webnovel

BAB 21: "Mereka ciuman?"

Sebuah kotak besar berisi satu lusin donat yang selalu dia beli ketika pergi ke kota sudah berada di genggaman tangan kanan Naraya. Dia sudah tidak sabar ingin memasukkan donat penuh krim ke dalam mulutnya itu. Sudah berapa lama ya dia tidak membeli donat ini? Apa seharusnya dia beli dua kotak saja agar lebih puas? Apa Sakha akan menyukai donat ini juga sama seperti Naraya?

Tadinya dia ingin membeli makanan kesukaan Sakha. Tapi dia tidak tahu apa kesukaan pria itu, dan juga tiap ditanya ingin makan apa Sakha pasti akan menjawab ujung-ujungnya mengandung unsur 'terserah' yang mana semakin membuat Naraya emosi sendiri.

Naraya sudah berdiri di depan pagar rumahnya, ekspresi senangnya langsung berganti menjadi bingung kini menghiasi wajahnya.

"Kok gelap semua? Sakha masa nggak bisa hidupin lampu?" Tanyanya dengan heran sekaligus kesal.

Di antara gelapnya malam, rumah Naraya tampak seperti tidak berpenghuni karena tak diterangi oleh satu pun lampu.

"Keterlaluan banget, sih!" Naraya bersungut-sungut sambil membuka pagar rumahnya, "Masa udah malam tapi dia nggak bisa hidupin lampu?"

Perempuan itu kemudian berdecak, "Sakha!" Teriaknya dari luar karena pintu yang ia dorong ternyata terkunci.

"Sakha!"

Tangannya menggedor-gedor pintu bercat putih itu karena tak mendengar sautan apapun dari dalam, "Sakha? Sakha kamu dimana?!"

Perasaan panik perlahan-lahan menggerogoti pikiran Naraya. Pikiran-pikiran negatif juga sudah berlalu-lalang di kepalanya.

Jangan-jangan Sakha kabur karena takut sendirian? Atau traumanya kembali karena ditinggal sendiri? Atau... Atau...

Naraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Sekarang cari Sakha dulu..." Gumamnya pada diri sendiri.

***

"Mas Sakha! Ayo! Giliran mas yang jalan!"

Sakha menuruti perkataan anak berusia 10 tahun yang ada di hadapannya itu dengan pasrah.

Dia kira pak RT akan menyuruhnya apa, ternyata dia disuruh untuk mengawasi dua anak kecil di rumah pria paruh baya itu.

"Mas Sakha kalah! Coret mukanya, coret!" Nia–nama gadis kecil itu–berteriak dengan riang sambil mengayunkan spidol merah yang ada di tangannya.

Sakha mendengus, "Dari tadi mas mulu yang kalah! Kamu curang!" Balasnya tak terima.

"Iya! Dari tadi kamu nggak kalah! Kamu curang!" Riko–anak sebaya Nia–juga ikut-ikutan.

"Enak aja curang! ini tuh bakat! bukan curang!

Wajah Riko dan Sakha sudah habis dicoret oleh Nia dengan spidol merahnya pun sama-sama menahan rasa kesal mereka.

"Omong-omong ayah kalian kapan pulang, sih? Udah malam, mas mau pulang."

Nia dan Riko menggeleng tak tahu. Omong-omong Nia dan Riko ini bukanlah saudara kandung maupun jauh. Riko hanyalah anak dari teman dekat pak RT yang sudah lama tak berkunjung karena jarak rumah mereka yang sangat jauh, jadi hanya bisa berkunjung beberapa kali dalam sebulan. Biasanya juga Nia akan diawasi oleh ibunya dan tidak pernah ditinggalkan sendirian, tapi karena ingin quality time dan reunian juga teringat yang Sakha sedang sendirian–info dari Naraya, sebenarnya dia menitipkan Sakha pada pak RT–jadilah Sakha dimanfaatkan sebagai babysitter dadakan.

Hati Sakha resah, "Naraya udah pulang belum, ya?"

"Ciee... Kangen mbak Nara, ya?"

Sakha menatap kesal Nia, "Nggak boleh cie-cie, Nia. Nggak baik."

Riko menoel punggung Nia, "Emangnya mbak Nara siapa?"

"Itu istrinya mas Sakha. Cantik, lho."

"Cantik?" Ulang Riko dengan mata berbinar.

"Iya, cantik." Sakha menjawab, "Kenapa? Mau ketemu mbak Naraya? Tapi kamu nggak boleh ganjen sama istri orang."

"Istri orang?" Ulang Riko polos.

"Iih! Iya kan mbak Nara istri mas Sakha. Mas Sakha kan orang!"

Sakha tertawa mendengar itu. Anak-anak memang selalu ada-ada saja.

Suara deru mobil membuat ketiga orang itu menoleh bersamaan ke depan pintu. Anak-anak itu langsung berlari saat mendengar suara salam dari orang yang mereka kenal.

"Makasih ya nak Sakha udah jaga anak-anak." Bu Yuni tersenyum lembut, "Tapi kok mukanya coret-coret?"

"Mas Sakha sama Riko kalah, Bu! Harus dapat hukuman!" Nia yang menjawab pertanyaan Bu Yuni.

Sakha hanya diam saja, sementara Riko yang tak terima mendengar itu pun mengambil alih spidol yang masih Nia pegang dan mencoret wajah anak perempuan itu. Mereka kemudian bertengkar, membuat suasana rumah menjadi heboh.

"Eh, nak Sakha. Nggak apa-apa kamu pulang aja. Kasihan Naraya dia pasti sudah pulang." Kata pak RT yang sudah pasrah pada anak-anak itu.

Sakha yang memang sudah tak ingin tinggal lebih lama pun mengangguk, "Kalau begitu saya permisi ya, pak." Pamitan Sakha tak terdengar lagi karena pertengkaran anak-anak itu semakin besar.

Tak ingin ikut campur, Sakha pun meninggalkan rumah pak RT dan berjalan dengan santai. Kepalanya pun sibuk memikirkan apa yang akan Naraya bawakan untuknya sepulang dari kota.

Sakha berhenti berjalan saat melihat sesuatu yang menyeramkan di depan mata, "A-apaan tu?!" Tanpa sadar pria itu berjalan mundur melihat sosok menyeramkan itu semakin mendekat ke arahnya.

"M-mundur!" Sakha berteriak.

"Sakha?"

"Eh?" Sakha berhenti berjalan mundur saat mendengar suara familiar itu. "Naraya?"

"Sakha kamu kemana aja?!"

Sakha terdiam saat mendengar suara Naraya yang bergetar. Apa dia berkeliling mencarinya?

"Aku cari kamu kemana-mana! Aku kirain kamu bakalan ketakutan di gang kayak waktu itu!"

Perempuan itu berjalan dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan karena kesal.

Sakha melihat itupun menunggu Naraya yang masih terus mengomel untuk berjalan semakin dekat ke arahnya.

"Kamu--!" Ucapan Naraya terpotong saat Sakha menggenggam tangannya dengan lembut.

"Aku ke rumah pak RT. Kan kamu yang nitip aku di sana."

"Tapi bukan suruh kamu pergi nggak ada kabar kayak gini!"

"Maaf ya aku pergi nggak bilang-bilang."

Suara Sakha terdengar begitu lembut di telinga Naraya, sama seperti genggaman tangannya yang juga hangat. Perasaan kalut pun perlahan hilang bersamaan datangnya dengan desiran halus di dada.

Sakha tersenyum lembut, "Kamu panik, ya? Maaf ya, Naraya." Dia mengelap keringat yang sudah bercampur dengan air mata yang ada di wajah perempuan itu dengan perlahan.

Dia pun menurunkan tangannya dan kembali menggenggam kedua tangan Naraya. Mata Sakha kemudian menatap Naraya yang kini terpaku menatapnya.

Suara decapan-decapan membuat Naraya pertama kali memutuskan kontak mata mereka. Perempuan itu dengan cepat menarik Sakha untuk bersembunyi ke dinding gang yang sepi. Tanpa sadar dia menyembunyikan Sakha di belakangnya.

"Kenapa? Kok tiba-tiba--" Naraya langsung menutup mulut Sakha dengan cepat.

"Ssst! Diam! Coba kamu dengar, deh. Ada suara aneh nggak sih?" Naraya berbisik waspada.

Sakha menurunkan tangan Naraya yang ada di mulutnya, "Suara?" Dia pun ikut-ikutan berbisik.

"Iya!"

Suara decapan-decapan itu semakin jelas terdengar, membuat Naraya baik Sakha menyembunyikan tubuh mereka di dinding dengan kepala yang menyembul keluar.

Ternyata oh ternyata, ada sepasang kekasih yang sedang bercumbu dengan begitu mesranya tepat beberapa meter dari jarak Naraya dan Sakha sekarang.

Sakha dan Naraya sama-sama terdiam dengan detak jantung yang bertalu-talu. Mereka membeku sambil terus menatap adegan panas itu. Sakha sendiri tanpa sadar meremas tangan Naraya.

"Mereka... Ciuman?"