webnovel

Nusan(gem)tara

Azura, penulis novel online yang harus terbangun ke dunia entah-berentah. Setelah sebelumnya, sempat berpikir untuk mengakhiri hidup agar terlepas dari masalah yang tak kunjung berhenti menghampirinya. Dia diseret, oleh seorang laki-laki asing yang ia temui di dunia tersebut. Hingga Azura, harus menjalani kehidupan penuh intrik Kerajaan, perang yang tak kunjung berhenti memperebutkan kekuasaan, hingga sistim kasta ... Yang membuat semuanya semakin sulit untuk dijalani. "Aku telah cukup belajar arti dari bersyukur. Izinkan aku untuk kembali, Tuhan. Izinkan aku, untuk kembali ke dunia lamaku." -Azura Binar Bahaduri-

FufuHima · Fantasy
Not enough ratings
2 Chs

Terbangun

"Azura!"

Aku menghela napas dengan menggenggam kuat gulungan uang kertas di tangan, "ada apa, Bi?" tanyaku, kepada kumpulan ibu-ibu tetangga yang tengah berkumpul menatapku.

"Di mana Ibumu? Kok Tante, tidak melihat Ibumu lagi," sahut salah satu perempuan setengah baya di tengah-tengah mereka.

Aku benar-benar benci, dengan perempuan sepertinya!

Bibirku, kupaksa untuk merekah, "ibuku ada di rumah, Bi. Nanti, aku sampaikan salam dari bibi," jawabku, dengan kembali berbalik ke arah laki-laki penjual tekwan yang rupanya masih membungkus tekwan yang aku beli.

"Ada apa?"

"Apa ada sesuatu yang terjadi?"

"Apa kalian tidak tahu?"

"Tahu apa?"

"Tahu apa?" bisikan demi bisikan, silih berganti menyentuh telingaku.

"Ibunya, kan, kabur dengan laki-laki. Kasihan sekali … Dia dan adiknya, ditinggal begitu saja."

Kugigit kuat bibirku, kepalaku tertunduk saat bisikan yang terakhir terdengar … Terasa meremukan, sanubariku. "Sepuluh ribu, dek," tukas paman penjual tekwan dengan mengarahkan bungkusan kantung hitam ke arahku.

Ucapan terima kasih, kuberikan berturut dua lembar uang pecahan lima ribuan kepada penjual. Langkahku berlanjut, dengan menenteng bungkusan tekwan panas yang baru saja aku beli. "Bi, permisi ya," ucapku sambil sedikit membungkukan tubuh ke arah mereka yang menghentikan bisikan saat aku berjalan melewati.

Langkahku berhenti, tarikan napasku kian dalam, sebelum aku kembali melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam rumah. "Sasa, bagi dengan nenek!" Sasa, adik yang berjarak enam belas tahun denganku itu, beranjak duduk meraih bungkusan yang aku beri, walau matanya masih tak lepas dari Televisi di hadapannya.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar, meraih lalu mengenakan earphone yang masih melantunkan lagu dari ponsel … Sebelum akhirnya, aku kembali menatap layar laptop berisi naskah novel yang baru saja aku ketik. "Kau sudah bahagia, kan, Sachi? Setidaknya, kau sudah sedikit bahagia, kan?" bisikku lirih, aku tertunduk saat air hangat tiba-tiba mengalir di ujung mata.

Kuraih ponsel yang ada di samping, jari-jemariku bergerak menggeser layar ponsel di tanganku itu. "Apa dia tidak meninggalkan komentar hari ini?" Aku kembali bergumam, sambil membaca satu per satu komentar yang ditinggalkan pembaca di novelku.

"Syukurlah, aku turut berbahagia untukmu," sambungku berbisik, setelah membaca komentar, bagaimana … Semua keluh kesah yang aku ketik, dapat memberikan manfaat untuknya.

Aku meletakan kembali ponsel di kasur, tubuhku duduk bersandar di dinding … Pandangan mataku, menerawang jauh ke depan. Berusaha menepis, rasa sesak yang kian menyelimuti. "Kenapa?" ucapku gemetar, saat aku menundukan kepalaku bersembunyi di antara kedua kaki.

"Aku sudah berusaha menjadi anak yang baik. Aku sudah berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga … Apa lagi yang harus aku lakukan, Tuhan?"

"Kenapa harus aku? Kenapa bukan yang lain? Sampai kapan aku harus menanggung semua cibiran yang tidak aku perbuat? Aku lelah-" tangisku yang semakin dalam membenamkan kepala.

Wajahku kembali terangkat, dengan kedua telapak tangan menyapu pelan mataku yang perih dan terasa berat oleh tangisan. Kutanggalkan earphone sambil beranjak, mendekati meja kerja … Membuka laci, lalu meraih silet yang masih terbungkus oleh bungkusan kertas berwarna merah. "Mungkin, aku akan merasa lebih baik kalau nyawaku menghilang," gumamku, dengan kembali duduk di pinggir ranjang.

"Mungkin, ibuku akan berubah … Jika dia sadar, seperti apa rasanya hatiku sakit, karena semua perbuatannya."

"Mungkin juga," sambungku dengan suara yang kian gemetar, bahkan kertas yang membungkus silet di tanganku … Ikut basah, oleh air mataku yang terasa sulit untuk dihentikan.

Aku masih tertunduk, dengan pandangan mengabur. Kedua tanganku bergerak, membuka kertas yang membungkus silet, "Azura!" tanganku yang hendak mengiris pergelangan tanganku berhenti, oleh bias suara yang memanggil.

"Azura!"

Kali ini, kepalaku bergerak ke sekitar, mencoba mencari suara yang kembali memanggil namaku. Aku beranjak dengan meninggalkan silet yang sebelumnya aku pegang ke kasur. Kubuka pintu kamar, berjalan menyusuri rumah … Hanya untuk sekedar mencari suara yang selalu memanggilku. "Aneh, ke mana perginya suara tadi," gumamku dengan menunduk sambil mengernyitkan kedua alis.

Langkah kakiku, kembali berlanjut … Memasuki kamar. Betapa herannya aku, saat aku menjatuhkan pandangan ke kasur … Silet yang sebelumnya aku letakan, tiba-tiba telah raib entah ke mana. "Apa terjatuh?" tanyaku sambil membungkuk ke bawah ranjang.

"Aku tidak menemukannya," sambungku sambil kembali duduk di pinggir ranjang lalu membaringkan tubuh di sana.

Tubuhku berbalik menyamping, menatap layar laptopku yang telah kembali menghitam, "aku ingin terlahir kembali, dengan dapat memilih … Di keluarga mana, aku bisa hidup," sambungku bergumam sambil dengan perlahan memejamkan mata.

___________________.

Kesadaranku, kian berangsur kembali dari tidur, setelah udara dingin … Tiba-tiba berembus, mendekap seluruh tubuh, "di mana selimut?" gumamku lirih, dengan tangan bergerak untuk meraih selimut, walau mata enggan untuk terbuka.

"Kok basah? Apa aku, kencing di celana? Tapi, apa ini?" Aku kembali bergumam, dengan meraba hamparan empuk namun basah yang ada di sampingku.

"Matilah kau! Matilah! Matilah!"

Suara gumaman laki-laki yang sedikit tertahan, membuatku mau tak mau untuk membuka mata. Kedua mataku membelalak, dengan cepat aku beranjak duduk … Menatapi seorang laki-laki yang tengah menancapkan ujung tombak di tangannya, ke atas kepala seekor ular besar, dengan tubuh yang hampir dua kali lipat darinya.

Kepalaku, bergerak cepat memperhatikan sekitar, "di mana aku?" tanyaku, sambil menunduk, menatapi rerumputan basah yang tumbuh di dekatku.

Aku tercekat, saat lirikanku itu terjatuh ke arah sepasang kaki tanpa alas, berjalan mendekat. Aku ingin beranjak lalu lari menjauh, tapi entah apa yang terjadi? Kakiku, tiba-tiba melemah, sulit untuk kugerakkan, saat sosok laki-laki yang membunuh ular … Berjalan mendekat, dengan sebuah tombak yang ia seret ke rerumputan.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini? Baju apa yang kau pakai itu?"

Pertanyaan demi pertanyaan, ia lontarkan kepadaku … Walau udara dingin, masih berembus. Keringatku yang keluar, seakan tak peduli, tetap saja mengalir dengan caranya. "A-a," suaraku enggan keluar, rasanya kerongkonganku … Diisap habis-habisan hingga mengering.

Aku semakin tertunduk, tubuhku kian gemetar saat tombak yang sebelumnya ia genggam … Menancap begitu saja di tanah yang ada di depanku. Aku mengangkat pandanganku, saat dia meraih tangan kiriku, "a-apa-" perkataanku terhenti, dengan cepat aku memalingkan wajah saat dia mengangkat wajahnya menatapku.

Aku kembali melirik ke arahnya, yang tengah mendekatkan lengannya hingga menempel di lenganku, "apa kau, Bidadari?"

"Bida … Bidadari?" Aku balas bertanya, sambil berusaha melepaskan tanganku yang masih ia pegang kuat.

"Bahkan Putri saja, kulitnya tidak seputih ini-"

"Pu-Putri?"

"Berapa koin emas yang akan aku dapatkan, kalau aku menjualnya kepada Raja?" gumam laki-laki tersebut sambil menepuk-nepuk bibirnya sendiri menggunakan jari telunjuk.

"Kau akan membuatku kaya, Nona," sambungnya, dengan kali ini sedikit mengukir senyum menatapku.