webnovel

Bos Koko Takut Disunat

"Miringkan sedikit kepalamu," lirih suaranya nyaris tidak terdengar.

"Maksud Bapak apa?" tanyaku kembali membuka mata dan aku semakin kebingungan, tapi tololnya tetap saja mengikuti setiap arahannya.

Bos Koko tidak menjawab. Bibir kami pun nyaris bersentuhan. Beberapa kali, aku menelan saliva yang memenuhi kerongkongan. Namun, hal itu tidak mengurangi debaran jantung saat ini. Bos koko memejamkan matanya. Melihatnya seperti itu aku pun ikut memejamkan mata kuat-kuat.

Ya Tuhan hanya kepadaMu aku memohon perlindungan, karena ini tidak seperti sandiwara. Aku bahkan menangkap keinginan kuat Bos Koko untuk benar-benar bisa melakukannya. Tidak, aku tidak bisa hanya diam, aku harus melakukan sesuatu, harus!!

Aku langsung membuka mata dan menahan dadanya yang bidang supaya tidak semakin mendekat.

"Pak, aku akan berdiri," ucapku lirih secara tiba-tiba yang membuat matanya kembali terbuka.

Dia menatap lama, kemudian membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan. Tanpa aba-aba Bos koko langsung saja melakukannya. Bodohnya, aku hanya diam saja, saat Bos Koko mencengkeram pergelangan tanganku di sandaran kursi dengan sangat erat dan mendaratkan kecupan di kening. Terdengar Mami berdecak beberapa kali, kemudian berlari menuruni anak tangga dan langsung pergi. Mami sudah tidak ada lagi di sana, tapi kenapa Bos Koko tidak melepas kecupannya di kening ini? Aku mendorong dada laki-laki ini dengan kuat, supaya menjauh dariku. Entahlah, rasanya nano-nano.

"Pak, Kenapa jadi cium beneran?" teriakku padanya, aku marah sekaligus lega. Marah karena dia tetap mencium, lega karena ciumnya di kening, bukan di bibir.

"Aduh, kelepasan. Maaf, Rey. Tapi, berhasil, loh. Itu, Mami langsung pergi," jawabnya santai sembari berjalan menuju lemari dan tersenyum, kemudian dia memilih kaus berwarna merah untuk dipakai.

Aku langsung melangkah meninggalkan Bos koko. Hati ini rasanya dongkol luar biasa dengan sikapnya yang seenaknya. Aku menuju kamar Zeze, karena tas dan barang-barangku belum sempat dibereskan. Kesal sekali rasanya. Aku sengaja berlama-lama di ini, berharap dia datang dan meminta maaf padaku, tapi sudah tiga puluh menit di sini, mengapa Bos Koko tidak ada inisiatif sama sekali untuk minta maaf dengan tulus?

Kalau mau buat laporan, ini termasuk KDRT bukan, sih? Ini bukan KDRT tapi KDJ (Kekerasan Dalam Jantung), karena jantungku memompa lebih cepat ketika peristiwa itu terjadi. Duh! Kok, jadi mikir ngaco seperti ini, sih? Aku bergegas mandi, karena jam sudah menunjukkan pukul 08.30. Selesai mandi, aku menuju ke perpustakaan yang ada di rumah ini. Membaca beberapa buku tentang Islam. Meskipun agamaku Islam, tapi aku juga masih harus banyak belajar untuk memperdalam pengetahuan.

"Bos Koko sudah bisa baca Al'Qur'an belum, ya? Di toko buku kemarin, aku sempat membeli Iqro untuk mengajari Zeze suatu hari nanti. Tapi tidak ada salahnya aku ajarkan pada papanya lebih dulu. Hitung-hitung, sekalian mau balas dendam," ucapku lirih sambil menggenggam salah satu buku di tangan dan dendam di dalam hati yang membara.

Tidak berapa lama, terdengar deru mobil bos koko keluar dari garasi rumah. Mau ke mana dia?

***

Dirumah, aku membantu Jeje beres-beres, merapikan kamar, menyapu dan memasak. Bukanlah hal baru mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti ini, karena di rumah Tante Siska, aku sudah terbiasa melakukan banyak hal. Di kampung pun saat pulang ke rumah ibu aku juga melakukannya bersama Mbak Rani. Terbiasa hidup susah dan ikut orang, aku sudah tidak kaget lagi jika harus membantu pekerjaan rumah, itulah sebabnya aku tidak bisa bermanja-manja seperti anak-anak lain pada umumnya. Aku bersyukur lahir dari keluarga yang sederhana, karenanya aku terbiasa mandiri, aku jadi tidak sempat jalan-jalan, ke salon dan nonton bioskop bersama pacar seperti anak yang lain. semua itu dikarenakan aku sudah disibukkan mencari uang untuk diriku sendiri dan sedikit membantu keluarga di kampung. Aku hanya wanita desa yang kebetulan bekerja di kota yang bertujuan menunjang perekonomian keluarga, dan menghidupi kehidupanku sendiri.

Setelah mengobrol banyak hal, ternyata Jeje adalah teman mengobrol yang asyik. Darinya aku banyak tahu tentang suami kontrakku itu. Makanan kesukaan putri kecilku, dan masa lalu mereka.

Tepat pukul 16.30, Wawan datang bersama Karina. Mereka sangat antusias bercerita masalah kantor. Si A yang ketahuan korupsi, si B yang mengundurkan diri, si C yang kepergok selingkuh dengan si Z dan bla, bla, bla.

"Jadi bagaimana, Mbak? Bos Koko sudah disunat belum?" tanya Wawan sembari menoleh ke kanan dan kiri.

Mendengar pertanyaanya membuatku nyaris tertawa. Bagaimana bisa aku mengatakan hal itu pada laki-laki itu. Lagipula pernikahan ini kan bukan pernikahan yang sesungguhnya. Apa aku berhak menyampaikan hal itu padanya?

"Mana berani aku ngomong begitu sama dia!" jawabku kesal.

"Jadi, siapa yang mau ngomong kalau bukan Mbak?" sahut Karina.

"Hem ... hem ...enggak di kantor, nggak di rumah saya, masih saja kalian suka bisik-bisik tetangga. Nggak boleh main rahasia rahasiaan, kalau ada yang mau disampaikan, langsung saja, jangan bisik-bisik seperti itu. Tidak baik."

Dari mana dia datang? Kenapa dia tiba-tiba duduk di seberang meja, di ruang tengah, di tempat kami bercengkerama sore ini. Sepulang dari pergi yang entah ke mana, dia baru keluar dari kamarnya. Apa karena ada Karina dan Wawan, dia jadi penasaran apa yang sedang kami bicarakan?

"Pak, sebenarnya ...."

Aku berusaha membuka obrolan. Karina menyikut lenganku beberapa kali sambil nyengir. Sedangkan Wawan terus menatap seolah memberi isyarat agar aku mengatakannya. Ah, tetap saja rasanya tidak enak kalau aku yang akan mengatakan semua itu. Sepertinya kalau sesama laki-laki yang mengatakannya lebih baik.

"Wan sebagai sesama pria, bisakah kamu membantu Mbak menjelaskan masalah ini kepada suamiku?"

Aku menaikturunkan alis. Wawan tampak terkejut, tapi dia berusaha bersikap normal. Aku tahu, dia pasti sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan semuanya. Semoga kamu nggak dipecat ya Wan setelah memberitahu hal itu pada bosmu. Doaku dalam hati.

"Ada apa, Wan? Bilang saja, enggak apa-apa. Apalagi demi kebaikan saya dan istri saya." Bos Koko menatap.

Ih!

Jujur saja, aku masih sengit mengingat kejadian tadi pagi. Aku mencebik ke arahnya yang membuatnya menggeleng samar, kemudian tertawa. Dia belum tahu saja apa yang akan Wawan bicarakan. Aku yakin bos koko tidak akan berani melakukan khitan. Karina dan Wawan mengulum senyum, melihat tingkah kami yang seperti tom and jerry.

"Wawan, ayo ngomong!" perintahku.

"Ehem, ehem, jadi begini, Pak. Ini berkaitan dengan muallafnya Bapak."

"Baiklah, katakan saja."

"Pak, seorang laki-laki yang baru masuk Islam, dia wajib dikhitan biar afdal, meskipun sudah dewasa."

"Apa, khitan?" Wawan mengangguk.

"Iya, Pak. Ini wajib. Namun hal ini harus dilakukan oleh dokter ahli yang sangat paham di bidangnya. Dalam artian, dia sudah biasa atau ahli dalam melakukan khitan ini. Soalnya, sebagian ulama mengatakan, dia (si muallaf) wajib berkhitan. Sementara sebagian ulama lain berpendapat bahwa dia wajib khitan, jika tidak ada hal yang membahayakan. Namun, apabila dokter menegaskan akan membahayakan si mualaf, maka tidak wajib dilakukan. Dan sebaliknya, jika kata dokter tidak ada masalah, maka wajib dilakukan," papar Wawan panjang lebar.

Bos Koko tertegun mendengar penjelasan Wawan. Dia tampak berpikir cukup lama.

"Khitan? Itu maksudnya yang bagaimana, Wan? Telinga saya rasanya tidak asing dengan kata-kata itu, tapi saya tidak paham dengan maksudnya."

"Kata lainnya ... " Wawan memperhatikan bos koko dengan seksama, begitupun sebaliknya. "Sunat, Pak."

Wajah putih itu mendadak pias mendengar kata sunat.

"Apa? Sunat?" Refleks, kedua tangannya langsung menutup celananya bagian depan yang membuatku tertawa.