webnovel

2. Sisi Nirmala

Kaki Nirmala menyusuri trotoar dengan lesu. Tubuhnya lemas seolah tak bertenaga. Namun, ia harus terus berjalan dengan kepala tertunduk karena masih jauh dari rumah. Ia memilih berjalan kaki untuk menenangkan pikiran dibanding menaiki angkot yang penuh dengan penumpang sehingga harus berdesak-desakan. Hanya akan memperparah kekecewaannya.

Di tangan Nirmala ada sebuah amplop berisi lembaran uang berwarna merah. Sepertinya, inilah kali pertama Nirmala tidak merasa senang dengan uang yang didapatkannya hari ini. Bagaimana tidak? Ia di-PHK dari pabrik tempatnya bekerja. Dan uang di tangannya sebenarnya hanya pesangon.

Hari ini Nirmala masih memegang uang untuk mengenyangkan perutnya. Namun, jika ia tidak segera menemukan pekerjaan, segera ia akan kelaparan.

Langkah Nirmala terhenti ketika telinganya mendengar suara makian tak jauh darinya. Ia pun mengangkat kepalanya. Ia menemukan seorang lelaki tampak memarahi anak kecil yang menangis di depannya. Nirmala pun bergegas mendekat lalu memeluk anak itu.

"Ih, adik kecil, kok, nangis? Kamu kenapa?" tanya Nirmala dengan suara dicemprengkan untuk menenangkan anak itu.

"Kamu ibunya?" tanya lelaki itu bernada kasar.

Perhatian Nirmala pun beralih menuju lelaki itu. "Bukan. Saya cuma lewat barusan," jawab Nirmala.

"Kalau gitu, suruh ibunya buat ngajarin anak ini yang benar. Masak kecil-kecil udah belajar nyopet dompet saya. Mau jadi apa kalau besar nanti? Jadi maling? Atau perampok?" Lelaki itu uring-uringan.

Nirmala terkejut. Ia percaya anak kecil dan lucu di pelukannya ini akan melakukan tindakan seberani itu. Ia pun berbisik pada anak itu. "Benar yang dikatakan om itu?" tanyanya.

Anak kecil itu sedikit mundur dan mengangkat wajahnya dari pelukan Nirmala. Tangisannya mereda tapi masih sesenggukan. Kemudian bergeleng.

"Enggak. Aku enggak nyopet dompet om jelek itu." Anak itu menunjuk lelaki di belakang Nirmala yang memasang wajah terkejut dengan bola mata melotot. Rupanya agak kesal disebut jelek.

"Hei, berandal kecil! Jangan bohong kamu! Jawab yang sejujurnya!" tegas lelaki itu.

Tangisan anak itu kembali pecah. "Aku tadi nemu dompet itu di sini. Terus aku ngasih tahu om jelek. Tiba-tiba om jelek marahin aku," jelas anak itu di tengah tangisnya.

"Itu enggak benar, ya! Berandal itu memang menyopet dompetku. Dasar anak maling!" Lelaki itu bersikeras membela diri.

Nirmala mengembuskan napas berat. Hatinya sudah panas semenjak menerima uang pesangonnya. Sehingga makian lelaki itu bisa cepat membuatnya merasa mendidih.

Nirmala pun bangun. Ia menghadap lelaki itu dengan tatapan setajam pisau. "Makanya, sebelum nuduh itu, tanya dulu baik-baik. Jangan asal bentak anak orang!" tegas Nirmala.

"Aku enggak asal nuduh. Memang benar anak itu pencopet!" Lelaki itu tidak mau kalah.

"Apa kamu enggak dengar kata anak itu barusan? Mana mungkin anak kecil yang lugu itu berani berbohong?" sentak Nirmala.

"Sekarang kamu berani membentakku?" Mata lelaki itu membulat seolah mau melompat.

"Kamu yang enggak punya hati sampai tega membentak anak kecil yang hanya bisa menangis itu!" Nirmala menyerang balik.

"Anak yang bandel memang harus diberi pelajaran biar enggak keterusan sampai dewasa," bela lelaki itu.

"Pelajaran itu demi kebaikan. Seharusnya menggunakan kasih sayang. Bukannya dengan kekerasan," tegas Nirmala.

Lelaki itu kehabisan kata-kata.

"Seharusnya kamu bersikap lebih dewasa menghadapi anak kecil. Bukannya bersikap seperti sesama anak TK!" Nirmala menambahkan.

Nirmala pun menggendong anak itu sembari menenangkannya. Kemudian melangkah menjauh meninggalkan lelaki yang belum bisa menerima kekalahannya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Langkah Nirmala berhenti di sebuah bangku putih di tepi jalan. Ia pun mendudukkan anak itu di sana dan duduk di sampingnya. Tangisan anak itu rupanya sudah mereda.

"Sudah. Berhenti, ya, nangisnya. Enggak bakal terjadi apa-apa, kok," kata Nirmala berusaha menenangkan.

Anak itu hanya berdiam. Ia tampak ketakutan.

"Kamu enggak usah takut lagi, ya. Ada Kakak di sini yang bakal bela kamu dari om-om jelek tadi," tambah Nirmala.

Anak itu mulai memberanikan diri mengangkat wajahnya melihat Nirmala. "Te-terima kasih, Kak," katanya tergagap.

"Oh, ya. Rumah kamu di mana? Biar Kakak antar kamu pulang sambil beli es krim nanti di jalan," tanya Nirmala.

Anak itu kembali menunduk. Raut wajahnya menjadi murung.

Dahi Nirmala mengernyit. Ia heran dengan perubahan raut anak itu. "Lho, kamu kenapa?" tanyanya.

"Aku enggak mau pulang, Kak," jawab anak itu.

"Ya, kamu harus pulang, dong. Ibumu pasti lagi mengkhawatirkan kamu," bujuk Nirmala.

Anak itu bergeleng. "Enggak mungkin."

Nirmala menjadi penasaran.

"Ibu enggak pernah sempat mikirin aku," jelas anak itu. "Ibu cuma sibuk mikirin utangnya terus."

"Utang?" tanya Nirmala.

Anak itu mengangguk. "Ibu kerja siang malam dan jarang pulang buat bayar utangnya. Ibu enggak pernah punya waktu untukku atau memperhatikanku. Aku kangen ibu. Aku ingin bersama ibu. Jadi, aku mencopet om tadi untuk membantu ibu melunasi utangnya. Tapi, aku ketahuan," jelas anak itu. Tangisnya pun pecah.

Nirmala tercengang. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa berpikir sejauh itu?

"Aku enggak mau pulang sebelum aku bisa melunasi utang ibu. Karena sebelum utang ibu lunas, ibu enggak akan punya waktu buat memperhatikan aku," tambah anak itu.

"Enggak ada ibu yang enggak peduli sama anaknya, termasuk ibu kamu," ujar Nirmala berusaha menenangkan.

"Ibumu sekarang pasti lagi nungguin kamu karena enggak pulang-pulang. Percaya, deh, sama Kakak," tambahnya.

"Kakak bohong!" elak anak itu.

"Kalau kamu enggak percaya, ayo pulang. Kakak akan buktikan kalau Kakak benar," bela Nirmala.

"Apa iya, Kak?" Anak itu mulai terpengaruh.

Nirmala menarik amplop dari sakunya. Kemudian mengeluarkan lima lembar uangnya lalu menyimpannya di dalam saku celana. Ia pun menyodorkan amplop berisi uangnya kepada anak itu.

"Berikan ini ke ibumu. Mungkin enggak bisa buat melunasi semuanya. Tapi, seenggaknya bisa membantu sedikit," jelas Nirmala.

"Jadi, sekarang kamu jangan nyopet lagi, ya. Ibumu kalau tahu pasti akan sangat sedih," tambah Nirmala.

Anak itu pun menerima amplop itu. "Terima kasih, Kak."

"Oh, ya. Ibumu pergi siang malam itu karena sebenarnya dia sangat peduli sama kamu. Dia bekerja keras untuk melunasi utangnya agar kamu bisa hidup lebih baik setelahnya.

Kamu masih anak-anak. Bukan tugas kamu memikirkan utang ibumu dan bekerja. Kamu hanya harus bersabar. Ibumu itu wanita kuat. Dia pasti bisa menyelesaikan masalahnya ini.

Dan kalau kamu kangen sama ibumu, sebaiknya kamu habiskan waktumu dengan belajar yang rajin. Kalau kamu berprestasi, ibumu pasti bangga sama kamu," jelas Nirmala.

Anak itu pun berhasil dibujuk Nirmala untuk pulang. Sesuai janjinya, Nirmala mengantar anak itu pulang dan membelikan beberapa es krim dalam perjalanan.

Sesuai perkataan Nirmala, ibu anak itu tampak menunggu anaknya di depan teras rumah dengan raut kebingungan. Karena anak itu adalah satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. Jika anak itu hilang, mungkin ia sudah tidak memiliki tujuan dalam hidupnya.