webnovel

One Day Before Friday

"Kenapa harus sekelas sama dia sih? Heran. Liat mukanya aja sebel banget." Kata Kaira, seorang gadis yang tak pernah menyangka ceritanya mirip seperti drama percintaan di kebanyakan novel, film dan drama Korea. Mungkin ini terdengar klise. Benci jadi cinta. Tapi percayalah, yang ini berbeda. Ini cerita tentang Kaira dan Karel. Dua orang dengan sifat bertolak belakang yang disatukan di kelas yang sama selama tiga tahun. Dimulai dari rasa kesal tak berujung yang kemudian menjadi rindu tak terbendung.

dieshiciel · Teen
Not enough ratings
3 Chs

Belum Terasa

Sial!

Hari ini aku telat lagi. Padahal sudah pasang alarm tiap sepuluh menit sejak jam 5 pagi. Tapi tetap saja, malah terbangun 15 menit sebelum sekolah dimulai.

Dengan terburu-buru aku berlari ke kamar mandi. Mandiku memang tidak perlu lama, yang penting tubuhku sudah tergosok busa  sabun yang melimpah, gigiku sudah bersih, dan wajahku tidak meninggalkan bekas iler juga kotoran mata sisa semalam.

Begitu selesai, dengan kekuatan 2 kali lebih cepat dibandingkan jika tidak terlambat, aku memakai seragam yang sudah kusetrika kemarin malam.  Aroma pewangi pakaian langsung tercium oleh hidungku yang tidak memiliki tulang, alias pesek ini.

Kukancingkan kemeja berwarna putih dengan bet nama di bagian dada kiri yang bertulis Kaira Qinandra.

Iya, itu namaku. Nama yang kadang aku sukai kadang tidak.

Oke kembali lagi pada urusanku sekarang. Sebuah jam dinding berwarna putih yang ditaruh mama di kamarku itu sudah menunjukkan pukul 06.32. artinya, tersisa 13 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Kupakai rok berwarna abu-abu selutut, kupasang juga ikat pinggang di sana.

Aku berjalan menuju meja belajar dan mengambil  sisir berwarna jingga yang berada di atas sana. Kubuka ikatan rambutku dengan kasar, sampai-sampai banyak rambut yang rontok. Tapi tak apa, rambutku tebal dan cepat tumbuh dengan rambut  yang baru. Jadi aku tidak begitu khawatir.

Kusisir rambut panjang sepunggung itu dengan cepat, untungnya setiap malam sebelum tidur aku mencuci rambutku. Jadi saat telat begini aku tidak perlu repot mencuci rambut lagi.

Kutatap wajahku di cermin. Wajahku seperti tidak mandi. Huh, menyebalkan sekali memang mempunyai wajah yang selalu seperti bangun tidur ini. Kutaruh sisir itu ke tempatnya lagi, lalu kuambil pelembab wajah juga bedak tabur.

Sebenarnya aku tidak tahu apa pengaruhnya. Yang jelas, wajahku tidak ada perubahan begitu aku memoles pelembab juga bedak tabur tersebut.

Ah, bodo amat! Waktuku tinggal 7 menit lagi. Dengan tenang namun sebenarnya gelisah, aku mengambil kaus kaki berlogo SMA CEMPAKA.

Aku berlari keluar kamar, mengambil sepatu dan memakainya. Kunyalakan motorku dan kuambil helm yang berada di atas spion kanannya.

Sebenarnya malas harus memanasi motor begini, aku tidak punya banyak waktu. Tapi, jika aku ketahuan tidak memanasi motor, seorang laki-laki berusia 20 tahun dengan celana boxer dan kaus oblong akan mengomeli ku sepanjang hari.

Buktinya saat ini, begitu aku menaiki motor yang baru saja kunyalakan 10 detik yang lalu. Laki-laki yang kusebutkan tadi keluar dengan sorot mata menajam seperti hendak menusuk.

Di tangan kirinya segelas susu putih.

"Makanya jangan telat biar sempet manasin motor." Omel laki-laki itu.

Alfaro namanya. Dia kakak laki-lakiku yang lebih mirip kakak perempuanku.

Alias, dia sangat cerewet! Huft. Dia itu seperti ibu-ibu saja. Tapi ibu-ibu gadungan.

Sekarang ini buktinya, kupikir segelas susu itu akan diberikan padaku.

"Udah telat, mana sempet minum susu." Kata Alfaro sembari meneguk susunya dengan wajah menyebalkan. Dia meminum susu itu dengan sangat lebay, mencoba membuatku tergiur dengan segelas susu putih itu.

HIH. Siapa juga yang mau meminum susu yang dibuat dengan air dingin itu.

Kulihat lagi pukul berapa sekarang. Ya, waktuku tinggal 5 menit untuk sampai di sekolah. Itu sudah kutambahkan dengan waktu tambahan yang diberikan sekolah.

Bel masuk berbunyi jam 06.45, sekolah memberi tambahan waktu sampai pukul 06.50 dan sekarang sudah pukul 06.44.

"Aku berangkat." Kataku sambil menutup kaca helm. Alfaro mengangkat gelas susunya lalu melambai padaku kemudian masuk ke dalam rumah.

Ah, dia begitu menyebalkan. Kenapa dia Tidak membantuku membuka gerbang. Setelah membuka gerbang hitam besar itu, segera kulajukan motor matic berwarna putih biru ini menuju sekolah.

Jarak rumahku dengan sekolah sangat dekat. Sebenarnya hanya perlu waktu 3 menit untuk sampai di sana jika kecepatanku 60 km/jam. Ditambah jalanan pagi yang sepi sangat memperbolehkan aku untuk ngebut-ngebutan.

Sayangnya, ada satu hal yang paling menyebalkan.

Iya. Lampu merah di perempatan jalan menuju sekolah yang lamanya minta ampun. Persis seperti sedang mengantre BPJS. Lama betul!

Aku meringis saat motorku tak bisa mengejar lampu kuning di depan sana. Alhasil, aku terjebak di perempatan ini selama hampir lima menit.

Untuk sebuah lampu lalu lintas, lampu merah di perempatan ini benar-benar menyebalkan.

<><><><>

Aku berlari menuju koridor begitu memarkirkan motorku dengan sempurna di parkiran SMA CEMPAKA.

Kupikir aku sangat terlambat tadi, ternyata pintu menuju area parkir masih terbuka. Selamat, aku tidak perlu menuju kelas melalui gerbang depan dan bertemu guru-guru.

Lariku berubah lambat, kini berganti menjadi jalan cepat. Kelasku berada di ujung gedung, lantai tiga.

Aku pernah mengeluh kenapa sekolah ini tidak membangun lift. Tapi keluhan itu tak pernah aku sampaikan pada pihak sekolah, ya aku berharap mereka menggunakan jurus telepati dan dapat mengetahui permintaanku.

Mataku melirik-lirik sekitar koridor. Takut jika ada guru yang sedang berlalu lalang dan melihatku masih berada di luar kelas. Padahal, bel sudah berbunyi sejak kurang lebih enam menit yang lalu. Bisa kutebak, sekarang murid-murid sedang menyanyikan lagu Indonesia raya. Rutinitas SMA Cempaka setiap pagi.

Kakiku gemetaran saat sudah mendekati kelas 11 IPA-2. Bukan karena takut, tapi karena lelah. Kurasa lemak tubuhku sudah terbakar sekitar 0.0001%.

Dugaanku benar. Lagu Indonesia Raya masih dinyanyikan. Dengan napas sedikit terengah aku duduk di sebuah kursi panjang yang dibangun dari semen di depan kelas.

Kukeluarkan botol minum berwarna hitam itu dan kuteguk air putih di dalamnya. Rasanya air dingin itu masuk bersamaan dengan oksigen.

Lagu Indonesia Raya sudah mencapai reff kedua. Artinya, sebentar lagi selesai.

Kukeluarkan ponsel berwarna hitamku. Aku bercermin pada layar ponsel yang gelap. Terkejut saat melihat sosok menyedihkan dengan rambut acak-acakan.

Padahal sudah sisiran sampai rambut rontok-rontok. Tetap saja sampai sekolah rambutku malah mirip sapu. Kurapikan sedikit rambutku, walau tidak ada perubahan. Tapi biarlah, setidaknya aku merasa sudah merapikan rambut.

Aku berdiri dari duduk, lalu mengetuk pintu kelas dan membukanya. Sedetik, semua pasang mata menatap ke arahku. Namun, di detik selanjutnya semua fokus pada urusan masing-masing.

Di meja guru, sudah duduk seorang lelaki tua dengan rambut dan kumis yang sudah berubah warna menjadi putih.

Aku berjalan mendekat lalu menyalami pak Arwan, guru biologiku.

"Maaf ya pak, saya telat lagi." Kataku dengan raut wajah bersalah. Ya 80% merasa bersalah dan 20% merasa tidak tahu malu.

Pak Arwan adalah guru yang paling santai yang kukenal. Belum sempat aku menjelaskan alasanku terlambat, guru dengan postur lebih pendek dariku itu malah tersenyum.

"Sudah, duduk saja." Katanya.

Aku ikut tersenyum lebar. Kakiku melangkah menuju deretan ke empat baris ke tiga. Sebuah kursi kosong ada di sana, dekat dinding. Itu kursiku.

Di sebelah kanan kursiku, duduk seorang gadis berambut lurus dengan lesung pipit di kedua pipinya. Kulitnya sawo matang dan matanya bulat namun tatapannya tidak bersahabat.

Seperti sekarang contohnya, gadis itu menatapku tajam. Sorot matanya membuatku bergidik ngeri. Tapi aku tak takut pastinya.

Aku duduk dengan tenang, menyapanya dengan mengangkat kedua alisku yang tebal.

"Parah banget kamu Kai," ujarnya.

Aku menggelengkan kepala tanda heran. "Habis pikir aku juga, Lit." Jawabku pada LItta.

Gadis itu berdecak. "Kayak Amira dong, Kai. Dia rumahnya berkali-kali lipat jauhnya dari rumahmu. Tapi dia selalu dateng setengah jam sebelum bel bunyi." Lontar Litta dengan ekspresi yang mirip sekali dengan Alfaro saat memarahiku kala motor mogok karena tidak dipanasi.

Aku mengeluarkan buku paket biologi juga buku catatan dari tas. Kubuka lembar buku itu tepat di halaman 30, bab kedua dari buku ini.

Iya, hanya dibuka saja. Tidak aku baca. Aku malah sibuk ngobrol dengan Amira dan juga Litta.

Pak Arwan, guru biologi dengan tinggi 160 cm itu berdiri dari kursinya, ia berjalan ke tengah kelas. Bercerita sambil membawa gerakan tangan seirama dengan intonasi suaranya. Suara lelaki berumur 63 tahun itu tidak terlalu pelan, tapi juga tidak terlalu cepat. Pak Arwan mulai bercerita mengenai sel.

"Jadi sel tubuh manusia ini terdiri atas sitoplasma yang mengelilingi nukleus atau yang kita sebut inti sel. Apakah sitoplasma ini? Sitoplasma itu adalah bagian dari sel yang terbungkus membran plasma anak-anak. Nah, di dalam sitoplasma ini ada organ-organ seperti ribosom, apparatus, badan golgi, lisosom juga peroksisom."

Pak Arwan menjelaskan dengan nada yang sangat mudah kumengerti, namun kuyakin saat jam pelajaran berganti otakku akan melupakan semua kalimat yang terucap oleh pak Arwan.  Mendengar guru biologi itu berbicara rasanya seperti sedang mendengarkan ibu mendongeng di malam hari. Iya, sedikit mengantuk.

Aku mencoba membuka mataku lebar-lebar. Bulu mataku yang tebal menurun seperti bulu mata unta membuat mataku terasa lebih berat dari biasanya.

"Sekarang kita masuk pada membran sel. Membran sel merupakan lapisan tipis yang mengelilingi sel." Suara pak Arwan masih jelas di telingaku, sepertinya telinga ini masih berfungsi dengan baik walaupun mataku sudah tidak karuan.

Aku menegakkan tubuhku. Lalu menoleh ke kanan, tempat Litta duduk. Mataku sedikit terbelalak melihat gadis itu sudah tertidur pulas. Ya, sebenarnya aku enggak perlu kaget sih. Anak itu memang sering tertidur di kelas, terutama di jam pelajaran pertama dan kedua.

Aku menumpu kepalaku dengan telapak tangan kiriku. Mataku memandang pak Arwan yang kini sudah menggambar bentuk membran sel di papan. Guru biologi itu sedang menjelaskan tentang membran sel yang bersifat semipermeabel.

"Ya maaf gambar saya nggak terlalu bagus. Yang penting nangkep maksud saya ya?" Tanya pak Arwan.

"Ngerti kok pak." Sahut teman sekelasku Ardian.

"Paham pak." Dilanjutkan dengan sahutan anak-anak lainnya.

Mataku sudah enggak mampu menahan kantuk ini lagi. Aku memejamkan mataku perlahan. Anggap saja ini sedang berkedip selama 10 menit. Lagipula, Litta juga tertidur, aku ada teman jika dimarahi pak Arwan.

Perlahan, suara pak Arwan mulai samar. Aku merasa telingaku mulai berkompromi dengan mata yang sudah tidak bisa menahan kantuk.

Dan sekarang, suara pak Arwan tidak terdengar sama sekali. Yah, rasanya nyaman sekali tidur di saat benar-benar mengantuk.

"Kaira!" Suara Amira membangunkanku.

Aku mengerjap kaget karena seisi kelas menatapku. Pak Arwan masih berdiri di sana, lelaki tua itu juga memandangku sambil tersenyum.

Aku menoleh ke kanan. Litta sudah bangun ternyata.

"Ya monggo dijawab mbak Kaira." Kata pak Arwan.

Apa yang perlu dijawab? Aku bingung.

Aku menoleh ke belakang, mengangkat alis pada Amira.

"Kamu sih pake tidur segala." Kata Amira.

Aku menelan ludah susah payah, lalu kembali menoleh ke depan. Menatap pak Arwan dengan senyum takut.

"Pertanyaannya apa pak?" Tanyaku ragu.

Pak Arwan tersenyum kecil, "Apa itu sel punca?" Guru itu mengulangi pertanyaannya.

Aku menelan ludah. Sel punca? Mendengarnya saja tidak pernah.

Kubuka lembaran buku biologiku itu. Mencari-cari kata sel punca di sana.

"Baru saja bapak jelaskan tadi loh, masa ndak dengar." Katanya. Nada pak Arwan masih lembut, aku jadi takut dia sebenarnya marah besar.

Aku terdiam. Benar-benar tidak tahu jawabannya. Isi kepalaku seperti kosong, aku malah teringat mimpi saat aku tertidur tadi. Aku bermimpi dikejar oleh dua anjing yang punya sayap dan bisa bernyanyi. Suara anjing itu mirip penyanyi lawas, Marion Raven dan Marit Larsen. Aneh kan? Aku juga enggak menyangka.

"Oi, jawab Kai." Devano menyebut namaku.

"Ah, saya enggak tahu pak. Maaf." Kataku terus terang.

Pak Arwan masih tersenyum, ia kemudian menatap Litta. "Litta, sel punca itu apa?" Tanyanya.

Tadi Litta juga tertidur, aku menatapnya cemas.

"Tapi takut salah pak, hehe." Katanya.

"Ndak papa, saya kan cuma mau tahu jawabanmu apa." Jawab pak Arwan.

Aku membuka lembar buku, mencari definisi sel punca yang entah apa itu. Kubuka lembar demi lembar dan kudapatkan!

Ternyata materinya sudah melewati ribosom, lisosom dan kawan-kawannya. Baru saja mau kusodorkan buku itu, Litta sudah menjawab dengan lantang.

"Sel punca itu, emm.. suatu kelas sel tak terdiferensiasi yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel spesialistik. Ya, sederhananya sel yang mempunyai potensi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel berbeda dalam tubuh."

WOW!

Tatapanku bolak-balik melihat buku juga Litta. Apa yang diucapkan Litta sama seperti di buku.

Gadis super! Makan apa dia bisa sehebat ini? Padahal tadi dia tertidur juga bersamaku. Malah dia lebih dulu tidur dan terlihat pulas.

"Ya betul. Jadi begitu ya anak-anak, sel punca ini dibagi menjadi dua tipe sel punca mamalia.." pak Arwan kembali menjelaskan pada murid-murid. Sedangkan aku langsung menoleh ke arah Litta. Merasa takjub.

"Kamu tidur sambil dengerin bapaknya?" Tanyaku.

"Enggak, pas tidur suara bapaknya kebawa mimpi." Jawab Litta santai.

Aku menelan ludah. Enggak menyangka itu jawabannya.

<><><><>

Jam istirahat berbunyi. Aku, Litta juga Amira sudah siap turun ke kantin sebelum tempat itu penuh.

Di ambang pintu berdiri dua orang laki-laki paling kukenal di kelas ini. Saking kenalnya, aku sampai hafal apa yang akan mereka lakukan jika ada perempuan yang melewati pintu kelas.

Aku berdecak sebal.

"Males ke luar, pasti dicegat sama mereka. Aku nitip aja lah ya." Pintaku pada LItta dan Amira yang langsung mendapat tolakan mentah-mentah.

"Enak aja. Ayo ikut!" Kata Litta.

"Kamu takut emang sama mereka? Biasa aja lah. Kita cepet-cepet aja biar mereka nggak nyegat. Lagian belum tentu juga mereka halangin pintu terus." Lontar Amira yang membuatku malah kembali duduk di kursi.

Males banget rasanya. Kenapa juga dua laki-laki itu harus berdiri di sana? Memang mereka enggak punya tempat berdiri yang lain?

Aku mendengus kasar.

"Hayo, mending kelaperan atau ngelewatin mereka bentar dan menikmati tahu isinya mbak Mirna?" Tanya Litta.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian berdiri dan mengikuti langkah Litta juga Amira.

"Mau kemana, Mir?" Bara langsung menutup jalan dengan tangannya. Tidak membiarkan Amira yang berada di depanku dan Litta lewat.

Amira menghempas tangan Bara, tapi tenaganya enggak cukup kuat. Aku lihatnya ngeri sendiri. Kok bisa untuk pergi ke kantin, harus melewati dua satpam kelas ini dulu.

"Mau kemana Mir? ditanya baik-baik loh." Bara bertanya lagi. Sedangkan Karel, ketawa-ketawa enggak jelas sambil makan pisang goreng.

"Emang urusanmu kita mau kemana? Awaslah, Bar." Amira berusaha menyingkirkan lengan Bara yang menutupi jalan.

Aku cuma diam saja. Mataku menyorot tajam ke arah Karel yang asyik tertawa. Mata laki-laki itu lalu ikut menatap ke arahku.

"Apa? Biasa aja mukanya lah. Aku takut loh." Kata cowok itu. Nadanya ngeselin banget. Wajahku tetap datar tak memedulikan omongannya.

Litta menggeser Amira sedikit ke kanan. Ia lalu menatap tajam ke arah Bara yang ketawa-ketawa bersama Karel.

"Heh, nggak ada kerjaan apa? Awas lah. Bikin emosi aja." Kata Litta tegas dan jelas.

Bara masih tertawa, "galak amat sih, Lit." Kata nya. Tangan Bara masih menghalangi jalan keluar.

"Mau kupatahin tanganmu?" Tanya Litta. Nadanya serius, lebih serius dari cara bicara Najwa Shihab.

Bara menurunkan lengannya pelan. Wajahnya terlihat sedikit takut pada Litta.

"Galak banget sih." Kata Bara.

Litta mengabaikan Bara, gadis itu berjalan pergi keluar kelas disusul Amira dan aku.

Begitu aku melewati pintu, Karel mengelap tangannya yang penuh minyak bekas pisang goreng di baju seragamku.

"Hati-hati Kaira!" Ucapnya tanpa rasa bersalah. Laki-laki itu malah kembali tertawa bersama Bara.

Sinting memang.

Aku menunjukan ekspresi kesal pada dua orang itu lalu berbalik badan dan menyusul Amira dan Litta yang sudah menuruni tangga.

"Oi Kaira Qinandra!" Teriak Karel.

Tak mau dengar, peduli amat dengan anak laki-laki yang hidupnya penuh dengan kejahilan itu.  Lebih baik aku memikirkan nasib tahu isi mbak Mirna yang sepertinya sudah mau habis.

***

Tuesday, 24 March.

Aduh, aku nulisnya sambil susah napas. Padahal cuma satu chapter wkwk.