1 A Glimpse of Life's Background

Berusia 21 tahun di hari pertamanya masuk kuliah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui bagi seorang gadis yang telah cukup lama mengambil gap year setelah kelulusannya dari sekolah menengah atas. Kini Ia tengah berupaya sekuat tenaga melangkahkan kakinya, ke dunia yang akan mengisi hari-hari barunya kurang lebih selama 4 tahun ke depan, dunia Universitas!

Ia mengenakan t-shirt putih dilapisi trucker jacket dan skirt berwarna earth tone selutut dengan tas punggung fjallraven kanken. Bahunya tegap, menyeimbangkan beban di kedua punggungnya yang terlihat lebih besar dari berat tubuhnya. Rambutnya yang berwarna hitam bergelombang tidak ia biarkan terurai begitu saja, Hannah mengikatnya menjadi satu dengan pengikat rambut berwarna coklat.

"It's a new beginning! Break a leg and fighting!", gumamnya pada dirinya sendiri. Hannah tersenyum melihat sekumpulan mahasiswa baru yang mengelompokkan diri sesuai dengan jurusan masing-masing di gedung serbaguna universitas yang luas itu, membuat Hannah lebih mudah untuk menemukan teman-teman satu jurusannya.

Selama ini Hannah yakin, Ia hanya membutuhkan sebuah 'awalan' untuk memulai kembali hidupnya yang nyaris berakhir, menghapus cerita-cerita lama agar tak terendus bahkan oleh indera penciumannya sendiri. Dan di sinilah Hannah berada, di tempat pilihan Tuhan, itu yang berusaha Hannah yakini sejauh hidupnya hingga saat ini, setelah bisa berada di institusi yang sebelumnya tak pernah terbesit ada dalam rencana masa depan Hannah.

"Mmm... excuse me, are you Sofie?" Senyumnya merekah begitu ia mengamati sekumpulan orang dan merasa familiar dengan salah satu di antaranya. Tidak, Hannah tidak pernah bertemu muka dengan seseorang bernama Sofie di hadapannya, Ia hanya melihat ava profil gadis itu pada aplikasi yang digunakan teman-teman seangkatannya untuk berkomunikasi dalam group, Circle. Hannah cukup aktif menggunakan sarana itu untuk mengenal beberapa teman, tak ada salahnya sedikit mengintip karakter orang-orang baru yang akan menghabiskan waktu selama beberapa tahun bersama. Hannah cukup antusias menyambut nano-nano sifat manusia yang akan Ia hadapi, orang-orang yang setidaknya tidak pernah, atau belum, membuatnya merasa jengah atau lelah.

"Oh, siapa ya?" Balas gadis bernama Sofie dengan wajah khas orang Timur Tengah, postur tubuhnya tinggi semampai berambut kecoklatan, ia juga bersama dengan seseorang lainnya bernama Anne Blonde, nama yang benar-benar mendeskripsikan penampilan yang Anne miliki dengan warna rambutnya.

"Aku Hannah dari Jurusan Sastra, kalian pasti Sofie, dan Anne bukan?" tanya Hannah memastikan. Hannah berbicara sambil sedikit megneraskan suaranya, ia khawatir kedua temannya tidak mendengar suara Hannah yang relatif pelan di antara ribuan orang di sana. "God, really? Hannah, I never imagined, jadi ini sungguh kamu... benar-benar manis!" Sofie terlihat ekspresif dan antusias, Hannah senang dengan kesan itu, gadis itu berusaha menyeimbangkan tubuhnya ketika kedua tangan Sofie menggerakkan kedua bahunya, gemas.

"Oh God! Kau tidak lebih tinggi dari adikku, kau lucu sekali!" imbuh Sofie tak berhenti. Di sampingnya, karena merasa sungkan dengan reaksi sahabatnya, Anne menyikut lengan Sofie, Anne mengambil tangan Hannah lalu memperkenalkan dirinya sambil tersenyum, keduanya terlihat telah mengenal satu sama lain lebih lama. Tinggi Hannah tak lebih dari 153 cm, ukuran yang terbilang di bawah rata-rata bagi manusia yang hidup di daratan Amerika. Di usianya yang mendekati akhir masa pertumbuhan, bisa dibilang Hannah tak dapat tumbuh lagi, namun kesederhanan yang selalu Hannah pilih sebagai style-nya sehari-hari malah membuat kecantikan apa adanya pada gadis itu semakin menguar, ditambah juga rambut hitam bergelombang yang ikut menari-nari setiap kali gadis itu melangkah.

"Cukup menyenangkan, semoga semuanya baik-baik saja", pikir Hannah lalu bergabung dengan Sofie, Anne, dan lainnya di sana.

.

.

.

.

Bagi Hannah, babak pertama kehidupannya di universitas berjalan dengan cukup baik, walau Hannah sendiri tidak akan pernah terbiasa menjadi tak terlihat, namun hal itulah yang kini menjadi tujuan hidupnya. Sejak dulu, Hannah terbiasa dengan pengakuan yang secara tidak langsung selalu melekat pada dirinya yang selalu saja sempurna. Hannah bukanlah seseorang yang suka mencari ketenaran dan publisitas tentang banyak hal dalam dirinya secara disengaja, namun lampu podium tak pernah berhenti menyorot dan mengikuti langkah kakinya sepanjang hidup, sehingga saat semua itu tiba-tiba pergi, tanpa sengaja Hannah merasa kehilangan dan kembali mengharapkan untuk menguatkan hatinya yang kadang rapuh, seperti sekarang.

Menjadi dikenal oleh setiap orang karena upaya dan kegigihan yang Hannah lakukan untuk setiap hal yang Ia lakukan, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Di setiap acara pertemuan orang tua, tempat les atau perkumpulan belajar, Hannah selalu menjadi bintang di tengah-tengah mereka, seseorang yang dielu-elukan para orang tua karena memiliki kecerdasan di atas rata-rata, hal itu sebagian besar menguntungkan dan menyenangkan bagi hidup Hannah, namun ketika satu keadaan tiba-tiba collaps dan bergeser sedikit saja ke arah berlawanan, tatapan-tatapan itu perlahan berpindah menjadi sorotan jenuh dan rasa enggan. Terlupakan.

Ketika Hannah masih berada di taman kanak-kanak, Ia selalu menjadi yang paling pertama menguasai banyak hal, mengajari teman-teman satu kelas yang bahkan tak bisa baca tulis, saat itu Hannah justru telah menguasai bahasa Jerman yang cukup rumit. Ketika sekolah dasar, Hannah selalu menjadi nomor 1. Kehidupan sekolah menengah pertamanya tak jauh berbeda, Ia menjadi peraih ujian masuk dengan nilai tertinggi dan keluar sebagai lulusan dengan nilai terbaik di sekolahnya. Hingga saat Ia menjadi siswi SMA, Ia cukup terkenal karena berbagai hal atas kemampuannya memenangkan berbagai ajang perlombaan.

Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan semakin membawa Hannah menuju kearah yang berlawanan untuk impian-impian yang pernah hidup di dalam hatinya, nyatanya Ia baru saja menyadari kalau dirinya benar-benar bukan apa-apa dan 0 besar setelah apa yang Ia dapatkan. Ia mungkin pernah berada pada puncak yang diimpikan semua orang, namun dunia tidak sesempit yang Hannah bayangkan, bahkan dunia sama sekali tidak sekecil itu dalam imajinasi Hannah sendiri. Sekalipun Ia berusaha dengan keras mempertahankan, Ia masih hanya sebatas nomor 1 di kehidupan taman kanak-kanaknya, kehidupan sekolah dasar, sekolah menengah, juga berbagai kontes yang telah dimenangkannya. Pikirannya diliputi oleh berbagai hal yang tengah Hannah hadapi sendirian, Ia perlu bersusah payah mempertahankan kewarasannya untuk bisa berdiri tegap di tengah-tengah keheningan yang bisa membuatnya hancur kapan saja. Karenanya, berulang kali Ia mengalami kegagalan. Kegagalan demi kegagalan di akhir-akhir masa kehidupan remajanya yang telah berlalu.

Nyatanya Hannah benar-benar sangat kesulitan meraih impian yang telah dibangunnya sejak kali pertama Ia mengenal dunia. Kecelakaan yang Hannah alami beberapa tahun silam bersama Ayahnya, meninggalkan memori yang begitu mencekam dan merusak sebagian kemampuan Hannah, bayangan bagaimana itu terjadi di depan matanya, bau anyir darah yang kemudian bercampur dengan derasnya aliran air sungai yang membuat Ayah Hannah tak pernah lagi muncul ke permukaan, dan suara-suara riuh yang terdengar samar beberapa lama setelahnya. Setelah semuanya begitu terlambat bagi Hannah untuk menyelamatkan orang paling berharga dalam hidupnya, Jonathan Alexander.

Kehidupan Hannah tidak pernah berjalan lancar setelah hari itu, koma berbulan-bulan yang Hannah lalui, rasa trauma yang kerap kali datang di setiap kesempatan, mimpi buruk tentang terperangkap dalam sempitnya mobil sedan yang kala itu Ia tumpangi bersama Ayahnya, juga kondisi Ibu Hannah yang kian menurun sepeninggal suami dan anaknya yang terus saja terbaring di rumah sakit berbulan-bulan lamanya. Setelah sadar dan kembali, Hannah tak punya banyak waktu untuk menangisi keadaan, bagaimanapun Ia merasa harus menebus semuanya, membuat Ibunya kembali pulih atas rasa sakit yang diderita karena kesepian yang cukup lama. Hannah ingin menebus semuanya, mulai mengumpulkan dirinya kembali, melakukan semuanya sebanyak mungkin agar Ibunya kembali seperti sedia kala. Ia tidak bisa lagi melihat ke arah impian-impiannya, bahkan tubuhnya gemetar begitu hebat setiap kali melihat darah, dan Hannah telah bertahun-tahun terjebak dalam lingkaran pekerjaan apa saja yang bisa Ia lakukan untuk mengusir mimpi buruknya jika banyak tidur. Semua itu membuat prioritasnya terpecah. Sorotan lampu yang dari awal mengikuti kehidupannya, seolah kehabisan energi dan kian meredup, dirinya terlupakan oleh akal sehatnya sendiri, kehidupan yang Hannah jalani semakin lama semakin menuju kepada ekspektasi yang jauh dari kata terjadi. Padahal, Ia ingin sekali menjadi seperti Ayahnya. Maka Ia memutuskan untuk melakukan hal-hal yang dengan melakukannya mampu mengobati sesak dalam dadanya, Ia kerap kali mengikuti volunteering di berbagai kegiatan sosial, membersihkan sampah di pinggir pantai, mengunjungi korban bencana alam, mengajar anak-anak tuna wisma, dan hal-hal lain yang pernah Ia lakukan bersama Ayahnya. Hannah benar-benar ingin mewujudkan impiannya menjadi seorang dokter. Impian yang pernah Ia diskusikan saat kecil bersama mendiang Ayahnya. Lebih dari itu, Hannah sering kali merindukan dirinya menjadi sosok paling keren yang dilihatnya ada pada Jonathan, Ayahnya adalah seorang dokter ahli bedah yang memiliki ribuan jam kerja. Namun semuanya harus Hannah kubur dalam-dalam, Hannah hanya bisa memikirkannya sepanjang 21 tahun hidup yang telah Ia lalui.

.

.

.

.

Kini Hannah sedang meluruskan tubuhnya di tengah sofa baca memanjang di ujung ruangan apartemen bernuansa biru vintage tipe studio dengan ornamen kayu yang Ia tempati sendiri, di kanan kiri tembok dihiasi dengan rak buku yang berjajar rapi sedikit berdebu, rasanya baru 1 atau 2 hari yang lalu Hannah merapikan dan membersihkan koleksi buku-bukunya, namun partikel kecil menyebalkan itu lagi-lagi kembali menempel tanpa dosa pada lembaran-lembaran kesayangannya lagi dan lagi.

Ia mendengus, lalu menguap begitu saja dengan buku yang tergeletak di atas dadanya. Ya, tertidur dalam posisi ini benar-benar menjadi hal biasa bagi Hannah sepulang Ia bekerja dan kini telah kembali berkuliah, Ia tak ingin tidur terlalu nyenyak dan memilih menghabiskan banyak waktu luangnya membaca buku, bukannya bersiap mengambil makanan untuk makan siang, Ia langsung beringsut tertidur di sofa baca setelah terhanyut dalam beberapa lembar halaman buku favoritnya. Itulah mengapa Hannah tidak pernah gemuk, Ia jarang sekali makan.

Hannah telah cukup lama tinggal di studio miliknya, beberapa tahun Ia tinggal di sana setelah Hannah dan Ibunya memutuskan untuk menjual rumah lama mereka, Hannah tidak pernah menyesali keputusan itu, karena hanya ada kenangan kehilangan yang mengisi rumah keluarga kecil mereka dahulu, setelah Ibu Hannah pergi, ia tidak mau sendirian di rumah itu. Sebelum berkuliah, Hannah beberapa kali bekerja di beberapa restoran cepat saji, juga bekerja kesana-kemari menjadi volunteer di event kecil maupun besar yang ada di kota tempat apartement Hannah berada, apartement pemberian ayahnya yang seharusnya diberikan untuk Kakak Hannah yang menghilang begitu saja sejak Hannah berusia 7 tahun, waktu yang amat kejam memisahkan kedua kakak beradik yang saling mengasihi satu sama lain saat itu.

Hannah lahir di keluarga yang sangat berkecukupan, Jonathan adalah seorang dokter, yang dalam kesibukannya tak pernah berhenti memberi kasih sayang kepada Hannah juga tak berputus asa melakukan pencarian terhadap Alex, Kakak Hannah. Ia dinyatakan hilang dan tidak lagi pulang ke rumah sejak kali terakhir Ia masih berada di sekolah dasar dan masih berusia 10 tahun. Sejak saat itu, semuanya telah berlalu dan kebahagiaan sedikit demi sedikit membaik setelah beberapa tahun, luka akibat kehilang itu muncul kembali setelah apa yang dilalui Jonathan dan Hannah setelahnya. Hingga kini, Hannah bahagia Ibunya akhirnya bisa bangkit kembali, Ia bahagia kalau kini wanita kesayangannya kembali menemukan kebahagiaan hidupnya lagi, Hannah tak pernah sanggup setiap kali Ia melihat Larissa menangis sendirian di sudur ruangan, seolah menyembunyikan banyak luka yang tak ingin dilihat oleh anaknya yang tersisa. Pernikahan kedua Larissa, membuat Hannah memiliki seorang adik laki-laki yang bisa Hannah terima dengan baik, Ia adalah anak dr. Loui dari mendiang istrinya terdahulu, ah sulit sekali memanggilnya Daddy, Hannah mengenal Loui seumur hidupnya dengan sebutan Uncle sebagai teman baik Ayahnya.

Larissa yang telah memutuskan untuk membuka kembali lembaran baru kehidupannya setelah semua yang Ia lalui juga telah mengubah hidup Hannah. Hannah begitu bersyukur Ibunya telah bersedia menerima dr. Loui sebagai suaminya, setidaknya, Ia tahu kalau Ibunya lebih baik-baik saja bersama orang yang tepat. Dan ketika mereka memutuskan untuk tinggal di Jerman, Hannah memilih untuk menetap di Amerika tempat Ia harus memulai semuanya dari awal. Hannah hanya sesekali mengunjungi rumah Larissa dan Loui, berpisah dengan orang tua satu-satunya bukanlah hal yang mudah untuk Hannah, namun juga tak membuatnya bersedih dan putus asa. Toh, Hannah tak pernah kekurangan kasih sayang, walau jarang bertemu, Ibu yang kerap disebut dengan sapaan Mommy itu rutin menanyakan kabar Hannah dan Uncle Loui yang memerankan perannya dengan baik sebagai Ayah sambung dari Hannah. Loui adalah seorang dokter senior yang telah bekerja lebih lama dari Hannah hidup di dunia, pria paruh baya yang merawat Ibunya dengan baik itu bukanlah orang biasa, Ia cukup kaya dan sangat dermawan seperti Jonathan. Namun Hannah tidak bisa serta merta menerima seluruh uang Loui. Ia telah merasa cukup dewasa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.

Bagi Loui, Hannah adalah anak perempuan pertamanya, pernikahannya dengan Elisabeth tidak dikaruniai anak selama bertahun-tahun, mereka hidup bertetangga dengan keluarga Hannah dan memilihi hubungan yang lebih dari saudara, bagi Loui dan Elisabeth, Hannah sudah seperti anak perempuan yang selalu mereka impikan, hingga setelah bertahun-tahun, akhirnya Elisabeth melahirkan seorang anak laki-laki, Tom yang kini berusia 8 tahun. Sayangnya, nyawa Elisabeth tidak terselamatkan. Tom yang malang justru memberi kesembuhan Larissa, bukankan selain kehilangan suami, Larissa juga kehilangan Alex? Anak laki-lakinya yang tak lain adalah Kakak Hannah. Larissa merawat Tom seperti anaknya sendiri, lambat laun kesendirian yang masing-masing Loui dan Larissa rasakan menjadi pengisi satu sama lain. Begitulah pada akhirnya Larissa dan Loui dipersatukan.

To be continue...

avataravatar
Next chapter