5 Mau Jadi Apa? Pelacur?

Tanpa sadar buku catatan itu tertinggal saat Santi duduk, kini ia bersama Sisil kembali menyusuri hutan liar, dengan berbekal sebilah kayu untuk menyingkapkan rerumputan tinggi.

"Kau ini luar biasa, kau sangat berani dan kuat," puji Santi yang terus saja memegangi tangan Sisil.

Membuat Sisil menoleh, "Hmm… aku dulu sama persis seperti mu, penakut dan juga polos, tapi berkat kepedihan dan pelajaran hidup membuat aku kuat dan juga nekat seperti sekarang!" ucap Sisil dengan suara tegas.

Berjalan berkilo-kilo meter membuat betis mereka terasa kram dan bengkak, apalagi ini kali pertama untuk Santi, ia benar-benar tak percaya melalui petualangan yang rumit hari ini.

Santi terlihat berharap, ia melihat cahaya lampu dalam remang-remang, dengan berharap segera menemukan desa atau setidaknya sebuah tempat peristirahatan.

"Apa kita sudah sampai?" tanya Santi dengan menarik tangan Sisil.

Tapi sayang lagi-lagi Sisil menggelengkan kepalanya, ini kali ketiganya Sisil menggelengkan kepalanya, dengan alasan yang sama.

Ia takut jika itu adalah komplotan Ramon. Dari itu Santi terus memaksakan berjalan dan berjalan.

Memang posko-posko itu tampak sepi, dan hanya ada satu atau dua motor brutul yang terparkir, jadi tak heran jika Sisil menaruh curiga.

"Ayo Santi cepat! Hari akan gelap, kita harus berjalan lebih cepat, aku sudah tak bisa lagi membiarkan anakku dikejar-kejar Remon," pinta Sisil dengan menarik tangan Santi.

Yah… Santi terus saja mengeluh dan berhenti beberapa kali, ia benar-benar lelah, ia ingin sekali mendapatkan air atau minta air pada seseorang.

Sepanjang perjalanan berkilo-kilo meter, mereka tak menemukan sumber air sedikit pun, jadi wajar saja jika harapan-harapan itu muncul di benak Santi.

"Tunggu dulu, biar aku yang meminta air kesana!" ucap Santi dengan nekat.

Lagi-lagi sikap ceroboh dan gopoh-gopoh Santi itu hampir membahayakan keduanya. "Jangan! Kau gila! Jika mereka melapor pada Remon, maka habislah kita!" tahan Sisil pada tangan Santi dengan menariknya kasar.

'Padahal apa salahnya kita meminta air sedikit saja,' gumam Santi dalam hati.

Lagi-lagi ia hanya mampu membasahi tenggorokannya dengan sisa-sisa liur yang sudah terasa kental.

"Kau akan menyesal seumur hidup, saat ini memang belum tapi.. ketika kau sudah ditidurinya, maka kau tak bisa lagi lepas darinya!" ucap Sisil yang kembali terdengar mengancam.

Santi melupakan ponsel jadulnya yang ada di saku. Tanpa disadari, ada beberapa panggilan masuk dari Gilang. Yah.. laki-laki itu nampak mengkhawatirkan Santi.

Ia sudah mencoba mencari keberadaan Santi, bahkan Gilang kembali ke sekolahan, tapi penjaga mengatakan tak melihat ada siswi yang kembali ke sekolah.

Membuat Gilang semakin khawatir, belum lagi ia menjadi orang terakhir yang ditemui Santi, rasa takut menyelimuti Gilang.

"Harus kemana aku mencari mu dik?" tanya Gilang dengan perasaan risau dan dilema.

Laki-laki itu bahkan tak memakan apapun di kedai itu, ia masih berharap kedatangan Santi, tapi kekasihnya itu tak kunjung tiba sampai hari semakin larut.

_________

Pukul 2 dini hari

"Kita akan berpisah disini, berjanjilah untuk tidak menemui kekasihmu itu! Karena ku yakin dia adalah kelompok Remon," ujar Sisil dengan menatap dalam Santi.

Gadis polos itu tampak tegang, ia terdiam dan tak bisa berkata-kata, ia bahkan terlihat bingung. Santi hanya menganggukkan kepalanya.

Untung saja rumah Santi tak jauh lagi, gadis itu berlari dengan cepat ia sadar ini sudah terlalu larut. Ditambah lagi ia masih mengenakan seragam sekolah nya.

Hu..hu..

Gadis itu terengah-engah, ia sangat capek berlarian beberapa puluh meter, sesekali Santi menoleh, ia tak melihat lagi keberadaan Sisil, yah… mungkin wanita malang itu sudah berlalu pergi menaiki bus yang lewat.

Berjalan dengan mengendap-endap, Santi memilih membuka jendela kamarnya diam-diam. Ia takut membangunkan sang ayah.

Langkah nya sudah sangat pelan, bahkan Santi memilih menjinjing kedua sepatu pantofelnya. Ia takut sekali jika suara nya terdengar.

Klekkkk…

Cahaya lampu benderang, laki-laki paruh baya mengenakan sarung kotak-kotak itu berdiri tegak. Ia menghadang langkah Santi.

Membuat kedua sepatu yang ada di tangan Santi terjatuh, jantung gadis itu seketika berdetak kencang. Denyut nadinya pun tak berirama.

"A….ayah…" ucap Santi dengan suara getir penuh takut.

Mata besar itu menyorot kedatangannya, kedua tangannya yang berotot karena kerja keras itu terlipat di depan dada, yah… laki-laki paruh baya itu terlihat sangat marah.

Tak hanya itu ia juga bersiap dengan memegang sebuah bilah yang terbuat dari rotan, bilah yang biasa dikenakan untuk menepuk-nepuk kasur kapuk saat dijemur.

"A… aku!"

Brakkkk, brukkk…

Belum sempat Santi menjelaskan semuanya, tapi sang ayah sudah mendaratkan beberapa kali pukulan di punggungnya. Membuat gadis itu merintih kesakitan.

Sudah tentu Santi menangis, tapi ayahnya tak peduli dengan suara tangisan itu, gadis itu sudah berusaha memohon pada ayahnya tapi ayahnya seperti sudah kesetanan.

"Anak kurang ajar! Tak tahu diuntung, mau jadi apa kau? Hah…. Mau jadi pelacur???" ucap sang ayah dengan kasar.

Santi menggelengkan kepalanya, ia terus tertunduk dengan wajah meringis, air matanya bercucuran membasahi pipi.

"Mau jadi apa? Hah? Kau tahu ini jam berapa?" tanya sang ayah dengan mendaratkan pukulannya sekali lagi pada Santi, dan kali ini pukulan itu mendarat di bahu Santi

"A… ampun ayah!" teriak Santi dengan memegangi bahunya yang memerah seketika.

"Kau jalan dengan laki-laki brutal itu kan? Anak jalanan tak tahu etika itu? Anak jalanan yang tak punya masa depan itu?"

Santi menggeleng, "Sumpah yah, Santi gak jalan sama Gilang, demi tuhan.." tangisan Santi pecah.

Bahkan keributan malam itu mungkin terdengar ke tetangga sebelah.

"Kau tak ingat pengorbanan ayah dan ibumu? Ibumu berjualan di pasar dan akan pulang besok pagi, sedangkan ayah, ayah berladang dari pagi sampai petang, itu semua untuk menyekolahkan mu!" Ayah Santi tampak sangat emosional, Rotan yang ada di tangannya terlempar jauh.

"A… ayah….. maafin Santi, tapi demi tuhan Santi gak jalan sama Gilang,"

Pembelaan itu tak didengar oleh ayahnya, yah… laki-laki paruh baya itu tampak sudah sangat kecewa, ia memilih membelakangi Santi, dan…

"Ayah ini tak bisa kau bohongi, kenapa kau begitu rendah? Apa yang laki-laki itu janjikan padamu?" teriak sang ayah dengan lantang.

"Tidak! Tidak, ayah," tolak Santi, gadis itu berlutut pada kaki ayahnya, memohon ampun dengan tangisan terisak-isak.

Malam ini terasa berat bagi Santi, ia mengecewakan orang tuanya, ia benar-benar merasa bersalah. Padahal seumur hidupnya Santi selalu berusaha menjadi anak yang baik juga pintar.

Satu hal yang membuat Santi sedikit berubah, yah… karena Gilang. Setelah ia mengenal laki-laki itu Santi lebih sering pulang terlambat juga berbohong pada orang tuanya, ia selalu beralasan belajar kelompok.

Kali ini Santi menyesal, ia tak bisa berkata apa-apa, ayahnya sudah sangat kecewa. Sampai-sampai ia meninggalkan Santi lebih dulu.

Gadis itu tak mendapatkan hukuman seperti biasanya, sikap ayah berubah menjadi dingin padanya.

avataravatar
Next chapter