webnovel

Ada apa dengan Gean?

Dia manggil sayang? Tiati gorengan jatoh aja dipanggil sayang.

-Unknown-

©

Satu minggu sudah Tria habiskan liburan di Sumba, kalau Tria bisa menguras sedikit dalam kantongnya mungkin ia takan sungkan menghabiskan dua minggu liburannya di sumba. Namun kantongnya tak mendukung keinginan Tria.

Dengan rasa puas diri Tria menghabiskan sisa waktu liburannya satu minggu di rumah, Gean tidak tahu jika Tria hanya menghabiskan satu minggu dan sisanya Tria akan berhibernasi di dalam kamar. Atau menyamarkan diri seperti kepompong di atas kasur.

"Kamu nggak dipecatkan?" pertanyaan itu hadir dari Jihan, Ibu Tria yang tengah sibuk membuat kue basah pesanan tetangga. Diamnya Tria di rumah cukup menimbulkan kecurigaan, karena Tria dan pekerjaan itu seperti roti dan selai. Sesuatu yang sulit dipisahkan dan selalu berdampingan. Sudah dua hari sejak kepulangan Tria dari Sumba dan ia hanya berdiam diri di dalam rumah saja tanpa melakukan kegiatan apapun.

"Nggak kok, Bu." Tria melangkah ke arah dapur, dimana ibu nya tengah sibuk menguleni tepung. "Sisa cuti tahunan ku masih banyak, Bosku lagi baik hatinya. Aku dibolehin ambil cuti yang hampir hangus ini."

"Aneh aja, kamu tuh kan paling susah libur panjang. Weekend aja kamu kadang nggak pulang, betah banget jadi anak Jakarta." Jihan tahu anak perempuannya di Jakarta bukan untuk sekedar bermain-main, Tria mencari pundi-pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

"Menurut Ibu menikah itu tentang apa?"

Hampir kebanyakan anak perempuan sangat sensitif membahas pernikahan dengan orang tuanya, tapi Tria justru lebih ingin terbuka perihal pernikahan kepada Ibunya.

Jihan sempat terkejut mendengarkan pertanyaan anaknya, ia menghentikan gerakan tangannya menguleni tepung yang memang sebentar lagi selesai.

"Finding a good person," ucap Jihan. Tria mengangguk, memanyunkan bibirnya tak puas dengan jawaban Ibunya.

"Menikah itu bukan tentang status kamu memiliki suami lalu punya anak, bukan tentang berkeluarga yang sering dijadikan beban oleh sebagian orang karena desakan." Selesai sudah Jihan menguleni tepungnya, pembahasan sensitif ini harus diselesaikan dengan pikiran terbuka.

"Society memang kadang begitu kejam, padahal aku nggak minta mereka urusin kehidupan ku. Tapi tetep aja ada orang usil bahas kehidupanku yang belum menikah, katanya sebentar lagi umurku kepala tiga tapi jodohnya masih tersesat." keluhan Tria disambut senyuman lembut Ibunya, bahagianya Tria pulang ke rumah karena akan selalu ada Ibu nya yang akan mendengarkan tanpa menghakiminya.

Ibu adalah tempat terbaik untuk menyimpan rahasia, berbagi keluh yang tak bisa kita sampaikan pada beberapa orang.

"Peduli soal ucapan negatif mereka sama sekali tidak ada untungnya, ya." Ibu Tria mengambil langkah mendekat pada Tria yang memang tengah sibuk menempelkan kepalanya di atas meja tempat Ibunya sering bereksperimen membuat kue.

"Kalau mereka mengurusi usia anak Ibu yang sudah mendekati kepala tiga, bilang sama mereka. Ibu yang melahirkan dan membesarkan kamu saja tidak mengatur jodoh kamu, siapa mereka yang berani berkata-kata soal anak Ibu dan jodohnya."

Tarikan napas Tria yang terasa lega mengundang tangan Jihan untuk mengusap pelan kepala anaknya yang memang terlihat penuh beban.

"Yaya bukannya nggak mau menikah dengan usia Yaya yang udah mateng ini," ya kalau jodohnya memang belum terlihat Tria bisa apa selain berdoa dan berusaha. Katanya kalau menikah di atas dua puluh lima bisa susah punya anak karena kondisi tubuh dan lainnya. Terkadang orang selalu mengatakan jika hidupnya memang maha benar, paling pandai mengomentari kehidupan orang lain sampai lupa berkaca diri.

"Cuman kan Ibu tau sendiri, Yaya masih belum nemuin laki-laki yang serius dengan Yaya."

"Akan tiba saatnya kamu menikah, Nak. Ibu juga nggak menekan kamu untuk segera menikah, Ibu selalu berdoa semoga suami kamu nanti bisa menuntun kamu ke arah yang lebih baik. Menyayangi kamu sama seperti Ibu menyayangi Yaya, menjaga kamu dari segala ketakutan kamu. Doa dan usaha akan selalu ada hasilnya, dari pada memikirkan ucapan negatif orang-orang tentang jodoh kamu. Lebih baik perbanyak doa, supaya jodoh yang jauh bisa lebih didekatkan."

Memang tidak akan pernah ada gunanya memikirkan ucapan orang-orang tentang status single Tria, apalagi ditambah Tria punya bos yang selalu jadi pusat perhatian. Ya nggak aneh kalau Tria ikut-ikutan diperhatiin juga.

Ponsel Tria berbunyi, notification pesan muncul di layarnya. Setelah melewati deep conversation bersama Ibu nya tadi, Tria beranjak ke kamar. Merebahkan diri di atas kasur sambil berkhayal tentang jodohnya akan seperti apa. Sampai satu pesan masuk merusak khayalan Tria.

Mr Hurry Up : Asha ngajak Dinner.

Di pikiran Tria mungkin Gean ingin menanyakan baju apa yang cocok ia kenakan untuk Dinner bersama Asha.

Mr Hurry Up : Candlelight Dinner lebih tepatnya.

Tria : Makan malem pake lilin gitu ya?

Mr Hurry Up : Kalau pake obor namanya Olimpiade.

Tria : Oh.

Tria sengaja membalas Gean tanpa minat, Gean pergi candlelight Dinner dengan Asha memangnya hubungannya dengan Tria dimana? Minta dinyalain lilinya gitu maksud Gean.

Mr Hurry Up : Kok cuman Oh aja? Kamu lagi ngapain?

Read aja, jangan dibales. Batin Tria. Ia lebih memilih melanjutkan bergelut di atas kasurnya, ini hari sabtu dan dia sibuk dengan guling dan kasur. Tiada nikmat paling indah selain kebebasan di hari weekend bagi para pekerja.

Belum setengah jam berlalu ponsel Tria sudah berdering tanda panggilan masuk, awalnya Tria pikir itu dari Gean bos yang tidak sabaran dan tak pernah mau diabaikan.

Namun dugaannya salah. Ibu Prita ternyata yang menelpon, Ibu Gean yang sibuk menjodohkan anaknya dengan beberapa perempuan yang menurutnya memenuhi kualifikasi.

Tria menarik napas dalam sebelum menjawab telponnya, "Hallo!"

"Trriiiaaaa," seru Ibu Gean di ujung sana. Jelas terdengar rasa antusiasme yang tinggi, yang tak Tria ketahui atas apa.

"Kamu inget keponakan Tante, Adek sepupunya Gean. Yang waktu itu dateng di ulang tahun Tante, namanya Hilman."

Mata Tria sedikit mengernyit setelah mendengar rentetan kata yang begitu cepat, jika di luar urusan kantor Prita selalu menyuruh Tria memanggilnya Tante jangan Ibu. Namun Tria sedikit keberatan karena tak enak dengan yang lainnya, meski pada akhirnya keinginan Prita tak bisa ditolak juga olehnya.

"Yang mana ya, Tante?" Tria berusaha mengingat lembaran demi lembaran memori yang terlewat saat pesta ulang tahun Ibu Gean. Dan yang datang lumayan banyak, ada di bagian mana Hilman saat itu. Lagi pula apa maksud Ibu Gean menanyakan Hilman?

"Yang tampan itu lho Tria, tapi masih tampan Gean."

Jawadrop

"Saya lupa Tante, memangnya kenapa ya, Tan?"

"Tante mau kenalin kamu sama dia. Siapa tau kalian cocok, dia lagi cari calon istri. Kelamaan tinggal di Singapur sampai lupa cari jodoh, kamu kesini dong. Nanti Tante kasih alamatnya, ini kan weekend kamu nggak ada urusan sama Gean kan? Kamu siap-siap aja ya. Nanti Tante kirim alamatnya, nggak usah buru-buru. Hilmanya juga belum dateng. Dah Tria, see you yaa."

Pip.

Kini Tria tahu dari mana asal muasal kebiasaan Gean yang tak ingin ditolak dan tak pernah mendengarkan penjelasan lebih dulu.

Memangnya Gean tak memberitahu Ibunya jika Tria pergi liburan? Ah, tidak mungkin juga Gean harus melapor segalanya pada Ibunya.

Jam satu, dan Tria sama sekali belum mandi.

*

Jakarta, sudah lebih dari seminggu Tria tak menyapa. Dan ternyata masih sama, macet.

Langit Ibu Kota sore ini tak terlalu cerah, mendung menunggu hujan turun. Kokas, Tria baru saja menginjakan kakinya di mall yang ada di daerah tebet.

Tria mengenakan rok selutut berwarna coklat dengan kemeja putih motif bunga sakura, ia mengenakan tas raken abu miliknya. Bu Prita menunggu di salah satu tempat makan yang ada di dalam mall.

"Tria," Bu Prita melambaikan tangannya ketika Tria baru saja memasuki tempat makan yang diinfokannya. "Di sini sayang."

Senyum canggung pertama kali ketika menyapa Pria yang kini duduk di depan Bu Prita, Tria tak berani menilai ketika baru pertama kali melihat. Rasanya itu terkesan tak terlalu sopan. Maka dengan sabar Tria mengikuti ritme yang sudah diciptakan Bu Prita.

Hilman, pria berusia tiga puluh satu tahun yang sudah menetap di Singapur hampir lima tahun. Kembali ke Indonesia untuk cari calon istri yang memenuhi kualifikasi keluarganya. Adik sepupu Gean ini adalah seorang IT yang cukup mempunyai jam terbang sibuk.

Percakapan demi percakapan ringan mengalir begitu saja, Tria sama sekali tak keberatan ketika ia harus menghabiskan waktu lebih lama dengan Hilman.

Pertama mungkin karena tidak ada salahnya mencoba, Hilman orang baik, sopan dan tentunya tidak cacat mental seperti Gean. Tria kan memang butuh pasangan hidup, mungkin ini jawaban atas segala doa yang ia panjatkan.

Secara personal, Hilman ramah. Tidak membuat Tria canggung dengan pertanyaan-pertanyaan privasi yang terkadang dilayangkan pada saat pertama kali berjumpa.

."Tria ya...?" seorang perempuan dalam balutan dress abu menyapa Tria.

Kening Tria mengernyit, mengingat siapa perempuan yang tengah menyapanya.

"Gue Desi, temen SMA lo!"

Oh... Tria baru ingat sekarang, Desi yang dulunya memang selalu merasa menjadi pusat perhatian itu. Yang merasa populer dan keren itu.

"Hai De," Tria menyapa, sementara Bu Prita dan Hilman ikut tersenyum.

"Lama ya," tanpa diundang Desi memilih duduk di samping Hilman, tepatnya di depan Bu Prita. "Kok lo nggak pernah ada kabar, di grup kelas juga jarang aktif."

Tria hanya menyunggingkan senyum, ia memang tak terlalu akrab dengan teman-teman masa SMA nya.

"Kapan nikah?"

Someone please teach her, gimana caranya menyapa orang yang baik dan benar.

"Soon, doain aja." jawab Tria, ia melirik ekspresi Hilman lewat ekor matanya.

."Kalau nikah jangan lupa undang-undang ya," lanjut Desi. Tuhan kenapa Tria punya teman seperti ini.

"Rumah lo masih di Serpong?"

"Nggak lah, Tria. Lo lupa gue udah nikah? Ikut suami gue di Kalibata."

Tria tahu kok Desi sudah menikah, kan Tria dateng waktu resepsi pernikahannya dua tahun lalu. Tria hanya bertanya sekedar basa-basi, hanya saja ia tak mau menanyakan hal-hal yang menyakiti perasaan orang lain. Misalnya apa Desi sudah punya anak? Tria tak mau bertanya seperti itu, karena tau itu tidak sopan.

"Oh," Tria hanya menganggukan kepalanya. Ia menyesap lemonade miliknya perlahan-lahan. Bingung dengan suasana Awkward yang tercipta, sampai Tria mengenalkan Desi pada Hilman dan Bu Prita.

"Gue ke suami dulu. Kesini cuman buat beli minum, eh ternyata ketemu lo di sini." Desi berpamitan pada Bu Prita dan Hilman Selang beberapa menit dari kepergian Desi langsung ada notification dari grup chat teman SMA Tria.

12 IPS 4 Gokss.

Desi : Akhirnya setelah ratusan purnama gue ketemu si Ikan Teri.

Desi : Sent picture.

Desi : Lagi cari jodoh dia.

Awan : Ya ampun, Ikan Teri kita masih jomblo ya. Kapan-kapan main sini sama gue, gue cariin jodoh buat lo.

Yeni : Jangan lupa nikah ya Teri, punya suami itu kewajiban.

Rifki : Beda kalau wanita karir, nggak mikirin jodoh. Mikirinya naik jabatan sama gaji.

Mood Tria langsung terjun melihat gambar yang diambil oleh Desi secara diam-diam, panggilan Tria di sekolahnya dulu adalah Ikan Teri. Karena badan Tria yang kurus dan ejaan Tri menurut teman-temannya terlalu sulit.

Ia hanya melihat pesan itu tanpa berkeinginan membalas apa yang sudah Desi kirim ke Grup chat itu.

"Gean ada acara makan malem sama Asha lho," ucap Bu Prita. "Tante seneng hubungan Gean sama Asha berjalan lancar."

"Asha yang model itu ya, Tante?" tanya Hilman.

"Iya, Bukan cuman Ibu kamu aja yang khawatir anaknya belum punya calon istri. Tante juga, naluri seorang Ibu yang ingin anaknya bahagia." ucapan Bu Prita hanya ditanggapi senyuman oleh Tria.

Hilman orangnya tidak mau terlalu ikut campur atau tidak terlalu mau tahu perihal urusan yang memang bukan urusannya. Ia justru sibuk menanyakan hal-hal ringan mengenai Tria.

"Tante pulang dulu ya." pamit Bu Prita tiba-tiba. "Nggak enak ganggu kalian."

"Pulang sama siapa? Tadi kan aku yang jemput Tante, aku anterin aja ya." tawar Hilman.

"Nggak usah," tolak Prita. "Gean jemput Tante kok, dia baru masuk parkiran kayaknya."

Entah kenapa Tria sama sekali tak khawatir jika Gean kesini, karena hatinya sudah cukup dibuat mendung dengan kehadiran Desi.

Benar saja, Gean menyusul Ibu nya. Menyapa Hilman yang memang adik sepupunya.

"Lama di Jakarta?" tanya Gean.

"Kayaknya, gue mau cari apartemen. Kata tante mending Apartemen di tempat lo," Ucap Hilman tenang.

Sementara Tria sibuk melihat flatshoes orange miliknya.

"Boleh, nanti gue coba bantu."

"Ayo, Ge. Nanti kamu telat pergi sama Asha." Bu Prita bangun dari duduknya, mengapit lengan Gean seperti anak TK yang akan diajak menyebrang jalan. "Tante pulang dulu ya, Hilman anterin Tria sampai rumah dengan selamat ya."

Gean melirik Tria dalam tatapan penuh kecurigaan yang membuat Tria sedikit sulit menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya.

Mr Hurry Up : Come to my Apartemen! Now.

Tria : I am busy right now.

Mr Hurry Up : Come to me or I'll come to you.

Tria : Pak Gean punya janji Dinner sama Asha, if you forget.

Mr Hurry Up : Already cancel.

Read aja, biarin aja. Ini bukan weekday, Tria punya hak untuk tak menuruti keinginan Gean kali ini.

"Kamu suka es krim?" tanya Hilman, ia sudah cukup baik hati membiarkan Tria mengabaikannya karena pesan dari Gean.

"Suka."

"Let's get some ice cream." ajak Hilman yang tentu saja disetujui Tria.

"Dairy Queen, its okay?"

"Yuuppp."

Satu blizzard large Classic Oreo, sementara Hilman lebih memilih Greentea Blizzard dengan ukuran reguler.

"Kamu kalau weekend suka kemana aja?"

"Tidur kebanyakan, suka males kemana-mana. Dan nggak ada yang ngajak kemana-mana juga." jawaban Tria disambut tawa ringan Hilman.

"Berarti kalau aku ajak jalan boleh?"

"Boleh kok, kalau lagi nggak ada kegiatan atau urusan. Lets meet again."

"Kamu pasti kaget waktu Tante Prita minta ketemu di sini," ada raut tak enak hati di wajah Hilman.

"Sedikit, ternyata selain ngurusin jodoh anaknya. Bu Prita juga punya sampingan urusin jodoh keponakannya." ucap Tria seraya tersenyum setelahnya. Ia sama sekali tak bermaksud menyinggung.

"Kamu pasti berpikir kalau aku payah, sampe minta bantuan Tante Prita untuk kenalin sama cewek."

"Nggak lah. Kenapa juga harus mikir gitu, aku malah mikir kamu pasti cowok yang sayang keluarga. Karena kamu percaya sama Tante kamu."

"Gold to hear that." seulas senyum di wajah Hilman membuat Tria teringat Gean, mungkin karena mereka masih punya ikatan darah jadi ada saja kemiripan itu wajar saja.

Mr Hurry Up : Saya di Haagen-Dazs lantai Ground, kamu mau saya naik ke atas atau kamu pamit sama Hilman?

Shit... Rasanya Tria ingin mengumpat dengan tingkah Gean yang tak pernah bisa membiarkan Tria tenang.

Mr Hurry Up : Please hurry up, Sayang 💕

TBC

Pas baca awal-awal komen banyak yang bilang ini mirip Sekretaris Kim, mungkin karena sama Sekretaris dan Bos. Kalau kalian udah baca sampai sini, pasti tau kalau ini beda. Sama temanya aja kali.

Gue bersyukur Our Boss bisa diterima user webtoon, senang juga karena banyak yang berminat baca kisah Tria dan Gean.

Vote if you think this story deserve your star. 💕 Kei.