1 Semburat Jingga Hari Senin

Ketika piringan matahari mulai bangun menuju cakrawala. Semburat merah jingga pun kini mulai menampakkan sinar indah menghiasi langit pagi. Kicau burung menyanyi memecah keheningan pada fajar di hari senin. Angin berhembus halus menerbangkan rambut-rambut halus yang tergerai hingga menutupi wajah putih mulus. Seorang gadis cantik, sedang berdiri di balkon kamarnya. Menatap indahnya fajar di pagi buta.

Tok-tok-tok!

"Za!"

Ketukan pintu dan panggilan dari seseorang menyentak lamunan gadis tersebut. Sontak berbalik, ia pun menuju benda ajaib yang mampu memberikan akses masuk ke dalam ruang peristirahatan tersebut.

Ceklek!

Pintu terbuka. Sosok wanita paruh baya berdiri di sana. Mendengkus kasar, wanita tersebut hanya bisa menggelengkan kepala melihat anak bungsunya.

"Mama pikir kamu sudah siap-siap," ucap wanita tersebut. "Mandi saja belum," sambungnya.

Menyengir bagai kuda. Itulah yang dilakukan Khanza Arisha. "Masih pagi, Ma," sahutnya santai.

"Pagi apanya, Za?" omel sang Mama. "Ini Jakarta. Kota termacet di Indonesia. Kamu tahu berapa waktu yang kamu butuhkan untuk perjalanan ke sekolah? Bisa sampai setengah jam. belum lagi kamu mandi dan makan. Mau jam berapa kamu berangkatnya?"

"Tenang saja, Khanza bisa pastikan tidak akan terlambat sedetik pun Ma." Mengedipkan sebelah mata, gadis manis itu pun melewati sang Mama begitu saja. Bersenandung nyaring, ia masuk ke dalam kamar mandi.

Karina Larasati hanya mampu menggelengkan kepala menyaksikan kelakukan si bungsu. "Mama tunggu di meja makan!" teriaknya.

"Siap Ma!" sahut gadis itu.

***

Khanza Arisha tumbuh sebagai gadis kutu buku. Sering dijuluki cewek culun oleh teman sekolahnya, ia tak peduli akan hal itu. Yang penting, mampu membuat orang tua dan dua kakaknya bangga akan prestasi-prestasi yang ia dapat. Bukankah hidup ini tentang pembuktian? Kalau begitu abaikan omongan julid orang.

Hari ini merupakan hari pertama penerimaan murid baru. Menginjak sekolah putih abu-abu. Kini putri kecil dari keluarga Pamungkas itu sudah beranjak remaja. SMA, masa di mana sebuah kisah cinta akan terukir pada anak remaja pada umumnya, tetapi Khanza sendiri ragu akan 'kah dirinya, juga merasakan lukisan cinta dari dewi asmara itu.

Cinta. Satu kata yang sarat akan beribu makna. Cinta hadir tak kasat mata, dan pergi tanpa harus diminta. Cinta mampu mengubah segalanya, dan cinta juga mampu menghilangkan akal sehat kita.

Gadis menyandang status cupu tersebut tidak berani bermain dengan sebuah kata yang bernama cinta. Karna terbayang sebuah luka yang akan terasa sangat sakit menyiksa jiwa, sedangkan sulit untuk mencari obat penawarnya. Namun, siapa sangka cinta bisa saja datang tanpa harus di minta, dan tanpa izin dari sang empunya.

Selesai mengepang dua rambut panjang, tak lupa ia mengambil kaca mata baca di dalam laci. Menyelipkan dua tangkai pada telinga, hingga kaca bulat terang, sempurna menutupi mata. Hal terakhir yang Khanza lakukan menyampirkan tas selempang pada tubuh semampainya.

"Akhirnya selesai juga," ujarnya.

Lantas keluar dari kamar, dia pun melangkah menuruni undakan tangga. Terdengar riuh suara keluarga di ruangan makan, gadis tersebut segera bergabung guna melakukan sarapan.

"Pagi Pa, Ma, Kak Sisi, Kak Zay," sapanya riang.

"Pagi Sayang," sahut sang Papa.

"Pagi cantik Kakak," balas Sisi—Sang ipar tercinta.

"Duduk dan sarapan dulu Za," suruh sang Mama.

Khanza duduk di seberang sang Kakak yang semenjak tadi fokus dengan omelette, bahkan ia tak menjawab sapaan dari adik bungsunya sama sekali. Kesal tak digubris, timbul ide jahil dari gadis cupu tersebut. Bangkit berdiri, dia menjangkau gelas susu coklat kepunyaan Kakaknya. Sesegera mungkin meminum, dia bahkan menandaskan isi gelas kaca tersebut.

"Khanza!" pekik sang Kakak. "Kenapa punya Kakak di minum?" omelnya.

Sementara Khanza malah menyeringai kesenangan. Meletakkan gelas tersebut, kini dia gantian tak menghiraukan sang Kakak yang semakin terbakar kekesalan. Kembali duduk santai, gadis itu menyantap omelette yang sudah dibuatkan sang Mama.

"Khanza! Kamu ya?!" geram sang Kakak.

"Sudah Sayang, nanti aku bikinin lagi." Sang istri alias Kakak ipar kesayangan Khanza pun menenangkan sang suami.

"Bukan begitu Sayang. Dia kebiasaan banget minum punya aku," rajuk Zay.

"Lagian sudah tua bangka masih minum susu," ledek sang Adik.

"Terserah Kakak dong mau minum apa," debat Zay.

"Sudah-sudah," tegur sang Mama. "Kalian tuh ya? Tiap pagi pasti berantem, nggak capek apa?"

"Anak kesayangan Mama tuh selalu bikin gara-gara." Zay memicingkan mata pada Khanza.

"Eh enak saja. Siapa suruh di sapa selalu nggak jawab," bela Khanza.

"Kakak jawab, Dek," balas Zay.

"Mana ada?" debat Khanza. "Khanza nggak dengar tuh."

"Ada dalam hati," sahut Zay asal.

"Kak Zay!" Menggenggam tisu, gadis cupu itu pun melemparkannya pada sang Kakak.

Si Mama dan Kakak ipar hanya bisa geleng-geleng kepala. Tom and Jerry itu selalu ramai kalau berkumpul di rumah. Lihat saja, Zay tidak akan mengalah dengan Adiknya. Lelaki berumur tiga puluh dua tahun itu malah membalas melempar tisu lagi pada sang Adik. Al hasil ributlah mereka berdua.

"Kak Zay!" pekik Khanza saat gumpalan tisu mengenai hidungnya.

"Apa?!" Zay menjulurkan lidah mengejek. Dan Khanza bersiap membalas lagi.

"Ehem!"

Jika sudah lelaki paruh baya bernama Damar itu angkat suara maka heninglah yang terjadi.

Khanza kembali duduk dan diam mematung. Sementara Zay segera membenarkan dasinya. Menghabiskan roti di piring, ia menyambar air putih untuk membasahi kerongkongan.

"Ayo kita berangkat, harinya sudah semakin siang," ajak sang Papa.

"Baik Pa," sahut Zay. "Ayo Za, habiskan sarapan kamu."

Khanza memutar jengah matanya. "Kak Zay duluan saja sama Papa, Khanza bisa berangkat sendiri kok."

Sontak mata Zay melotot horor. "Berangkat pakai apa kamu? Motor? Kakak nggak akan izinin"

"Ah Kak Zay. Biar cepat sampai sekolahnya Kak."

"Eh-eh-eh! Nggak!" larang sang Momy.

"Tapi Ma?" mohon Khanza.

"Kita baru pindah beberapa bulan lo di sini Za. Kamu belum tahu seluk beluk kota ini," imbuh Sisi.

"Ada google maps, Kak. Tenang deh, Khanza janji nggak akan kenapa-napa. Lagi pula 'kan Za bisa bela diri, Kak."

"Nggak boleh. Pokoknya Kakak bilang nggak boleh ya nggak boleh, Dek. Nurut apa salahnya sih." Ampun deh, Zay selalu kewalahan menghadapi Adik keras kepalanya satu ini.

"Pa boleh ya?" rayunya pada lelaki tertua dalam rumah itu. "Khanza janji nggak akan ngebut kok." Mendekati sang Papa, dia bergelayut manja pada lengan lelaki pencari nafkah tersebut.

Menghela napas panjang, Damar menatap sang anak. Mengulas senyum, ia pun tak lupa mengelus pucuk kepala anak bungsunya penuh kasih.

Khanza menjulurkan lidah pada Zay, harapan dia sudah di pucuk. Jika sang Papa akan mengizinkan maka semua tidak akan bisa melarang lagi.

"Pa," tegur sang Mama.

"Tenang saja Ma," sahut sang Papa lembut. "Khanza boleh naik motor, tap—"

"Yes! Papa makasih!" sorak Khanza.

Zay mendengkus kasar. Sang istri mengelus bahu sang suami. Sementara sang Mama, memicingkan tajam mata pada sang suami.

"Eits tunggu!" ujar Damar. "Papa belum selesai ngomong."

"Apa Pa?" antusias Khanza.

"Kamu boleh naik motor dua tahun lagi."

"Yes!" kini giliran Zay yang bersorak kemenangan.

avataravatar
Next chapter