webnovel

ORAZIO

Malam itu menjadi malam terakhir bagi Lesya, dimana hidupnya berjalan dengan normal. Sejak gadis berusia 18 tahun itu membuka mata, semuanya telah berubah. Mulai dari kamar yang terlihat seperti kamar dari kerajaan mewah, sampai dirinya mendapat perlakuan istimewa dari seluruh penghuni istana. Sejak hari itu Lesya dipaksa untuk dipukul oleh nasibnya sendiri. Ia selalu berusaha memecahkan kehidupan apa yang sebenarnya tengah ia jalani. Transmigrasi? Tentunya bukan. Karena, dirinya masih ada dalam raga yang sama. Mereka menganggap Lesya sebagai seorang putri bangsawan kerajaan besar, dan yang lebih menariknya, rupanya gadis 18 tahun itu sedang berada di abad ke-22. Tidak berhenti disitu saja. Lesya semakin dibuat terkejut saat mengetahui jika Arsen, kekasihnya ada di sana, dengan sebuah fakta jika Arsen adalah Pangeran dari Kerajaan Prisam, atau Kerajaan berbentuk Monarki besar yang bisa menghancurkan Kerajaan lain kapanpun itu. Lantas, akankah Lesya berhasil menguak misteri yang sedang ia hadapi bersama kekasihnya?

Leni_Handayani_2611 · Fantasy
Not enough ratings
15 Chs

Sebuah Permintaan

"Berhenti berkata yang tidak-tidak, Arsen," pungkas Lesya begitu tajam.

Bukan Arsen namanya jika tidak mengindahkan ucapan Lesya, ketika dalam situasi yang seperti ini. Arsen kembali mencoba menyentuh bibir Lesya, dan Lesya lagi-lagi menggagalkannya.

"Aku malas, kembali ke Istana-mu sekarang."

"Aku tidak mau. Aku akan tetap di sini denganmu," ucap Arsen setengah berbisik.

Dalam jarak yang begitu dekat, Lesya dapat merasakan hembusan napas Arsen menyapu wajahnya. Lesya menelan salivanya sulit. Ia mendorong tubuh Arsen, dan saat hendak melangkah pergi, tangannya dengan cepat dicekal oleh Arsen.

"Lepas!" bentak Lesya, berontak.

Arsen tersenyum tipis, ia memeluk tubuh Lesya dari belakang membuat Lesya semakin minta ingin dilepaskan.

Selama menjadi kekasih Lesya, Arsen sudah tau betul bagaimana cara Lesya marah kepadanya. Contohnya seperti ini, Lesya sungguh benci pada perubahan sikap Arsen yang membuatnya tidak senang. Tidak ada yang tau hal apa saja yang menurut Lesya benar dan salah, jika gadis itu sudah marah, itu artinya Arsen telah membuat hatinya tersinggung.

Setelah bersusah payah memaksa Arsen untuk melepaskan tubuhnya, akhirnya Lesya berhasil. Ia segera bergegas pergi memasuki kamar mandi, dan Arsen tidak tinggal diam. Ia mengikuti langkah Lesya, membuat Lesya semakin dibuat kesal.

"Berhenti Arsen. Aku sedang marah padamu!!"

"Aku tau."

"Lalu kenapa kau masih ada di sini, hah?!"

"Tentu saja mau meminta jatahku."

Lesya memejamkan matanya kuat-kuat, sungguh muak dengan nada ringan yang Arsen layangkan.

"Kau tau?--"

CUP

Tentu saja Lesya terkejut saat Arsen tiba-tiba melayangkan kecupan sekilas di bibirnya. Sementara sang pelaku, hanya mengulas senyum tipis seakan tidak ada hal apapun yang telah terjadi.

Lesya menghembuskan napasnya pelan, sebelum berkata, "Sudah cukupkan? Sekarang pergi, Arsen. Aku lelah."

"Cukup? Kau bilang ini cukup? Hanya sebuah kecupan kecil tidak akan pernah membuatku puas."

Lesya membalikan tubuhnya, mulai membasuh wajahnya dengan menggunakan alat yang telah disiapkan oleh para pelayan.

Arsen yang merasa diabaikan kembali mengusili Lesya dengan caranya sendiri. Mulai dari memeluk Lesya, menciumi tengkuk Lesya, sampai memainkan pinggang Lesya menggunakan jari-jari tangannya.

Lesya benar-benar mengabaikan Arsen. Sampai aktivitasnya telah selesaipun, ia masih mengabaikan keberadaan Arsen membuat lelaki berperawakan tinggi atletis itu berdecih kesal.

"Queen, berhenti mengabaikanku."

"Aku janji tidak akan--" Arsen menghentikan ucapannya, seolah tidak yakin pada kalimat yang akan ia lontarkan itu.

"Tidak akan apa?"

"Tidak jadi."

"Kau berhentilah mengabaikanku, dan ayo, berilah aku sebuah pelukan."

"Queen."

"Jangan buat aku marah."

"Diamlah, Arsen. Aku sama sekali tidak ingin berbicara denganmu!"

Oke, sepasang kekasih ini memang memiliki sifat yang sama-sama keras kepala. Keduanya tidak ingin mengalah, sekalipun itu hanya karena hal sepele.

"Katakan apa yang telah membuatmu seperti ini?" tanya Arsen seakan hilang ingatan.

Lesya mendengus geram. "Tentu saja dirimu!!"

"Jika bukan karenamu, mood baikku tidak akan hancur, bodoh!!" Lesya menajamkan nada bicaranya, di ujung kalimat.

Arsen yang duduk di tepian ranjang milik Lesya, mulai naik dan memeluk pinggang ramping Lesya.

"Ayo beri aku pelukan." Kali ini Arsen kembali tenang. Ia mengatakan itu semua dengan nada andalannya, ketika sedang mengajukan permintaan pada Lesya.

Lesya lagi-lagi bergeming karena lebih memilih memejamkan matanya.

Sedangkan Arsen masih belum menyerah untuk mendapatkan pelukan Lesya. Belakangan ini dirinya selalu merindukan Lesya. Padahal jika di dunia nyata, rasa rindunya tidak akan sebesar ini.

"Queen, aku tau kau belum terlelap."

"Queen, kau sungguh sialan sekali," gumam Arsen membuat Lesya menepis tangan Arsen. Namun Arsen tetap mempertahankan tangannya dengan baik.

"Pergilah!!"

"Apa kau ingin aku bersikap kasar dan menyakitimu?" tanya Arsen.

"Lakukan saja jika kau bisa," ujar Lesya mulai termakan oleh rasa kantuknya.

"Tapi, aku hanya ingin pelukanmu saja. Aku juga tidak tau bagaimana caranya agar kau mau memelukku."

"Jika aku memaksamu, rasanya sungguh tidak adil dan akan berbeda dari seperti biasanya."

"Maka itu aku akan tetap menunggumu untuk memelukku, Queen."

Seketika itu rasa kantuk Lesya hilang sekejap mata. Ia menghembuskan napasnya pelan, dan tangannya mulai terurai untuk mengusap-usap rambut Arsen dengan lembut.

Arsen tersenyum lega. Jika Lesya sudah memberikan respon yang baik seperti ini, itu artinya ia akan segera mendapatkan apa yang ia mau.

Arsen semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Lesya, dan matanya terpejam menikmati elusan lembut di rambutnya.

"Ayo Queen, aku sudah mengantuk. Jadi kapan kau akan memelukku?"

"Siapa bilang aku akan memelukmu?"

Arsen berdecak kesal. "Kau mau aku gigit?"

"Cukuplah Arsen. Kenapa kau tidak mau diam?"

"Karena aku belum mendapatkan pelukanmu!!"

DEG

Arsen membentaknya? Lesya tidak salah mendengar bukan?

"Arsen, kau serius membentakku?" tanya Lesya begitu tidak percaya. Arsen adalah sosok yang jarang sekali melontarkan nada pedas. Jika sudah tajam seperti ini, itu artinya permintaan Arsen tidak main-main. Tapi, sudah Lesya katakan jika dirinya telah kehilangan minat pada Arsen, dalam artian, ia sedang tidak ingin diganggu.

"Kau mendengarnya."

"Kau pikir aku selalu sabar jika permintaanku terus kau abaikan? Aku hanya meminta pelukanmu, bukan keperawananmu, Lesya."

Tubuh Lesya semakin menegang. Emosi Arsen sungguh diluar nalar. Kekasihnya yang tampan, tidak biasanya marah seperti ini apalagi hanya karena hal sepele.

Namun, sepertinya Lesya tidak lagi heran karena makhluk hidup memang rentan berubah.

"Aku akan kembali ke Istana. Tidurlah dengan baik," ucap Arsen tiba-tiba membuat hati Lesya gelisah.

"Dan satu lagi, selama kita berada di sini, aku tidak akan menemuimu, dan jangan lupa juga, aku akan membawa masalah ini sampai kita berada di dunia nyata."

Saat Arsen hendak berdiri, dengan gerakan cepat Lesya segera bangun dan menahannya. Kini Arsen yang menepis tangan Lesya, tapi Lesya tidak berhenti begitu saja. Ia segera memeluk Arsen dari belakang, dan itu berhasil untuk membuat Arsen berhenti bergerak.

"Ini yang kau pinta bukan? Aku telah memelukmu, Arsen," bisik Lesya.

"Kau terlambat. Aku sudah kehilangan minat," ujar Arsen dingin.

"Itu yang aku rasakan tadi. Saat kau akan kembali ke Istana-mu, mood-ku seketika rusak. Karena itu aku mengabaikanmu, Arsen."

"Tapi apa salahnya beri aku pelukan? Bukankah itu akan memperbaiki perasaanmu?"

"Sudah, lepaskanlah," sambung Arsen tanpa menunggu jawaban Lesya di pertanyaan sebelumnya.

"Arsen, apa kau bersungguh-sungguh akan mengabaikanku?"

"Menurutmu?"

"Aku rasa, aku tidak tau."

"Ya sudah, cepat lepaskan."

"Tapi, aku sungguh minta maap. Lagi pula ini semua salahmu, Arsen."

"Salahku?" tanya Arsen semakin jengkel.

Lesya mengangguk kecil. "Kau yang mulai dan membuatku marah."

"Kau terlalu lebay, Lesya."

"Tidak," bantah Lesya.

"Sudahlah cepat lepaskan," Arsen kembali mencoba melepaskan tangan Lesya, namun Lesya bersusah payah untuk tetap memeluk Arsen. Bahkan, gadis itu telah mengeratkannya.

"Maapkan aku."

"Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali jika--"

"Ayo, lakukan apa yang kau mau," sela Lesya cepat, membuat Arsen tersenyum miring, dan segera membalikan tubuhnya sebelum pria itu mencumbu Lesya dengan gerakan yang begitu penuh tuntutan.

Arsen telah memiliki peluang besar, dan jangan salahkan Ia jika kali ini bermain dengan kasar.