22 Mi Familia 8

Diam-diam David mengintip ke dalam ruang perawatan Ben. Ia berdiri di luar ruang perawatan Ben bersama Aji. Sementara itu Ben sedang menerima teman-temannya yang datang menjenguk.

"Do you already talk to him?" Tanya David pada Aji. Keduanya berpaling dari jendela kecil yang ada di pintu kamar Ben dan beralih ke kursi panjang yang ada di depan kamar tersebut.

Aji menggelengkan kepalanya. "Slowly, Dave. I'm waiting for the right time."

David menganggukkan kepalanya. "It's okay. I'm just asking. I don't mean to force you."

Aji menganggukkan kepalanya. Ia dan David kembali terdiam.

"Is Ben always use a sunglass like that?" David kembali bertanya pada Aji.

"He wears it very often. Ben probably uses a contact lens. He doesn't want people to know about the true color of his eyes," jawab Aji.

"He must be very disappointed in me. That made him not want to show his eyes," sahut David.

Aji tiba-tiba menepuk bahu David. "It's okay, Dave. Maybe this is the right time for you to change everything. Ben will understand."

David menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menatap Aji sambil tersenyum simpul. "I hope so."

Pintu ruang perawatan Ben tiba-tiba terbuka. Tidak lama kemudian Bayu dan teman-teman Ben yang lain keluar dari ruang perawatan Ben. Bayu langsung menghampiri Aji yang sedang duduk di kursi panjang.

"Pamit dulu, Ji. Si kampret itu katanya mau tidur," ujar Bayu pada Aji.

Aji tertawa pelan dan berdiri dari tempat duduknya. "Pasti dia pusing liat kamu. Makanya dia ngusir kamu pakai alasan mau tidur."

Bayu terkekeh. Ia kemudian melirik pria asing yang duduk di sebelah Aji. Bayu menyipitkan matanya lalu mengalihkan perhatiannya pada Aji. "Lagi ada tamu, Ji?"

Aji terkekeh. "Ini bapaknya, Ben."

Mata Bayu dan teman-teman Ben yang lain langsung memelotot pada Aji. Bayu kemudian segera menyalami pria asing yang sedang duduk di dekat Aji.

"Wah, akhirnya kenalan juga sama bapaknya Ben. Nice to meet you, uncle," seru Bayu ketika menyalami tangan David.

"Mereka ini teman-teman mainnya. Yang paling rusuh ini Bayu. Dia partner in crime si Ben," terang Aji pada David sambil menepuk-nepuk Bayu.

David menganggukkan kepalanya. "Nice to meet you too."

"Ya udah, Ji. Kita pamit kalau begitu," ujar Bayu. Ia dan teman-temannya yang lain lalu menganggukkan kepalanya pada Aji dan David. Selanjutnya mereka pergi meninggalkan lorong rumah sakit tempat Ben dirawat.

Setelah Bayu dan yang lainnya menjauh dari ruang perawatan Ben, Aji kembali mengalihkan perhatiannya pada David. "Mumpung Ben abis ditengok sama teman-temannya, siapa tahu mood-nya lagi bagus. Saya akan coba bicara sama dia."

David menganggukkan kepalanya. "Thanks, Ji."

Aji mengangguk pelan lalu masuk ke dalam ruang perawatan Ben. Sementara David duduk di kursi panjang yang ada di ruangan tersebut.

----

"Dibawain apa aja kamu sama begundal-begundal itu?" tanya Aji sembari berjalan menghampiri Ben di tempat tidurnya.

Ben sudah melepaskan kacamata hitamnya begitu teman-temannya pergi meninggalkan ruangannya. Ia kemudian melirik meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurnya. "Itu, mereka bawain buah-buahan sama roti."

Aji memeriksa kantong plastic berwarna hitam yang ada di meja sebelah tempat tidur Ben. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya lalu mengambil sebuah jeruk dari dalam kantong hitam tersebut. "Kamu mau jeruk?"

Ben menggelengkan kepalanya.

"Roti?"

Ben kembali menggelengkan kepalanya.

"Nasi campur?"

Ben langsung mengangguk cepat. "Itu sih, nggak usah ditanya. Saya pasti mau. Makanan rumah sakit ngga ada rasanya. Enakan nasi campur ibu kantin kemana-mana."

"Ya, sabar. Setelah keluar dari rumah sakit kamu bisa makan nasi campur sepuasnya." Aji kemudian menarik kursi yang ada di dekatnya dan duduk di sebelah tempat tidur Ben. "Ngomong-ngomong, kamu belum cerita kenapa kamu bisa sampai kecelakaan. Bukannya waktu itu kamu izin mau ke warnet?"

Ben menghela nafas panjang. Ia memainkan jarinya sembari menundukkan kepalanya. "David ada disini."

"Oh," gumam Aji. "Terus?"

"Dia maksa mau bicara, saya pergi. Terus ketabrak," jawab Ben singkat.

"Kenapa kamu pergi? Bukannya lebih baik kamu bicara sama dia? Biar ngga ada ganjalan terus di hati kamu," ujar Aji.

Ben menatap Aji. "Siapa yang bawa saya ke rumah sakit?"

"Yang jelas bukan saya. Saya cuma dapat telepon kalau kamu jadi korban tabrak lari. Begitu saya sampai di rumah sakit ternyata ada David. Langsung saya tonjok mukanya" jawab Aji.

Ben terkekeh sambil menatap Aji. "Kenapa cuma ditonjok?"

"Ya, kalau saya nurutin emosi saya, David udah saya bakar," timpal Aji sembari tertawa pelan. "Tapi untungnya saya cuma nonjok dia."

"Kenapa masih ada untungnya?" tanya Ben. Ia menatap Aji sambil mengerutkan keningnya.

"Karena malamnya kamu harus operasi darurat gara-gara pendarahan dalam yang ngga terdeteksi waktu pemeriksaan. Tahu-tahu kulit kamu udah pucat seperti mayat. Saya nelpon sana-sini cari donor buat kamu. Tiba-tiba Mbok datang bawa David. Golongan darah kalian sama," terang Aji.

Mata Ben langsung membulat. "Jadi?"

Aji menganggukkan kepalanya. "David akhirnya yang jadi donor darah buat kamu."

Ben langsung menegakkan tubuhnya. "Kenapa Aji biarin itu terjadi? Aji tahu saya benci sama orang itu."

"Waktu itu ngga ada pilihan lain, Ben. Saya cuma berpikir bagaimana caranya supaya kamu selamat. Saya juga kaget waktu Mbok tiba-tiba bawa David,"sahut Aji.

"So I have his blood now?"

"You have his blood from the beginning, Ben. He is still your father after all," jawab Aji.

"Ayah macam apa yang berusaha bunuh anak kandungnya sendiri?" suara Ben sedikit meninggi ketika menanggapi ucapan Aji.

"Lower your voice," ujar Aji.

Ben mendengus kesal. Ia kemudian memukul tiang infus yang ada di sebelahnya sambil mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Aji menatap Ben. "Sampai kapan kamu mau terus membenci David?"

"I don't think he's my father either," sahut Ben.

"He saves your life. Saya juga nggak bisa memungkiri kesalahan yang sudah dia perbuat sama keluarga kita, tapi semua orang berhak punya kesempatan kedua," ucap Aji tenang.

"Jadi saya harus memaafkan dia?" tanya Ben sinis.

"Saya juga masih mencoba untuk memaafkan David. Kalau saya bisa mencoba, kamu juga pasti bisa," jawab Aji.

Ben menggelengkan kepalanya. "I can't."

Aji mencondongkan tubuhnya dan menatap Ben. "Yes, you can, Ben. I know you can. Memaafkan jauh lebih mudah daripada melupakan. Kamu ngga mau terus tersiksa sama perasaan yang selalu kamu alami tiap kali kamu mengingat kejadian itu, kan?"

Ben balas menatap Aji sambil menghela nafas panjang. "I still need time, Ji."

Aji menepuk bahu Ben. "I'll tell David to stay a bit more. Tell me when you are ready."

Ben mendesah pelan. Ia kemudian menganggukkan kepalanya.

Aji tersenyum sambil menatap Ben. "That's my boy," ucap Aji sambil menepuk-nepuk bahu Ben.

****

Thank you for reading my work. I hope you enjoy it. You could share your thought in the comment section, and don't forget to give your support through votes, gifts, reviews, etc. Happy reading ^^

avataravatar
Next chapter