4 if you are not the one

Sudah hampir seminggu dan aku masih memikirkan mengapa aku bisa sangat sedih waktu itu melihat kedekatan gadis dan anya. Padahal aku sering mendengar nama anya dari davi, ujo atau gadis. Namun setelah melihat kedekatan mereka waktu itu, ntah mengapa hati ku terasa sakit seperti ada perasaan. 'Gadis takan memperhatikan ku lagi.' Namun setelah perbincangan tentang kehidupan gadis dan hubungan nya dengan anya perasaan akan ditinggalkan itu hilang dengan sendirinya.

Namun semenjak itu setiap aku terbangun tengah malam karena mimpi buruk aku jadi berusaha menahan diri untuk tidak pindah ke kasur gadis. Jantung ku serasa mau pecah setiap berdekatan dengan nya. Setiap dia memperhatikanku perutku terasa geli. Dan aku mulai panik. Perasaan ini baru pertama kali aku alami. Aku pun coba menyangkalnya jauh-jauh.

Aku tak mau gadis benar-benar menjauhiku karena perasaan ku. Memikirkannya saja membuatku tak bisa bernapas.

Aku mulai menyadari, kali ini aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya. Orang bilang cinta akan datanga karena kebiasaan. Namun aku takpernah terpikir akan jatuh cinta pada gadis.

Gadis, mengapa harus dia. Aku tak siap dengan perasaan ini. Selama ini aku bahkan tak pernah merasakan perasaan ini untuk mantan-mantanku. Aku tak pernah begitu ingin diperhatikan tidak pernah cemburu jika mereka berdekatan dengan teman-teman perempuannya. Namun ntah mengapa dengan gadis semua jadi berbeda. Aku bahkan bisa menangis tersedu melihat kedekatan gadis dan anya.

Semua kemungkinan dalam otak ku mulai menghantuiki.

'bagaimana jika gadis tau, dia tidak akan suka denganku. Dia bukan tipe orang yang memahami cinta, dia lebih berlogika daripada mengedepan kan hatiny.'

'bagaimana jika gadis tau. Dia tentu merasa jijik padaku dan menyuruhku pergi dari hidupnya'

'bagaimana jika gadis tau....."

Dan tampa terasa air mata mulai mengalir dari pipiku. Perasaan takut ditinggali mulai menguasaiku. Kepalaku terasa mau pecah. Aku mual. Semua terasa berputar. Jam sudah menunjukan jam 3 subuh dan aku masih belum bisa tidur. Suara langkah terdengar menghampiri tempat tidurku.

Sepertinya isak ku mengganggu tidur gadis.

"Ya? Loe ga apa-apa?" Ujar gadis seraya menyentuh pundak ku. Aku tak menjawab, badanku terasa lemah. Tangan gadis mulai beranjak dari pundak ke kening.

"Yaampun ya. Kepala lu panas banget. Kita harus ke dokter" gadis baru mau berdiri untuk mengambil jaketnya. Namun aku segera memeluknya.

"Ga apa-apa, gw ga apa" ujarku lemas

"Ga apa-apa gimana. Kepala loe panas ya, suara loe aja kecil banget." Ujar gadis khawatir.

Aku masih memeluknya erat nggan melepasnya. Air mataku masih enggan berhenti keluar. Jika aku punya kekuatan rasanya aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin seperti ini sedikit lebih lama. Aku ingin gadis selalu sedekat ini denganku.

****

Gadis side

Semenjak pertemuan kami dengan anya , alya terasa berbeda. Ia sering menghindariku. Sudah satu minggu. Ya setidaknya satu minggu ini alya tak pernah mengganggu tidurku. Untuk orang yang menderita sleep paralysis biasanya setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu alya terbangun ketakutan menghampiri tempat tidurku. Menghampiriku dan tidur di sampingku.

Atau mungkin dia sudah tak mengalaminya lagi. Tapi aku sering mendengar alya terbangun tengah malam. Kali ini bahkan lebih sering dari biasanya. Aku menantikan nya menghampiriku. Namun hening, alya tak pernah menghampiriku lagi.

Ah mungkin ia sedang belajar mengatasinya.

malam ini aku terbangun karena tangisan alya mengusik tidur ku. Aku menghampirinya mencoba memeriksa keadaan. Dia menangis lagi setelah minggu lalu ia menagis tersedu sedan. Ntah apa yang sedang ia alami. Aku tak pernah memaksakan siapapun untuk menceritakan masalah nya kepadaku jika bukan mereka yang memulai bercerita maka aku takan terlalu kepo menanyakan. Buat ku semua orang berhak menjaga ceritanya sendiri. Oleh karena itu aku hanya bisa memeluknya dan sebisa mungkin menenangkannya. Setau ku pelukan adalah cara termujarap untuk menenangkan hati. Aku sangat suka dipeluk , aku suka ketika alya mergelayut di badanku manja walau terkadang aku mencoba melonggarkannya berlaga merasa risih. Namun sebenarnya aku menikmatinya.

Aku mulai memeriksa keadaan alya. Menyentuh keningnya yang sangat panas. Berusaha mengajaknya ke dokter. Namun alya menahan ku lagi. Ia memelukku dengan erat aku bisa merasakan air mata nya menyentuh kulitku. Alya membenamkan mukanya di tubuhku dan aku hanya bisa membalas pelukannya. Ntah mengapa pelukan alya saat ini sangat erat. Seolah ia tidak ingin melepaskan ku.

Ntah apa yang sedang terjadi padanya. Aku bisa merasakan ke khawatiran mendalam dari setiap sedunya. Tak lama akhirnya alya bisa tertidur dipelukanku. Sebenarnya aku merasa kepanasan dengan temperatur alya yang sedang tinggi. Namun alya takmau melepasku. Aku tak bisa kemana-mana selain mengambil kompres dan mengganti kompresnya beberapa kali sampai panasnya kembali normal.

Alya masih tertidur saat aku terbangun. Sudah jam 8 satu jam lagi aku ada kelas. Aku baru bisa benar2 tidur jam 6 pagi. Langkah ku gontai. Sebelum mandi aku berjalan keluar membeli bubur ayam untuk alya. Menaruhnya d meja belajarnya lalu bersiap pergi kuliah.

********

"Loe lemes banget neng?" Ujo berbisik di sebelahku. Matakuliah baru berjalan. Dan perhatian ujo tertuju pada aku yang masih merasa mengantuk . 2 sks berhasil aku lalui dengan tertidur d kelas. Untunnya dosen tidak menyadarinya karena ujo dan davi berusaha menutupiku.

Setelah jam kuliah usai kami pergi ke kantin untuk sarapan lalu aku ceritakan apa yang terjadi semalam. Ingin nya aku langsung pulang dan memastikan keadaan alya. Namun setelah inipin aku masih ada jam kuliah setelah itu bahkan ada jadwal ngasisten yang tak mungkin di lewati.

"Trus ga apa2 dia ditinggal sendiri?" Ujo tampak cemas.

"Tadi gw udah pm dia. Katanya dia dah baikan. Gw dah ninggalin sarapan n parasetamol d meja nya. Mudah-mudahan membantu" ujarku seraya bergegas menuju kelas selanjutnya.

"Apa gw cek aja. Gw kepikiran, dia kan biasa diurusin" ujar davi .

Karena davi tidak ada kelas setelah ini akhirnya ia pun menawarkan diri untuk memastikan keadaan alya. Aku hanya mengangguk karena tidak ada waktu untuk membahas yang lain.

*****

Hari sudah gelap ketika aku sampai di kosan. Alya tampak sudah membaik. Namun masih terbaring di ranjang nya. Aku bergegas kekamar mandi membersihkan diri secepat mungkin. Memeriksa temperatur tubuh alya yang tampaknya sudah normal.

"Loe dah makan?" Tanyaku kemudian. Alya mengangguk lemas. Bubur yang aku titip ke davi tadi masih ada setengahnya. Aku memaklumi, tidak mudah makan saat sistem imun sedang lemah.

Akupun berinisiatif membuat coklat hangat kesukaan alya. Mendudukan nya lalu menyuapinya. Alya menurut saja tanpa perlawanan.

"Gw ngerepotin ya dis" alya meraih tanganku menatap ku dengan pandangan bersalah. Aku balas tatapannya mengelus rambut nya lalu menuntunnya untuk berbaring lagi.

"Its ok ya. Semua orang pasti pernah sakit" ujarku kemudian.

"Tapi cuman gw yang kalo sakit nyusahin loe" ujar alya kemudian.

"Its ok adik manis. Mbak yang satu ini akan selalu ada kalo kamu butuh. Karena kamu bukan beban," senyumku sambil membelai alya

Alya menarik tanganku meminta aku berbaring di sampingnya. Aku menuruti. Kami berpandang sesesaat. Tiba-tiba pandang alya menjadi serius

"Jangan pernah tinggalin gw ya dis. Gw cuman punya loe di dunia ini" alya menyusup dalam pelukan ku. Aku membelai punggungnya menenangkan. Aku sudah mulai terbiasa dengan kemanajaan alya. Mungkin karena aku tak punya saudara perempuan. Dan aku dididik dengan cara yang keras. Setiap kali aku melihat alya sedang lemah, naluriku adalah melindungi. Terlebih alya ibarat anak sebatang kara. Dia hanya punya ayah yang selalu sibuk dengan dunianya. Alya punya segalanya kecuali cinta dari orang lain. Sedangkan aku walau ayah membedakanku aku masih merasakan kasih sayangnya, masih memiliki ibu dan kakak yang sangat perhatian masih punya adik yang meski usil namun tetap sayang. Karna itulah aku selalu terdorong untuk membagi rasa sayang itu untuk alya. Aku ingin menunjukan padanya bahwa dia tidak sendiri. Masih ada orang yang tulus perduli padanya.

avataravatar
Next chapter