1 Vol 1 - Bab 1 Adegan Klise

"MINGGIR DARI JALANKU!"

Teriak seorang perempuan yang mengendarai motor scoopy orange dan memakai helm putih, ia memberikan usaha terbaiknya untuk melewati kemacetan luar biasa di jam pulang kantor itu dengan tekad yang kuat.

"Hei! Kembali! Kau bukan satu-satunya yang sedang buru-buru!" teriak seorang pengendara truk di belakangnya.

Lia menyeringai lebar.

'PERSETAN! Aku nggak butuh peringatanmu! Bosku bakal memecatku kalau telat!'

Dengan berpikir demikian, perempuan itu masih mendorong scoopy-nya melalui celah sempit di antara banyak mobil. Sekarang, para pengemudi lain mulai berteriak padanya juga. Beberapa dari mereka bahkan menyumpahinya dengan kata-kata tidak layak dan pantas. Lia melirik sebuah kesempatan untuk kabur dari neraka itu melalui sudut matanya.

"Kalian tak bisa menjatuhkanku dengan menyumpahiku! Aku tidak mudah untuk dihancurkan!"

Ia membelokkan scoopy-nya ke kiri menuju sebuah gang, dan nyaris ditabrak oleh sebuah mobil dari arah berlawanan. Ia membeku.

"KAU INGIN MATI, ANAK MUDA?" teriak sang pengemudi dengan marah.

Lia mengerjapkan mata, tenggorokannya sulit menelan. "Ma-MAAFKAN SAYAAA!!!"

Setelah berteriak meminta maaf, scoopy-nya berlari dengan begitu cepat seperti sedang dikejar oleh setan.

"INI TIDAK AKAN TERJADI JIKA SI PRIA BOTAK GENDUT ITU TIDAK MELUPAKAN DOKUMEN SIALAN PENTINGNYA! AKU BENCI DIA SELAMANYA!" ia berteriak pada udara kosong dan mengendarai scoopynya dengan penuh kemarahan. Kedua sisi ujung baju sifon merahnya berkibar-kibar keras oleh terpaan angin.

***

"Hmmm... permisi. Saya dari PT. Angin Sejati Pembangunan. Bos saya, Pak Heriawan telah meminta saya membawakan dokumennya yang ketinggalan. Di mana rapatnya diadakan? Saya tak bisa menyerahkannya pada orang asing."

"... dan nama Anda, nona?"

"Lia. Amalia Rasyid."

Ia menaruh helmnya ke lantai, menggunakan dokumen penting itu sebagai kipas instan secara tidak sadar. Salah satu resepsionis perempuan memicingkan mata padanya, tapi ia mengabaikannya. Perempuan itu sedang terpesona dengan lobi hotel tersebut. Begitu luas dan rapi. Perabotannya tampak mahal, elegan, dan sangat modern. Coklat, putih, dan emas mendominasi ruangan. Dan sepasang sofa merah menghiasi pemandangan itu. Ada patung tembus pandang futuristik dengan desain kompleks di dekat tangga. Dia bisa menghabiskan waktunya hanya untuk menikmati interior mewah ini tanpa ragu.

"Nona Lia? Nona Lia? "

Lia menoleh dan tersenyum. "Jadi?"

"Anda bisa naik ke lantai tiga. Ruang A-5 di sisi kiri ketika Anda melangkah keluar dari lift. Pak Heriawan telah menunggu Anda di sana dengan tidak sabar. Suaranya terdengar panik."

"Oh! Terima kasih!" ia tersenyum lebar dan berlari-lari kecil menuju lift.

***

Ketika telunjuk Lia hendak menekan tombol lift, sekumpulan besar orang memasuki lift dengan tergesa-gesa, itu membuat Lia terdesak ke belakang dan tak sempat memencet tombol lift.

"Pe-permisi! Tolong lantai ketiga! Ada yang bisa pencet tombolnya?"

Lia berteriak meminta tolong, namun tak satupun dari mereka yang menanggapinya. Semua sibuk berbisik satu sama lain dalam suara yang tegas dan cepat.

Dia hanya bisa menghela napas dan menunggu sampai pintu lift terbuka. Kerumunan di dalam lift sungguh padat hingga mendesak Lia maju ke depan, ke tengah, lalu ke depan lagi. Orang-orang itu berbicara dalam bahasa yang belum pernah didengarnya sebelumnya.

Setelah cukup lama menunggu, lift itu akhirnya terbuka. Dan lagi, ia terdesak oleh kerumunan orang itu hingga ikut arus keluar lift. Tubuh Lia berputar-putar ketika kerumunan itu bergegas keluar dari lift, ia jatuh terjerembab ke lantai.

"Ya, Tuhan! Orang-orang itu kenapa, sih?" omelnya, namun tak satupun dari mereka menggubrisnya.

Lia berdiri, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor dan kusut. Kerumunan itu seperti Flamingo yang tengah berdansa. Sungguh menyebalkan! pekiknya dalam hati.

Ding!

"Oh! Liftnya!" dia bergegas menghampiri lift, sayangnya pintunya lebih dahulu tertutup. "Tidak! Tidak! Ayo terbukalah!" ia berusaha membuka pintu lift dengan kedua tangannya, dan menyerah detik berikutnya.

Matanya melirik ke lift satunya, tertulis dengan sangat jelas dan tegas "SEDANG DIPERBAIKI".

"Ada apa, sih, hari ini? Kenapa aku sial sekali?" ia berkacak pinggang, kedua bahunya lemas. Dokumen penting yang dibawanya kini agak kusut gara-gara kerumunan Flamingo instant tadi. ia menjilat bibir, lalu menghela napas.

Lia memutar otak, ia harus bisa membawa dokumen itu ke lantai tiga bagaimanapun juga. Menunggu lift selanjutnya akan memakan waktu lama. Hotel mewah itu punya 25 lantai. Dan lampu lift masih saja terus naik sampai lantai 7. Dua lift di belakangnya juga masih sibuk naik ke lantai 9 ke atas.

"Benar juga! Tangga darurat! Aku, kan, di lantai lima, pastinya tidak akan makan waktu lama!" serunya pada diri sendiri, bangga dengan ide cermerlangnya itu.

Berbekal ide sederhana itu, ia pun melangkahkan kaki menjauhi lift. Dilihatnya lorong di lantai lima cukup membingungkan, semuanya nyaris terlihat sama.

Setelah berputar-putar cukup lama, ia pun memutuskan untuk kembali saja ke lift, sungguh keputusan bodoh berputar-putar tanpa tahu denah ruangan itu.

Ia berbelok ke kanan, dan tulisan "EMERGENCY EXIT" terpampang di depan matanya.

"Yang benar saja! Lia! Kamu ini bego atau apa, sih?" makinya pada diri sendiri sambil menempelkan telapak tangannya pada tulisan itu, ia berdecak kesal. "Harusnya dari tadi aku memperhatikan tulisan seperti ini. Mana ini dekat lift lagi!" Matanya melirik ke lorong, di belokan kanannya adalah awal dia tiba keluar dari lift.

"Sebentar lagi. Sabar, ya, sayang!"

Sebelah kening Lia terangkat, senyum geli terpasang di wajahnya. Ada pasangan yang baru saja keluar dari lift sambil bermesraan. Sang perempuan memakai gaun merah seksi dengan belahan paha yang cukup tinggi, dan prianya memakai toksedo hitam. Biasanya, di film-film ia melihat adegan seperti itu, adegan di mana sang lelaki dan perempuan tanpa kenal satu sama lain akan tidur bersama setelah berpesta . Pikiran joroknya kini berputar-putar di otaknya.

"Aku sudah tidak tahan. Di mana kamarmu, sih?" ucap lelaki itu.

Lia mengernyitkan kening, meskipun dari jauh, ia merasa familiar dengan suara itu. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia pun memutuskan mengendap-endap mengikuti pasangan itu.

"Kau tidak tahan lagi, ya? Sebentar lagi kita sampai."

Setelah didengarnya baik-baik, suara perempuan itu juga familiar di telinganya, tapi siapa?

Lia berjalan pelan agar suara langkahnya tidak terdengar, walau lantai di lorong itu sudah tertutupi karpet. Lelaki itu tampak berkata sesuatu, namun Lia kesulitan mendengarnya ketika berbelok ke kiri. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, kedua tangannya dingin dan gemetar tanpa alasan.

"Kenapa aku malah seperti orang yang membuntuti pasangannya yang sedang selingkuh? Pfft!" Lia berdiri dan tertawa geli sendiri. "Ah! Dokumennya!" ia memukulkan tepi dokumen itu ke jidatnya.

"Tsk! Kenapa aku sampai harus repot-repot begini? Bos botak itu pasti marah-marah sekarang," Lia pun memutar langkah membelakangi arah pasangan itu.

"Jena! Aku sudah tak tahan! Mana kamarmu!" teriak lelaki itu, kali ini dengan jelas, tegas, keras, dan disertai erangan seperti orang setengah sadar.

Lia tertegun. Sekujur tubuhnya seolah-olah disiram oleh air dingin. Hatinya mencelos. Tenggorokannya serasa tersumpal sesuatu. Kepala berbalik pelan. Dalam hati ia berdoa agar apa yang ia duga saat ini adalah salah, sangat salah.

avataravatar
Next chapter