webnovel

Mengundurkan Diri

Aku mondar-mandir di depan pos satpam, masih dengan memeluk tas di tangan dan muka memerah marah. Sialnya, dompetku ketinggalan di dalam laci meja. Mau balik lagi, malas ketemu bos yang tiba-tiba kesetanan.

"Ngapain, Dik? Kayaknya gelisah banget," sapa Pak David, satpam yang piket hari ini.

Aku diam saja dengan mulut yang mengerucut kesal. Bisa bisanya Bos Koko menyosor sembarangan. Dia pikir, aku ini gadis apaan? Kulirik jam di pergelangan tangan, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 menit. Tiga Puluh menit lagi aku masuk kelas kuliah. Aku pun duduk di depan meja pos satpam. Pak David menatapku dengan dahi mengerut. Pandangannya menyelidik, seolah ingin tahu apa yang barusan terjadi. Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian di dalam, lalu meminta tolong Pak David untuk mengambilkan dompetku yang tertinggal.

"Pak, tolong ambilkan dompet aku di ruangan, dong! Aku lupa mengeluarkannya dari dalam tas, lalu memasukkannya ke laci meja."

"Tinggal ambil saja, Dik. Kenapa, Bos habis gigit kamu? Kok, kelihatan kesel dan takut banget?"

Pak David menaikturunkan alisnya menggoda, sementara Pak Yanto, masih sibuk membaca koran di sampingnya. Ish!

Aku mencebik kesal. Wajah yang tadinya sok memelas, kini kesal luar biasa. Oke, aku tidak akan minta tolong dia! Aku segera berdiri dan merapikan pakaian. Aku akan meninggalkan Pak David yang terus menatap dengan wajah yang penuh tanda tanya. Baiklah, aku akan masuk dengan cara mengendap-endap. Biasanya jam segini Bos Koko ada di lantai bawah untuk menemui beberapa sales guna menanyakan masalah setoran. Sepertinya ini kesempatanku untuk mengambil dompet itu.

"Dik, mau kemana?" tanya Pak David saat melihatku berdiri dan melangkah keluar pos.

Aku diam saja, lalu melangkah pergi menuju ke arah kantor. Aku berjalan melewati gudang, karena setelah pos satpam ada gudang yang lumayan besar dan panjang berdiri kukuh di antara pos satpam dan kantor. Setelah sampai di depan kantor, aku mengintip dari luar, lalu menempelkan telinga di daun pintu. Yes! Tidak ada suara! Perlahan sekali, aku membuka pintu bagian depan. Kepalaku melongok kedalam. Sepi. Aku pun melanjutkan melangkah menuju ruangan. Ini seperti maling yang masuk ke rumah orang. Sampai di depan pintu ruangan, aku memutar kenop perlahan. Dengan sangat hati-hati, aku melangkah masuk. Alhamdulillah di dalam tidak ada orang. Aku berjalan ke arah mejaku dan mengambil dompet yang tertinggal.

"Ngapain?" sapa seseorang mengagetkan yang membuatku terdiam seketika.

Aku tahu suara siapa itu. Aku menarik napas panjang, lalu mendengkus kesal. Aku tidak boleh takut, bukankah dia yang salah? Aku harus memberi peringatan! Aku yang sedikit berjongkok karena mengambil dompet dari dalam laci, langsung berdiri. Menutup kembali laci meja, dan memasukkan dompet ke dalam tas. Aku membuang napas kasar, lalu menoleh dengan mengibaskan rambut ke belakang. Terlihatlah Bos Koko yang dengan santainya menyilangkan kaki, melipat tangan di dada dan bersandar di tiang pintu memperhatikanku.

"Kamu marah?" tanyanya yang membuat aku memutar bola mata, malas.

Ya elah, masih tanya! Dia tidak melihat mukaku merah padam begini? Aku membuang muka dan berjalan ke arah pintu tempat dia berdiri dan menyandarkan tubuhnya miring ke arah dinding. Mungkin, otaknya juga miring seperti tubuhnya saat ini. Aku berniat keluar tanpa memedulikannya, tapi dia mencegahku saat aku sampai di depan pintu. Bos Koko merentangkan kedua tangan di tengah-tengah pintu itu. Aku menatap wajah itu lekat dengan bibir cemberut.

"Bapak pikir saya wanita seperti apa? Main sosor saja! Saya lebih suka angsa yang sosor bibir saya, dibanding Bapak. Ingat ya, Bapak sudah berdosa sama saya! Sudah setiap hari kerjaanya marah-marah. Ini malah mau cium-cium sembarangan. Saya merasa seperti kerja rodi, Pak, selama di sini. Jangan mentang-mentang merasa kaya dan ...."

Aku berpikir sejenak, mencari kata yang tepat supaya dia tidak GR. Dia masih terlihat menunggu kalimatku yang menggantung.

"Dan sedikit ... sedikit." Aku tergagap, karena sorot matanya seolah memorak-porandakan keberanianku. "Sedikit, tam-tampan. Bapak jadi seenaknya sama saya, ya?" Dia tersenyum tipis dan senyum di wajahnya langsung berubah saat mendengar kata-kata selanjutnya dariku. "Nggak usah GR! Oke, biar Bapak puas, mulai hari ini saya berhenti dan mengundurkan diri! Titik!" kataku langsung membuang muka.

Aku pun menepis tangannya dan melangkah pergi. Terdengar dia berdecak kesal beberapa kali.

"Tunggu dulu!"

Aku berbalik, dan menoleh ke belakang. Dia pasti mau mohon-mohon minta aku bertahan. Heleh, lagu lama!

"Apa?" teriakku lantang.

"Bon kamu di perusahaan belum lunas. Ingat?"

Aih, aku memejamkan mata sambil menggigit bibir. Malu. Aku lupa, masih ada bon sebesar lima juta di perusahaan ini. Ketika awal masuk kuliah, aku kekurangan biaya, lalu memutuskan kasbon di perusahaan.

"Nanti saya bayar, tenang saja!" kataku asal dan melangkah keluar.

Padahal entah uang dari mana nanti untuk membayarnya. Aku berjalan cepat menuju ke post satpam, setelah sampai di sana aku langsung duduk di depan Pak Yanto yang masih sibuk dengan korannya. Entah dimana Pak David yang duduk bersama Pak Yanto tadi di sini. Aku menunduk dengan wajah memerah karena masih kesal, sementara Pak Yanto mulai kepo dengan sikapku. Dia meletakkan koran ke meja, lalu menatapku dengan seksama.

"Pusing?"

"Kesel, Pak!"

"Sama siapa?"

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Berusaha mengatur emosi yang memenuhi tempurung kepala. Bayang-bayang pertengkaranku dan Bos Koko tadi masih berkelebat di pelupuk mata. Apalagi adegan saat ia nekat mau mencium tadi, itu yang membuatku semakin kesal.

"Acch!!" Aku menggebrak meja yang membuat Pak Yanto kaget seketika.

"Kenapa sih ini anak?"

"Pak, aku benci laki-laki mata keranjang, benci!!" aku marah di depan Pak Yanto.

"Kalau mata kerincing namanya anak-anaklah!"

"Ihh, aku serius!!"

"Lah, saya dua rius!"

Aku berdiri, lalu memutuskan menunggu ojek di depan kantor. Pak Yanto hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku. Sialnya tak ada satupun ojek yang melintas. Tiba-tiba aku ingat kalau tadi di dalam aku mengatakan pada Bos Koko bahwa aku mengundurkan diri dari perusahaan. Astaqfirullah, gimana kuliahku kalau berhenti dari sini? ponsel bergetar, tertera nama Pak Very Hendrawan di layarnya. Mau apa dia meneleponku lagi? Mau nagih utang seperti tadi? Ya Allah ... bagaimana ini? Saat sedang pusing memikirkan utang perusahaan, ada ojek melintas dan aku langsung memanggilnya.

"Kemana, Dik?"

"Universitas Bara Jaya, Pak!"

"Wah maaf nggak lewat sana."

"Loh, bukannya Bapak ngojek?"

"Iya, tapi ini sudah sore. Bapak mau pulang, dan kebetulan nggak lewat sana."

"Duh, nggak bisa Pak anter saya bentar ke sana?"

"Ya udah deh, emmm ... wani piro?"

Seketika seperti ada suara jangkrik di sekelilingku mendengar penuturannya.