webnovel

Ke Mall Bersama Bos Koko Ikut ke Mall Bersama Bos Koko

Hari ini Karina tidak masuk kerja karena sakit. Aku menggantikan pekerjaannya. Seperti biasa, di pagi hari, Karina akan mengantarkan uang ke admin khusus yang mengurusi masalah kas kecil di lantai dasar. Aku membuka brankas dan menyediakan uang pecahan ribuan, dan puluhan, lalu menghitung dan membawanya turun. Sampai di bawah, aku agak kesulitan membuka pintu ruangan admin. Karena kedua tangan memegang sejumlah uang, aku mendorongnya dengan siku. Pintu terbuka, tampak semua admin sedang sibuk bekerja. Aku langsung meletakkan uang di meja kerja Mbak Niki, meja panjang setinggi dada orang dewasa tempat biasa sales dan helper meminta uang jalan. Di bagian bawah, baru terdapat meja utama sebagai meja kerja para admin.

"Halo, Kak Niki," sapaku pada Kak Niki sambil mengulas senyum.

Admin yang memegang pengeluaran kas kecil itu mengerutkan dahi.

"Mana Karina? Kok, kamu yang anter?"

"Lagi sakit, Kak."

"Sakit apa?"

"Enggak tahu juga, Kak. Soalnya dia cuma bilang sakit."

Kak Niki diam saja. Tangannya terulur, guna mengambil segepok uang ribuan dan puluhan yang aku antarkan. Selanjutnya, dia fokus menghitung uang. Setelah selesai, Kak Niki membubuhkan tanda tangan di kertas yang sudah aku sediakan sebagai tanda terima.

"Makasih, ya!" katanya tersenyum sembari memberikan kertas itu padaku.

"Sama-sama, Kak," jawabku sambil menerima kertas itu, lalu langsung keluar.

Suasana di lantai dasar sangat ramai. Beberapa sales masih sibuk di meja panjang. Di samping ruangan para admin, ada ruangan meeting. Aku hendak menaiki anak tangga, tapi terhenti karena bertemu dengan Kak Citra. Dia menghadangku di tangga dengan wajah sinis.

"Hai, Gadis Sok Lugu! Kenapa kamu yang turun, mana Karina? Aku enek lihat muka kamu di sini. Seharusnya kamu itu mantep-mantep saja di habitatmu, di atas sana."

Aku membuang muka dan mengembuskan napas kasar. Entah apa salahku pada wanita ular satu ini. Kami tidak terlalu akrab,mengobrol pun jarang, bahkan mungkin tidak pernah, lantas mengapa dia seperti sangat tidak menyukaiku?

"Kak, maaf. Aku buru-buru."

Aku mengalihkan pembicaraan, lalu melangkah begitu saja. Namun, dia kembali menghadang. "Kenapa? Takut? Cemen banget, sih!"

Dia menunjukkan jempol, lalu memutarnya ke bawah, tepat di depan wajahku. Aku muak dan membalas tatapan sinis itu.

"Kak, salah aku apa, ya? Perasaan, kita mengobrol, jarang, kenal juga cuma tampang doang. Terus, kenapa sikap Kakak begini sama aku? Bisa nggak lebih sopan? Kita saling menghargai saja, lah."

Aku menerobos begitu saja tubuhnya, tanpa menghiraukan ocehannya.

"Gadis murahan, ya, begitu! Kalau mau kaya raya jangan cari yang praktis. Kerja, dong! Bukannya ngedeketin bos!" teriaknya geram.

Aku hanya menggelengkan kepala, mendengar omelannya. Kakiku terus melangkah ke atas. Meladeni orang gila, bisa bisa kita ikut gila. Karena orang-orang seperti itu kalau diladeni semakin menjadi, lebih baik didiamkan saja. Selain buang energi, juga bisa menimbulkan penyakit hati. Sampai di atas, aku mengempaskan bokong di kursi dengan kesal. Mukaku memerah menahan amarah.

"Mbak kenapa? Mukanya merah begitu?"

Aku diam saja saat Wawan mendekatkan kursinya ke arahku. "Aku enggak habis pikir, Kak Citra itu kenapa, sih? Dia tahu-tahu marah sama Mbak. Salah Mbak apa coba?" rutukku.

"Terus, Mbak balik marahi dia?"

"Ya nggak, lah. Aku masih waras. Ngeladenin orang gila, berarti kita juga gila!"

"Bagus, Mbak! Nih Mbak, ya. Ada salah satu firman Allah yang berbunyi, 'Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka); baik di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali 'Imran: 134)'."

"Kamu nasihati Mbak? Makasih, ya!"

"Sama-sama, Mbak. Itu artinya, Allah menyukai orang yang bersabar. Misalnya, ketika disakiti orang lain, bukannya membalas, kita malah berusaha menahan amarah."

Wawan seperti kehabisan napas. Dia berdiri, lalu berjalan ke arah mejanya. Pria berambut lurus itu mengambil air putih di atas meja, lalu meneguknya hingga tidak bersisa.

Aku yang tadinya ingin marah jadi tertawa.

"Iya, Pak Ustaz, iya."

"Kan, Mbak manis kalau ketawa begitu. Daripada tadi, muka kayak kepiting rebus!" Wawan kembali meletakkan gelas di atas meja, lalu hendak kembali duduk. Namun ....

Bruk!

Dia terjatuh. Wawan lupa, kursi kerjanya masih ada di dekatku. Pria itu mengelus pantatnya yang jatuh ke lantai, membuat tawaku semakin berderai. Amarah seketika hilang. Aku sampai berjongkok di lantai sembari memegangi perut, lucu sekali.

"Mbak, bantuin! Kok, malah diketawain, sih?" gerutunya kesal.

"Hem, hem, seru banget kayaknya."

Bos Koko sudah berdiri di depan pintu. Dia memang selalu begitu: datang tidak dijemput, pulang tidak diantar. Ya, persis seperti jelangkung. Kadang tahu-tahu datang, tiba-tiba menghilang. Kayak hantu indekosan. Wawan bergegas menarik kursi ke meja kerjanya, sedangkan aku langsung duduk menghadap ke arah komputer. Sebelum kena omelan, lebih baik aku menghidar.

Setelah cukup lama hening, Bos Koko bersuara. "Rei."

Aku pun menoleh. "Iya, Pak."

"Ikut saya, ya!"

"Kemana, Pak?"

"Ke mall, ngurusin produk kita yang masuk sana. Kamu sekalian nemuin SPG. Dia sudah setor absen belum, untuk gajian bulan ini?"

"Belum, sih, Pak. Tapi biasanya ...."

Belum juga selesai bicara, bos koko sudah memotongnya."Saya tunggu di mobil sekarang!"

Bos koko berlalu, aku saling pandang dengan Wawan. Heran, kalau mau apa-apa, harus, nggak mau dengerin jawaban orang. Dengan gontai, aku pun mengambil tas yang ada di laci meja. Ah, sebenarnya malas sekali mau ke mall. Lagian SPG biasanya datang ke kantor kok untuk ngasih absensinya, kenapa sih harus diminta absennya di sana?

"Mbak, semangat! Jangan lupa perjanjian kita!" seru Wawan mengingatkan.

Ish!

Aku menatapnya sinis. Wawan apa-apaan, sih? Cuma diajak ke mall untuk lihat produk saja, kok. Bukan kemana-mana. Apa dia kira kami mau kencan? Aku menatapnya dengan wajah sinis, lalu mendengkus tertawa saat dia nyengir kuda.

"Fighting, fighting!" katanya memberi semangat.

Aku mendekatinya sebelum keluar ruangan, lalu menjitak kepala laki-laki yang sudah seperti adikku sendiri ini. "Lebay!" teriakku di telinganya. Setelah itu, aku langsung berlari.

***

Di parkiran, bos koko sudah menunggu di dalam mobil. Jujur saja, aku ragu mau masuk ke dalam. Alhasil, aku hanya berdiri di samping pintu mobil. Bosku membuka jendela mobilnya, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya kearah pintu, dekat aku berdiri.

"Rei!"

"Iya, Pak."

"Kenapa nggak masuk? Nunggu apa?"

"Pak, boleh nggak, kalau aku ke mallnya diantar sama satpam saja?"

"Kenapa? Kamu takut saya apa-apain?" Dia paham ternyata, tapi aku masih mengelak.

"Bu-bu-bukan begitu, Pak!" jawabku gugup. Padahal, pikirannya 100% benar.

"Baiklah," jawabnya setelah diam cukup lama.

Akhirnya aku langsung berjalan ke pos satpam setelah mendengar jawabannya, lalu meminta Pak David mengantar ke mall dengan sepeda motor bututnya. Diperjalanan menuju mall, kami mengiringi mobil Bos koko dari belakang. Tanpa sadar, tasku jatuh ke jalan raya.

"Pak, stop!" teriakku tiba-tiba, yang membuat Pak David mengerem secara mendadak.

Aku melihat tasku berada di tengah jalan, sedangkan ada truk yang akan melintas. Aku membayangkan ponsel yang dibelikan oleh Bos koko remuk saat terlindas truk. Dia pasti marah kalau ponsel itu sampai rusak, karena itu bukan ponsel murahan. Nekat, aku turun dari sepeda motor dan berlari ke jalanan. Aku menghadang truk yang akan melintas, melompat-lompat sambil melambaikan tangan dan memejamkan mata supaya truk itu berhenti. Aku berbuat demikian, karena jika nekat mengambil tas itu tidak akan sempat. Truk menyalakan klaksonnya dengan suara yang nyaring dan panjang. Aku terdiam, lalu memejamkan mata kuat-kuat.

Tinnnn!

"Reiii!" teriak Pak David dan bos koko serempak.