webnovel

Pejuang Kebebasan

Paginya aku buru-buru sarapan dan berangkat menuju kantor pengacara perceraian. Aku memutuskan mendatangi kantornya supaya tidak banyak rumor berkembang. Aku ingin semua masalah beres tanpa ada kendala yang berarti.

Aku masuk ke dalam lift yang mengantarkanku ke kantor pengacara di lantai empat belas.

Saat pintu lift terbuka, ada resepsionis di sebelahnya. Aku memperkenalkan diriku dan lalu diantarkan masuk ke dalam sebuah ruangan. Firma hukum ini cukup besar juga. Sepertinya seluruh lantai empat belas adalah milik firma hukum ini.

Di pintu tempat aku diantarkan tertera nama dan jabatan pengacara yang akan kutemui. Lengkap dengan gelarnya yang panjang. Dia pasti telah menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai ke posisinya saat ini.

Aku masuk dan melihat seorang wanita sebayaku dengan wajah yang tegas ada di balik meja kerja yang terlalu besar untuk ditempatinya seorang diri. Namun dokumen yang ditumpuk di atasnya memang tidak main-main. Sepertinya dia bertanggung jawab akan banyak kasus saat ini. Ada sebuah plakat nama di atas mejanya. Tertulis hanya namanya tanpa jabatan. Mary Joanne.

"Pagi, saya James. Kemarin kita sudah bicara lewat telpon." Sapaku.

"Pagi Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Katanya ramah sambil mempersilahkanku duduk di kursi di seberang mejanya.

Kami berdiskusi lumayan lama karena aku ingin semua dokumennya lengkap dan siap untuk dikirimkan dalam beberapa hari saja.

Kondisiku setelah perceraian cukup aman karena sebelum kami menikah kami telah membuat perjanjian pra nikah. Tapi semua aset yang telah ku berikan pada Lucy tidak akan bisa ditarik kembali kecuali aku ingin memprosesnya secara hukum.

Namun aku tidak ingin memperumit masalah kami. Apa yang sudah kuberikan pada Lucy tidak akan membuatku bangkrut dan dia adalah ibu dari anakku, maka sudah selayaknya dia mendapatkan fasilitas saat menikah denganku.

Setelah selesai meeting, aku langsung merasa sangat lemas dan lapar. Arlojiku menunjukkan pukul satu siang. Gambaran mie kuno yang disajikan di Star Noodle kembali terlintas dan tiba-tiba aku merasa ingin makan disana.

Aku menyuruh sopirku mengarahkan mobil ke Star Noodle. Sesampainya di sana, kulihat pengunjungnya lumayan banyak juga. Mungkin karena jam makan siang.

Setelah masuk, aku melirik ke arah meja kasir namun yang duduk di sana adalah seorang gadis berambut merah yang kira-kira seumuran Mike. Mungkin Anne sedang ada urusan hari ini.

Hampir semua meja terisi. Aku melihat ada meja kosong di belakang dekat dapur dan aku melangkahkan kakiku ke sana. Aku duduk dan baru sebentar sudah ada pelayan menghampiriku untuk mencatat pesananku. Aku memesan dua mangkuk sekaligus beserta hidangan pendampingnya.

Suasana ramai di dalam ruangan ini mengingatkanku akan masa lalu. Saat ayah belum sesukses sekarang, kami sering makan di tempat yang sederhana. Terkadang restoran yang mewah tidak mampu menyajikan hidangan lezat yang membuat ingin memesan ulang dan membuatmu kekenyangan hingga ingin meletus.

Wangi kaldu sup sangat kental di dalam ruangan. Ada suara-suara orang yang bercakap-cakap dan gemerincing suara alat makan yang beradu dengan mangkuk mereka. Air liurku sudah akan menetes saat aku mendengar ada langkah kaki di belakangku. Itu pasti pesananku. Aku duduk dengan posisi membelakangi dapur. Tapi biasanya firasatku jarang salah.

"Permisi ya. Dua mie ayam besar, satu siomay kuah dan satu teh cina panas." Kata pelayan yang mengantarkan pesananku. Hidungku menangkap aroma yang sangat familiar.

Anne.

Aku mendongak dan ternyata memang benar Anne. Rambut hitamnya yang tebal dan panjang dikuncir menjadi satu. Dia mengenakan kaos ketat putih dan celana panjang jeans berwarna pudar. Ada celemek menutupi bajunya. Figurnya masih tetap kecil dan langsing seperti dua puluh tahun yang lalu. Wajahnya merah karena kepanasan harus lalu lalang mengantarkan pesanan.

"Halo." Sapaku.

Anne baru melihatku setelah kusapa, kelihatannya dia sedang buru-buru hingga tidak melihatku.

"James!" dia tertawa dan terlihat senang dengan kedatanganku. "Kamu sendirian? Mari makan dulu James. Nanti kalau sudah agak sepi, kutemani ya."

Aku mengiyakan dan Anne dengan lincah meninggalkanku lalu mengantarkan pesanan meja lainnya. Aku makan perlahan walaupun perutku sudah menjerit. Pertemuan dengan pengacara tadi telah menguras energiku. Tapi aku tidak rela menghabiskan makananku dengan cepat. Aku menikmati pemandangan di depanku.

Anne begitu cekatan saat bekerja. Kulihat ada beberapa tamu meminta tambahan pesanan dan Anne dengan sigap memberitahu pihak dapur. Rambutnya bergoyang mengikuti langkahnya yang cepat.

Ada satu pelayan yang membantu Anne. Satu orang duduk di meja kasir dan ada dua orang tukang masak di dalam dapur.

Saat aku menghabiskan mangkuk pertama, dan bersiap menyantap mangkuk kedua. Tiba-tiba Anne duduk di depanku.

"Aaah… capeknya. Hari ini laris sekali." Katanya dengan polos sambil tertawa.

"Kalian hanya berdua? Maksudku yang bagian melayani." Tanyaku

"Iya James. Kamu lihat yang duduk di kasir itu, Debby. Kakinya terkilir kemarin jadi aku menggantikannya sementara waktu. Hingga dia bisa berjalan normal lagi."

"Tempat ini milikmu?"

"Ya betul. Ehm… kamu mungkin tahu. Aku terlibat masalah setelah kita bertemu di Bali." Anne tampak salah tingkah. Ada beberapa bulir keringat terlihat di dahinya.

"Ya Anne aku tahu," sahutku pelan. Berusaha tidak membuatnya tersinggung.

"Well… yeah… aku dituduh melakukan hal terkutuk James. Ehm… well setelah aku keluar dari penjara. Ehm… yah tidak ada yang mau mempekerjakan mantan napi. Jadi aku mencoba berjualan mie."

"Awalnya aku berjualan dengan tenda. Dan lama-lama ada tempat yang sewanya cukup murah dan aku memutuskan untuk terus berjualan hingga sekarang." Dia memaksakan senyumnya. Kulihat tangannya di atas meja menggenggam tissue sangat rapat dan bergetar.

Namun kali ini aku menyadari saat Anne tersenyum pun ada kilat kesedihan dalam matanya. Tapi dia berusaha untuk tetap riang.

Ada dorongan kuat untuk memeluk bahunya yang kurus dan mengatakan semua itu sudah lewat dan semua akan baik-baik saja. Tapi aku hanya menatap lembut mata coklatnya yang besar. Matanya sangat dalam dan menyimpan banyak hal. Aku tidak percaya Anne telah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya selama ini.

"Hari ini kamu sendirian James? Sepupumu tidak ikut ya? Tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan. Mungkin topik tersebut bisa menunggu lainkali. Hari ini aku ingin mengobrol santai dengan Anne.

"Tidak. Tadi kebetulan aku sedang ada janji di sekitar sini," tukasku berbohong. Aku menempuh perjalanan hampir satu jam untuk ke sini. "Pukul berapa biasanya kamu tutup, Anne?"

"Kami buka pukul delapan pagi James, dan pukul empat sore kami sudah tutup. Kami butuh waktu untuk mempersiapkan untuk besoknya. Karena seperti yang kamu lihat kami hanya berlima disini." Anne tersenyum lembut.

"Lain kali aku akan mampir Anne."

"Thank you so much ya James." Anne sangat rendah hati. Dia tidak sombong atau berlagak tidak membutuhkan pelanggan. Dia memperlakukan semua pelanggannya dengan baik. Tidak heran dia memiliki banyak pelanggan disini.

Kami bertukar kabar selama puluhan tahun kami berpisah. Ternyata Anne tahu mengenai pernikahanku karena pernah melihat kabar pernikahanku di media sosial.

Hari ini sulit menyembunyikan hal-hal yang paling pribadi. Dengan adanya media sosial, hampir mustahil tidak mengetahui berita-berita terkini atau kabar dari orang-orang terdekat.

Aku juga sering mencari tahu tentang Anne Joseph melalui media sosial, namun kalau aku mengetik namanya, yang muncul adalah orang-orang asing yang tidak kukenal. Mungkin Anne tidak memiliki akun media sosial karena masa lalunya yang kelam.

Penampilan Anne tidak berlebihan tapi aku yakin dia tidak akan kesulitan menemukan pasangan hidup. Tapi aku melihat tangannya tanpa cincin, yang berarti dia sudah bercerai atau tidak pernah menikah.

"Apakah kamu sudah berkeluarga sekarang Anne? Atau mungkin sedang dekat dengan seseorang?" Tanyaku dengan ringan, berusaha tidak tampak tegang.

Anne tertawa, "tidak ada yang menginginkan seorang mantan napi James."

"Itu tidak benar Anne! Kamu cantik dan kamu tidak melakukan hal itu."

"Yah, tapi memang tidak ada yang berani mendekatiku James. Dan lagi aku memang tidak tertarik menikah, pekerjaanku sudah cukup menyita waktuku," katanya getir.