1 Earth

Rabu, 02 September 2020

       Secarik kertas di atas nakas menyita perhatianku. Rasanya enggan walaupun hanya untuk mendekat dan membaca setiap barisnya. Mataku mulai berair ketika ingatan pedih nan menyakitkan memaksa masuk, menantang perasaan yang berkecamuk di dalam hati.

      Aku melihat dua insan tepat di depan rumahku. Mereka terlihat sangat akrab, tapi keakraban yang tidak biasa terjalin begitu saja. Membuat hatiku terasa amat sangat sakit.

"Sayang, kenapa baru datang? aku rindu kehangatanmu." Ucapannya diikuti gerakan bergelayut manja di lengan Han. Aku merasakan kekecewaan kala itu.

"Tenang saja, nanti malam kita habiskan waktu bersama, sayangku." Berani-beraninya mereka mengkhianatiku.

      Mataku sudah berkaca-kaca melihat pria itu segera mencium wanita didepannya. Dengan langkah tertatih-tatih, aku menjauh. Kaki ini membawaku ke taman belakang. Masih berusaha menetralkan pikiran dan perasaan yang luar biasa sakitnya. Derai air mata bercucuran deras. Diriku bahkan tak pernah menyangka, mereka akan berlaku demikian.

'Aku benci! Aku benci kalian dari kehidupanku! Rasanya aku tak ingin melihat kalian lagi! Takkan pernah ingin!'

      Untung saja ayah tidak melihat pria paruh baya (om Han) dan ibuku bermesraan. Jika iya, pasti dalam hati sakitnya melebihi apa yang sudah kurasakan. Parahnya pria itu adalah sahabat ayah, sekaligus papa dari sahabatku, Irhannist Han. Kenapa orang terdekatku mengambil kebagiaanku, oh bukan mengambil lebih tepatnya menghancurkan. Memorak-porandakan bahtera rumah tangga yang sudah sekian lama ayah bina.

Memang tiada nalar!

      Ku pejamkan mata. Mencoba tidur, tapi tak pernah bisa. Ingatan itu selalu menghantuiku. Bahkan, setelah aku tak sengaja mengingatnya tadi. Aku, aku, aku tak tahu harus berbuat apa.

      Hatiku kembali terasa dihantam beribu-ribu pukulan. Dijatuhi berton-ton barang. Perasaan yang sama ketika melihat tragedinya secara langsung. Dengan sekali tebasan tangan, semua benda di meja rias jatuh teronggok di atas lantai. Surat yang enggan kulihat lagi, terbuka lebar disamping pecahan-pecahan kaca. Sekilas masih bisa ku baca.

—————————          ••           —————————

Nak, maafkan ibu. Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Ibu merasa kebahagiaan ada diluar sana. Ibu............

      Aku berhenti menatap tulisan keji itu. Ku paling kan wajah menghadap pintu. Tiba-tiba ayah masuk. Beliau nampak tercengang melihat kekalutanku. Ayah membuka mulut ingin berucap, namun bibirnya kembali terkatup rapat. Aku tak peduli dengan sekitar, bahkan ayahku sendiri. Saat ini, rasanya tidak ingin melihat seorangpun. Kulangkahkan kaki menyelonong masuk ke dalam bilik kamar mandi. Namun, ucapan ayahku, Gates Willer. Berhasil membuat langkahku mendadak terhenti tepat diantara pintu masuk.

"Nak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Ayah juga merasakan hal yang sama. Mungkin ibumu hanya bosan. Dia pasti akan kembali."

"Tidak mungkin!" nada bicaraku meninggi. Emosi marah masih menguasaiku. 'Maaf ayah, aku membentakmu' . Ucapku dalam hati. Aku langsung memasuki kamar mandi. Menutup pintu dengan sekuat tenaga, hingga menciptakan suara menggema di dalam ruangan ini. Sudah bisa ditebak, apa yang kulakukan disini. Apa lagi, selain menangis sembari meratapi nasib? Isak tangis tersamarkan dengan gemericik air dari kran dan shower.

Samar-samar masih bisa kudengar ucapan ayah selanjutnya.

"Xi Aomi Willer, sebenarnya ayahmu ini sudah lama mengetahui kelakuannya."

'Hm? Apa maksudnya? Aku tidak salah dengarkan? Kenapa jika ayah sudah lama tahu, dia malah tidak segera mencegahnya?'

Kumatikan kran dan shower.

"Apa maksudmu, yah?"

"Siapa yang kau panggil ayah? Dasar bodoh!"

"Ayah, jangan bercanda! Aku sedang tidak ingin."

'Aneh sekali, kenapa ayah berucap demikian?'

"Lihatlah ke samping, sayang!"

Ku tolehkan wajahku ke samping kanan. Tidak ada siapa-siapa.

"Bukan disebelah situ!"

Sekarang aku mulai menengok ke kiri, tapi dia tidak ada juga. Permainannya membuatku geram.

"Ayah! Jangan bercanda! Sudah kubilangkan, aku tak ingin!"

"Sudah kubilang, aku bukan ayahmu. Lihatlah ke atas!" Aku menurut saja.

      Alangkah terkejutnya diriku. Melihat lelaki yang kira-kira usianya lebih tua dua tahun dariku berada di ruangan yang sama. Dia ada di atas sana, terbang menggunakan sayap. Sayapnya hitam pekat seperti sayap kelalawar. 'Eh? Mungkinkah ini kehaluanku?'. Aku mulai mengusap-usap mata. Kubuka perlahan mata ini. Dia, dia, dia sudah tidak ada. Sudut bibirku akhirnya sedikit tertarik ke atas, menciptakan senyuman tipis.

"Mungkin aku hanya lelah." Gumamku.

"Tapi setelah dirasa-rasa, tokoh dalam otakku memang bodoh, hahaha, dia menganggap atas sama dengan samping kanan dan kiri. Jika diterapkan ke dalam tata bahasa, pasti lucu. Samping atas. Hahaha."

'Entah mengapa aku jadi sedikit senang dan mulai tertawa karena kekoyolan ini.'

Biasanya, dibalik keterpurukkan. Pasti akan ada hikmah dibaliknya. Salah satu contohnya, "Rasa kehilangan akan membuat hatimu semakin kuat untuk menghadapi cobaan yang lebih besar dari segelintir rasa direnggutnya sesuatu darimu."

Bahkan, sang penghibur lara akan hadir tanpa kita sangka kapan masanya.

———————————————————————————

Thanks for reading my story —> TO BE CONTINUE

Keep enjoy! 😁

Don't forget give me vote and comment!

I always wait you🤗

IG : instagram.com/Xynnta_Nav

TG : t.me/xynntanaventuz

—————————————————————————

FB : Xynnta Naventuz

avataravatar
Next chapter