webnovel

Blind On You

Nafasku berkejaran.

Tidak begitu buruk sebenernya, hanya saja ada alasan mengapa aku memaksa kedua tungkaiku berlarian dikoridor kampus setengah mati seperti sekarang.

Aku dikejar waktu. Dan semua ini adalah salah ibuku. Jika saja wanita kecintaanku itu tidak mengajakku bertemu dengan mantan suaminya yang notabenenya adalah ayahku hanya untuk sarapan bersama, aku tidak akan sekacau ini. Lagipula kenapa pria itu malah datang dihari pertamaku kuliah.

Membuat moodku hancur saja. Ck.

Rolex dipergelangan tanganku menunjukkan 5 menit adalah sisa waktuku untuk hidup. Maksudnya aku akan mati diomeli senior jika saja aku tak berada ditempatku seharusnya sekarang. Beberapa senior yang kulewati menatapku setengah geram. Baiklah aku tau aku tidak sopan untuk sekedar membungkuk memberi hormat. Tapi setidaknya kontrol lah emosi kalian.

Warna merah mengambang disekitar kalian mengganggu pemandanganku!

Kutebak kalian pasti bingung dengan apa yang baru saja kubicarakan.

Baiklah, akan kuceritakan sedikit tentangku.

Jadi aku ini adalah pria tinggi yang tampan. Bukannya aku sok atau bagaimana. Aku ini dulunya adalah pangeran sekolah yang menjadi incaran gadis gadis junior maupun senior. Jika dalam drama, kalian akan menemukanku sebagai pemeran pria utama yang kaya raya, baik hati dan sempurna.

Mungkin secara fisik ya, aku memang begitu. Tampan? Ceklis. Aku bahkan sudah mengatakannya barusan. Kaya raya? Ya, Ayahku punya perusahaan elektronik tersebar di beberapa negara dan ibuku adalah pemilik butik fashion ternama di Seoul. Baik hati? Well, aku bukan narapidana. Perfect.

Seharusnya sih begitu.

Tapi tidak.

Kedua orang tuaku bercerai. Mereka dulunya saling mencintai. But now, they are fall out love. Ayahku punya kekasih baru. Ibuku tak terima dan yah... begitulah.

Memang, aku tidak begitu menyalahkan mereka. Kesibukkan masing-masing membuat kisah mereka berakhir di persidangan. Tapi sampai detik ini aku benci ayahku. Wajar bukan? Siapa suruh menelantarkanku dan ibu hanya untuk kekasihnya yang cantiknya tak seberapa dibanding ibuku. Cih.

Aku masih ingat detik ketika ibuku meletakkan amplop coklat dimeja kerja ayah. Siapapun bisa menebak apa isi bungkusan itu. Celah pintu yang tidak tertutup memudahkanku melihat keduanya. Aku memejamkan mataku sejenak mengontrol penglihatanku. Meski redup ruang membuatku kesulitan melihat, namun pendar warna biru gelap mengambang disekitar keduanya membuatku mengerti. Biru gelap menandakan kesedihan. Aku tak mengerti mengapa kedua harus sedih jika mereka menginginkan perpisahan ini. Mereka menyembunyikan perasaan satu sama lain dan memilih ego mereka.

Oleh karena itu, keadaan dimana aku mengidap kelainan yang bisa melihat warna-warna mengambang membuatku semakin membenci.

Karena aku adalah seorang Synestheses.

Pengidap kelainan yang disebut Synesthesia. Begitulah mereka menyebutnya. Itu adalah sebuah keadaan dimana neuron otakku bermasalah hingga bisa melihat warna dari sesuatu seperti musik, nama hari dan lainnya. Namun dalam kasusku ini aku bisa melihat warna-warna berterbangan ketika melihat emosi dan ekspresi seseorang secara tidak masuk akal*. Meskipun kebohongan adalah buruk. Namun aku berharap aku tak melihat kejujuran lewat warna emosi yang mereka keluarkan. Aku benci melihat kejujuran bahwa mereka masih mencintai satu sama lain namun memilih berpisah. Akan lebih baik jika aku mengetahui bahwa mereka saling membenci dan tidak membohongi perasaan mereka sendiri.

Cih.

Meski begitu, hal menyakitkan itu hanyalah masa lalu. Aku kini menerima keadaan dimana aku bisa melihat kejujuran dan kebohongan yang orang-orang lakukan. Karena kupikir-pikir... itu cukup keren. Haha.

Bukannya aku sombong atau bagaimana, tapi aku pernah melihat anggota pemerintah di televisi yang terlihat akrab merangkul bahu, bahkan menguarkan warna merah mendominasi ketika mereka berjabat tangan satu sama lain dengan senyuman akrab. Pertanda bahwa mereka menyimpan rasa kesal, marah, iri yang terpendam. Atau sepasang aktor dan aktris yang tengah memadu kasih didalam film dengan begitu romantis seolah terhanyut dalam cinta yang nyata. Itu begitu menghibur ketika satu diantara mereka menguarkan warna berbeda. Merah muda untuk merona dan hijau untuk rasa jijik. Cukup membuatku tertawa terbahak bahak selama beberapa saat.

Meskipun aku bisa melihat semua emosi warna semua orang, terkadang itu sangat mengganggu ketika aku menemukan kenyataan yang tak ingin kuketahui seperti contohnya perasaan kedua orangtuaku dimasa lalu itu. Aku hanya perlu latihan mengontrol kemampuanku untuk membuka dan menutupnya ketika aku membutuhkannya. Jadi aku tidak perlu melihat warna warni bertebaran dipenglihatanku jika setiap detiknya.

Seperti saat ini. Aku membiarkan kemampuannya terbuka karena aku sedang kacau hingga warna hitam yang berpendar mengambang disekitarku benar-benar mengganggu. Aku merasa seperti cumi-cumi ketakutan yang menyebar tintanya. Uh.

Well, sudah cukup tentangku.

CKIT!

Decitan sepatuku terdengar nyaring begitu alas karet itu bergesekan dengan lantai. Dadaku berdebar seakan memukul rusukku dengan tak sabaran. Atensiku yang kacau mencoba berfokus pada pintu kayu audit yang telah tertutup rapat.

Sial.

Aku terlambat.

Baiklah. Lalu, sekarang apa?

Aku akan mati. Ujarku berpasrah dalam hati.

"hey kau! Apa yang kau lakukan disini?!"

Jantungku tersentak begitu suara seseorang dibelakangku menarik kesadaranku.

"euh... itu anu kak... s-saya terlambat" tergugu bukan style-ku sama sekali sebenarnya. Tapi demi kolor spiderman, aku ini tengah didesak kondisi. Masa depan kedamaianku di kampus ini sedang dipertaruhkan demi Tuhan!

Sudah tidak heran lagi ke-senioritasan begitu diperhatikan disini. Yongsan University adalah salah satu kampus ternama yang terkenal dengan tingkat kedisplinan yang tinggi. Kedisplinan yang dimaksud adalah menghormati senior. Katanya, jika sikap itu diterapkan, maka sikap-sikap kedisplinan lain akan mengikuti secara natural.

Haha.

Bullshit.

Tentu menurutku itu sangat konyol. Mana ada menghormati senior mendatangkan sikap kedisplinan lain seperti datang tepat waktu misalnya. Kau harus tidur lebih awal untuk itu. Bukannya menghormati senior.

Sudahlah, jika ibu tidak memaksaku kuliah disini aku juga tidak akan mau menuruti sistem konyol Yongsan. Karena sudah terlanjur basah mau tak mau aku harus hormat jika tak ingin jadi bual-bualan senior.

Samar-samar warna hitam yang berpendar disekitarku berubah menjadi merah tua. Ya, aku tengah kesal. Aku bersyukur setidaknya senior itu tak bisa melihat emosiku.

"Nama"

"Ya?"

"Kutanya siapa namamu bocah?!" siswa yang kuyakin seniorku itu membentak hingga alisnya yang tebal seperti ulat bulu itu hampir menyatu. Seharusnya kucabuti saja bulu alisnya itu sampai botak biar tau rasa sekalian.

Geez.

"Saya Park Sehan kak" jawabku sedikit menahan emosi. Bisa bahaya jika aku berkelahi dengan senior dihari pertama kuliah. Ibu bisa-bisa mengomeliku sepanjang malam jika itu terjadi.

"Park. Kau tau konsekuensi apa yang akan kau dapat jika terlambat mengikuti masa pelantikan mahasiswa baru bukan?" Badan senior dihadapanku tidak jauh lebih tinggi sebenarnya. Namun warna Ungu yang berpendar disekitarnya membuat aura kecongkakan-nya mengudara berbaur dengan warna merah disekitarku. Dan hal itu membuatku ciut setengah muak. Sungguh bukan perpaduan yang bagus.

"Maafkan saya kak" baiklah. Aku hanya tidak ingin memperpanjang waktu dengan berdebat. Lebih baik menyelamatkan pantat kesianganku ini daripada dijadikan bahan bulian selama kuliah.

"Ck. Kucatat namamu dibuku peringatan dan kau sudah tidak punya kesempatan lagi untuk melanggar peraturan. Mengerti?" ujarnya seraya menamparkan sebuah buku catatan dipipiku.

"Mengerti kak"

Dan dengan itu, senior ulat bulu membukakan pintu audit hingga suara deritan pintu yang nyaring mengalihkan seluruh atensi kearah kami.

Wush~

Seketika dalam mode slow, penglihatanku dipenuhi warna merah dan hitam yang berbaur menjadi satu dalam kumpulan berbaris-baris mahasiswa baru fakultas Seni.

Alis menyatu, dahi mengkerut, bulir keringat bercucuran, rahang terkatup rapat dan sorot mata seratus orang lebih itu menampilkan ekspresi yang sama. Hitam dan merah. Tertekan, ketakutan dan kesal.

Aku menelan ludah.

"Masuklah barisan. Kau beruntung, Elizabeth belum masuk"

Aku tak sempat bertanya apa yang beruntung dari Elizabeth yang belum masuk karena tubuh jangkungku didorong paksa untuk masuk dibagian kosong lantai yang ditempel nomor kartu pesertaku.

Lagipula siapa itu Elizabeth.

Orang tua mana yang menamai anaknya Elizabeth di Korea Selatan?

Apa ayah dan ibunya adalah United Kingdom freak atau semacamnya? Hah!

Oh ayolah Park Sehan.

Kini bukan satnya berpikiran bodoh.

"Hey kau terlambat" Seseorang disampingku berbicara dan aku sontak menoleh refleks. Oh hey, seorang gadis cantik ternyata.

"Hai! Ya begitulah. Aku... aku mengantar ibuku terlebih dahu-"

Oh shit. Apa apaan dengan mengantar ibu? bagaimana kalau gadis cantik calon pacarku ini berpikiran kalau aku anak mami?

Park Sehan bodoh.

"Aku Hyejin. Kim Hyejin. Jurusan Acting." Gadis cantik disampingku ini tersenyum manis seolah tak menyadari kebodohanku barusan.

Okay, namanya Hyejin. Kim Hyejin. Atau bisa dirubah menjadi Park Hyejin. Oh yah, itu sudah sangat cocok dilidahku.

Aku menyambut uluran tangannya "Aku Sehan. Park Sehan. Jurusan musik" ujarku meniru caranya berbicara. Gadis itu tersipu. Menyadari bahwa aku baru saja menggodanya. Dan aku hampir melonjak senang begitu melihat warna merah muda berpendar disekitarnya. Gadisku ini merona.

Well Park Sehan, kali ini lebih baik kau tidak mengacau untuk yang satu ini.

"Boleh minta nomor ponselmu?"

Plak!

Heish! Tamparan imajiner mengenai bibirku. Apa-apaan dengan nomor ponsel!

Wajah Hyejin terlihat terkejut. Warna merah muda masih berpendar disekitarnya. Tak ada tanda-tanda akan berubah menjadi abu-abu. Pertanda bahwa gadis incaranku sedang illfeel.

Lakukan sesuatu!

"Aku bercanda" sahutku. Fyuh.

"Ahaha kau lucu" Eih? ahaha sayang, kau garing sekali.

Tak apa. Karena kau cantik, lebih baik aku ikut tertawa saja.

Namun belum sempat aku membuka mulut, seseorang berteriak dengan kencang. Mengejutkan ulu hatiku.

"DIAM!" Seseorang berjaket hitam serta celana jeans ketat yang berdiri paling depan diantara barisan para senior yang menjadi pelakunya. Entah sejak kapan pula mereka berdiri dihadapan barisan para junior.

Dia seorang gadis. Pendek dan tidak begitu berisi. Matanya sedikit sipit dan menatap kami dengan tajam. Kaki rampingnya berjalan semakin mendekat kearah dimana barisan pertama berada.

"Apa yang senior kalian katakan untuk tidak berisik?" desisnya setajam tatapan matanya. Junior yang seharusnya menjadi lawan bicaranya hanya terdiam. Pendar merah pekat semakin menguar disekitar si junior. Aku mengedipkan mataku untuk menuntup penglihatan sinestesisku karena merasa terganggu dengan warna-warna pekat berterbangan semakin kuat.

"Dia Elizabeth, ketua Senat Fakultas seni. Sebelum kau datang, timnya mendisiplinkan kami." Hyejin berbisik disampingku. Ah, itulah kenapa aura audit ini begitu tertekan saat ia masuk. Ternyata ritual konyolnya sudah dimulai sejak tadi.

"Kalau ada seseorang yang bertanya itu jawab jangan diam saja!" Elizabeth kembali membentak junior dihadapannya. Oh tunggu, lidahku agak alergi menyebut namanya. Yang benar saja namanya Elizabeth! Mukanya saja oriental begitu.

"M-maaf kak!" balas junior tadi ketakutan.

Aku menahan diriku untuk tidak berdecak geli. Memangnya apa yang menakutkan dari sosok gadis pendek dan mungil. Terlepas dari jabatannya sebagai ketua senat, caranya membentak benar-benar sangat tidak cocok sekali.

Ketua senat itu masih menatap si junior. "Kudengar ada seseorang dari temanmu yang terlambat. Kenapa kau membiarkannya?" desisnya lagi.

Shit.

Apa dia membicarakanku?

Apa si ulat bulu itu mengadukanku?

Si*lan!

Sudah kuduga dari awal. Cukup aneh ketika senior Yongsan mentolerir mahasiswa yang terlambat begitu saja.

"A-aku tidak tahu kak" junior malang itu menjawab dengan nada suaranya yang semakin bergetar.

"Kenapa tidak tahu? Seharusnya kau tahu karena kalian akan menjadi teman untuk beberapa tahun kedepan. Kau ini anti sosial atau apa?!" bentakannya terdengar menggelegar dengan suara soprannya.

Aku tahu ketua senat itu membicarakanku dan menginginkanku untuk maju dan menghadap padanya. Kenapa pula ia harus menyindir teman seangkatanku? Aku yakin si ulat bulu itu memberitahukannya siapa gerangan manusia yang terlambat diacara sakral ini.

Ck. Aku benci bersikap superior tapi aku tak mau junior itu menangis karena seniornya yang konyol.

Kuangkat tanganku tinggi-tinggi "Maaf kak, saya mau melapor. Nama saya Park Sehan. Dan saya adalah orang yang anda sindir-sindir sedari tadi"

Persetan dengan tata bahasa semi-kurang-ajarku. Aku memang tidak begitu setuju dengan sistem senioritas yang terlalu berlebihan.

Aku bisa merasakan beberapa pasang mata menatap kearahku sambil terkesiap. Mungkin mereka pikir aku ini berani sekali. Well sejujurnya aku sama ketakutannya seperti mereka. Jangan lupa bahwa aku tak mau cari masalah disini karena ingin kehidupan kuliahku damai. Tapi, setidaknya aku harus menyelesaikan yang satu ini meskipun aku gugup setengah mati sekarang.

YaTuhanYaTuhanYaTuahnYaTuhan Elizabeth berjalan kearahku!!!!!

Lindungilah aku Ya Tuhan. Aamiin.

"Tidak menghormati waktu, terlambat, tidak sopan dan urakan"

Aku mengernyit mendengar kata kata tuduhannya padaku. Oke, mungkin aku terlambat dan tidak menghormati waktu. Tapi urakan? Yang benar saja?! Aku tampil tampan begini apanya yang urakan?

"Apa yang kau lakukan saat bercermin hingga kau sengaja membiarkan zipper celanamu mempertontonkan hal yang semua orang tak ingin tahu, Park Sehan?" seolah mendengar kata hatiku, pandangan mata sipitnya (yang ternyata seperti puppy) itu turun dan bertempat tepat dicelanaku.

Pipiku panas dan aku refleks menarik zipperku dengan cepat. Beberapa orang terlihat menahan tawa karena aku dipermalukan dengan tidak elitnya disini. Sialan.

"Aku tak menyuruh kalian tertawa! Memangnya apa yang lucu ha?!" gadis ini kembali membentak. Pandangannya berpendar menatap satu-satu junior yang tertawa itu dengan sadis sebelum kembali mendaratkan pandangannya lagi kearahku.

"Hukumanmu, besok kau harus datang tepat jam lima pagi dan angkut semua kardus air mineral dari ruang senat untuk kau letakkan disana. Jangan lupa untuk membersihkan lantai audit sebelum kegiatan besok dimulai." ujarnya sambil menunjuk kearah pojok audit.

"Jika tidak, jangan harap kehidupan kuliahmu akan terasa mudah selama disini hoobae*" dia menutup kalimatnya dengan wajah datar yang menyebalkan dan segera berbalik. Namun sebelum gadis itu menjauh dariku, langkahnya terhenti ketika aku angkat bicara.

"Lalu apa hukuman senior sendiri? Bukankah senior sendiri terlambat? Oleh karena itu senior tidak ikut mendisiplinkan diwaktu awal?" entah darimana keberanianku berasal namun aku puas karena telah mengatakannya.

Tubuh mungil itu berbalik perlahan. Menatapku dalam tanpa berkata apapun. Aku balas menatapnya menunggu kata yang akan ia ucapkan. Wajahnya datar. Sedatar ekspresi yang ia perlihatkan.

Hampir satu menit terlewati dan aku berdekham gugup karena tak tahu harus apa. Ketua senat itu hanya diam menatapku. Seolah dirinyalah yang tengah menungguku berbicara. Apa yang dia pikirkan hingga terdiam menatapku begitu? Tidak mungkin ia mendadak terpesona padaku kan?

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku sejenak. Berniat melihat emosinya. Jadi aku bisa bersiap-siap mempertahankan harga diriku disini agar tidak kembali dipermalukan.

Begitu akan membuka mataku, warna yang kulihat adalah...

Kedip

Adalah...

Uh tu-tunggu...

Kedip Kedip

Wa-warnanya adalah...

"kau bisa menentukan hukumanku jika kau mau"

Tak berwarna.

...

To Be Continued

Author note:

*hoobae= junior

*synesthesia= Sebuah kemampuan dimana seseorang bisa melihat warna ketika mendengar sesuatu seperti musik, nama hari, atau bentuk sesuatu dan lain-lain. Tapi untuk mendukung cerita, saya merubah kemampuan auditorynya menjadi visionary. Jadi, synesthesia di kehidupan nyata memang ada. Namun dalam cerita ini saya buat jadi synesthesia karangan. Hehe.

hehe

Hooziecreators' thoughts