webnovel

Api Asmara

Aku kembali ke rumah dan mendapati rumah ini tiba-tiba terasa sangat kosong. Aku akan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kesunyiannya. Ada beberapa tukang yang datang memugar bagian dalamnya karena akan ada penataan ulang.

Aku naik ke kamarku dan mengemasi beberapa pakaianku. Lalu turun dan memberitahu Wina bahwa aku akan menginap di tempat lain selama proses dekor ulang dilakukan.

Aku masuk ke dalam mobilku dan pergi ke rumah Anne dan menunggunya di sana. Aku sudah tahu password masuk ke dalam rumah Anne karena seringkali menginap di sana.

Aku masuk dan mulai membawa barang-barangku di sana. Aku memutuskan tempat tidur Anne terlalu kecil. Aku mencatat akan membeli tempat tidur yang lebih besar untuk kami.

Waktu berjalan amat lambat saat kau menunggu seseorang. Dan saat waktu menunjukkan pukul enam dan belum ada tanda-tanda Anne akan pulang, aku mulai cemas. Apakah ada sesuatu terjadi padanya.

Aku menelponnya tapi tidak diangkat dan pesan singkatku juga tidak dibacanya. Aku memacu mobilku hingga sampai di Star Noodle tapi semua lampunya telah dimatikan. Aku kembali menghubungi Anne tapi masih juga belum diangkat.

Aku menenangkan diri dan memutuskan untuk kembali ke rumah Anne dan menunggunya di sana. Saat mobilku hendak menepi di depan rumah Anne, aku melihat sosok Anne berdiri di depan pagar. Anne mengenakan dress yang pas di badannya berwarna krem dengan lengan kecil. Dan dia mengenakan sepatu berhak tinggi hari ini.

Disampingnya berdiri seorang laki-laki jangkung berambut hitam sedang tertawa-tawa dan merangkul punggung Anne lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah.

Mereka tidak melihat mobilku yang menepi karena telah masuk ke dalam rumah. Aku mematikan mesin dan memutuskan untuk menunggu beberapa saat sebelum masuk.

Rasa cemburu membuatku naik pitam. Apakah Anne berkencan dengan laki-laki lain di belakangku? Kenapa penampilan Anne hari ini begitu berbeda?

Lalu aku turun dan memasukkan password untuk membuka pagar rumahnya. Lalu berjalan cepat dan masuk ke dalam rumah. Mereka tampak kaget melihatku masuk.

Laki-laki itu duduk berdekatan dengan Anne di sofa. Aku membanting pintu depan dan mengangkat kerah laki-laki itu dan hendak memukulnya.

Tiba-tiba Anne berteriak, "James… stop!!"

Aku melihat ke arahnya dan membelalak. Beraninya Anne membela laki-laki lain.

"Dia adikku James." Kata-kata Anne bagaikan air dingin menyiram kepalaku.

Aku langsung melepaskan kerah bajunya dan laki-laki itu menatapku dengan tatapan marah tapi dia masih diam saja.

"Maaf… Anne...Perkenalkan, nama saya James Marcus." Aku memberikan tanganku kepada laki-laki tersebut sebagai tanda perkenalan dan upaya meminta maaf.

"Arthur Joseph."

"Maaf Arthur. Adik Anne, kalau saya tidak salah?"

"Benar. Dan kenapa kamu bisa masuk kesini tanpa permisi?" Tanyanya sengit.

"Ehm… Art, ini James teman lamaku. James, Arthur adalah adikku yang paling tua." Anne mencoba menengahi kami.

"Maafkan tentang yang tadi Arthur." Aku memaksakan sebuah senyum.

Kami kembali duduk dan Anne pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

"Jadi kau pacar Anne sekarang?"

"Bisa dikatakan begitu. Kita pernah bertemu dahulu sekali Arthur." Aku berusaha menenangkan Arthur yang sepertinya masih marah karena sikapku tadi.

"Aku tahu. Dua puluh tahun lalu kan?"

Ternyata Arthur masih mengingatku. Aku merasa lebih santai sekarang, "benar."

"Apa pekerjaanmu?"

"Aku bekerja di sebuah perusahaan penerbitan buku."

"Bagian apa?"

"Di bagian manajemennya," sahutku singkat. Sepertinya aku sedang mendapat interogasi singkat dari adik tertua Anne. Tapi aku menyukainya karena dari caranya bertanya, terlihat betapa besar rasa pedulinya terhadap Anne. Lagipula aku tidak mudah terintimidasi oleh anak seusianya.

"Hari ini aku hanya mampir sebentar untuk menanyakan kabarnya. Anne hampir-hampir jarang beristirahat walaupun hari libur."

"Yah aku tahu Anne memang bekerja sangat keras."

Saat mendapati bahwa aku lumayan bisa dipercayai, nada bicaranya mulai tenang. Aku melihat bentuk wajahnya mirip dengan Anne dengan rambut hitamnya hanya saja matanya berwarna biru jernih.

"Dimana kau bekerja Arthur?"

"Dia adalah seorang manajer pemasaran di sebuah real estate." Anne yang menjawab pertanyaanku saat dia masuk membawa tiga gelas minuman dingin.

"Dia sudah menikah dan istrinya baru saja melahirkan anak ketiga tadi sore. Aku baru saja mempunyai tambahan keponakan. Yeaayy…." Anne tertawa sambil bertepuk tangan dan seketika suasana langsung mencair.

Anne yang hangat selalu tahu cara membuat sekitarnya rileks. Arthur bercerita sekilas tentang pekerjaannya dan kami ngobrol ringan tentang politik lalu saat minumannya habis, Arthur berpamitan. Arthur harus segera kembali ke rumah dan mengurus kedua anaknya karena besoknya akan membawa mereka menemui adiknya yang baru lahir.

Anne mengantarnya keluar hingga keluar pagar dan lalu masuk ke dalam rumah. Aku masih duduk di sofa dan menghabiskan minumanku pelan.

"Kau tidak mengangkat teleponku."

"Maaf James tadi kami makan di dekat rumah sakit dan suasananya ribut sekali. Aku tidak mendengar ponselku berbunyi." Anne berdiri seperti anak sekolah yang ditegur gurunya.

"Tidakkah paling tidak kamu seharusnya mengeceknya sesekali Anne?" Aku mengamati Anne dengan tajam.

"Yah aku lupa, okay? Tadi aku begitu bersemangat dan biasanya tidak ada yang mencariku."

"Well sekarang ada aku kan!!" Aku berdiri di depannya persis.

"Yah tapi aku tidak selalu harus melaporkan posisiku kan James? Aku bukan lagi narapidana!!" Anne tampak terluka.

"Tentu saja kau harus Anne." Aku memegang tangannya.

Anne mengibaskan tangannya, "tapi aku tidak wajib harus membalas teleponmu setiap saat James. Aku bukan siapa-siapamu."

Aku menarik pinggangnya, "kau milikku Anne."

"Lepaskan James!!" Anne menarik badannya keluar dari peganganku.

"Tidak Anne, kau selamanya hanya milikku," lalu aku menutup diskusi kami dengan sebuah ciuman panas dan penuh emosi. Aku memagut bibirnya dengan penuh gelora. Mencari lidahnya dan membelit lidahnya dengan lidahku. Aku memegang erat pinggangnya yang terasa amat ringkih dalam genggaman tanganku.

Aku begitu kuatir Anne terluka dan aku merasa cemburu saat dia berdekatan dengan pria lain. Aku ingin dia hanya menjadi milikku. Tapi Anne tidak ingin aku memilikinya. Keinginan untuk memiliki Anne begitu kuat menguasaiku saat ini.

Anne melepaskan ciumanku dan berteriak. "Lepaskan James! Aku bukan milikmu. Aku tidak akan pernah menjadi milikmu. Sejak kau meninggalkanku dua puluh tahun lalu. Aku bersumpah tidak akan pernah lagi menjadi milik siapapun!"

Anne memalingkan mukanya.

"Anne… oh Anne… dengarkan aku." Aku memegang wajahnya dan memaksanya melihatku, "Maafkan aku Anne. Aku tidak menemanimu saat itu."

"Tapi aku membutuhkan kesaksianmu saat itu James. Dan kau tidak pernah muncul." Suara Anne mulai bergetar dan pelan-pelan. Lalu Anne menarik nafas dalam dan melihatku. Ada keteguhan di sorot matanya

"Sekarang semuanya sudah berlalu James. Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi." Anne menghapus air matanya dan berusaha keras menenangkan diri.

Aku memeluknya erat-erat, awalnya Anne menegang dan berusaha keras tidak menanggapi. Aku mengelus punggungnya naik ke atas dan menemukan ujung resletingnya dengan mudah. Aku menurunkannya pelan sambil mencium leher Anne yang terbuka. Aku menggigit bahunya dan Anne meremas pelan dadaku.

Saat aku berhasil membuka resletingnya, aku menarik lepas gaun Anne, "sepanjang malam hal ini membuatku gila Anne. Jangan menggunakan gaun ini lagi saat bersama orang lain." Mulutku turun dari bahunya dan menuju tempat favoritku. Anne mulai gelisah dan memegang kepalaku saat aku bergerilya menjilatinya.

"Tidak ada yang salah dengan bajuku James." Anne mengerang saat aku menemukan titik sensitifnya. Aku menyukai semua bagian tubuh Anne.

"Gaun ini terlalu seksi," aku mencium bibirnya dengan panas sambil membuka celanaku.

Anne berdiri di depanku hanya mengenakan bra dan sepatunya. Mukanya terlihat merah padam dan bergairah. Rambutnya yang hitam panjang terurai sempurna. Dan bibirnya yang merah terlihat sangat mengundang. Posturnya begitu provokatif

Anne.

Aku mendorong Anne ke arah dinding di belakangnya dan mengaitkan kedua tangannya ke leherku dan mengangkat salah satu kakinya ke pinggangku dan menangkup bokongnya. Dalam satu hentakan aku meleburkan diriku dengan Anne seutuhnya. Aku mendengar Anne mengerang dengan liar saat mencapai puncak. Lalu aku bersamanya menikmati surga.