menjadi jawaban. Jessica melenggang masuk begitu saja tanpa dipersilahkan ke dalam rumah Sophia. Ya, dia memang terbiasa datang tanpa perlu diundang.

Gadis itu mendaratkan pantatnya di sofa. Sedangkan Sophia menatap tak percaya dengan perilaku sahabatnya. Selama seminggu tak ada kabar sama sekali dan kini gadis itu datang dengan seenaknya tanpa peduli dengan apapun.

Jessica melirik sekilas ke arah sahabatnya yang masih berdiri mematung. Lalu merogoh tasnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu, sih?"

"Terus aku harus memasang wajah seperti apa saat melihat sahabatku yang tak ada kabar selama seminggu tiba-tiba datang ke rumah tanpa penjelasan apapun?" ketua Sophia.

Jessica terkekeh geli. Tak lama mengedikkan bahu acuh. "Jadi kamu khawatir padaku?"

"Tentu saja!"

"Aku baik-baik saja, Pia. Waktu itu ponselku rusak."

Sophia memicingkan matanya. Menatap lawan bicaranya dengan intens. "Apa benar?"

"Iya ... memangnya kamu tak percaya padaku?"

Sophia menatap intens lawan bicaranya. Jessica tampak serius tanpa terdapat celah kebohongan sedikitpun. Meski awalnya ragu, namun sedetik kemudian perasaan itu ditepisnya. Sophia menghela napas pelan saat melihat sahabatnya ini dalam keadaan baik-baik saja. Justru saat tak ada kabar sama sekali selama satu minggu lamanya, Sophia diselimuti dengan pikiran buruk.

"Oh ya, waktu itu kamu dimana? Setelah pergi ke toilet tak ada kabar sama sekali."

Degup jantung Sophia rasanya langsung berhenti berdetak. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan sahabatnya itu langsung membuat keringat dingin mengucur. Bagaimana ini? Sophia tak mungkin menceritakan pengalaman buruknya bermalam dengan pria asing.

"A-aku langsung pulang ke rumah karena pusing,"

Jessica menyipitkan matanya. Jawaban Sophia sepertinya terdengar cukup mencurigakan. "Benarkah? Tapi Radit--"

"A-apa kamu lapar?" potong Sophia. Sungguh dia tak ingin melanjutkan sesi tanya jawab dengan sahabatnya.

Jessica mengangguk perlahan. "Aku cukup lapar dan sepertinya aku juga merindukan masakan dari sahabatku tercinta."

Untung saja dia bergerak cepat sebelum Jessica menaruh curiga. Sophia bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Namun tujuan utamanya hanya untuk mengakhiri sesi pertanyaan yang membuatnya makin terpojok.

Sophia berjalan menjauh dari ruang tamu. Punggungnya makin lama menghilang dari pandangan. Menyisakan Jessica yang menatapnya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.

Lima belas menit kemudian, makanan dan camilan telah siap dihidangkan di meja makan. Tak perlu diragukan lagi kemampuan memasak istri dari Radit Abraham.

"Jess, kemarilah! Makanannya sudah siap."

Jessica melirik sekilas sebelum berdiri dan melangkah cepat saat hidungnya mencium aroma nikmat yang menggugah selera. Matanya berbinar senang saat menatap beberapa piring berisi masakan yang tampak lezat.

"Wah ... aku memang tidak perlu meragukan kemampuan memasakmu lagi." ujar Jessica sambil menarik kursi dan mendaratkan pantatnya.

Sophia tersenyum tipis. Melihat orang-orang di sekitarnya terlihat senang sudah berhasil membuat dirinya bahagia. Senyum dari orang terdekat selalu membekas di dalam dada. Hanya dengan hal sederhana ini saja membuatnya bersyukur.

"Hm, dimana Radit?" Jessica mengedarkan pandangannya. Dia jelas sedang mencari seseorang yang sejak tadi tak menampakan batang hidungnya.

Sophia tersenyum tipis. "Tentu saja dia belum pulang." lirihnya hampir tak terdengar.

Entah mengapa pertanyaan sederhana itu berhasil membuat hatinya nyeri. Sophia pikir kini hubungannya dengan sang suami telah renggang. Banyak hal telah berubah selama dua tahun ini. Entah itu tentang sikap suaminya ataupun sikapnya sendiri.

Sophia menggigit bibir bawahnya. Terakhir kali ia makan dengan suaminya bahkan sebulan yang lalu. Pria itu selalu sibuk dan memiliki banyak alasan untuk menolak ajakan makan malam bersama.

Satu hal yang membuat Sophia sakit hati. Radit hanya datang kala ingin melampiaskan nafsunya. Tapi setelah hasratnya tertuntaskan, dia pergi tanpa peduli dengan istrinya yang masih ingin bermanja meski sesaat saja. Ya, meski seorang istri memang harus menuruti segala perintah dari sang suami. Namun dia sendiri tak bisa menepis rasa kesepian yang semakin menerpa tubuhnya.

Radit selalu seperti itu. Entah karena panggilan pekerjaan yang mendesak atau bahkan urusan pribadinya.

Sophia pikir dia akan terbiasa akan semua itu. Tapi nyatanya dia tetap merindukan kasih sayang. Bahkan pria asing yang tak dikenal justru berhasil membuatnya sampai ke puncak. Berbeda dengan Radit.

'Ugh! Kenapa aku malah memikirkan pria lain sedangkan punya suami, sih?' batin Sophia.

Jessica mengernyitkan dahi saat melihat sahabatnya tampak aneh. "Kenapa?"

"Tidak ada," tukas Sophia. Dia mengalihkan pembicaraan dan melanjutkan acara makan siang.

Jessica menatap sahabatnya yang tampak aneh. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan namun saat melihat gelagat sahabatnya yang terlihat banyak pikiran membuatnya urung untuk bertanya.

Namun meski berusaha untuk menahan diri, rasa penasaran tetap saja membuatnya tak karuan.

"Apa ada sesuatu yang terjadi? Sejak tadi aku melihatmu gelisah, Pia."

Sophia tersentak. Meski berusaha untuk bersikap seperti biasanya namun tetap saja dia tak bisa.

"Ah, tidak. Aku hanya sedikit lelah." tukasnya lirih.

Justru dengan jawabannya sederhana itu semakin membuat Jessica penasaran. Jessica yakin jika sahabatnya ini tengah menyembunyikan sesuatu.

Jessica menghela napas panjang. "Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi jika ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, maka aku siap untuk mendengarkan keluh kesah itu."

Sophia tersenyum tipis. Jessica memang selalu bisa menjadi tempat sandaran hati. Gadis yang masih berstatus singel itu selalu hadir disaat dibutuhkan dan memasang badan untuk melindunginya.

Persahabatan Sophia dan Jessica bukan seumur jagung. Orang-orang bahkan seringkali mengira mereka berdua kakak beradik.

Sophia tersenyum tipis. Dia menatap hangat lawan bicaranya yang sejak tadi memasang wajah penuh kekhawatiran. "Tentu saja aku akan menceritakan segala keluh kesahku padamu, Jess. Bukankah kamu sahabatku?"

Jessica tersentak hingga mematung beberapa detik. Kalimat yang baru saja dia dengar sungguh diluar dugaan. Ada rasa sesal di dalam hati karena selama ini telah membohongi Sophia. Tapi disisi lain dia juga ingin bahagia.

"Ada apa, Jess?" Sophia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Jessica menggeleng perlahan sambil tersenyum tipis. Bahkan untuk menelan saliva saja rasanya sulit seakan ada sebuah benda besar yang tersangkut di dalam kerongkongan.

'Apa persahabatan ini akan tetap terjalin meski aku menusukmu dari belakang? Mungkin saat itu kamu juga akan membenci diriku. Jadi sebaiknya, aku mulai memberi jarak diantara kita. Agar pengkhianatan ini tak terlalu sakit bagimu, Pia.'

Greget nggak sama tipe sahabat kang nikung kayak Jessica? Jgn lupa sumbangin batu kuasanya ya, Kak><

Noerallycreators' thoughts