webnovel

Tidak Salah Pilih Istri

Samar, aku mendengar suara azan dari ponsel. Aku menyetel alarm dengan suara azan, untuk mengingatkanku salat lima waktu setiap harinya. Jam sudah menunjukkan pukul 04.30 pagi. Rey tidak ada lagi di belakangku. Semalam setelah dia mencium, kami berjanji sama-sama tidur. Sepertinya aku yang tertidur lebih dulu.

"Pak, salat Subuh dulu," katanya masih mengenakan mukena yang sudah duduk di sisi ranjang.

"Saya salat sambil berbaring di sini saja, Rey," ucapku beringsut duduk di ujung ranjang.

"Pak, sakit banget, ya, rasanya tubuh Bapak?" tanyanya duduk lebih mendekat di belakangku.

"Iya. Bagian sini, dan sini sakit sekali, Sayang. Bahkan, mungkin saya nggak bisa bekerja selama beberapa hari," sahutku setelah menunjuk beberapa bagian tubuh yang kukatakan sakit.

"Ya ampun, Pak. Bagaimana bisa jatuh, sih?"

Rey terlihat khawatir. Dia mencium pundak bagian belakangku beberapa kali, kemudian memeluk tubuh ini. Sungguh, aku terenyuh dan merasa sangat dicintai. Aku tidak yakin Dhiya bisa melakukan semua ini. Aku menoleh sedikit, lalu tersenyum.

"Saya enggak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh, Rey," ucapku seraya membelai lembut kepalanya yang tertutup mukena.

"Ya sudah, saya ambilkan baskom dan cangkir berisi air, ya, Pak. Buat cuci muka dan sikat gigi," tambahnya dan aku mengangguk setuju.

Dia berlalu keluar kamar. Benar kata orang, usia itu tidak menjamin kedewasaan seseorang. Buktinya Rey yang masih berusia 20 tahun, bahkan lebih dewasa dibanding Dhiya yang kini berusia 33 tahun. Selama kami berumah tangga, mantan istriku itu tidak pernah memperlakukanku semanis ini. Dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak heran, jika pertengkaran mewarnai hari-hari kami. Sebagai suami, aku hanya ingin dihormati dan diperhatikan. Bersyukur, Allah mengirimkan Rey, wanita yang jauh lebih baik dari istriku sebelumnya. Meskipun aku sempat menyayangkan perpisahan kami, karena takut anak-anak akan kehilangan kasih sayang ibunya. Nyatanya, saat ini Zeze terlihat lebih bahagia saat ada Rey di dekatnya. Aku bisa melihat, dari caranya saat anak itu ada di dekat ibu sambungnya.

Lamunanku buyar, saat melihat Rey kembali ke kamar dengan membawa baskom di kedua tangan. Dia meletakkan baskom itu di nakas, selanjutnya ke kamar mandi mengisi gelas dengan air untuk berkumur, juga mengambil sikat dan pasta gigi. Rey begitu telaten melayaniku, membasuh wajahku dengan air hangat, lalu memintaku menyikat gigi. Setelah selesai semua, tidak lupa diambilkannya peci, kaus, dan sarung agar aku segera melaksanakan salat Subuh. Aku telah selesai menjalankan salat, lalu kembali menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Tidak berapa lama, Rey kembali membawakan secangkir teh hangat dan roti yang sudah dioles selai cokelat.

"Pak, sarapan dulu," perintahnya.

"Makasih, ya, Sayang," ucapku mengecup keningnya.

"Lain kali, hati-hati kalau bekerja. Bagaimana bisa sampai jatuh seperti ini?"

"Sudah. Jangan dibahas lagi. Yang penting saya nggak apa-apa, kan?" jawabku mengacak lembut puncak kepalanya.

"Nggak apa-apa dari mana? Ini buktinya, sampe nggak bisa jalan dan nggak bisa ke mana-mana."

"Papa." Zeze berlari masuk ke kamar dan memeluk. Dia sudah siap hendak pergi ke sekolah. "Papa, kata Bunda sakit, ya? Pantesan dari kemarin nggak ketemu Zeze di bawah," ucapnya polos.

"Iya, maaf, ya. Belum sempat ketemu princess-nya Papa sejak kemarin." Aku mencium pipinya gemas. "Papa enggak apa-apa, Sayang. Lihat ini, Papa masih sehat."

Aku menunjukkan otot-otot tangan untuk meyakinkannya.

"Bener, Papa enggak apa-apa?" tanyanya sekali lagi.

"Enggak apa-apa, Sayang."

Setelah yakin kalau aku baik-baik saja, Zeze baru mau pergi ke sekolah. Rey mengantarnya sampai di depan teras rumah, karena dia ingin mengurusku yang sedang sakit sehingga meminta Mbak Mira yang mengantar. Selama di rumah, aku dan Rey jadi sering bercerita. Ia juga banyak menceritakan perihal keluarganya yang sejak dulu terbiasa hidup sederhana. Yang membuatku kagum, Rey tak pernah menyalahkan Tuhan dengan apa yang menimpanya. Ternyata, ketika kecil, ia bahkan pernah mencari barang bekas untuk dijual dan uangnya dipakai untuk tambahan uang saku sekolah.

"Ibu dan bapak kamu gimana reaksinya saat tahu kalau kamu dan saudaramu melakukan hal itu?"

"Mereka berterimakasih, Pak, tapi hari selanjutnya kami diminta berjanji supaya tidak melakukannya lagi. Katanya, apa yang kami lakukan tidak salah, tapi juga tidak benarkan. Karena tugas orang tualah yang seharusnya membiayai hidup anaknya."

"Kamu hebat, selalu bersyukur dengan kehidupanmu, tanpa pernah menyalahkan Tuhan di atas sana."

Rey tersenyum tipis. "Terimakasih, Pak. Saya bersyukur, sekarang hidup kami tidak sesulit dulu."

"Itu karena kerja keras kalian semua."

Aku memegang tangannya, dan Rey balas menggenggam tanganku. Malamnya, Rey membantuku ke kamar mandi, karena aku kebelet untuk pipis. Aku melakukan apa yang Dokter Rayan perintahkan. Saat Rey keluar kamar, aku buru-buru mengganti perban, menggantinya dengan perban baru, tak lupa menetesinya dengan betadine supaya lukanya segera mengering. Setiap hari, Rey menawarkan mandi, tapi aku takut airnya mengenai senjataku, hingga kuputuskan untuk mengompres tubuh ini sampai beberapa hari. Lewat satu minggu, aku bersyukur luka khitannya sudah mengering dan sepertinya sebentar lagi sembuh.

"Bapak sudah bisa berjalan?" tanya Rey karena melihatku keluar kamar.

"Latihan aja, saya takut kamu bosen selalu ngurusin saya dalam kamar."

"Bapak, saya ikhlas loh, Pak."

"Ya ampun Rey, saya hanya bercanda."

Kami sama-sama tertawa. Hari selanjutnya aku berendam air hangat kuku, karena diminta oleh Dokter Ryan. Ternyata dengan berendam, sisa sisa kulit mati dan bekas darah yang menempel jadi bersih. Alhamdulillah ....

***

Cukup lama, aku beristirahat di rumah, sekitar dua minggu. Berbagai macam reaksi alamiah kualami: seperti rasa gatal, dan nyeri beberapa kali. Ketika kutanya dengan Dokter Riyan melalui sambungan telepon, dia mengatakan semua normalnya. Aku bersyukur pada akhirnya aku sembuh juga. Selama dikhitan, Rey sangat telaten mengurusku. Ia tidak pernah mengeluh sedikit pun. Rey rela tidak mengantarkan Zeze sekolah demi untuk menjagaku. Karena biasanya dia yang selalu ingin menemani anak itu. Kadang aku berpikir, mengapa tidak sejak dulu, Allah mempertemukan aku dan Rey?

Namun aku percaya, semua sudah digariskan. Kadang kita harus bertemu dengan orang yang salah terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya bertemu dengan orang yang tepat. Saat sedang tidur, aku menatap sayu wajah Rey yang pulas. Sesekali aku menyibakkan rambutnya yang menutupi wajah. Sepertinya khitanku sudah sembuh 100 persen, dan sepertinya aku sudah bisa melakuknnya. Hanya saja, bagaimana caranya untuk melakukan semua ini.

"Pak, Bapak, kan sudah sembuh. Bagaimana kalau besok saya mulai mengantarkan Zeze bersekolah?"

"Kamu kejam banget, baru juga sembuh Rey."

"Pak, saya sudah terlalu lama membiarkan Mbak Mira bersamanya. Saya sudah sangat rindu melihatnya berlarian di sekolah dan belajar bersama-sama."