webnovel

Part 21 - I CAN’T HANDLE IT

***

Seperti yang ingin di lakukan Yusuf kemarin, dia datang di tempat yang dia janjikan lewat SMS. Berbekal HP-nya Anin yang secara diam-diam dia bawa tanpa izin dari istrinya, Yusuf memang bertekad ingin menyelesaikan semuanya. Semua yang jujur membuatnya penasaran akan motif dari teror yang di lakukan terhadap Anin.

Sebagai seorang suami, Yusuf tahu bahwa ada orang lain yang mencintai istrinya yang mungkin dia sendiri belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Dia mengakui bahwa dirinya belum bisa mencintai Anin seperti orang tersebut lakukan. Tapi yang ada di pikirannya sekarang, dia berusaha untuk melindungi yang di milikinya sekarang. Bukankah memang sudah kewajibannya untuk melindungi Anin dan di tambah sekarang ada anak mereka yang tumbuh di perut Anin yang sudah menjadi bukti bahwa dia tidak pernah main-main dengan Anin, seperti orang-orang sekitarnya yang selalu mempertanyakan keseriusannya kepada Anin.

Jika mengingat bagaimana niat awal Yusuf menikahi Anin memang terasa bahwa Yusuf adalah seseorang yang terlalu brengsek, karena dengan mudahnya dia ingin menikahi Anin tanpa adanya rasa cinta. Tapi sekarang, inilah dia. Dia yang selalu membutuhkan Anin layaknya oksigen yang ada di setiap deru nafasnya. Seperti darah yang mengalir di setiap pembuluh darahnya. Seperti bayangan yang membahagiakan untuk Yusuf setiap kali memikirkan Anin. Seperti rasa sakit akan terhunusnya pedang di tubuhnya saat dia melihat Anin bersedih terlebih itu karenanya.

0858xxxxxxxx : Meja nomor 11 di depan jendela, Sayang.. I still waiting for you..

Yusuf membaca SMS tersebut dan entah mengapa rasa panas langsung menjalar di seluruh tubuhnya. Dia tidak bisa membiarkan hal ini lagi. Yusuf langsung saja menghampiri meja yang di maksud. Dia melihat dari belakang bagaimana pemilik punggung lebar itu sedang santai menungguinya sambil menikmati satu cangkir expressonya.

"Assalamualaikum..."

Sapa Yusuf seperti biasa saat dia bertemu dengan seseorang. Sudah menjadi kebiasaannya memang mengucapkan salam di awal.

"Waalaikumsalam.."

Orang tersebut langsung menatap Yusuf dengan ekspresi santainya. Yusuf tidak menyangka dengan yang seseorang yang ada di hadapannya sekarang. Orang itu, orang yang dia kenal saat awal pernikahannya dengan Anin. Orang yang di kenalkan Anin sebagai temannya. Tapi nyatanya, orang itulah yang telah sekian lama menjadi stalker-nya Anin. Orang yang telah mengganggu istrinya. Yeps, dia adalah Robbi dan Yusuf tidak bisa berbicara apapun sekarang. Dia hanya membayangkan bagaimana jadinya jika Anin lah yang mengetahui semua ini.

Yusuf langsung duduk berhadapan dengan ekspresi tidak bisa di tebak oleh siapapun, termasuk Robbi yang ada di hadapannya sekarang. Sebisa mungkin Yusuf menenggelamkan seluruh emosi yang telah berkumpul menjadi satu dan siap untuk di luapkan sewaktu-waktu.

"Sesuai dugaan.."

Ucap Robbi sebagai pembuka.

"Kita ngga perlu kan pake bahasa formal?? Dan gue juga udah pesenin Lo minuman yang sama kaya gue.."

Lanjut Robbi masih dengan senyumnya.

Yusuf belum mengeluarkan sepatah kata. Apapun itu. Andai ini adalah orang lain. Mudah baginya untuk melakukan suatu hal yang memang harus dia lakukan, tapi ini adalah teman istrinya sendiri.

"Lo pasti udah tau semuanya sampai kita berada di meja yang sama sekarang. Gue cinta sama Anin. Bahkan gue ngga peduli dengan statusnya sekarang yang udah berubah menjadi seorang istri dari YUSUF DHYAKSA. Gue ngga pernah peduli akan hal itu. Sebisa mungkin gue akan nungguin dia.."

"Sebisa mungkin Lo akan nungguin Anin??"

Yusuf tertawa sumbang mendengar kata-kata itu.

"Sampai kapan Lo bisa nungguin Anin tanpa dia tau siapa yang telah menunggunya dengan setia seperti Lo??"

Lanjut Yusuf yang sudah berubah ke mode serius.

"Gue tau. Gue tau dengan pasti kalau Lo bisa memberikan cintanya ke dia. Melebihi apapun. Tapi sekarang dia udah jadi istri gue dan sebentar lagi dia akan menjadi ibu dari anak gue. Itu semua udah bisa menjadi bukti bahwa penantian Lo itu hanya sebatas jalan lurus tanpa ujung.."

Giliran Robbi yang tertawa sekarang. Dia sudah tahu dengan konsekuensinya, bila dia masih bertahan untuk mencintai Anin yang jelas-jelas sudah menempatkan Yusuf di tempat teratas di hatinya itu. Tapi cinta benar-benar telah membutakannya sampai dia membuang semua kenyataan yang ada sekarang.

"So, gue hanya akan mempertegas maksud kedatangan gue disini. Gue disini cuma kasih sedikit peringatan ke Lo.. Jangan pernah ganggu kehidupan Anin lagi.. sedikit aja Anin terluka dan itu semua karena Lo, jangan harap gue bisa berlaku sama seperti hari ini..."

Yusuf sudah berdiri dari tempat duduknya yang memang sedari tadi ingin di lakukannya.

"Ahh, gue juga ngga bakal ngomong ke Anin tentang permasalahan ini. Gue masih berbaik hati biarin Lo masih di anggap menjadi teman baiknya.."

Yusuf melanjutkan kata-kata tersebut dengan senyum puas yang terpampang jelas di wajahnya. Namun sayangnya, orang yang ada di hadapannya juga tidak kalah puas dengan apa yang terjadi dan jujur hal itulah yang membuat Yusuf semakin kesal.

"Tapi untuk sekarang Lo juga belum tau kan, gimana perasaan Anin ke Lo?? atau lebih tepatnya Lo belum sadar dari sejak kapan Anin mencintai seorang Yusuf??"

Robbi dengan gampangnya dapat menghentikan langkah kaki Yusuf yang baru beberapa langkah akan meninggalkannya. Dia tahu dengan jelas bagaimana ekspresi dari laki-laki yang begitu di cintai oleh wanita pujaannya itu. Dan saat itu juga Yusuf mengetahui kenyataan yang ada. Kenyataan yang baru saja dia dengar. Kenyataan yang benar adanya mampu membuatnya menyesali apa yang telah dia lakukan selama ini.

***

TINGG TOONGGG..

Anin yang memang ada di dapur segera membuka pintu setelah mengenakan jilbab yang tersampir di kursi pantry. Dengan senyumnya dia berharap bahwa Yusuf lah yang sedang menunggunya untuk membuka pintu, karena memang sudah waktunya pulang kerja. Tapi yang di lihatnya sekarang bukanlah orang yang ada di bayangannya tadi. Hendilah yang datang dengan senyum mungkin sedikit di paksakan.

"Assalamualaikum, Anin.."

"Waalaikumsalam, Mas Hendi.. Ada apa ya??"

Anin masih bersikap sewajarnya, namun dia juga penasaran dengan apa yang membuat Hendi ada di depan rumahnya dan jelas dia pastinya juga tahu bahwa Yusuf tidak ada di rumah jika memang kedatangannya untuk bertemu dengan Yusuf seperti biasa.

"Ini, katanya HP kamu tadi ada di tas kerjanya.."

Hendi menyerahkan barang yang menjadi amanahnya untuk memberikannya kepada Anin. Anin memang seharian tadi mencari HP-nya itu, namun tidak di temukannya juga.

"O iya.. Yusuf untuk beberapa hari kedepan ada di luar kota. Dia udah berangkat sejak tadi siang.."

Lanjut Hendi yang justru membuat Anin mendadak pusing. Pusing mendengar penjelasan dari Hendi yang sebenarnya sangatlah jelas. Namun mungkin otaknya belum bisa mencerna kata-kata dari Hendi dengan baik. Yusuf tidak pernah berbicara sedikitpun masalah kantor terlebih sampai ke luar kota.

"Ahh.. Kalau gitu biar aku siapin baju gantinya. Mas Yusuf berapa hari di luar kotanya??"

"Katanya Yusuf ngga perlu. Lagian ngga ada yang nganterin kesana juga.."

"Kamu ngga ikut Mas Yusuf pergi ke luar kota?? dan itu untuk proyek yang mana??"

"Ngga.. Yusuf nugasin aku buat handel urusan yang di Solo. Proyek yang di Malang. Lo tau kan, itu proyek barunya kita?? Ada beberapa hal yang memang harus di tangani sama Yusuf sendiri. Jadi dia mau ngga mau harus kesana juga.."

Hendi juga sebenarnya tidak tahu secara pasti mengapa Yusuf tiba-tiba mengunjungi proyek yang ada di Malang. Dia juga tidak berbohong akan beberapa hal yang harus di tangani oleh Yusuf sendiri mengenai proyek baru tersebut, tapi biasanya Yusuf akan mengikutkan Hendi untuk membantunya mengatasi persoalan yang ada.

"Ohhh.."

Hanya itu yang biasa keluar dari mulut Anin sebagai ekspresinya. Yusuf tidak pernah membicarakan masalah ini kepada dirinya bahkan Yusuf pun juga tidak pernah cerita jika dirinya harus turun tangan langsung pada proyek baru perusahaan mereka.

"Mungkin Yusuf belum sempet hubungi kamu, karena dia masih di jalan.."

Hendi mencoba menenangkan Anin sekarang. Dia tahu dengan pasti apa yang di rasakan oleh Anin. Rasanya jika seperti ini, Hendi bisa saja langsung memberikan bogem mentah di wajah tampan milik Yusuf. Namun sayangnya, orang yang ada di bayangannya itu tidak ada di hadapannya sekarang. Bisa-bisanya sahabatnya itu belum mengabari istrinya sama sekali.

"Nanti Yusuf juga pasti bakal kasih kabar ke kamu kalau dia udah ngga sibuk lagi. Oiya, selamat ya.. Bentar lagi kalian udah ada yang ngrecokin masa-masa pacaran kalian.."

Anin hanya menganggukkan kepalanya saja sambil tersenyum. Entah mengapa, pikirannya sudah tidak fokus lagi untuk memikirkan apapun. Yang ada di pikirannya, pasti terjadi sesuatu dengan Yusuf. Tapi Anin sendiri juga belum bisa memastikan kebenarannya.

"Kalau gitu aku pulang dulu ya.. Jaga baik-baik ya calon baby-nya.. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.."

Anin kembali menutup pintu dan berjalan menuju dapur. Padahal hari ini, dia sudah memasak makanan sesuai dengan pesanan dari Yusuf tadi pagi. Yusuf ingin makan rendang, tapi justru yang memesan makanan itu sudah pergi melupakan pesanannya.

"Awas aja ya Mas kalau besok kamu pulang..."

Anin segera membereskan peralatan makan ke tempat semula. Toh, yang akan makan hanya dirinya saja. Jadi dia bisa makan di manapun tempatnya. Tapi sekarang ini, dia juga ingin makan malam bersama suaminya itu. Baru saja dia mendengar suaminya pergi ke luar kota, namun rasanya dia sudah kangen saja dengan suami bawelnya itu.

"Sabar ya, Dek.. Ayah lagi kerja.. Jangan manja-manja kalau lagi ngga ada Ayah.."

Ucap Anin mencoba menenangkan dirinya sendiri sambil mengusap perutnya yang masih terlihat datar.

***

Anindiya A. Kamil : Assalamualaikum, Mas Yusuf... Udah sampe Malang?? Mas ngga inget sama Rendang ??

Yusuf yang membacanya hanya bisa membalas salam tersebut sekedar di bibirnya tanpa ada kemauan untuk membalas chat dari istrinya tersebut.

Anindiya A. Kamil : Udah maghrib loh, Mas?? Jangan lupa sholat ya.. Habis itu jangan lupa makan juga ya.. Cari tempat makan yang lauknya Rendang ya, Mas.. Kalau masih ke pengen.. Anin ngga mau anak kita ileran gegara Rendang..

Kali ini Yusuf tertawa sambil menahan airmata sedihnya, karena Anin selalu mengingatkannya akan Rendang yang dia pesan tadi.

Anindiya A. Kamil : Sibuk banget ya, Mas?? Jangan lupa istirahat ya..

Anindiya A. Kamil : Nite, Mas.. I always missing you, especially our baby..^-^

Yusuf tidak mampu berkata apapun lagi. Dirinya merasa bodoh bersikap seperti sekarang. Lari dari kenyataan yang ada. Jujur saja, terasa sakit di hatinya saat dia mengetahui semuanya dan selama ini dia tidak pernah menyadari akan hal itu.

Yusuf Dhyaksa : Waalaikumsalam, Dek.. Nite too.. Mas rindu kalian juga..

Akhirnya, Yusuf membalas chat dari Anin. Sekalipun itu sangatlah terlambat mengingat dia membalasnya saat jam sudah menunjukkan waktu tengah malam dan pastinya Anin sudah tidur sekarang. Yusuf mengetahui dengan pasti, jika sekarang Anin pasti akan berpikir bahwa pasti sudah terjadi sesuatu terhadapnya. Tapi setidaknya dia ingin mengabari Anin jika dirinya baik-baik saja sekarang. Dia tidak ingin Anin berpikir lebih dengan apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Mungkin keadaan yang seperti ini akan lebih baik daripada Yusuf memaksakan dirinya melihat Anin selama dirinya belum bisa memikirkan apa yang harus dia lakukan ke depannya.

***

Sudah 3 hari, Yusuf serasa menghilang tanpa jejak. Menghilang dari pandangan Anin. Sekalipun Anin juga masih sering mendapatkan balasan chat dari suaminya itu, namun tetap saja rasanya ada yang kurang jika dia belum melihat Yusuf secara langsung ada di hadapannya sekarang.

Menanyakan kabar Yusuf ke Hendi, rasanya juga sama saja dia bertanya langsung ke Yusuf. Anin sudah tahu, jika Hendi akan mengikuti apapun yang di katakan Yusuf, meskipun itu berkebalikan dengan apa yang dia pikirkan. Andai dia masih bekerja, pastilah dia tahu dimana Yusuf sekarang. Setidaknya, sekalipun Yusuf mencoba menutupinya, masih ada koneksi yang masih bisa dia manfaatkan untuk mencari tahu keberadaan dari Yusuf. Dan sekarang, semua hal seperti memihak Yusuf untuk pergi dari pandangannya saat ini yang membuatnya tidak bisa berbuat apapun itu. Jika dulu dia memang sanggup untuk menahan dirinya saat harus kehilangan Yusuf dari hidupnya. Tapi tidak untuk sekarang. Dia sudah terlalu bergantung dengan kehadiran Yusuf di sampingnya bahkan saat ini, ada anak mereka yang tumbuh dalam perutnya membuat Anin berkali-kali lipat membutuhkan kehadiran seorang Yusuf.

Anindiya A. Kamil : Assalamualaikum, Mas.. Semangat pagi.. Miss you, everytime..

Hanya lewat chat yang bisa Anin gunakan sekarang untuk menghubungi Yusuf. Bukannya dia tidak mau. Anin sudah berkali-kali dia coba untuk menelpon Yusuf, tapi akhir dari panggilan tersebut hanya suara dari operator untuk meninggalkan pesan saja. Lewat chat saja sudah cukup membuatnya senang jika kebetulan chatnya di balas oleh suaminya itu. Di balas ketika chat itu sudah melewati waktu berjam-jam lamanya.

Anin hanya bisa mengusahakan agar dirinya selalu berpikiran positif akan keadaan suaminya itu. Dia tidak ingin apa yang terjadi sekarang mempengaruhi kondisinya dan berpengaruh akan kehamilannya.

Sedangkan orang yang di seberang sana, hanya bisa memandangi pemandangan kota lewat jendela sambil melihat foto orang yang begitu dia rindukan saat ini. Memandangi foto yang terakhir kali dia lakukan saat dia akan berangkat kerja 3 hari lalu. Foto yang menggambarkan betapa cantiknya Anin saat memakai kaos berwarna putih di tambah dengan rok panjang model pleated yang berwarna senada dengan atasannya. Entah mengapa, Yusuf ingin sekali melihat wajah Anin yang membuatnya mudah rindu akan apapun yang di lakukan istrinya itu. Namun dia sendiri juga belum bisa menata hatinya sedemikian rupa untuk mempersiapkan hatinya sendiri. Dia ingat jika di rumah, bukan hanya Anin saja yang menunggunya namun juga ada anak mereka dan Yusuf tidak akan lupa dengan fakta itu.

Yusuf pun juga menatap notifikasi yang masuk di HP-nya. Melihat siapa yang baru saja mengiriminya sebuah chat.

"Miss you, too.."

Just like that. Hanya berakhir seperti itu tanpa mampu Yusuf untuk membalasnya. Terlalu menyiksa untuk mereka berdua, terlebih untuk Anin. Tapi pada nyatanya, Yusuf masih ingin membuat Anin menunggu dirinya lagi. Menggantung semuanya seperti sekarang. Tanpa mengetahui dengan pasti kapan Yusuf akan mengakhiri semuanya. Mengembalikan keadaan seperti semula yang jelas-jelas mereka sudah terlalu sulit untuk kembali atau mencoba mengawalinya lagi dari titik nol untuk melanjutkan apa yang sudah mereka pilih.

***

Anin sekarang ini terlalu menginginkan eskrim di suatu pusat perbelanjaan sampai dia harus rela menyeret Arwi untuk mengantarnya. Padahal Arwi pada akhirnya juga hanya sebatas mengantarnya saja tanpa bisa menemaninya jalan atau mengantarnya pulang lagi karena kesibukan skripsinya. Tapi untung saja, eskrim yang ada di hadapannya saja mampu membuatnya melupakan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Mood swing seorang ibu hamil benar-benar membantunya untuk mengatur perasaannya agar tidak terlalu memikirkan dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Yusuf yang sebenarnya dia sendiri juga bingung dengan apa yang terjadi.

"Anin..."

Sapa Mei yang melihat Anin tampak sendirian menikmati eskrimnya.

"Mbak Mei.."

Ucap Anin setengah kaget. Karena Anin dan Mei itu 11:12, jadilah mereka tidak cipika-cipiki seperti wanita pada umumnya saat bertemu. Mei memilih untuk segera duduk berhadapan dengan Anin.

"Kamu ngapain disini?? sendirian??"

Mei juga segera menikmati eskrimnya juga sebelum dia bertemu dengan Anin.

"Lagi pengen makan eskrim disini, Mbak.. Tadi ada Arwi, tapi dia keburu sama kuliahnya. Ya, jadinya sendirian deh.. Mbak Mei juga sendirian aja??"

"Ohh.. Orang rumah pada sibuk sama kegiatannya sendiri. Sama Arwi?? Yusuf dimana??"

DEEGGGG...

Anin sendiri juga tidak mengetahui dengan pasti dimana Yusuf sekarang. Tapi tidak mungkin kan dia mengatakan yang sebenarnya, kecuali jika dia ingin suaminya itu di mutilasi hidup-hidup oleh kakak iparnya itu.

"Mas Yusuf lagi ngurusin kerjaan di luar kota.."

Jawab Anin seperti yang di ketahuinya, karena memang tidak ada jawaban lain.

"Jadi dia masih mentingin kerjaan daripada istrinya yang lagi hamil muda kaya gini??"

Mei sedikit kaget dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ternyata adik laki-lakinya itu masih menomor satukan pekerjaannya.

"Ada urusan yang mesti dia tangani sendiri, Mbak.."

Sanggah Anin.

"Ngga usah di belain. Lagian dianya juga ngga ada disini.."

Mei pun langsung sibuk dengan HP-nya dan mengirim sebuah chat.

Meisha Dhyaksa : Lihat.. Lo dengan gampangnya ninggalin dia buat nanggung rasa cemen Lo itu..

Mei mengirim chat sekaligus foto candid dari Anin untuk Yusuf.

Yeps.. Mei mengetahui keberadaan Yusuf sekarang. Tapi dia tidak menyangka, jika melihat Anin secara langsung membuatnya seketika itu juga menjadi emosi mengetahui apa yang dilakukan adiknya itu.

Yusuf yang mendapat chat itu, tidak bisa berbuat apapun. Hal ini semakin membuatnya berada dalam keadaan yang sulit.

"Mbak kayanya sibuk banget ya??"

Anin memang tidak terlalu suka jika saat dia sedang bersama dengan seseorang, tapi seseorang itu lebih mementingkan HP-nya. Jujur itu membuatnya serasa ingin pergi sendirian saja daripada di cuekin karena HP.

"Ngga, tadi Mas Didit cuma ingetin barang apa aja yang mesti di beli.."

Ucap Mei bohong sambil memasukkan HP-nya kedalam tas.

"Kamu ngga lagi nyidam apa gitu?? Selain eskrim??"

Lanjut Mei yang membuat Anin mengerutkan keningnya mencari tahu apa yang di inginkannya sekarang.

"Ada sih, Mbak.. Tapi ngga usah ah.. Aku mau nunggu Mas Yusuf aja buat beliinnya.. Pasti rasanya beda.."

Mendengar hal itu dari adik iparnya, langsung membuat hati Mei sedikit terusik. Dia tidak menyangka jika Anin yang notabene bisa di katakan perempuan yang idealis, bisa melakukan apapun yang dia inginkan, tapi pada nyatanya sangat setia menunggu suaminya yang tidak tahu diri itu.

"Emang kalau makan sama Mbak Mei rasanya jadi gimana?? Emang itu eskrim jadi asin rasanya??"

Seketika Anin langsung tertawa mendengar celetukan dari Mei yang rada garing tersebut. Mei pun juga ikut tersenyum, setidaknya hanya hal inilah yang bisa dia lakukan.

"Kalau gitu, temenin Mbak makan ya.. Mbak udah laper. Kamu pengen makan apa??"

"Mbak kan yang ngajakin makan. Aku mah manut aja yang mau di traktir. Iya kan, Dek??"

Ucap Anin sambil berpura-pura mengajak anaknya berbicara.

"Ya udah.. Kayanya makan soto banjar enak nih.."

Anin mengangguk dengan semangat. Akhirnya dia ada teman juga yang bisa menemaninya jalan-jalan seperti sekarang. Untuk sementara waktu, dia belajar untuk menikmati waktunya sekarang. Mungkin suaminya itu sengaja memberikannya waktu untuk memanjakan diri sendiri sebelum dia kembali lagi dengan kebawelannya itu.

***

"Dek, sampai kapan Lo bakal lari-lari kaya gini??"

Mei langsung marah-marah setelah dia sampai di rumahnya dan berada dimana Yusuf berada sekarang. Yusuf selama ini ada di rumah Mei. Yusuf memang sempat di Malang. Tapi itu hanya untuk sehari saja, karena memang tidak terlalu banyak hal yang mesti di urusnya.

"Lo ngga tau kan apa yang di bicarain antara gue sama Anin??"

Lanjut Mei yang sekarang sudah di rangkul bahunya oleh Didit untuk meredam emosinya.

"Dia ngga mau apa-apa. Dia belum mau nyidam apa-apa. Dia cuma ingin, apa yang ingin dia makan itu Lo yang beliin. Bukan orang lain. Dia rela nungguin Lo. Tapi ternyata orang yang dia tunggu..."

Mei tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Mei ingat dengan betul bagaimana wajah Anin yang sedikit pucat, mungkin pengaruh morning sick yang membuatnya seperti itu. Mei akhirnya memilih untuk pergi dan menyisakan Didit dan Yusuf dalam ruangan tersebut.

Didit membiarkan Mei pergi. Itu jauh lebih baik daripada Mei terus-terusan disini untuk meluapkan emosinya.

"Mas boleh bicara sesuatu ke kamu??"

Didit dengan hati-hati memulai pembicaraan dengan Yusuf. Didit tahu dengan jelas bagaimana perangai dari adik iparnya itu. Yusuf bukanlah orang yang dengan mudahnya lari dari kenyataan seperti sekarang. Bahkan kalau boleh di bilang, keadaannya jauh lebih buruk daripada kejadian Yusuf saat di tinggal oleh Fahira.

"Mas ngga tahu apapun yang terjadi antara kamu sama Anin. Begitu juga dengan Mbak Mei.. Kami hanya tahu jika kamu punya masalah sama istri kamu.."

Didit mengambil nafas kembali sebelum dia melanjutkan kata-katanya.

"Tapi yang mesti kamu inget sekarang.. Kamu ngga bisa lari kaya gini terus. Aku yakin, kalau kamu sekarang pasti lagi mikirin Anin. Gimana keadaan Anin?? terlebih dia lagi hamil sekarang. Hamil anak kamu.. Kamu ngga kasian?? Kamu rela dia berjuang sendirian??disaat-saat seperti inilah harusnya kamu hadir buat dia"

Tidak ada tanggapan sedikitpun dari Yusuf yang membuat Didit bernafas lega. Jika seperti ini, paling tidak Yusuf membenarkan semua yang di katakannya tanpa mampu dia sanggah seperti biasa jika ada sekecilpun celah untuk menyanggah.

Sedangkan Yusuf..

Yusuf hanya bisa menghirup sebanyak-banyaknya oksigen yang mampu dia tampung yang justru membuatnya semakin sesak. Mengapa semuanya menjadi terlalu sulit untuknya sekarang. Mengapa dia seakan mempersulit Anin dan tentunya dirinya sendiri, jika ada pilihan yang dapat memudahkannya saat ini juga. Semuanya menjadi abu-abu sekarang yang membuat Yusuf belum bisa memutuskan semuanya.

***