webnovel

Aku Ingin Dia Datang

"Oh, Sareen, ya? Si gadis penguntit yang mengikutimu ke mana saja di masa kuliahmu, bukan?"

Wanita itu menatap pada Sareen, sengaja membubuhi nadanya dengan setengah keterkejutan seraya masih menempel pada lengan Akram. Tentunya sebuah keterkejutan yang tak nyata, hanya hendak membuat Sareen semakin kesal dan malu.

"Aku bukan penguntit," bantah Sareen walaupun dengan suara lirih. Dan dia tak berani lagi melihat ke atas.

Begitu selesai memunguti barangnya, gadis itu berdiri, tetapi tetap menundukan wajahnya karena ia tak mau melihat kenyataan bahwa Akram dipeluk wanita lain.

"Ooh … lalu apa? Gadis bodoh yang terus mengikuti Akram ke mana pun pergi …."

"Tasya, kau tak perlu keterlaluan. Urus saja dirimu sendiri dan jangan banyak mengomentari Sareen. Kau tak lebih baik darinya." Kali ini, Glorialah yang menyahut.

Sebagai seorang sahabat, ia tak suka Sareen dihina dan dipermalukan seperti itu. Walaupun memang, apa yang dikatakan Tasya-si gadis teman kencan Akram itu, benar adanya.

"Kau lihat saja, Akram akan menyesal karena mengabaikan Sareen," sinis Glo lagi sembari menatap Akram penuh makna.

Seolah ucapannya itu adalah sebuah peringatan keras.

Tentu saja, bukannya membuat Akram dan Tasya merasa sakit hati, mereka malahan menertawai sikap kekanakan Gloria itu.

Ya, sikap gadis bodoh yang begitu kekanakan.

Sareen semakin tak enak hati. Sudah cemburu karena melihat Akram dengan gadis lain, masih malu juga terhina. Tetapi tetap saja, dirinya haya bisa diam dengan menundukan kepala.

"Ayo, kita perlu mencarikan kaca mata untuk matamu. Supaya kau bisa melihat dengan jelas, lelaki seperti apa yang kau sukai selama ini, Sareen."

Sekali lagi, ucapan Gloria terkesan menyalahkan Sareen, tetapi maksud sebenarnya adalah untuk menyindir Akram.

Begitu tak ditanggapi, Gloria mengambil tindakan dan menarik keras tangan Sareen untuk meninggalkan tempat itu.

Sareen sendiri tak menolak, terus melangkah mengikuti Gloria tanpa protes, layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya.

**

"Kau lihat, kan? Bagaimana dia sama sekali tak peduli denganmu. Dia menabrakmu, bukannya meminta maaf dia malahan mempermalukanmu lagi dan lagi. Seperti itukah yang kau inginkan?" Gloria mengomel kesal.

Saat ini mereka telah berada di tempat kasir yang lain. Tak ingin dekat dengan keberadaan Akram, Gloria tadi menarik tangan Sareen dan membawanya menjauh.

"Glo, jangan bicara lagi. Aku cukup tahu itu, aku …." Sareen tampak murung. Setiap katanya, ia ucapkan dengan begitu putus asa.

Dia sering kali melihat Akram dengan gadis lain. Bahkan sering pula mendapati Akram yang terang-terangan membeli gadis hanya untuk menjadi penghangat ranjangnya semalam.

Tetapi, Sareen sungguh tak mengerti, sesakit apa yang ia rasakan, sekecewa apapun hatinya, ia masih tetap ingin mengejar Akram. Ia seolah dibutakan oleh pesona pria itu. Sehingga matanya bahkan tak dapat melihat keburukan apa yang menyertai lelaki idamannya itu.

"Jika ini Kairaf, dia pasti tak akan melakukan ini. Membuatmu malu," Gloria bergumam lagi.

Barang belanjaan mereka telah dibayar, dan mereka mulai melangkah meninggalkan area itu.

Sementara Sareen sendiri menoleh pada Glo, hendak memastikan bagaimana ekspresi temannya itu.

"Dia pasti akan sangat mengkhawatirkanmu, lalu bilang, 'Sareen, apakah kau baik-baik saja? Apakah ada yang terluka? Maaf aku tak menjagamu,' begitu," oceh Gloria lagi-lagi membuat Sareen merasa bersalah.

"Kalau itu Kai, ini tak akan terjadi. Dia tak sekeren Akram," bantah Sareen kemudian tersenyum tipis.

Dengan ekspresi jengkel, Gloria menoleh pada Sareen hanya untuk bertatap mata dengan sahabatnya itu. Ketika menemukan Sareen hanya tersenyum, Glo memutar bola matanya dengan sangat malas.

"Jangan begitu." Sareen menarik lengan Gloria dan bergelayut di sana.

"Maksudku adalah, Kairaf akan menyadari keberadaanku lebih dulu, karena itu tidak mungkin terjadi tabrakan di antara kami," sambung Sareen lagi, menjelaskan.

"Kau sadar itu, tetapi masih saja kau mengabaikannya." Pun, Gloria tak dapat menahan diri untuk terus mengejar dan menyalahkan Sareen.

Dia menghela napas dengan kasar. Tahu bahwa sekeras apapun ia mencoba menjelekan Akram dan memuji-muji Kairaf di depan sahabatnya itu, Sareen tak akan berubah. Sareen akan tetap menyukai Akram seperti sebelumnya.

Ya, Gloria tentu tahu, Sareen begitu menganggap Akram adalah pria paling keren di kehidupannya. Kalau tidak, untuk apa waktu tujuh tahun yang gadis itu buang dengab sia-sia?

Ah! Sepertinya, kecintaan Sareen pada Akram memang tak akan terobati dengan apapun.

"Apa kau sudah mendengarnya?" Tiba-tiba, Sareen berhenti dari langkahnya. Membuat Gloria turut berhenti mendadak dan dan mengawasinya dengan heran.

Sareen mengulas senyum kembali kala Gloria menatapnya dengan kening berkerut, seolah-olah tengah bertanya pada Sareen apa yang hendak disampaikannya.

Tak perlu menunggu untuk pertanyaan, Sareen pun paham. Ekspresi Gloria nan penuh keingintahuan walaupun tak diucapkan, Sareenlah yang paling tahu.

"Minggu depan, di sekolah kita ada acara reuni besar-besaran!" seru Sareen penuh kegirangan.

"Aku sudah tahu," sahut Glo dengan cepat.

Hal itu membuat Sareen mengerucutkan bibirnya. Dan ia kembali menggandeng lengan Gloria, baru kemudian menariknya untuk berjalan lagi.

"Apakah kau tidak tertarik untuk datang?"

Langkah mereka santai, layaknya sepasang kekasih yang tengah menikmati hari bersama.

Pertanyaan konyol. Sareen bahkan tahu ada seseorang yang amat Glo ingin temui, bagaimana mungkin sahabatnya itu tak berniat untuk datang. Bukankah dia sendiri bahkan mengharapkan Akram bisa datang?

"Aah … aku tahu, kau pasti tak akan melewatkan kesempatan ini," seloroh Sareen lagi menebak.

Gloria pun tersenyum. Ia menghela napas dengan penuh harap. Tentu saja berharap seseorang yang dirindukannya itu datang. Dengan begitu kerinduannya akan terobati, walaupun hanya dengan menatapnya dari jauh.

"Menurutmu … apakah Akram akan datang?" Sareen membubarkan lamunan Gloria dengan pertanyaan yang terlontar girang itu. Membuat Glo mendesah sekali lagi.

"Tidak. Kau cukup tahu siapa dia. Dia tidak peduli pada orang lain dan tidak akan membuang waktu hanya untuk mengetahui kabar teman lamanya," jaeab Glo setengah kesal.

"Tetapi Glo … aku sungguh berharap. Aku ingin sekali melihatnya dengan seragam sekolah kita. Apakah itu masih muat padanya? Kulihat dia bertumbuh dengan cepat," Sareen kembali tersenyum-senyum. Agaknya, karena mengingat Akram ketika SMA dulu.

Ah, tidak! Itu lebih seperti dia membicarakan Akram yang sekarang. Dengan bahu gempalnya yang selalu terbungkus jas yang rapih, siapapun tahu kalau di sana pasti nyaman untuk disandari.

Tentulah, ocehannya itu membuat Gloria tampak semakin kesal.

"Kau lihat bahunya? Itu sangat lebar, pasti sangat nyaman di sana—"

"Kalau kau tak berhenti membicarakannya, aku akan meninggalkanmu, Sareen. Aku bosan mendengar nama Akram, Akram, Akram darimu," sela Gloria menghentikannya.

Wajahnya tampak murung. Tetapi ia tahu Sareen tak mungkin mendengarkannya. Keberadaannya di sisi Sareen memanglah sebagai seorang pendengar. Ya … mendengarkan keluh kesah juga suka duka Sareen dalam perjuangannya mengejar Akram.

Jadi, berharap Sareen tak menyebut nama Akram sama sekali di pertemuan mereka, itu mustahil.

"Kau benar. Lagi pula … pengusaha sepertinya yang sibuk dengan pekerjaan, mana mungkin menyempatkan waktu untuk datang menghadiri acara kekanakan seperti ini?" Dengan raut murungnya lagi, Sareen melirih.

"Belum tentu juga—. Aah!! Kita lihat saja nanti," celetuk Gloria lalu menarik Sareen keras-keras. Membawa Sareen memasuki sebuah mobil taksi yang sedari tadi menunggu mereka di depan lobi.

Sementara itu, seseorang tengah mengawasi mereka dari kejauhan. Seraya mengisap batang rokoknya, orang itu mendesah putus asa.

Bersambung ….