webnovel

Guest

Hujan itu turun, bukan jatuh. Yang jatuh itu aku, Di hatimu.

-Anonym-

©

"Pak?"

Sebelah alis Tria sudah terangkat menatap ragu pada apa yang kini tengah Gean lakukan.

Sepanjang sejarah Tria bekerja dengan Gean, untuk pertama kalinya Gean mengunjungi indekost Tria yang jauh dari kasta Brahmana yang sering Gean agungkan.

"Kamu pasti seneng saya di sini? Ya kan?"

Gean merangkul bahu Tria, mengajaknya masuk melewati gerbang indekost Tria yang memang terbuka.

"Lebih tepatnya kaget sama takut," kata Tria. Ia masih belum bisa mengendalikan rasa terkejutnya. "Kalau ada Pak Gean di sini. Pasti ada masalah, atau nggak masalah yang lagi nunggu saya."

Kebetulan Indekost Tria mempunyai ruang tamu yang biasa digunakan para penghuni kost untuk menjamu para tamunya. Gean duduk di kursi yang terbuat dari rotan, mata Gean berubah seperti pemindai yang sedang menscan hampir semua penjuru indekost Tria.

"Saya cuman mau tau, tempat tinggal kamu," ucap Gean masih dengan mata yang menelisik setiap sudut ruangan.

Tria merasa cukup risih dengan kedatangan tiba-tiba Gean di sini. Setahunya ia tak pernah memberi alamat lengkap Indekostnya pada Gean, yang Gean tahu hanya indekost Tria dekat dengan Apartemennya. Tapi bukan alamat lengkapnya.

"Pak Gean tahu alamat saya dari mana? Pasti sewa mata-mata ya?"

"Ngabisin duit kalau buat cari alamat indekost kamu harus sewa mata-mata," begini nih punya bos songong yang mulutnya minta diulek pake sambel. "Mending uangnya dipake buat yang lain."

"Ngapain Pak Gean kesini?"

"Kamu nggak tawarin saya minum apa? Misalnya Orange jus? Kalau nggak ada Orange jus. Jus apel juga boleh."

"Adanya air putih, itupun hasil sulingan air keran. Kalau Pak Gean mau saya ambilin," hari sabtu indekost Tria memang sepi. Selain karena penghuninya mudik ke rumah masing-masing ada juga yang memilih hangout.

"Nggak ada Ice Lemon Tea?" tawar Gean.

"Nggak ada," tukas Tria, Tria baru sadar dengan pakaian yang Gean kenakan kali ini. Celana olahraga dengan kaus biru bergambar Superman.

"Ya udah tolong beliin saya Teh Kotak aja di depan sana," Gean mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dalam kantung celananya. "Tadi saya liat warung pas jalan kesini, sekalian beliin saya sarapan, abis lari pagi saya belum makan apapun tadi."

Masih dengan mengenakan daster tidurnya Tria berjalan sebentar ke warung yang memang dekat dengan Indekostnya, soal sarapan Tria tak yakin Gean mau menyantapnya buring abang pangkalan.

"Kok Teh Gelas?" tanya Gean saat Tria sudah kembali dengan dua cup Teh Gelas.

"Yang penting Teh, mau di gelas ataupun di kotak. Pas Pak Gean pipis nggak akan keliatan bedanya." Tria meninggalkan Gean yang mendumel masalah Teh Gelas.

"Makan Pak," Tria menyodorkan kua pancong yang dibelinya di abang-abang pikul yang lewat tadi. Sementara Tria membeli Nasi Ulam.

"Kenapa punya saya sama punya kamu beda?"

"Karena perut Pak Gean nggak cocok sarapan berat," tukas Tria. Nasi Ulam yang Tria beli memang nasi ulam langganan yang terkenal enak, bubuk kacang dan semur tahunya yang paling juara. "Beda sama saya."

"Keliatannya enak," Gean mulai mengunyah kue pancong miliknya membiarkan Tria juga menikmati sarapannya dengan tenang.

"Kamu emang udah sikat gigi?" Gean mengernyitkan matanya, "Tadi saya kesini kan kamu masih tidur."

"Saya sikat giginya sebelum tidur aja, pas bangun tidur nggak."

"Ya ampun jorok banget jadi cewek,"

"Lah kan saya udah bersihin gigi saya sebelum tidur, pas tidur saya nggak ngotorin gigi saya. Saya tidur nggak ngunyah apapun," bela Tria. Yang jelas Gean sudah bergidik ngeri melihat Tria makan dengan lahapnya tanpa menyikat giginya lebih dulu.

"Lagian Pak Gean ngapain ke sini. Ngerusak jadwal saya aja."

"Memangnya kamu punya jadwal apa?"

"Pertama saya harus tidur pagi, kedua saya harus tidur siang, ketiga saya harus tidur sore."

Bagi para pekerja weekend tak lebih berarti selain pingsan di tempat tidur, begitupun Tria. Tidur bisa memulihkan semangat dan rasa lelah karena otot-ototnya yang tegang.

"Itu berarti jadwal kamu cuman tidur aja," tandas Gean. Ia tidak tahu jam tidur Tria kalau weekend memang lebih padat merayap. Bergerak kalau perutnya lapar saja.

"Ya makannya. Bapak merusak jadwal penting saya."

"Saya mau minta bantuan kamu."

Tuhkan bener, pasti ada maunya. Insting Tria sudah bekerja sejak tadi. Tidak mungkin tanpa angin dan topan Gean mau mengunjunginya kesini.

"Tiap hari juga tugas saya bantuin Pak Gean."

Gean mendelik menatap tajam Tria, "Ya kan bantuan kamu itu saya bayar pake uang. Bukan pake daun."

"Kok kamu jadi nggak ikhlas gitu bantuin saya," tukas Gean.

Duh kan nething lagi bosnya Tria satu ini. Mungkin lagi dalam masa periodenya. "Ya sudah saya minta maaf."

"Kenapa minta maaf. Kamu kan nggak salah."

Nah lho. Tria harus apa sekarang? Kayaknya Gean beneran lagi PMS deh.

"Ya udah, Pak Gean mau minta bantuan apa?" Tarik napas, ambil stok sabar yang banyak. Jangan cakar Gean, tahan, nggak boleh marah.

"Kamu harus mau bantuin saya, kalau nggak gaji kamu saya potong."

"Emang gaji saya kue ulang tahun dipotong," balas Tria masih dengan keadaan setengah tidak sadar jika Gean sudah dalam mode serius.

"Tria," ucap Gean rendah. Ia meneguk teh gelas yang Tria belikan hingga habis. "Jam dua siang saya ada janji dengan Aruna. Dan saya mau kamu ikut dengan saya."

"Sebagai sekretaris Pak Gean."

"No, as my girlfriend."

Ada risau yang tersirat di mata Gean, sebenarnya yang salah di sini bukan hanya Aruna. Ketika Aruna meninggalkan Gean dengan keputusasaan, Gean mempunyai pilihan untuk bangkit atau tetap meresapi kesakitan yang telah Aruna ciptakan.

Dan Gean memilih untuk mengenang rasa sakit itu dibanding melupakan dan memaafkan.

"Kok kamu nggak jawab?"

"Karena jawaban saya nggak penting," Tria sadar itu. Karena yang harus ia lakukan hanya menerima perintah Gean tanpa pengecualian. "Memangnya Pak Gean peduli dengan jawaban saya?"

"Tria, kamu kok sekarang jadi sensitif? Saya bisa menemui Aruna sendiri kalau itu mau kamu," kata Gean. Keringat yang sejak tadi membasahi pelipis Gean mulai mengering, ada banyak hal yang tak terungkap di antara dua netra yang kini saling menatap.

"Sorry."

"Kalau kamu mau melanjutkan jadwal kamu yang tertunda silahkan. Saya bisa pergi dengan Davin," izin Gean seharusnya bisa membuat Tria tenang, tapi kenapa hatinya sekarang merasa kebalikannya.

"Saya ikut Pak Gean," ucap Tria dengan nada rendah.

Tria tak berhak merajuk atas apa yang kini tengah terjadi. Harga dirinya sedikit terluka ketika Gean datang hanya untuk mendapat bantuannya, memang apa yang Tria harapkan dari hubungan yang diawali dari kepura-puraan? Perhatian semu yang berujung pada sakit hati jelas bukan jawabannya.

Mungkin setelah semuanya selesai, Tria harus meluangkan waktunya untuk mencari pendamping hidup. Bukan hanya mengurusi permasalahan Gean.

"Kamu cuma perlu pura-pura jadi pacar saya aja," kata Gean. Ia masih dengan ketidakpekaannya. "Nggak perlu pura-pura sayang sama saya, apalagi pura-pura cinta. Karena saya nggak suka cinta yang penuh kepura-puraan.

©©

Besok sabtu rasa senin.

Males sekolah kan jadinya TT

01-Feb-2019.