8 Pendekatan

Kicauan burung-burung gereja terdengar saling bersahut-sahutan sambil berterbangan di atas genting. Seakan-akan seperti suara musik yang mengalun merdu menyambut datangnya pagi. Butiran-butiran embun pagi, mulai mengikis seiring dengan terbitnya sang surya dari ufuk timur. Cahaya mentari yang hangat berwarna kemerahan menerobos masuk melalui cela-cela dinding rumah yang hanya terbuat dari bilik bambu. Keindahan suasana pagi di desa itu, dapat terlihat dengan jelas dari dalam kamar saat si pemilik kamar membuka jendela rumahnya.

Suasana pagi memang indah, namun tidak seindah suasana hati seorang remaja putra yang masih meringkuk sambil memeluk bantal guling. Bagaimana tidak, karena pada saat remaja itu mulai membuka mata, ia langsung disambut dengan senyum yang menawan oleh seorang pria berwajah rupawan.

Senyum itu seolah menjadi obat penghilang rasa sakit, untuk kakinya yang sedang terluka.

"Sudah bangun dek? Gimana? Nyaman apa enggak tidurnya? Di gigitin nyamuk apa ndak?"

Suara maskulin yang mengalun lembut dan penuh perhatian itu, seolah merontokan kembali hati Bagas yang memang sudah rontok, saat si pemilik suara itu menyambutnya dengan senyuman.

Bagas menggeliat, sambil mengucek-ngucek matanya menggunakan bagian bawah kedua telapak tangannya. Ia hanya tersenyum simpul untuk menjawab pertanyaan pria gagah yang sudah menjadi seorang Ayah itu.

"Jam berapa mas?" Tanya Bagas.

"Jam lapan lewat dek" Arya duduk di sisi dipan, kaki kanan ia naikan di atas kasur. Sedangkan kaki kiri ia biarkan tetap menginjak lantai. Arya membungkuk, matanya melihat bagian kaki Bagas yang terlihat bengkak. "Masih kerasa sakit dek kakinya?" Tanya Arya sambil dengan lembut ia menyentuh telapak kaki Bagas.

Bagas memejamkan mata, menarik napas lembut, menghirup dan meresapi wangi sabun mandi yang bercampur dengan parfum non alkohol beraroma maskulin yang berasal dari tubuh gagah Arya. Aroma wangi itu menentramkan hati, dan menenangkan perasaan Bagas.

"Masih mas" jawab Bagas, matanya teduh menatap wajah Arya yang sedang melihat kakinya.

"Bisa bengkak gini ya?" Arya menatap ibah pada kaki Bagas.

"Ayaaah...!"

Suara munggil Adnan membuat Bagas dan Arya menoleh pada Adnan yang baru saja masuk kedalam kamar. Keduanya tersenyum simpul menatap Adnan.

Adnan berjalan mendekati Arya. setelah sampai di dekat Arya, Adnan memeluk paha sekal milik pria yang ia panggil Ayah tadi.

Bedak tabur yang acak-acakan di wajah polos Adnan membuat Bagas tersenyum gemes. Adnan paling males kalao dikasih bedak setiap kali habis mandi. Tapi bu Sumi selalu memaksanya, sehingga bedaknya tidak rata, dan hanya di bagian-bagian tertentu saja yang menempel di wajah Adnan.

Arya menatap wajah Adnan, telapak tangannya yang kasar dengan lembut mengusap puncak kepala Adnan. "Simbah mana?"

"Agi bitin djamu" jawab Adnan dengan suara cedalnya.

"Wah... gantengnya dek Adnan, sudah mandi ya?" Tanya Bagas.

Meski masih kecil, tapi Adnan tahu jika ia sedang dipuji. Oleh sebab itu anak polos itu merasa tersipu, ia menarik bibir bawahnya dan tersenyum nyengir.

"Sini naik ke kasur, duduk deket sama om" ucap Bagas sambil telapak tangannya memukul-mukul kasur untuk duduk Adnan.

Karena merasa belum terlalu kenal, sehingga Adnan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menolak ajakan Bagas. Kemudian Ia menidurkan kepalanya di atas selangkangan Arya, sambil menggeliat manja layaknya anak-anak balita. Wajahnya yang polos tetap memandang remaja ganteng yang masih terasa asing di matanya.

"Permisi" ucap ibu Sumi yang langsung nyolonong masuk kedalam kamar, sambil membawa napan. Di atas nampan itu ada segelas jamu yang baru saja ia racik. Kemudian ada sepiring pisang goreng di dekat gelas berisi jamu itu.

Ibu Sumi terlihat hati-hati berjalan mendekati meja kecil yang ditaruh di dekat lemari pakaian. "Pasti dek Bagas ndak bisa tidur ya? Kamarnya mas Arya sempit, terus panas, pasti ndak nyaman toh?" Ujar bu Sumi sambil meletakan nampan di atas meja.

"Nggak bu, semalem aku nyenyak banget tidurnya" jawab Bagas berbohong. Karena sebenarnya ia hampir bergadang karena tidak bisa tidur. Bukan karena kamar yang sempit, bukan karena banyak nyamuk, dan bukan karena tidak nyaman. Bagas tidak bisa tidur karena semalaman ia berperang melawan hatinya yang sedang bergejolak.

Tidur berdua dengan Arya, Bagas merasa gelisah. Rasanya ia ingin sekali mengikuti hatinya untuk mendekap dan memeluk tubuh gagah itu. Tapi untung saja otaknya masih bisa dikendalikan, sehingga hal itu tidak Bagas lakukan. Meskipun harus dengan berjuang sekuat tenaga. Hingga akhirnya Bagas bisa tertidur dengan sendirinya.

"Bu.. ini kakinya dek Bagas kok bisa bengkak gini?" Ucap Arya memberi tahu ibunya.

Ibu Sumi berjalan mengitari dipan dan berhenti di bagian bawah dipan dekat kaki Bagas. Setelah sampai, kemudian telepak tangannya yang keriput menyentuh di bagian kaki yang bengkak, lalu sedikit memijitnya.

Bagas mengangkat wajahnya, mulutnya meringis menahan sakit, saat kakinya dipijat ibu Sumi.

"Ndak papa, nanti ibu tumbukin jahe, beras, kunyit, sama beras kencur. Kalau mau tidur diolesin itu, jadi biar cepet kempes bengkaknya."

Arya mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan ibunya.

Tiiin... tiiin... !

Suara klakson mobil yang terdengar, mengundang perhatian semua yang ada di dalam kamar. Semua terdiam mendengarkan suara mesin mobil yang baru saja berhenti tepat di halaman rumah Arya.

"Siapa ya?" Ucap ibu Sumi.

Kemudian ibu Sumi berjalan mendekati jendela kamar untuk melihat siapa pengendara mobil tersebut. Dari jendela kamar, ibu Sumi melihat ada mobil Pajero dan mobil pick up sudah berpakir di halaman rumahnya yang tidak terlalu luas.

"Oh... ibunya dek Bagas" ucap ibu Sumi setelah ia melihat ibu Ratna turun dari mobil Pajero.

"Le... le, keluar dulu, itu sepeda kamu udah dibawa ibu Ratna" perintah ibu Sumi saat melihat dua orang pria turun dari bagian depan mobil pick up. Kemudian dua orang itu terlihat sedang menurunkan sepeda Arya dari bagian bag mobil.

Arya sontak beranjak dari duduknya, dan berjalan setengah berlari keluar kamar. Diikuti Adnan ikut berlari dengan langkah kecilnya.

"Dek Bagas tunggu sini dulu, ibu tak nemui ibunya dek Bagas dulu" pamit ibu Sumi yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Bagas.

Setelah bu Sumi keluar, Bagas merapihkan tidurnya mencari posisinya untuk berbaring, sambil menahan rasa sakit di kakinya.

===

"Monggo-monggo... " ibu Sumi menyapa dengan ramahnya sebelum ibu Ratna mengucapkan salam. Wanita berusia lanjut itu jalan tergopo-goboh mendekati ibu Ratna. "Sudah sampai sini lagi" ucap ibu Sumi sambil bersalaman.

Ibu Ratna merunduk takjim, kemudian mencium pipi kanan dan pipi kiri ibu Sumi.

Yang dicium mendadak sungkan, karena ibu Sumi melihat penampilan ibu Ratna yang seperti ratu. Sedangkan ia melihat dirinya bagaikan seorang sahaya.

"Anaku bikin repot nggak bu?" Tanya ibu Ratna setelah cupika-cupiki dengan ibu Sumi.

"Enggak sama sekali, dek Bagas anaknya baik, nurut," jawab ibu Sumi. Ia harus mendongakan kepala untuk berkomunikasi dengan ibu Ratna yang jauh lebih tinggi darinya.

Mendengar penuturan ibu Sumi, Ibu Ratna tersenyum nyengir, hingga mempertontonkan giginya yang putih, bersih, dan terawat.

Setelah membantu dua orang pria menurunkan sepedahnya, Arya berjalan mendekati ibu Ratna dan ibu Sumi. Ada Adnan juga di dekat ibu Sumi.

"Terimakasih banyak bu sudah dianterin sepedahnya, jadi ngerpotin" ucap Arya.

"Kamu itu ngomong apa toh mas, kemaren kan aku sudah bilang, semua biar aku yang urus" ucap ibu Ratna.

Kemudian terlihat dua orang pri berjalan mendekati mereka. Keduanya merunduk penuh hormat saat sudah berada di dekat ibu Ratna.

"Bu kita langsung pulang apa gimana?" Tanya salah seorang pria itu.

"Itu yang di belakang mobil pick up diturunin semua aja dulu, bawa masuk kedalam rumah sekalian" perintah ibu Ratna kepada dua orang pria yang sebenarnya adalah kariawannya di toko matrial milik alm.suaminya.

"Enjih bu.."

Kedua pria itu langsung mengikuti perintah majikannya.

Sedangkan Arya dan ibu Sumi menatap datar ibu Ratna.

Beberapa saat kemudian terlihat dua pria itu masing-masing memanggul sekarung beras, dan langsung dibawa ke ruang tamu rumah Arya.

Ibu Sumi dan Arya hanya bengong melihat itu.

Setelah menaruh dua karung beras, dua orang pria itu kembali ke mobil dan masih menurunkan kembali kardus yang berisi minyak sayur. Tidak hanya itu, dua orang pria itu masih mondar-mandir dengan mengangkat beberapa kardus, yang belum diketahui apa isinya.

Arya dan ibu Sumi semakin bengong memperhatikan dua orang itu. Rasa bingung tergambar di raut wajah keduanya.

"Udah semua bu, kita langsung kembali ke matrial" ucap seorang karyawannya.

"Ya udah hati-hati" jawab ibu Ratna.

Setelah bersalaman dengan ibu Ratna, ibu Sumi, dan Arya, kemudian dua orang itu masuk kedalam mobil. Beberapa saat kemudian mobil pick up yang dikendarai karyawan ibu Ratna keluar halaman dan berjalan meninggalkan mereka.

"Maaf bu itu maksudnya gimana ya?" Tanya Arya dengan wajah yang datar, setelah mobil pick up itu sudah tidak terlihat lagi.

Ibu Ratna tersenyum simpul, ia melihat ada rasa tidak suka di mata Arya dengan apa yang sudah dilakukannya. Oleh sebab itu ibu Ratna mencoba untuk melunakan hati Arya.

"Maaf mas Arya" ucap ibu Ratna, kemudian ia menoleh pada ibu Sumi, "maaf bu, jangan kesinggung, aku ndak ada maksud apa-apa, cuma pingin ngucapin terimakasih, mas Arya udah nolongin anakku kemaren" ujar ibu Ratna.

"Tapi itu terlalu berlebihan bu, ibuku emang dapet upah kalau habis mijit, tapi ndak sebanyak itu, itu kebanyakan bu, kami ndak bisa terima"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ibu Ratna hembuskan secara perlahan. Wanita yang terlihat elegant itu sudah menduga jika Arya akan menolaknya.

"Mas Arya" ibu Ratna meriah telapak tangan Arya kemudian megusap-usapnya dengan lembut, "aku tahu, mas Arya dan ibu Sumi orang baik, tapi apa nggak boleh kalau saya bales kebaikan mas Arya. Mas Arya orangnya tulus dan ikhlas, tapi aku juga ikhlas melakukan itu" ibu Ratna berbicara dengan sangat lembut.

Sentuhan dan cara bicara ibu Ratna yang lembut sedikit melunakan hati Arya.

"Tapi itu ndak seimbang bu, itu terlalu banyak" ujar Arya.

Ibu Ratna melepas telapak tangan Arya, kemudian ia meraih lengan kekar Arya sambil meremasnya pelan.

"Jangan gitu mas, aku nggak bisa kalo harus diam sama orang yang sudah berbuat baik, suka kepikiran, sampai nggak bisa tidur, ndak enak makan, terus sakit gimana? Mas Arya mau tanggung jawab kalo aku sakit?" Ibu Ratna mencoba bergurau untuk mencairkan suasan hati Arya.

Mendengar itu Arya tersenyum nyengir, begitu juga dengan ibu Sumi.

Ibu Ratna melapaskan tangannya dari lengan Arya, "sudahlah mas, mohon diterima, biar sama-sama enak. Anggep saja ini rejeki ibu" ibu Ratna menoleh pada ibu Sumi. "Selain itu, anakukan tinggal di sini, pasti menyita waktu, terus ngerpotin, jangan bilang tidak itu pasti. Jadi aku mohon ibu Sumi, sama mas Arya jangan kesinggung. Tolong diterima, itung-itung menyambung tali silaturahmi" imbuh ibu Ratna.

Menarik napas dalam-dalam sebelum Arya hembuskan secara perlahan. "Yah... kami terima bu, terimaksih, biar Allah yang bales kebaikan ibu Ratna" ucap Arya pasrah.

Akhirnya ibu Ratna dapat mengembangkan senyumnya. Hembusan napas legah keluar dari mulutnya.

"Nah gitu dong, aku kan enak dengernya" ucap Ratna.

Ibu Sumi dan Arya juga mengembangkan senyumnya. Suasana kembali hangat dan penuh kekeluargaan.

Beberapa saat kemudian terlihat ibu Ratna menoleh pada Adnan. Ia berjongkong untuk mensejajarkan tingginya dengan Adnan.

"Ya ampun, anak lanang, gantengnya, sudah mandi ya?" Ucap ibu Ratna sambil mencubit kecil pipi gembil Adnan.

Yang dicubit tersipu, dan memeluk kaki ibu Sumi.

"Oia, ibu lupa, ibu punya sesuatu buat Adnan, sebentar ya" ibu Ratna berdiri, kemudian ia berjalan mendekati mobilnya.

Wajah Arya kembali datar saat melihatnya.

Beberapa saat kemudian ibu Ratna kembali lagi dengan membawa mainan mobil remote kontorol yang besar, dan juga mainan robot-robotan. Ia juga membawa kantog keresek yang berisikan buah-buahan.

Ibu Ratna tersenyum sambil menyodorkan mainan itu pada Adnan. "Hayo... suka apa enggak?" Ucap ibu Ratna.

Sedangkan Adnan dengan malu-malu menerima dan memeluk mobil-mobilan itu. Senyumnya mengembang wajahnya terlihat sangat bahagia.

Melihat itu, Arya terdiam seribu bahasa.

avataravatar
Next chapter