webnovel

To be honest

Ingat! Sakit karena cinta tidak ditanggung BPJS. Dan jodoh yang belum ditemukanpun tidak akan dicari oleh "Tim Sar"

-Anonym-

©

Hati yang sulit dimengerti atau keinginan si pemilik hati yang terlalu kompleks? Kenapa harus menjauh kalau mendekat bisa menyelesaikan segalanya? Kenapa harus terdiam jika dengan mengungkapkan semua terlihat lebih jelas.

"Perempuan kalau marah memang gitu, diem aja kayak lagi sariawan." Davin memandang heran pada Gean yang kini dilanda kerisauan setelah menerima surat pengunduran diri dari Tria.

"Menurut lo kenapa dia resign sekarang?" Gean menatap lurus pada Tria yang kini tengah mengobrol dengan Afif dan Sherly.

"Ya menurut lo kenapa? Syukur aja dia betah lima tahun sama lo, kalau gue ya udah resign dari bulan pertama. Untung gue kaya, jadi nggak mungkin jadi sekretaris lo. Lo pernah mikir nggak apa yang Tria lakuin ketika lo dengan keterpurukan lo bareng Aruna, ekspresi lo itu persis kayak emoji meh." Davin meniru ekspresi meh yang melekat pada emoji. "Untung aja Tria enggak ngerujuk lo ke rumah sakit jiwa, sebenarnya gue juga pengen ngomong ini dari dulu."

Seketika Gean berbalik menatap Davin seolah ingin menghanguskan temannya sekarang juga, "Gue kurang baik apa?"

"Lo kurang sayang sama dia, realistis aja sih. Apa yang kurang dari Tria? Lo mau nyari apa? Cewek kaya yang setara sama lo? Buat apa? Harta lo aja belom tentu lo abisin sendiri, kenapa harus mencari perempuan yang setara. Gue sih lebih pengen nikah sama perempuan yang bisa buat gue rindu tiap detik, yang kalau nyebut namanya aja bisa bikin gue melayang."

"Itu cewek apa narkoba?"

"Perumpamaan Gean, kesel gue jadinya." geram Davin, mereka masih dengan seksama duduk berdampingan di sofa yang memang mengarah ke Tria dan Afif, ini adalah acara gala dinner Gean bersama customer. Setelah acara menjamu customer selesai Gean menghabiskan waktunya dengan Davin, merundingkan masalah yang sekarang statusnya sudah siaga satu.

"Dia suka sama lo, tapi lo nya enggak keliatan serius. Ya susah, sekarang perempuan itu pinter-pinter. Nggak butuh janji manis, action yang diutamain." Davin memang paling bisa menasehati meski Gean tak yakin ia menerapkan itu pada kehidupannya, karna kenyataanya Davin itu seperti kumbang yang sering berpindah menyinggahi bunga-bunga.

"Kalau cuman kata-kata manis, Victor Hugo lewat buku-bukunya juga udah bisa bikin perasaan cewek melayang. Tapi kan ini realita, mereka butuh sesuatu yang real buat dirasakan," kata Davin dengan menggebu-gebu.

"Do something, atau lo bakal kehilangan dia? Dan sebenernya gue lihat Hilman sama Tria di Taman Anggrek lagi main Ice Skating, mesra banget. Kayak permen karet yang nempel di rambut, sulit dipisahkan." Davin mengejek Gean dengan ekspresi geli di wajahnya.

"Mungkin Tria lagi minta diajarin Ice Skating," ujar Gean. Davin sudah menyiapkan kembali amunisi untuk membuat hati Gean semakin terbakar.

"Kenapa dia harus minta Hilman ajarin? Emang dia nggak tahu lo juga jago? Atau emang Tria lebih nyaman sama Hilman dibanding sama lo?" Davin menaruh tangannya di dagu seolah tengah menganalisis hal rumit.

"Dia tau gue sibuk."

"Nah itu." Davin menjentikkan jemarinya. "Lo kurang peka, Tria itu ibaratnya lagi masa terkejutnya. Gue enggak tahu seberapa Tria sayang sama lo, tapi nih ya. Dia kan sayang sama lo udah lama, sementara lo dan Aruna di hati lo yang terkunci. Eh pas Tria mencoba mencari kebahagiaanya lewat Hilman lo merasa kehilangan, sampai lo sadar ada dia di samping lo. Menurut lo Tria kaget nggak?"

Davin sepertinya punya bakat terpendam jadi penyiar radio rasanya, Gean sampai pusing mendengar tutur kata yang keluar dari mulut Davin.

"What's the point?" tanya Gean, ia menatap Davin berharap temannya bisa memberinya solusi. "What do i have to do, Dav?"

"Keep being you," ucap Davin lemah, ia menepuk pundak Gean. "Karena yang Tria suka itu lo, yakinin dia kalau lo emang layak buat dia. Bukan karna lo lebih baik dari Hilman atau siapapun yang menyayangi Tria, tapi karna lo adalah Gean yang siap menjadi Gean untuk Tria. Yang mau berbagi tawa dan tangis kapanpun dimanapun, setia setiap saat kayak Rexona."

"Emm...," Gean bergumam mendengar kalimat terakhir Davin. "Rexona banget, Dav?"

"Ya udah udara, yang selalu ada setiap napas berhembus." Davin tertawa dengan wajahnya melihat ekspresi datar di wajah Gean, ia tertawa terpingkal-pingkal nyaris mengeluarkan air mata.

"Lo itu jago dalam merencanakan pemasaran perusahaan, tapi payah merencanakan kisah cinta lo," Davin menggelengkan kepala mengasihani sahabat karibnya.

*

"Resign banget?" tanya Gean, Tria duduk nyaman disampingnya dengan setelan batik yang melekat pada tubuh kecilnya. Gean menawarkan tumpangan pada Tria, selain karna mereka memang searah Gean juga harus bicara dengan Tria.

"Iya," angguk Tria. Ia sebenarnya merasa semuanya berubah sejak surat resignnya tiba di meja Gean.

"Why?"

"Ada di suratnya Pak, pasti Pak Gean nggak baca surat resign saya?" jauh dalam hatinya Tria sebenarnya tak ingin resign. Namun apa yang dia bisa lakukan selain mundur, satu perusahaan sudah membicarakan ciumannya dengan Gean saat itu. Pasti profesionalitasnya sebagai sekretaris diragukan, mereka akan menyangka ada affair antara Tria dan Gean.

"Karena saya?" sebelah alis Gean terangkat mencoba membaca raut wajah Tria. "Maafin saya."

Gean merasa bersalah dengan apa yang terjadi sekarang, "I'm bad guy, right?"

Napas Tria terasa cukup berat untuk berhembus, ia masih belum menyiapkan kata-kata yang pas untuk diucapkan pada Gean. Itulah mengapa ia menjadi cukup pendiam setelah surat pengunduran dirinya, karena Tria masih belum tahu harus berkata apa.

"Sederhananya sih mungkin karena saya yang salah, saya memiliki perasaan pada Pak Gean yang seharusnya tidak ada. People talking and thinking, saya udah coba bertahan dengan perasaan saya. Saya diam saja dengan perasaan saya selama ini karna saya tahu akan seperti apa akhirnya." Tria melirik ke arah lampu jalan yang cukup menyilaukan. Gedung-gedung tinggi di sekitar Jakarta selatan bahkan masih terlihat terang di setiap lantainya. "Ketika saya menyatakan perasaan saya artinya saya sudah siap kehilangan pekerjaan saya."

"Dan meninggalkan saya?"

"Saya masih di Bumi Pak Gean, kita masih bisa bertemu. Pak Gean bisa mencari sekretaris yang lebih muda, lebih fresh. Yang lebih cekatan dari saya, dan penurut pastinya," tambah Tria, meyakinkan jika akan ada banyak sekretaris yang lebih handal darinya.

Gean menepikan mobilnya, Tria tidak terlalu terkejut. Karna sudah menjadi kebiasaan Gean jika sedang berbicara serius ia akan memilih menepi.

"Hilman gimana?"

Alis Tria menggernyit mendengar nama Hilman keluar dari mulut Gean, "Pak Gean kan sepupunya, yang lebih tau Hilman pasti Pak Gean. Kenapa tanya saya?"

"Bukan itu Tria, kamu bahagia dengan Hilman?" tanya Gean dengan mata yang menatap tepat pada iris hitam milik Tria.

"Hilman bilang saya lebih bahagia dengan Pak Gean, sekarang Pak Gean tanya saya bahagia dengan Hilman apa enggak?" decak Tria, ia hampir memutar bola matanya jengah.

"Memangnya apa definisi bahagia?"

"Smile? Laugh? Or what?" Tria mendesah, "Saya yang enggak tau diri. Terjebak di anatara dua orang yang katanya sayang sama saya meski tak ada wujud nyata dari rasa sayang mereka."

"Saya bahagia dengan Pak Gean atau tanpa Pak Gean. Saya juga bisa tertawa dengan Hilman atau tanpa Hilman," keluh Tria. "Ini bukan tentang saya yang lebih bahagia dengan siapa, atau lebih banyak tersenyum dengan siapa. Tapi tentang seberapa serius dan tanggung jawab orang yang ingin menghabiskan waktu dengan saya."

...........

Lagi menatap future husband yang masih buram, jadi butuh fokus.💕💕