webnovel

Part 23 - KARENA AKU CINTA KAMU

***

"Mas boleh minta sesuatu lagi dari kamu??"

Anin hanya mengangguk mantap sambil tersenyum memandangi Yusuf dengan lekat.

"Kamu siap kalau Mas cerita tentang masalalu Mas??"

Yusuf mengatakannya dengan hati-hati, meminta persetujuan dari istrinya itu. Kali ini, dia ingin terbuka dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dia ingin membiarkan Anin untuk menolongnya sebelum dia benar-benar tenggelam bersama masalalu yang belum bisa keluar juga.

Awalnya, Anin terperangah dengan apa yang baru saja di dengarnya tadi. Tapi, sebisa mungkin dia mengembalikan dirinya pada mode normal. Sudah lama dia menunggu saat ini. Saat Yusuf dengan rela hati membiarkan Anin untuk melihat secuil saja dari apa yang ada di dalam hati seorang suaminya itu. Sekalipun dengan itu, dia harus mempersiapkan hatinya juga untuk sakit.

Anin pun hanya bisa mengangguk pelan sebagai jawabannya di iringi senyum yang menghiasi wajahnya.

"Kamu udah tahu kan hubungan Mas sama Fahira dulunya gimana??"

Sekali lagi, Anin hanya bisa mengangguk dan menunggu kelanjutan cerita dari Yusuf.

"Kamu yakin mau mendengar semuanya??Mas ngga ingin nyakitin kamu lagi, Dek.."

Yusuf mencoba meyakinkan sekali lagi dengan keputusan dari Anin. Dia tidak ingin menyakiti hati istrinya kembali. Sudah cukup baginya dengan sikap yang dia tunjukkan untuk Anin membuat Anin harus berupaya untuk menerimanya kembali.

"Yakinlah Mas.. Rasa sakit itu akan selalu berjalan seiring dengan rasa bahagia yang akan kita raih. Ngga ada rasa bahagia tanpa pengorbanan. Hanya saja, ketidaksiapan kita untuk mengatasi rasa sakit itulah yang menyebabkan rasanya malah benar-benar terasa, Mas. Dan asal Mas tau, aku udah menerima konsekuensi itu sejak aku memutuskan untuk menikah denganmu. Aku akan selalu menerima apapun rasa yang kamu berikan, selama kamu berada di sampingku. Jadi tolong Mas. Berhentilah berusaha untuk menghindari rasa sakit itu. Kita hadapi bersama.."

Jawab Anin dengan tenang mencoba meyakinkan suaminya itu, termasuk meyakinkan dirinya sendiri. Sedangkan Yusuf, dia tersenyum tidak tahu lagi dengan jalan pikiran dari Anin. Terbuat dari apa hati istrinya itu sampai dia mau menerima semuanya.

"Cepet di ceritain Mas. Keburu kehilangan momentnya nanti.. Tell me what your feeling.."

Yusuf segera meraih kedua tangan Anin untuk dia genggam dengan sedikit meremasnya, mencari kekuatan yang dia butuhkan sekarang.

"Kami awalannya bukanlah seseorang yang saling mencintai satu sama lain. Kami bertunangan karena sebuah perjodohan di antara keluarga kami. Mas hanya menerima saja, karena memang Mas belum memiliki ikatan dengan siapapun, jadi Mas tidak mempermasalahkan perjodohan tersebut. Disitu, Mas mencoba membuka hati. Karena bagaimanapun nantinya, dialah orang yang memiliki kemungkinan besar untuk menjadi istri Mas, tidak menutup kemungkinan memang itulah takdir untuk Mas. Dan memang pada akhirnya, Mas jatuh hati dengan dia. Mempercayakan hati Mas untuknya.."

Yusuf memberikan jeda sambil menatap mata Anin mencari celah untuknya menghentikan ceritanya, jika dia menemukan Anin tidak ingin mendengarnya lagi. Namun, hanya mata teduh yang dia temukan yang membuat Yusuf sedikit lega. Setidaknya, dia tidak ingin menyakiti Anin kembali dengan cerita masalalunya itu.

"5 tahun, kita tunangan. Serasa semua berlalu dengan cepat dan semakin membuat Mas mencintainya... Tapi di waktu itulah, dia membalikkan semuanya. Dia memutuskan semua hubungan yang ada dan lebih memilih untuk menikah dengan laki-laki lain..."

Suara Yusuf serasa tercekat di tenggorokannya. Anin mengetahui betapa sakit suaminya saat itu, hingga dia sendiri mengabaikan rasa sakit yang juga dia rasakan.

"Semuanya terasa mendadak untukku. Rasa cinta itu mungkin datang begitu cepat, tapi begitu sulit untuk berhenti saat itu juga.."

Anin hanya bisa memeluk suaminya. Memberikan ketenangan yang saat ini di butuhkan oleh suaminya itu. Tidak ada kata yang bisa Anin katakan, karena saat ini dia juga sedang menghandel hatinya sendiri.

"Maafkan aku, Dek.."

Anin hanya mengangguk saja sambil menangkup kedua pipi suaminya dengan perasaan sayang. Jika memang seperti ini keadaannya, dia memilih untuk menunggu sampai dia bisa memenangkan hati suaminya. Entah sampai kapankah itu.

Kalau kamu sampai sekarang saja tidak bisa menghentikan cintamu untuk dirinya, bagaimana denganku Mas??

Kamu dengan mudahnya mempercayakan hatimu untuknya, tapi mengapa hatimu berbeda untukku Mas??

Cintaku yang dengan cepat menjatuhkan pilihannya kepadamu, Mas..

Tanpa menghiraukan bagaimana rasanya nanti saat aku harus menerima konsekuensinya..

Tapi tanpamu juga, aku tidak bisa menghadapinya Mas..

"Tolonglah, Mas.. Jangan coba untuk meninggalkanku lagi.."

Ucap Anin dengan nada memohon. Dia tidak tahu lagi, harus bagaimana menghadapi ini semuanya.

Biarkanlah Mas Yusuf bahagia, Ya Allah..

jangan biarkan aku menyerah dengan cintaku untuk suamiku ini..

Sekali lagi, tolong kuatkan hati ini hanya untuknya..

Batin Anin sekali lagi. Karena memang dirinya tidak bisa menghandel yang dia rasakan saat ini. Terlebih ketika suaminya masih dengan nyata mengungkapkan rasa cintanya untuk wanita seberang yang telah di miliki oleh yang lainnya juga.

Yusuf sendiri hanya bisa mengecup telapak tangan istrinya tersebut yang menangkup pipinya sekarang. Memberikan rasa sayang yang sebisa mungkin dia usahakan untuk Anin dan juga untuk anak mereka saat ini. Dia bisa saja kehilangan semua yang di milikinya sekarang, tapi tidak untuk Anin dan anak mereka. Dia rela mengorbankan apapun untuk mereka berdua asalkan dia bisa terus bersama istri dan juga anak mereka. T.T.

***

Anin menyadari bahwa semua yang terjadi sekarang adalah konsekuensi yang harus dia jalani ketika dia memilih untuk berada di samping Yusuf. Cinta memang membutakan hati seseorang dan Anin harus mengamini perihal itu. Bahkan rasa sakit yang menyelimuti hatinya sekarang, dia abaikan begitu saja asalkan Yusuf tetap bersamanya. Anin tidak ingin terlalu serakah dengan keadaan yang sebenarnya begitu dia inginkan. Keadaan dimana pada akhirnya, Yusuf dapat mencintainya dengan tulus. Bukan hanya sekedar butuh ataupun merasa nyaman. Tapi karena hanya Anin-lah yang menjadi satu-satunya yang ada di dalam hati seorang Yusuf. Tapi disaat Anin memikirkan itu semua, dia merasa terlalu egois saat itu juga.

Sedangkan Yusuf..

Dia tengah mengupayakan hatinya hanya untuk Anin. Sebisa mungkin dia ingin melepas semua yang ada di hidupnya dulu. Meninggalkan hal yang terlebih dahulu meninggalkannya. Dia tidak ingn semuanya hancur karena rasa egoisnya yang masih menyimpan luka itu. Namun pada kenyataannya, begitu sulit untuknya. Terlebih setelah dia benar-benar harus membuka mata dan hatinya, menerima fakta yang telah lama dia hiraukan bahwa Anin sudah mencintainya begitu sangat, membuat dia tidak ingin meneruskan semua. Tapi dia juga tidak bisa mundur dan menghentikan semuanya. Ada seorang anak yang akan mengisi hubungan mereka menjadi sempurna. Dia harus bertanggungjawab dengan keputusannya memilih Anin sebagai pendamping hidupnya. Tidak ada paksaan. Tidak ada perjodohan. Semua terjadi karena pilihannya. Pilihannya yang telah memilih Anin.

"Udah siap, Mas??"

Ucap Anin sambil membuka pintu kamar dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Menghampiri Yusuf yang tengah menyimpulkan dasinya sendiri.

"Ngga usah sok-sokan nyimpulin dasi sendiri deh.."

Lanjut Anin dengan senyumnya yang sekarang mengambil alih apa yang di lakukan Yusuf sebelumnya. Yusuf juga akhirnya tersenyum sambil mengusap wajah Anin yang terlihat pucat. Anin masih merasakan morning sick-nya dan membuat Yusuf semakin merasa bersalah dengan apa yang di lakukan akhir-akhir ini. Dan akhirnya Yusuf melihat bagaimana perjuangan Anin saat itu. Bahkan Anin saja tidak pernah menceritakan hal itu lewat chat saat Yusuf pergi tanpa kejelasan. Menceritakan apa yang di alaminya saat dia pergi.

"Maafkan aku, Dek.."

Anin yang mendengar kata itu langsung menggelengkan kepalanya sambil mengusap rambut Yusuf yang rapi tanpa gel rambut seperti yang biasa suaminya kenakan. Memang hanya kata 'Maaf' lah yang bisa terucap, karena Yusuf pun tidak bisa menjanjikan dirinya untuk tidak menyakiti Anin di masa depan nanti. Dia hanya bisa mengusahakannya tanpa embel-embel untuk menjanjikannya.

"Cukup kemarin-kemarin Mas, kamu ninggalin aku.. Dan berjanjilah tidak ada kata 'Maaf' yang terucap dari bibir kamu, Mas.."

"Terimakasih karena kamu telah sabar menungguku selama ini..Nunggu suami ngga jelas kaya Mas.."

Yusuf memeluk Anin dengan erat. Berkali-kali dia merasa bahwa dirinya adalah laki-laki yang paling beruntung saat ini. Sudah berapa kali dia menyakiti Anin, disaat itu juga Anin memaafkannya dan menerimanya dengan segenap hatinya tanpa Anin mengungkitnya kembali. Serasa Anin menenggelamkan semua rasa sakit itu dan menggantinya dengan bahagia yang berkali-kali lipat rasanya.

"Mas Yusuf itu suami sempurnaku.. Ngga ada yang bisa gantiin.."

Ucap Anin masih memeluk erat suaminya itu.

"Karena ngga ada seseorang yang akan aku tunggu lagi, Mas. Karena bagiku, memang cuma kamu yang pantas aku tunggu.."

Timpal Anin sesaat sebelum Yusuf mengecup keningnya dengan khitmad.

"Kenapa kamu bisa sesabar ini menghadapiku?? Kenapa kamu yakin sama Mas??Hmm??"

"Karena aku tahu, jika cinta akan datang karena terbiasa.. Karena Mas terbiasa sama cinta dariku.."

Ucap Anin dengan senyumnya.

"Sekarang kita sarapan dulu yuk.. Nanti Mas ngga cepet-cepet berangkat kerja lagi.."

Lanjut Anin untuk meredakan suasana serius yang terbangun di pagi harinya mereka. Sedangkan Yusuf hanya menganggukan kepalanya dan kemudian mengusap puncak kepala Anin yang tidak tertutupi jilbabnya sekarang seperti kebiasaan Anin saat di rumah. Anin masih sempat melakukan semuanya seperti biasa di tengah kondisinya sekarang yang mengharuskannya memperbanyak jam istirahatnya. Yusuf pun mengikuti langkah Anin dari belakang. Menatap dengan was-was keadaan Anin yang bisa limbung sewaktu-waktu jika kondisinya seperti ini terus.

Izinkan Mas untuk membahagiakan kalian sampai akhir hidup Mas..

Izinkan Mas untuk tidak menyia-nyiakan airmata perjuanganmu untuk Mas..

***

"Mas, aku ke rumah Bunda ya??"

Anin sekarang bersiap-siap untuk ke rumah Bundanya. Sudah lama juga dia tidak berkunjung ke rumah orangtuanya. Tapi sebelum itu, seperti biasa dia akan meminta izin dari suaminya, karena memang sudah menjadi keharusannya untuk melakukan hal itu.

"Ati-ati loh.. Mas khawatir kamu masih sering mual-mual kaya gitu.."

Ucap Yusuf dari seberang sana, karena Yusuf masih duduk manis di kursi kebesarannya sambil mengecek berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja kerjanya selama dia pergi, Padahal sudah 4 hari dia kembali ke kantor, namun tetap saja masih banyak dokumen yang menunggu untuk di periksa olehnya.

Yusuf masih khawatir dengan kondisi Anin saat ini, dia masih sering mual-mual meskipun itu hanya terjadi setelah subuh dan itupun tidak berlangsung lama.

"Ya Allah, Mas.. Aku hamil, jadi hal itu udah biasa terjadi.. Kali ini aja Mas mikirin aku, kemarin-kemarin pas ngilang itu, Mas sempet mikirin kaya gitu juga ngga??"

Anin benar-benar merasa keki dengan rasa hawatir yang terlalu berlebihan seperti sekarang.

"Kog di ungkit lagi sih??"

Jika sudah seperti itu, bertanda bahwa Yusuf harus mengalah sebelum Anin mengomel panjang lebar terhadapnya. Yusuf tahu, saat itu Anin pasti sangat membutuhkannya. Tapi mengingat hal itu juga, membuat Yusuf merasa risih dengan apa yang telah di lakukannya terhadap istrinya. Dia tidak menyangka jika dirinya bisa sekejam itu.

"Makanya jangan apa-apa di putusin sendiri. Di pendem sendiri.."

Yusuf yang mendengar hal itu hanya bisa antara tersenyum dan malu. Tersenyum karena sekarang istrinya lagi sensi terhadapnya, sedangkan dirinya malu jika di ingatkan kejadian itu. Sekali lagi, Yusuf merasa paling bodoh saat itu juga.

"Ya udah Mas.. Aku berangkat dulu.. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.. Emang Mas udah kasih izin kamu buat pergi??"

"Aku anggep Mas Yusuf udah kasih izin aja.. Udah kerja sana, nanti aku ngga jadi berangkat lagi.."

Anin segera mematikan panggilannya. Memang benar, dirinya harus sedikit tegas terhadap suaminya itu yang terkadang bisa membuatnya sakit kepala mendadak.

***

Tanpa sepengetahuan Anin, Yusuf sudah pulang lebih cepat dari biasanya. Dia berencana memberikan kejutan kecil-kecilan untuk istrinya. Itung-itung sebagai salah satu cara untuk mengganti perbuatannya saat pergi kemarin, meskipun tidaklah seberapa jika di bandingkan dengan apa yang telah dia lakukan.

"Assalamualaikum.."

Terdengar suara Anin dari dapur. Anin merasa aneh, karena dia merasa sudah mengunci gerbang dan pintu depan sebelum ke rumah Bundanya. Tapi sekarang, semua pintu memang tertutup rapat, hanya saja tidak terkunci dan tercium bau makanan yang pastinya sangat menggugah selera.

"Waalaikumsalam.."

Jawab Yusuf yang masih membersihkan peralatan dapur yang dia gunakan tadi.

Anin hanya bisa mengerutkan keningnya sambil menatap berbagai macam makanan yang ada di meja makan. Anin tidak tahu dengan nama masakan yang di lihatnya sekarang. Namun bisa dia pastikan kalau makanan itu adalah makanan ala Jerman. Harus diingat lagi, jika Yusuf itu pernah tinggal di Jerman selama 3 tahun untuk menyelesaikan S2 Informatikanya disana. Ya jadi, tidaklah heran jika Yusuf mengetahui makanan yang ada disana.

"Mas yang masak ini semua??"

Tanya Anin saat Yusuf menghampirinya setelah selesai dengan acara cuci piringnya.

"Ya menurutmu??"

"Mas beli ya?? Aku belum pernah lihat Mas masak selama kita nikah.."

"Ngga pernah bukan berarti ngga bisa loh, Dek.. Kamu ngremehin kemampuannya Mas??"

Anin yang mendengar nada kepedean dari suaminya, hanya bisa mencebikkan bibirnya. Sedangkan Yusuf nampak sibuk membenahi tata letak piring yang ada.

"Makannya habis Maghrib sekalian aja ya, Dek?? Mas mandi dulu ya?? Gerah banget habis ngadep kompor.."

"Aku aja ya yang mandi duluan?? Kasian baby-nya kalau mandi malem-malem.."

Anin mencari-cari alasan agar dia bisa mandi dulu, karena saat ini dia sudah merasa panas setelah berkunjung di rumah Bundanya dan membantu membuat kue.

"Mandi bareng yuk?? Kan mau maghrib juga, biar lebih cepet.."

Goda Yusuf yang membuat pipi Anin langsung memerah. Bicara apa suaminya saat ini.

"BIG NO.. Mandi bareng sama ikan aja kamu, Mas.."

Ucap Anin keki sambil berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia sama sekali tidak mendengarkan ocehan suaminya yang sedikit konslet saat ini. Sedangkan Yusuf langsung melihat kolam ikan yang ada di dalam rumah mereka, hanya bisa tersenyum. Ternyata istrinya itu juteknya lagi kumat.

***

"Kamu potong rambut, Dek??"

Yusuf menatap Anin yang sedang melipat mukenanya. Sedangkan Anin mengangguk di tambah cengiran khasnya. Dia sudah siap kena marah oleh suaminya karena dia potong rambut tanpa izinnya. Tapi jujur, dia memang sudah ingin potong rambut.

"Ngga minta izin dulu sama Mas??"

Yusuf seperti detektif sekarang yang membuat Anin segera mendekatinya, bergelayut manja di lengan suaminya itu.

"Maaf Mas.. Tapi pasti kamu ngga kasih izin nanti, padahal aku udah pengen banget potong rambut dari dulu.."

Ucap Anin sambil menampilkan puppy eyes dan mengedipkan matanya lucu. Itu adalah salah satu senjata terampuh membuat Yusuf mengiyakan apa yang di inginkannya.

"Kamu itu ya.. Ngga sadar kalau kamu potong rambut kaya gini, bikin kamu jadi anak kecil.."

Anin terkikik saja mendengar ucapan dari Yusuf.

"Jadi Mas ngga marah kan sama aku??"

"Ya nggalah.. Kamu kelihatan lebih fresh aja. Tapi lain kali, kalau mau ngapa-ngapain, izin dulu ya sama Mas?? Biar lebih dapet ridlonya Allah.."

Yusuf mengusap puncak kepala Anin dengan sayang. Memang benar, penampilan Anin lebih segar dengan potongan rambut sebahu.

Sekarang mereka tengah menikmati masakan Yusuf yang sudah mulai dingin karena di tinggal mandi dan sholah maghrib. Anin-Yusuf menikmati makanan tersebut dengan memilih diam. Tapi ada yang beda dengan Anin. Biasanya dia adalah tipe orang yang begitu menikmati makanan apa saja yang ada di hadapannya, namun sekarang dia nampak ogah-ogahan untuk memakannya.

"Kamu kenapa ngga semangat gitu makannya?? Masakannya ngga enak??"

Tanya Yusuf yang sudah menyelesaikan acara makannya. Sedangkan Anin masih memerlukan beberapa suapan lagi untuk menghabiskannya. Anin menggelengkan kepalanya sebagai responnya.

"Bukan Mas.. Masakannya enak kog.."

"Trus?? Kamu masih mual??"

Sekali lagi Anin hanya menggeleng saja sambil menyuapkan makanannya kembali.

"Emang kamu lagi pengen apa??"

Yusuf hanya sebatas menebak saja. Istrinya itu perlu di pancing agar dia bisa bicara terus terang terhadapnya.

"Pengen Sate Kere, Mas.."

Jawab Anin dengan polos. Sedangkan Yusuf tersenyum mendengar jawaban Anin.

"Pengen Sate Kere??? Tapi kamu sendiri kan ngga suka jerohan, yakin mau makan itu??"

Yusuf tahu jika Anin memang tidak menyukai apapun olahan dari jerohan, tapi bisa-bisanya sekarang Anin menginginkan olahan makanan dari bahan yang tidak di sukainya.

"Mas ini ahh.. Kalau ngga mau beliin ya udah.."

Anin sekarang sewot dengan Yusuf yang menguji kesabarannya itu. Memang salah dengan keinginnannya untuk memakan makanan yang tidak disukainya.

"Gitu aja ngambek.. Ya udah habisin dulu makannya sekarang. Baru kita cari Satenya.."

Jawab Yusuf akhirnya mengalah yang seketika itu juga membuat Anin tersenyum bahagia. Dia langsung semangat menghabiskan makanannya dengan cepat. Tidak ingin jika suaminya akan berubah pikiran. Yusuf mengusap kepala Anin dengan senyumnya, tidak menyangka jika istrinya bisa sensitive seperti sekarang.

***

"Mas aja yang makan.."

Ucap Anin setelah merasakan satu gigitan dari makanan yang begitu dia inginkan tadi. Untung saja Yusuf yang sudah bersiap hanya memesan satu porsi saja, hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

"Udah di bilang apa tadi.."

"Jadi kamu ngga ikhlas buat anterin aku, Mas??"

Tanya Anin dengan sinis, tapi berbanding terbalik dengan airmatanya yang sudah berhasil menjebol bendungan di matanya.

"Kamu kog nangis sih??"

Yusuf bingung dengan sikap Anin sekarang. Dia segera mengusap airmata yang masih terus mengalir dari sumbernya.

"Habis Mas Yusuf jahat banget sih ngomongnya, serasa kesel gitu sama aku.."

Anin masih tampak sesenggukkan menahan tangisnya. Dia juga bingung dengan sikapnya sekarang. Waktu dia di tinggal Yusuf saja, dia tidak sakit hati seperti sekarang. Tapi cuma karena hal sepele seperti ini, dia bisa menangis.

"Maafin Mas ya kalau Mas salah. Mas ngga bermaksud ngomong kaya gitu tadi. Ya udah, kalau ngga mau makan, biar Mas yang makan. Tapi kamu harus berhenti ya nangisnya.."

Yusuf hanya bisa memeluk bahu istrinya agar Anin lebih tenang. Dia pun pada akhirnya memakannya, sekalipun perutnya terasa penuh. Dia juga merasa bersalah. Seharusnya dia tahu jika Anin sedang mengalami masa-masa sensitive pada masa kehamilan sekarang. Dia jadi ingat dengan nasihat dari Ibu Mertuanya, jika wanita yang sedang mengandung akan berubah menjadi makhluk yang menyebalkan dengan segala permintaan aneh-anehnya. Dan sekarang Yusuf harus bersiap menghadapinya. Bisa jadi kelakuan Anin kedepannya bisa lebih aneh-aneh lagi daripada sekarang.

***