webnovel

Gadis yang pemarah

Tunggu sebentar. Jika alasannya dikejar-kejar adalah karena diperas, maka bukannya ha itu menjadikan pria ini juga kehabisan uang? Pertanyaan ini sangat penting! Sandra harus lebih berhati-hati.

"Tenanglah. Kamu pasti akan aku bayar sesuai kesepakatan awal kita", Nico berkata dengan enteng, seakan bisa membaca pikiran gadis itu. Walaupun pikiran Sandra memang sama sekali tidak sulit untuk ditebak.

"Benar ya. Awas saja kalau kau berani bohong padaku!" Sandra berkata sambil tersenyum, jari-jarinya dengan lembut masih mengusap punggung Nico.

Dalam benak Sandra, ia masih begitu ingat kulit pria ini yang semula begitu halus sempurna, tapi sekarang menjadi merah dan penuh dengan luka goresan. Sandra menunduk penuh penyesalan.

......

Di Kantor utama perusahaan East Group...

Kantor pimpinan sedang dipenuhi oleh para eksekutif dan direktur tinggi perusahaan.

"Pak Sekretaris Bram, kemana Tuan Nicolas pergi? Suasana menjadi tidak menyenangkan sejak ia pergi begitu saja!"

"Bukankah, banyak dokumen sedang menunggunya untuk segera ditandatangani. Jika dia tidak muncul, tugas ini tidak bisa diselesaikan"

"Pak Bram, sejujurnya apakah anda benar-benar tidak mengetahui keberadaan Tuan Nicolas? Mengapa dia tidak keluar untuk menemui orang? Apakah ada yang salah? "

Dihujani begitu banyak pertanyaan, kepala Pak Bram seperti mendidih dan bisa meledak kapan saja. Dia hanyalah seorang asisten, ia tidak tahu segalanya, bagaimana dia bisa mengatur dan menyelesaikan semua masalah ini?

Sekarang orang-orang besar ini meminta penjelasan darinya, apa yang bisa dia lakukan?

"Memang benar keberadaan Tuan Muda saat ini sedang menolak untuk ditemui", Pak Bram menggertakkan gigi dan memutuskan untuk memberikan penjelasan sesuai dengan petunjuk yang dikatakan Nico sebelumnya.

Begitu mendengar pengakuan Pak Bram, raut wajah semua orang di dalam ruangan langsung berubah menunjukkan ekspresi yang beragam.

Di tengah keributan, seorang pria berjanggut tebal berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk ke arah Pak Bram. Dia adalah Dodi Atmaja, paman ketiga Nico, yang sudah lama mengincar posisi tinggi di perusahaan.

"Hei Bram! Apa benar bahwa semua baik-baik saja? Dari kabar terakhir yang kudengar, Nicholas terluka ketika dikejar oleh segerombolan preman. Bagaimana keadaannya sekarang?", ujar Dodi dengan suara keras yang menggema di seluruh sudut ruangan.

Ucapannya semakin memperkeruh suasana. Semua orang saling ribut satu sama lain mempertanyakan nasib seorang Nicolas Atmaja dan masa depan dari perusahaan terbesar di negara ini.

"Saya benar-benar tidak tahu dari mana asal kabar itu. Tuan Muda saat ini baik-baik saja.", Pak Bram masih berusaha tersenyum. Tampaknya benar keputusan Nicolas untuk tidak menampakkan dirinya hari ini. Orang-orang disini benar-benar terlihat bersemangat ketika mendengar bahwa nyawa pemimpin muda perusahaan sedang terancam.

"Benarkah? Kamu tidak sedang main-main kan?!", Dodi Atmaja masih berusaha menyudutkan Pak Bram.

Dodi Atmaja adalah orang yang telah mengirim gerombolan preman untuk membunuh Nicolas. Tentu saja ia tahu betul bahwa Pak Bram sedang berakting untuk menutupi perkara ini. Saat ini, prioritas utamanya adalah untuk mengetahui seberapa fatal cedera Nicolas. Semua orang tahu bahwa keponakannya itu tidak pernah percaya pada siapapun, kecuali satu orang, yaitu Pak Bram. Jika ingin mencari tahu keadaan Nicolas saat ini, dia harus mulai dari Pak Bram.

Mendengar nada suara Dodi Atmaja yang semakin meninggi, Pak Bram justru tertawa ringan. "Tentu saja tidak. Semua orang tahu bahwa Tuan Muda baru saja menginjak usia 30, dia hanya ingin menikmati masa mudanya sejenak sebelum kembali berbisnis"

Pak Bram selalu berbicara dengan santai, namun ia mampu menangkap reaksi psikologi semua orang yang berbicara dengannya. Hanya dari beberapa kata sederhana, Pak Bram mampu mengetahui makna tersirat dari segala ucapan lawan bicaranya. Sedikit demi sedikit ia berusaha memancing seekor serigala yang sedang menyamar, sang Dodi Atmajaya, untuk menunjukkan taringnya.

Dengan temperamen yang tenang, Dodi menarik Pak Bram ke sudut ruangan, menjauhi keramaian. Tak biasanya pria tua yang selalu berapi-api itu menunjukkan ekspresi wajah yang tenang dan sangat sulit untuk ditebak. Tetapi, otak cerdas Pak Bram sudah mengetahui semua maksud tersembunyi darinya.

"Tuan Besar ingin mengatakan sesuatu kepada saya?", tanya Pak Bram asih terus mempertahankan senyum di wajahnya.

"Bram, aku sangat suka berbicara dengan orang cerdas sepertimu!"

Dodi Atmaja memasang senyum aneh di wajahnya. Dia kemudian berbisik di telinga Pak Bram: "Apa yang kamu katakan di tengah forum tadi hanya berhasil mengelabui orang-orang bodoh itu. Tapi jika kau, ingin menipuku, lupakan saja. Aku sudah tahu, keponakanku saat ini sedang terluka parah, bukan? Sekarang ini merupakan waktu yang tepat! Sudah waktunya bagimu untuk ikut mengantri. Begitu aku berhasil mendapatkan East Group, akan kupastikan jabatan sekretaris pimpinan akan tetap menjadi milikmu! Bagaimana? "

Membeli kesetiaan Pak Bram sama dengan memasang monitor berteknologi tinggi untuk memantau semua aktivitas dari Nicolas dan orang-orangnya. Dodi Atmajaya telah melakukan kalkulasi yang sempurna dalam strateginya untuk mengambil alih perusahaan keluarga Atmajaya sepenuhnya.

"Anda benar-benar murah hati", ujar Pak Bram. Dia pasti tahu berapa nilai seperseribu saham East Group, yang menurut nilai pasar saat ini, pasti ada lebih dari puluhan miliar dolar.

"Bagaimana, Bram?", Dodi tampak sangat percaya diri. Dia berpikir bahwa kesepakatan yang ditawarkannya sangatlah berharga. Siapapun pasti tidak menolak kesempatan emas itu. Namun, dia terlalu meremehkan kesetiaan Pak Bram kepada Nico, pewaris sah perusahaan East Group. Tidak semua orang akan menjadi hamba uang.

"Maaf. Saya harus menolak kebaikan Anda.", Pak Bram akhirnya mengakhiri pembicaraan. Dengan sopan ia mempersilahkan Dodi untuk kembali ke tempat duduknya.

"Dasar bodoh!", maki Dodi dengan suara lirih namun tegas. Apa gunanya pria secerdas Bram mengikuti anak ingusan seperti Nicolas? Setelah lebih dari sepuluh tahun bekerja, bukankah dia masih saja menjadi sebatas sekretaris?

Dihadapkan dengan kemarahan serang Dodi Atmajaya yang terkenal berdarah dingin, Pak Bram hanya tersenyum seperti biasa. Dengan tenang, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan memberitahu Nico apa yang baru saja terjadi.

.........

Saat ini, Nico disiksa oleh bintik-bintik merah kecil di tubuhnya, membuatnya lebih emosional dan bisa meledak kapan saja karena kekesalan yang kian menumpuk. Melihat keadaan bosnya yang masih mengenaskan, Sandra sama sekali tidak berani mengusiknya. Bahkan sekedar menampakkan dirinya dihadapan Nico pun ia tak berani. Malam itu, ia hanya meletakkan makan malam di depan pintu kamar tidur untuk Nico ambil sendiri.

Di pagi hari, ketika merasakan sengatan sinar matahari di matanya, Sandra langsung tersentak kaget hingga terpental dari sofa.

"Gawat! Aku terlambat ke sekolah!", Sandra berlari bolak-balik antara ruang tamu dan kamar mandi tanpa alas kaki. Dengan terburu-buru, ia membasuh muka dan menyikat giginya secepat kilat. Tiba-tiba ponselnya berdering. Berdiri di depan wastafel dengan mulutnya yang penuh busa, ia menjawab telepon sambil menatap bayangannya di cermin dengan cemas.

"Sandra, jangan khawatir, aku menunggumu di luar"

Leo yang mengenakan seragam rapi, dengan kaki di atas sepeda, memegang roti yang telah disiapkan untuk Sandra di satu tangan, dan ponsel di tangan lainnya. Merasa sudah terlalu familiar dengan kebiasaan buruk Sandra yang selalu bangun kesiangan, Leo hanya tertawa mendengar suara panik teman masa kecilnya itu. Setiap kali Sandra terlambat, ia diam-diam selalu menunggunya agar bisa menemaninya berangkat menuju sekolah.

"Oke. Tunggu aku!"

Sandra menutup telepon, memuntahkan air dari mulutnya, meraih tas ranselnya, dan bergegas keluar. Namun ketika sampai di depan pintu, Sandra baru ingat bahwa ada seorang bos yang menunggu untuk dilayani olehnya. Sandra berkata dalam hati: dia kan orang dewasa, pasti membuat sarapan sendiri! Ia lantas melanjutkan langkah kakinya dan bergegas ke luar. Tak lama kemudian ia dapat melihat dengan jelas sosok Leo yang sedang duduk di atas sepeda, membawa sarapan di satu tangan, dan tas ransel miring di pinggangnya. Leo tersenyum riang begitu melihat Sandra berlari ke arahnya. Dia kurus dan tinggi, sosoknya terlihat sangat cantik di pagi hari. Pemandangan ini adalah hal yang selalu dinanti Leo setiap hari.

"Hei, San!"

Tatapan lembut Leo mendarat ke wajah Sandra. Dia secara alami memberikan sarapan kepada gadis itu yang juga secara alami menangkapnya dan memasukkannya ke mulutnya.

"Pelan – pelan."

Leo sambil tertawa geli.

.........

Next chapter