webnovel

Gara-gara Nyamuk!

Jam menunjukkan pukul 7.30 pagi. Aku berlari memasuki halaman kantor. Sialnya, absensiku selalu gagal.

"Coba dilap dulu jempolnya. Mungkin bekas minyak, atau apa," saran Pak David.

Di kantorku, absensinya pakai sidik jari jempol. Jadi,tidak bisa titip absensi pada teman, jika datang terlambat atau tidak masuk kerja. Aku mengelap jempol beberapa kali dengan tisu yang kuambil dari dalam tas selempang berwarna merah. Setelah mencoba beberapa kali aku bersyukur, karena akhirnya berhasil. Secepat kilat, aku berlari masuk ruangan. Namun keadaan sepi, tidak ada satu orangpun di sini.

Aku baru ingat, ini hari Senin. Setiap hari Senin, selalu diadakan rapat para admin di lantai dasar. Ah ... kok, bisa lupa, sih? Ini kan hari pertama aku masuk kerja, setelah tiga hari menganggur di rumah. Mana yang memimpin rapat hari ini Big Bos lagi. Dia baru pulang dari Hongkong, dan rencananya akan memimpin rapat hari ini. Itu yang kutahu dari chat-ku dengan Wawan beberapa hari yang lalu.

Dengan langkah ragu, aku melongok ke lantai dasar. Semua orang sudah berkumpul di bawah. Ada 120 Admin di sana, termasuk Bos Koko yang duduk di barisan paling depan, karena dia orang kepercayaan kantor. Meskipun ragu, akhirnya aku menuruni anak tangga. Parahnya aku memakaipantofel, sehingga langkah ini terdengar nyaring.

Semua mata tertuju padaku, termasuk Big Bos dan yang lainnya. Mereka tidak berkedip. Bukan karena aku cantik atau berprestasi, melainkan karena aku terlambat menghadiri rapat hari ini.

"Pak Very, bukankah dia accounting di atas?" tanya Big Bos pada bos koko.

Sepertinya big bos belum tahu, kalau aku sempat dipecat dan balik lagi.

"Iya, Pak," kata bos koko sedikit membungkuk.

"Siapa namanya?"

Aku menuruni anak tangga, dengan detak jantung yang saling berkejaran.

"Namanya Reynata, Pak. Sebelumnya saya minta maaf, saya meminta dia mengerjakan pajak pagi ini. Saya lupa memberi tahu Anda." Bos Koko tersenyum dan menoleh ke arahku."Rey, pajaknya sudah kamu selesaikan semua?"

Awalnya aku bingung, tapi setelah melihat matanya yang seolah memberi isyarat, aku mengerti.

"Su-sudah, Pak."

Aku duduk di kursi yang letaknya cukup jauh dari bos koko.

"Iya. Itu nanti mau saya bayar setelah rapat ini," katanya kembali duduk." Silakan lanjutkan, Pak."

Semua mata kembali mengarah ke big bos, kecuali mata salah seorang admin yang duduk di pojok sebelah kiri. Dia terus menatapku tajam. Entah apa salahku, tapi dia selalu melihatku dengan tatapan seperti itu. Namanya Citra, salah satu admin yang memegang faktur penjualan di sini. Karena aku merasa tidak memiliki masalah dengannya, aku cuek saja dengan sikap sinisnya. Karina dan Wawan menoleh ke arahku sekilas, mereka menunjukkan jempolnya di bawah meja. Aku tersenyum bahagia, karena masih bisa melihat mereka di suasana kantor seperti ini.

***

Setelah rapat, aku mengobrol bersama Wawan dan Karina di ruangan. Mereka sangat antusias mendengarkan cerita bahwa kemarin bos koko datang ke rumah,guna memintaku kembali bekerja.

"Wah, Mbak. Jangan-jangan ... Bos Koko suka sama Mbak Rey," ucap Karina

"Ah, kamu ngaco, Karin!" jawabku tidak percaya.

"Kalau bos koko beneran suka sama Mbak, Mbak harus minta dia jadi mualaf. Ya, karena keyakinan kalian berbeda." Wawan mengusulkan.

"Masa, sih? Kalian jangan sembarangan bicara, ya. Nanti jatuhnya fitnah, kalau salah menebak," kataku mengetuk-ngetuk pena ke meja.

"Kalau benar,bagaimana, Mbak? Mau taruhan?" Tantang Wawan.

Aku mengernyitkan dahi, kebingungan.

"Mau enggak?" Lanjut Karina sambil menaikturunkan alisnya menggoda.

"Taruhan apa?" tanyaku mulai terpancing dengan permainan mereka.

Mereka tos berdua, membuat bibirku maju beberapa senti karena sebal. "Kalau beneran bos koko suka sama Mbak, Mbak harus memintanya jadi Mualaf dan ...."

"Dan apa?" tanyaku penasaran.

"Bos koko harus disunat! Hahaha." Tawa mereka memekakkan telinga.

"Masa iya, aku harus ngomong begitu? Enggak mau, lah!" kataku melengos.

"Ya sudah, kalau enggak mau.Tapi kalau ada apa-apa, nggak usah minta tolong kami!"

"Tunggu dulu! Kalau aku yang menang, kalian mau kasih aku apa?"

"Kalau Mbak menang, kami akan melakukan perkerjaan Mbak selama 6 bulan lamanya. Jadi, Mbak bisa santai-santai selama 6 bulan."

Mereka tersenyum dan berpandangan. Aduh, tawaran yang sangat menggiurkan. Kapan lagi bisa santai-santai selama 6 bulan? Aku yakin, kok, Bos Koko enggak suka sama aku.

"Oke.Deal!" jawabku sembari mengulurkan tangan.

Wawan menerima uluran tanganku dengan bersemangat. Tiba-tiba, suara langkah terdengar nyaring. Itu pasti suara langkah bos koko! Wawan dan Karina buru-buru kembali ke meja kerjanya.

Pintu terbuka, Bos Koko masuk dan duduk di mejanya.

"Rey."

"Iya, Pak."

"Besok-besok jangan telat lagi, ya!"

Aku nyengir kuda, malu sekaligus merasa bersalah. "Iya, Pak. Maaf dan terima kasih sudah dibantu tadi."

bos koko tidak menjawab. Dia malah berdiri,lalu berjalan mendekat ke arahku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Sttttt," ucapnya.

Dia meletakkan telunjuk di depan bibirnya sendiri, membentuk angka satu. Aku bingung. Hendak menoleh kearah Wawan dan Karina, tapi ....

"Rey, jangan bergerak. Please, sebentar saja," katanya dengan tubuh yang sedikit membungkuk mendekatiku.

Matanya berkeliling mencari sesuatu. Dia mengambil buku besar di meja Karina yang berwarna biru, lalu dengan langkah mengendap-endap kembali mendekatiku.

Maksudnya apa, sih? Masa mau cium lagi, dia lupa janji?

"Rey, kamu diam saja, ya!" katanya sedikit berbisik.

Bos koko mengangkat buku itu tinggi-tinggi, setelah berada tepat di hadapanku. Mataku membulat, saat sadar dia akan memukulku. Aku memejamkan mata, saat buku itu diayunkan tepat di depan mukaku.

Bugh!

Bos Koko memukul keningku dengan buku. Aku mengaduh sembari mengelus dahi yang terasa sakit.

"Kena!" katanya gemas.

"Bapak apaan, sih? Sakit, Pak!" ketusku kesal.

"Ada nyamuk di kening kamu. Saya sudah berjanji, tidak akan menyentuh kamu, Rey, karena itu, saya menangkapnya memakai buku ini."

Bos koko mengambil seekor nyamuk yang masih menempel di buku itu. Dia meletakkan kembali buku di meja Karina dan kembali duduk di kursi kerjanya. Selanjutnya, dia sudah sibuk dengan laptop tanpa rasa bersalah sedikitpun. Wawan dan Karina terkikik di meja mereka masing-masing. Aku mengetik dengan suara berisik. Sengaja, biar dia tahu aku tuh sebel banget. Dia pikir,enggak sakit apa dipukul pakai buku setebal itu?

Ish!

***

Hari ini, kami bebas sebebas-bebasnya. Bos koko pergi ke ibu kota, untuk menghadiri rapat. Sudah tiga hari dia tidak ada di tempat, tapi aku cukup pusing dibuatnya. Suara telepon kantor tidak berhenti berdering, semua mencari bos koko. Karena aku yang paling tua di sini, sehingga bos mempercayakan semuanya padaku. Kedua temanku masih 19 tahun, sedangkan aku sudah 20 tahun.

Bos koko memintaku meng-handle semuanya. Awalnya aku takut akan berbuat kesalahan, tapi setelah dua hari menjalaninya, aku mulai terbiasa. Jika ditanya nomor telepon siapa yang paling aku hafal, jawabannya adalah nomor ponselnya bos koko. Kini, nomor itu sudah di luar kepala. Maklum, setiap menit aku meneleponnya untuk bertanya ini dan itu.

Aku duduk dan bersandar pada sandaran kursi, guna meregangkan otot. Bosan, aku iseng membuka komputer di hadapan. Hari ini tidak ada kuliah, dan pekerjaan juga sudah kelar. Jam menunjukkan pukul 16.30. Karina sedang turun ke bawah mengambil laporan kas kecil, sedangkan Wawan sedang memusnahkan beberapa snack dan minuman ringan yang tiga bulan lagi mendekati kadaluwarsa.

Aku membuka salah satu aplikasi yang bernama Team Viewers. Aplikasi ini bisa digunakan untuk melihat layar monitor komputer-komputer yang terhubung di kantor ini. Sehingga, aku bisa melihat kegiatan apapun yang dilakukan komputer lainnya dari komputerku sendiri. Pertama, aku mengintip komputer 1 milik Kak Lesti. Ternyata dia sedang sibuk bekerja. Aku menutupnya dan sekarang melihat komputer 2 milik Mbak Raisya. Ternyata dia sedang menonton film Korea. Aku membuka Word di komputernya.Diam selama beberapa saat, lalu aku mengetik.

[Mbak minta film Korea, dong.]

Tanda panah mungil di monitor mulai bergerak.Dia mengetikkan sesuatu untuk membalas.

[Ambil saja sendiridi folder C. Pilih sendiri, ya.]

[Oke. Makasih, ya, Mbak Cantik. Emot nyengir.]

[Emot sebel.]

Aku hanya ngakak melihat balasannya. Dengan cepat, aku menyalin folder yang berjudul Saranghaeyo ke komputerku, lalu menutup komputernya.Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Aku menonton film Korea, sampai tidak menyadari waktu hampir magrib. Bahkan, aku tidak mengacuhkan Karina dan Wawan yang masuk ke ruangan, saking asyiknya.

"Mbak, magrib, woi! Magrib!" tegur Wawan.

Dia berteriak di telingaku, lalu kembali duduk di meja kerjanya.

"Ya ampun! Enggak kerasa, ya. Maaf, maaf!" jawabku mematikan komputer sambil tertawa.

"Masih mau nonton atau pulang, Mbak? Aku mau pulang, ah. Salat di rumah saja," lanjut Karina.

"Pulanglah, Mbak. Takut juga sendirian malam-malam di sini."

"Kalian duluan saja, Mbak-Mbak. Aku mau Fb-an pakai wifi gratis di kantor ini," kata Wawan nyengir.

Aku dan Karina tersenyum sinis mendengar kalimat Wawan. Anak ini ada-ada saja.

"Ya sudah, kami duluan, ya!" kataku menepuk pundak Wawan perlahan, diikuti Karina.

Wawan hanya mengangkat satu tangannya, sedangkan tangan yang lain sibuk dengan mouse di meja. Mata pria itu menatap komputer dengan saksama, tanpa sadar kalau kami sudah tak ada lagi di sana.