webnovel

Part 19 - DARI SAKIT, LDR AN SAMPAI…

***

Yusuf nampak sibuk memasang foto dirinya dan Anin di dinding, hasil liburan mereka saat di Yogyakarta. Sedangkan Anin sedang bersantai sambil melihat album foto mereka. Sementara foto after-wedding mereka, sudah di pasang Arwi sebelumnya saat foto itu sampai di rumah mereka.

"Gimana Dek?? Udah bagus belum kalau di taruh fotonya di taruh disini??"

Tanya Yusuf yang mengusap peluh di keningnya.

"Bagus aja sih.. Itu kan masih ada satu lagi, emang rencananya mau di pasang dimana??"

Anin menunjuk satu foto yang sudah terbingkai dengan rapi. Tapi, Yusuf hanya mengangkat bahunya tidak tahu harus memasangnya dimana. Jika kemarin dia mengeluh, rumah mereka hanya diisi foto saat pernikahan, tapi sekarang rumah mereka sudah penuh dengan foto meski baru mengabadikan 2moment kecil dalam hidup mereka.

"Gimana kalau di atas rak sepatu deket ruang tamu??"

Anin berjalan menuju tempat yang di katakannya tadi dan akhirnya Yusuf memasang foto tersebut sesuai dengan instruksi dari Anin.

"Huuffttt, akhirnya selesai juga.."

Yusuf segera mengambil air dari kulkas dan meminumnya. Tidak lupa dia mencari camilan yang biasanya selalu ada, sekalipun hanya potongan buah yang memang selalu Anin sediakan di dalam kulkasnya.

"Assalamualaikum.."

Arwi dengan santai masuk dalam rumah. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia kembali lagi dengan rutinitas awalnya, selalu mampir kerumah Anin setiap kali ada waktu.

"Waalaikumsalam.."

Jawab Anin dan Yusuf bersamaan.

"Aiihhh, kalian berdua kayanya tambah sakit jiwa ya.. Rumah penuh sama foto kaya gini.."

Anin langsung memukul bahu adiknya itu dengan kesal membuat sang empunya hanya mampu mengusap bekasnya dan sedikit meringis.

"Emang kenapa?? Iri?? Pengen?? Makanya cepet selesain kuliahnya, kerja trus nikah kaya kita berdua.."

Kata Yusuf dengan santai sambil duduk di pantry menikmati orange juice-nya.

"Nih, gue kesini cuma ngenterin undangan 4bulanannya Mbak Franda hari ini.. Kalau gitu, Bye.. Kalian ngeselin banget, tau ngga??"

Arwi dengan perasaan jengkel menyerahkan undangan dari Riki untuk Anin dan Yusuf yang menjadi alasan dia ke rumah kakaknya tersebut. Anin hanya melongo tidak percaya. Bisa-bisanya 2 sahabatnya itu menyembunyikan berita bahagia itu dari mereka berdua, terutama menyembunyikan hal itu dari Anin.

"Ini beneran acara buat Franda??"

Anin masih tidak percaya menatap Arwi mencari kejelasan dari semua ini. Dia memang melihat akhir-akhir ini, Franda sering mengeluh tidak enak badan dan meminta untuk pulang cepat. Tapi Anin tidak pernah terpikirkan bahwa Franda sedang mengandung.

"Kalau ngga percaya, dateng aja kali Mbak. Nanti sore habis Isya.. Tapi khusus buat kalian berdua katanya kalian wajib datang setelah maghrib.."

Arwi menyampaikan amanah yang di berikan Riki. Dia bingung, mengapa sekarang dia sering menerima paket dan menyampaikan pesan. Memang dia jalur transmisi seperti Pak Pos sebagai orang ketiga saat mengirim surat atau paket ke alamat tujuan. Hello, sekarang komunikasi sudah canggih. Bahkan jaringan di Indonesia sudah berkembang sampai 4G sekalipun jika di bandingkan dengan beberapa negara sudah ketinggalan zaman. Itupun belum sepenuhnya 4G.

"Makasih ya udah mau capek-capek ngirim undangannya buat kita.."

Yusuf mencoba menengahi Kakak-beradik tersebut yang jika bertemu sudah seperti kucing dan tikus. Tidak mau mengalah satu sama lain.

"Hm.."

Hanya suara deheman dari Arwi sebagai jawabannya karena sekarang dia memilih untuk naik keatas menuju kamarnya yang ada di rumah ini. Sekalipun beberapa barangnya sudah banyak yang dia pindah ke rumah orangtuanya, namun tetap saja Arwi merasa bahwa dirinya masih memiliki hak atas salah satu kamar di rumah milik Anin-Yusuf.

***

Yusuf tengah menyisir rambutnya ditengah Anin yang masih mengenakan jilbabnya.

"Mas tambah ganteng deh pake baju hasil desainan kamu, Dek.."

Anin mencubit pipi suaminya yang sudah berdiri di hadapannya memandangi suaminya yang tetap tampan sekalipun rambutnya hanya disisir saja tanpa memakai minyak rambut seperti biasanya. Yusuf hanya menatap dengan senyum apik yang terukir di wajahnya.

"Sok kegantengan banget sih.. Ngga takut apa istrinya kena serangan jantung karena banyak yang lirik Mas??"

Yusuf terkekeh mendengar kata cemburu dari istrinya itu yang masih merapikan tatanan jilbabnya.

"Kamu kog tau banget sih ukuran baju Mas??"

Yusuf mengenakan baju rancangan istrinya. Istri kesayangannya yang serba bisa itu membuatkan baju sarimbitan pertama untuk mereka. Anin yang memang pada dasarnya adalah pecinta batik, tentu saja menggunakan kain batik sebagai dasarnya. Dia memilih menggunakan batik corak Sido Mukti karena filosofinya berupa harapan untuk mencapai kebahagian lahir dan batin. Selain itu, karena warna dan coraknya yang kalem memang menjadi pertimbangan utama Anin saat memilihnya.

"Tau lah.. tinggal kasih salah satu bajunya Mas Yusuf ke penjahitnya. Selesai kan??"

Jawab Anin dengan entengnya sambil tersenyum smirk. Dia sendiri mengenakan baju dengan motif sama seperti Yusuf dengan model Tunic panjang sampai di atas mata kaki di tambah dengan celana kain berwarna putih tulang.

"Berangkat sekarang??"

Ucap Yusuf sambil menggandeng tangan istrinya penuh dengan senyuman.

"Berangkat sekarang.. cuss.."

Timpal Anin sambil berjalan memeluk lengan suaminya.

"Mas sakit??"

Tanya Anin yang merasakan panas pada tubuh Yusuf.

"Ngga papa, Dek.. Cuma pusing dikit aja.."

Yusuf meyakinkan Anin yang terlihat khawatir. Anin hanya mengangguk saja, mungkin karena suaminya kurang istirahat saja.

Anin dan Yusuf memilih untuk naik motor retro milik Anin, karena jaraknya yang dekat dan mempermudah mereka untuk parkir. Sampai disana dia langsung disambut dengan sang pemilik acara, Franda dan Riki. Mereka datang sesuai dengan yang di katakan oleh Arwi. Mereka datang sekitar pukul 18.30.

"Assalamualaikum.."

Ucap Anin dan Yusuf.

"Waalaikumsalam.."

Jawab Riki di susul oleh Franda di belakangnya.

"Kalian itu ya, tega banget tau ngga rahasiain ini semua dari gue?? Gini-gini, dulu gue yang jadi mak comblang kalian.."

Riki dan Franda hanya bisa tertawa mendengar protes dari Anin. Sedangkan Yusuf mengusap kepala Anin penuh sayang, dia tau seberapa dekat antara istri dan kedua sahabatnya yang sudah menjadi suami-istri tersebut.

"Pengennya surprise gitu.. Lo nya juga yang ngga peka. Lihat temennya sendiri lagi morning sick, tanggepannya lempeng-lempeng aja.."

Timpal Franda yang membuat Anin hanya bisa mencebikkan bibirnya.

"Tapi kamu ngga bakalan berhenti kerja kan??"

Yusuf mengalihkan topik pembicaraan sebelum Anin kehilangan moodnya.

"Belum sih, Mas Yusuf.. Mas suami masih kasih izinnya buat kerja.."

Jawab Franda sambil melirik Riki.

"Eh, ada nak Anin sama suaminya.."

Sapa Ibunya Franda yang langsung cipika-cipiki dengan Anin dan menyalami Yusuf sesudahnya.

"Kalian kapan datengnya??"

"Baru aja Bulik.."

Jawab Anin dengan senyumnya.

"Ibu kemana, Ma??"

Tanya Riki kepada ibu mertuanya, karena Ibunya pasti akan memarahinya jika dirinya belum melihat Anin. Ibunya Riki memang sudah dekat dengan Anin. Maklumlah, antara Anin dan Riki itu sudah dekat seperti kakak-beradik.

"Ibu disini, Ki.."

Baru saja di tanyakan, ternyata sudah menyusul di samping Anin dan langsung memeluk Anin.

"Kamu ya semenjak punya suami, udah ngga pernah main kerumah Ibu.."

Anin dan Yusuf hanya saling menatap dan melempar senyum mendapat protesan dari Ibunya Riki.

"Lah mau gimana, Bu.. Anin harus ngemong bayi gedhe yang manja banget.."

"Tapi kamunya senengkan??"

Tuh kan.. Anin dan Yusuf malah bermesra-mesraan sekarang tanpa mereka sadari membuat yang ada di sekitarnya hanya bisa tersenyum bahagia.

"Kalian kapan nyusulnya?? Kan lucu banget kalau kalian itu punya anaknya bareng.."

Ibunya Riki menatap Anin-Yusuf dengan tatapan penasaran. Dia sudah menganggap Anin sebagai anaknya sendiri.

"Sedikasinya aja, Budhe.. Kita juga lagi giat usahanya.."

"Awww"

Yusuf langsung mengaduh, mengusap perutnya yang sudah terkena cubitan Anin yang pasti penyebabnya karena ucapannya tadi. Kalau di rumah pastinya Anin sudah meninggalkannya begitu saja setelah mengeluarkan kata-kata protesnya.

"Lah emang benerkan, Dek?? Kamu itu kalau di depan umum aja sok ngga mau gitu.."

Anin hanya menatap Yusuf tidak percaya dengan apa yang baru saja suaminya katakan yang membuatnya hanya bisa menghela nafas dan melempar senyum canggungnya. Sedangkan lainnya, hanya terkekeh saja.

Acara demi acara yang ada telah mereka ikuti, sekalipun hanya sekedar acara pengajian dan di tutup dengan makan bersama sebagai rasa syukur atas kehamilan Franda yang sudah mencapai 4 bulan, karena saat itulah Allah meniupkan ruh ke janin yang ada di dalam kandungan seorang Ibu.

Anin terlihat khawatir melihat saat Yusuf yang memang masih bersemangat, tapi wajahnya sudah pucat seperti sekarang.

"Kita pulang sekarang, ya?? Mas beneran sakit deh..Bentar biar Anin pamit dulu sama mereka.."

"Kita pamit bareng aja.."

Yusuf segera menggandeng tangan Anin dan Anin hanya bisa menatapnya dengan rasa khawatir. Tadi saja masih sempat menggodanya, tapi kenapa sekarang malah lemes kaya gitu.

Setelah berpamitan dengan Franda dan Riki serta kedua orangtua mereka berdua, Anin dan Yusuf segera pulang.

"Kalian mau kemana?? Acaranya kan belum selesai??"

Tanya Bundanya Anin yang berpapasan di pintu depan.

"Mas Yusuf lagi sakit, Nda?? Bunda sendirian??"

Jawab Anin yang masih menggandeng tangan suaminya.

"Ngga.. Bunda sama Arwi, Mbak. Ayah kan lagi ke Jakarta. Ya udah kalau gitu. kalian pulang duluan aja. Ati-ati ya."

Anin hanya mengangguk saja mendengar nasihat dari Bundanya.

"..Jangan lupa minum obat ya, Yusuf.."

Yusuf hanya tersenyum saja mendengar pesan dari Ibu mertuanya tersebut. Hubungan antara Yusuf dan Bundanya Anin memang sudah biasa saja. Tidak ada ketegangan, meskipun awal pertemuan mereka yang tidak terlalu memberi kesan yang baik.

"Assalamualaikum.."

Pamit Anin.

"Waalaikumsalam.."

Sekalipun Yusuf dalam keadaan sakit, dia tidak akan membiarkan Anin memboncengnya apalagi dengan motor. Yusuf mengizinkan Anin menyetir mobil dan dirinya ada di kursi penumpang. Tapi tidak dengan motor, di tambah ini sudah malam. Yusuf masih biasa dengan sikap over-protektifnya, membuat Anin hanya menghela nafas pasrah.

***

Setelah menunaikan sholat Isya berjamaah, Yusuf memilih untuk langsung tidur. Sedangkan Anin yang perasaannya mulai cemas mengompres Yusuf dengan air hangat. Anin berpikir bahwa suaminya itu terlalu bekerja keras akhir-akhir ini hingga membuatnya harus rela begadang dan kurang tidur.

Anin dengan sabar mengompres dan menggantinya hingga membuatnya tanpa sadar tidur dengan posisi duduk sampai alarm pukul 2.30 yang biasanya membangunkannya untuk sholat tahjjud berdering. Anin segera memegang kening dari Yusuf, dia sedikit lega karena suhu tubuhnya sudah lebih baik daripada beberapa jam yang lalu yang mencapai 40 derajat celsius.

Anin sholat tahajjud sendirian, membiarkan Yusuf untuk istirahat terlebih dahulu. Dia menatap sebentar wajah suaminya yang memang terlihat lelah dengan bibir yang sudah mengering sebagai tanda bahwa dirinya memang benar-benar sakit. Setelah sholat tahajjud, Anin segera bersiap membuatkan bubur untuk sarapan Yusuf nanti.

Adzan subuh berkumandang tepat saat Anin selesai menyiapkan sarapan dan mandi pagi. Mau tidak mau, Anin harus membangunkan Yusuf yang dengan tumbennya masih terlelap dalam tidurnya. Biasanya kalau jam segini, Yusuf sudah mandi pagi dan bersiap untuk sholat subuh sambil membaca al-Quran sebagai kebiasaan rutinnya sebelum sholat subuh.

"Mas.. Mas Yusuf.."

Anin dengan hati-hati membangunkan Yusuf.

Yusuf hanya bisa menghela nafas dan memegangi kepalanya yang masih terasa nyeri.

"Subuh dulu yuk.. Habis itu Mas tiduran lagi.."

Yusuf hanya mengangguk saja dan berjalan ke kamar mandi dengan langkah pelan. Anin segera menggelar sajadah untuk mereka sholat dan menyiapkan sarung untuk di kenakan Yusuf. Yusuf masih dengan senyumnya menerima sarung yang di berikan Anin dan memakainya. Yusuf mengimami dengan khusyuk dan dia tidak akan pernah lupa dengan sholat dua rakaat sebelum sholat subuh, yaitu sholat Fajr. Dia tidak ingin menjadi salah satu hamba Allah yang rugi hanya karena sakitnya, dia dengan begitu gampangnya akan meninggalkan kewajiban maupun kebiasaannya.

"Tadi Mas ngga sholat tahajjud ya??"

Ucap Yusuf memandangi Anin yang melipat mukena.

"Iya,.. Aku ngga tega bangunin Mas tadi. Mas tau, Mas itu baru bener-bener tidur sekitar jam 12 malem.."

Yusuf hanya bisa menghela nafas. Dia memaklumi Anin yang pastinya tidak tega untuk membangunkan dirinya yang sedang sakit.

"Mas tiduran aja dulu.. Anin mau beres-beres rumah dulu.."

Yusuf hanya mengangguk saja, karena kalau boleh jujur memang saat ini dia merasa tidak bertenaga. Padahal seingat Yusuf, hari ini dia mempunyai jadwal meeting yang harus dia datangi. Mungkin dengan tidur lagi bisa sedikit meredakan rasa sakitnya sekarang.

***

"Mas, bangun Mas.. sarapan dulu habis itu minum obatnya.."

Yusuf segera bangun dan melihat Anin yang sudah membawa semangkuk bubur untuknya yang jujur membuatnya dalam sedetik itu menjadi sedikit mual. Padahal dirinya merasa bahwa rasa sakit yang dia rasakan sekarang sudah mulai mendingan.

"Mas ngga mau bubur.."

Anin hanya mengernyit bingung. Kalau Yusuf tidak mau makan, kapan suaminya itu bisa minum obatnya.

"Emang Mas mau apaan?? Hm??"

Yusuf hanya menggeleng pelan. Anin hanya bisa menatap heran melihat suaminya yang sudah melebihi anak kecil saat dia lagi sakit seperti sekarang.

"Ngga mau makan. Mas langsung minum obatnya aja deh. Mas udah biasa kog.."

Yusuf masih bersikeras tidak mau makan, karena saat ini menatap makanan saja sudah sukses membuat kepala pusing kembali.

"Ngga Mas.. Kali ini nurut sama Anin.."

Anin juga tidak mau kalah keras kepalanya dan itu membuat Yusuf memilih untuk mengalah.

"Rasanya pait, Dek.."

Ucap Yusuf yang baru makan satu suapan dari Anin.

"Harus tetep maem, Mas. Nanti Anin bawain jus jambu.. Biar seger.."

Yusuf hanya mengangguk saja, karena dia juga tidak ingin merepotkan Anin yang pasti sudah dari semalam mengurus dirinya yang sakit. Anin segera menyuapi Yusuf dengan telaten sampai bubur dalam mangkuk telah habis. Anin tersenyum senang, setidaknya Yusuf bisa di ajak kerjasama kali ini.

"Mas minum obatnya dulu.. Habis itu aku bawain jusnya.. Dan hari ini Mas Yusuf ngga usah berangkat kerja.."

"Mas ada meeting penting siang nanti.. Lagian Mas juga udah agak enakkan kog.."

Anin hanya menghela nafas pasrah. Percuma melawan sifat keras kepala dari suaminya, terlebih untuk urusan kantor. Anin segera keluar dari kamar, mengambil jus jambu untuk Yusuf dan menyiapkan air hangat untuk Yusuf mandi.

***

Anin dengan perasaan was-was, naik turun lift untuk sekedar melihat keadaan Yusuf. Apalagi dia, juga melihat Yusuf keluar dari kantor bersama Hendi dan para anggota direksi lainnya, yang pasti untuk meeting seperti yang di katakan Yusuf tadi.

Anin memanasi bubur untuk Yusuf yang sekarang sedang menunggunya di ruang keluarga memeriksa beberapa dokumen yang harus dia periksa hari ini juga dengan perasaan jengkel. Jengkel karena suaminya itu masih sibuk dengan pekerjaannya di tengah kondisinya yang tidak stabil akhir-akhir ini.

"Udahlah Mas ngerjain dokumennya.."

Kata Anin yang sudah duduk di samping Yusuf sambil mengaduk-aduk semangkuk bubur di tangannya yang masih panas.

"Dikit aja.."

Jawab Yusuf sekenanya dengan memberi senyum tipisnya untuk Anin.

"Mas baru aja sembuh loh.. Ini aja belum tentu Mas udah sembuh beneran atau ngga.."

Anin sedikit kesal melihat suaminya yang tidak mengerti perasaannya yang begitu khawatir terhadapnya. Bagaimanapun juga, Anin tetap sedih jika sesuatu terjadi terhadap Yusuf.

"Kamu ngga usah berlebihan deh.. Mas udah mendingan kog.."

Yusuf akhirnya mengalah dan meletakkan dokumen ke meja. Dia melihat Anin yang sudah menahan airmatanya turun.

"Udah dong.. Mas ngga papa.. Lagian kamu udah ngurusin Mas??"

Yusuf sekarang mengusap kepala Anin dengan lembut yang akhirnya membuat Anin terkekeh dan Anin segera memukul pelan suaminya yang tidak peka tersebut.

"Mas Yusuf sih.. Ngga tau gimana perasaanku pas Mas Yusuf lagi sakit kaya kemarin?? Ya udah sekarang Mas makan dulu ya.."

Yusuf segera mengambil alih bubur yang ada di tangan Anin. Sebenarnya dia tidak terlalu suka dengan bubur, tapi mau bagaimana lagi. Ternyata setelah dia periksa ke dokter, ternyata maag-nya kumat yang membuat Yusuf harus mengatur pola makannya dengan penuh pantangan yang ada. Salah satunya, dia harus rela makan bubur seperti ini untuk sekarang.

"Proyek di Bali minggu depan resmi selesai kan, Mas??"

Tanya Anin yang sudah bersiap untuk tidur sambil menenteng novelnya.

"Iya.. Mas juga harus kesana pas pembukaannya.."

Sadar bahwa dirinya mendapat tatapan tajam dari istrinya, membuat Yusuf kembali menutup dokumen yang sedang diperiksanya. Sedangkan Anin, tidak berhenti menatap Yusuf bahkan sampai Yusuf duduk di sampingnya sekalipun.

"Apaan sih, Dek?? Mas disana cuma 3 hari aja.."

"Bukan masalah 3 harinya, Mas.. Tapi Mas itu baru aja sembuh.. harusnya sekarang aja Mas itu ngga boleh kerja dulu.."

Yusuf hanya terkekeh mendapat protesan tersebut dari Anin. Istrinya yang akhir-akhir ini over-protektif terhadapnya.

"Berangkatnya masih minggu depan.. Kalau kamu ngga percaya, gimana kalau kamu ikut sekalian?? Biar bisa ngurusin Mas pas disana.."

"Banyak kerjaan Mas disini dan ngga bisa di tinggal.."

Jawab Anin yang nampak kecewa, karena pekerjaannya di Solo pun juga sama banyaknya seperti Yusuf.

"Kamu tenang aja.. Nanti disana, Mas sama Hendi kog. Jadi kamu masih bisa pantau apapun yang Mas lakuin disana lewat Hendi.."

Yusuf merangkul bahu istrinya mencoba menenangkannya. Dia tahu bahwa Anin sangat khawatir dengan kondisinya, tapi entah mengapa dia merasa Anin juga terlalu berlebihan dalam menanggapinya. Mendengar jawaban seperti itu dari suaminya hanya membuat Anin membalas pelukan dari Yusuf untuk mencari kenyamanan. Yusuf dengan perhatian langsung mengusap punggung istrinya agar segera tidur. Dia sangat mengenal Anin yang sangat mudah tertidur, terlebih jika ada yang mengusap punggung atau kepalanya dengan perlahan.

Tidak menunggu waktu yang lama, Anin sudah tertidur dalam dekapannya membuat Yusuf tersenyum tipis.

"Dasar tukang tidur.."

Ucap Yusuf setelah mengecup kening Anin.

***

Anin dan Yusuf sekarang berada di bandara. Seperti yang pernah mereka bicarakan minggu lalu bahwa Yusuf harus keluar kota. Tapi jadwalnya berubah total. Yusuf memang harus ke luar kota, bukan ke Bali untuk menghadiri peresmian dari proyek yang di rampungkannya, namun dia harus ke Jakarta untuk menghadiri rapat penting yang harus di hadiri semua pemegang saham Dhyaksa Group. Sebagai gantinya, Anin lah yang harus pergi ke Bali menggantikan posisi dari Yusuf sebagai perwakilan dari perusahaan, karena para petinggi lainnya juga ada pekerjaan yang lebih penting dan hanya Anin yang sekarang dapat mengosongkan jadwalnya dari segala jadwal meeting maupun pekerjaan yang ada.

"Jangan nakal ya disana. Inget kalau kamu udah punya suami yang ganteng. Ngga usah pake lirik-lirik bule yang godain kamu.."

Anin terkekeh mendengar wejangan dari Yusuf yang sebentar lagi akan berangkat.

"Bukannya mereka yang lirik aku Mas, tapi akunya yang grepe-grepein mereka.."

Anin sukses membuat Yusuf mengerucutkan bibirnya.

"Mas jaga kesehatan. Jangan lupa makan, jangan lupa istirahatnya. Jangan lupa sama Allah..."

Yusuf menunggu kelanjutan kata-kata yang di gantungkan oleh Anin.

"... Jangan lupa sama aku ya, Mas. Jangan lupa kalau Mas udah punya istri sekalipun aku ngga ada disana. Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku Mas. OKAY??"

Anin mencubit kedua pipi Yusuf dengan gemas. Yusuf pun tidak mau kalah, dia segera menangkupkan wajah istrinya, mengecup wajah istrinya. Mulai dari kening, mata, hidung, pipi dan terakhir kecupan singkat di bibir Anin seakan mereka tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat.

"Pasti Mas bakal rindu setengah mati sama kamu, Dek.."

"D'Masiv dong jadinya.. Rindu setengah mati.."

Timpal Anin membuat Yusuf langsung memeluknya. Anin tahu benar bagaimana caranya untuk menghibur dirinya. Yusuf yang masih tidak ingin berpisah dengan Anin terpaksa melepas pelukannya ketika mendengar gerutuan Hendi tepat di belakangnya.

"Woii.. Pesawatnya mau berangkat, Lo nya masih sayangnya disini..."

Yusuf segera memukul Hendi yang tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, tapi justru membuat Hendi semakin jengkel.

"Udah ya Anin.. Bentar lagi pesawat yang Lo tumpangi juga mau berangkat. Jadi udah ya. Lagian kalian masih di Indonesia. Masih deket. Jauh pun kalian masih bisa sayang-sayangan. Ini udah zaman modern, bukan zaman batu yang ngga ada komunikasi.."

Anin hanya tersenyum saja mengiyakan setiap kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut Hendi. Anin segera mencium punggung tangan Yusuf dan di akhiri dengan Yusuf mencium keningnya seperti kebiasaan yang mereka lakukan membuat Hendi seperti kambing congek. Tidak di anggap sedikitpun.

"Ati-ati Mas.. Hendi, aku nitip Mas Yusuf ya. Kalau dia macem-macem langsung aja Lo gibeng.."

Ujar Anin sedikit menghibur Hendi.

"Sipp tenang aja kalau masalah gituan.. Paling enteng sih, bakal bonyok-bonyok tuh muka gantengnya kalau sampe macem-macem.."

Timpal Hendi yang langsung mendapat tatapan protes dari Yusuf. Hendi boleh cengengesan, tapi dia tidak pernah main-main dengan apa yang di ucapkannya.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.."

Anin pun segera bersiap untuk keberangkatannya sendiri yang sebenarnya dia masih takut ketika harus naik pesawat. Tapi apa boleh buat, dia harus melakukannya juga.

***

Di Bali, Anin dengan segala kegiatan yang sudah di jadwalkan melewatinya dengan lancar. Mulai dari mengecek bagaimana keadaan lapangan setelah selesai di kerjakan sampai persiapan untuk acara peresmiannya. Kali ini untuk mengisi waktu luangnya, Anin memposting salah satu foto dari suaminya ke dalam akun instagramnya. Salah satu foto after wedding mereka yang sengaja beberapa dari fotonya, Anin masukkan ke dalam HP-nya. Dia tahu jika jam segini, suaminya itu masih mempunyai jadwal meeting.

Yang ngga ada kabarnya.. Miss you, My Hubby..

Di seberang sana, Yusuf yang baru bisa makan siang padahal jam di tangannya sudah berada di angka 5 membuka instagramnya karena tidak ada chat maupun panggilan dari istrinya. Dia tahu, jika istrinya tidak menghubunginya berarti dia masih sibuk. Ternyata dia menemukan postingan fotonya di akun milik Anin satu jam yang lalu, membaca captionnya saja sudah membuatnya tersenyum. Dia pun langsung menelpon istrinya, namun tidak diangkat. Akhirnya dia memutuskan untuk mengirim chat saja.

Yusuf Dhyaksa : Assalamualaikum, istriku yang ngangenin juga.. Lagi sibuk banget ya kayanya??

Padahal selama 2 hari mereka berpisah, sesering mungkin mereka meluangkan waktu untuk menghubungi satu sama lain. Dari sekedar chat, telepon maupun video call. Yang terpenting bagi mereka, bisa mengetahui kabar masing-masing. Apa yang sedang mereka lakukan, apa yang mereka makan dan apapun itu yang bisa mereka bahas.

Anin yang baru saja melalukan rapat kecil membaca pesan dari Yusuf. Senyumnya terbit begitu saja dari bibirnya. Dengan semangat dia membalas chat tersebut.

Anindiya A. Kamil : Waalaikumsalam, suami sok sibukku.. Kamunya juga pasti sibuk banget. Jam segini aja baru sempet nanyain kabarnya aku..

Yusuf hanya terkekeh saja mendapat balasannya seperti itu.

Yusuf Dhyaksa : Dek, kamu lagi ngapain?? Mas baru sempet makan siang jam segini.

Yusuf bisa memastikan, jika Anin bersamanya, sudah psti dia akan mendapat gerutuan dari Anin karena mendapati dirinya yang baru makan siang. Anin yang membacanya hanya bisa memendam rasa segala gerutuannya, setidaknya Yusuf masih ingat untuk makan.

Anindiya A. Kamil : Habis rapat kecil Mas sekalian mau balik ke hotel buat persiapan ke acaranya nanti malem.. masih inget sama aku??

Yusuf Dhyaksa : Kamu ngangenin banget ya.. Ngga bisa diajak romantis dikit. Kirimin foto kamu dong. Mas pengen lihat wajah kamu sekarang kaya gimana..

Anindiya A. Kamil : Emang wajahku yang dulu kaya gimana Mas??

Tapi pada kenyataannya sekarang, Anin sibuk mencari pencahayaan yang pas untuk berfoto. Setelah itu, Anin segera mengirim fotonya tersebut ke Yusuf membuat orang di seberang sana tersenyum bahagia. Istrinya masih saja tetap cantik yang sekarang mengenakan kemeja dan jilbab warna ungu yang terlihat di foto tersebut.

Yusuf Dhyaksa : Awas loh ya.. Jangan macem-macem disana..

Yusuf yang mencoba menasihati Anin, malah chatnya di kembalikan oleh Anin membuatnya hanya bisa tersenyum tipis.

Anindiya A. Kamil : Awas loh ya.. Jangan macem-macem disana..(2)

Anindiya A. Kamil :Udah ya Mas.. Aku siap-siap dulu.. Assalamualaikum..

Yusuf Dhyaksa : Waalaikumsalam.. Ati-ati, Dek..

***

"Hari ini kamu udah pulang ya??"

Ucap Yusuf di seberang sana dengan suara yang lesu. Sedangkan Anin sekarang tengah bersiap menata perlengkapannya kedalam koper untuk pulang ke Solo.

"Iya, makanya Mas yang serius ngurusin kerjaan disana biar cepet pulang.."

Anin memasang earphonenya, karena dirinya harus memakai jilbab.

"Ishh, kamu nih.."

Anin tertawa saja. Dia membayangkan bagaimana ekspresi suaminya yang pasti tengah mencebikkan bibirnya dengan kesal..

"Emang kamu ngga kangen sama Mas yang katanya ganteng ini??"

"Kan gantengnya baru katanya doang. Kalau disini mah beneran ganteng-ganteng bulenya, Mas. Hot kaya Mas Dean.."

Tambah Anin yang sengaja mengompori Yusuf. Anin merindukan kata protes dari suaminya itu saat dia memuji pria lain di hadapannya. Anin sudah cantik dengan jilbab berwarna pink dan bersiap untuk pulang.

TINGG.. TOONGGG..

"Bentar ya, Mas.. kayanya layanan kamar yang dateng buat ngenterin sarapan.."

Anin menuju kedepan untuk membuka pintu.

SURPRISE..

Yusuf sekarang sudah ada di hadapannya sekarang dengan HP yang masih menempel di telinganya, karena dia enggan untuk menutupnya. Sedangkan Anin yang terkejut hanya bisa mengucek matanya saja. Berpikir bahwa dirinya hanya berkhayal saja, jika suaminya sudah ada di hadapannya sekarang. Tapi berkali-kali dia melakukannya, berkali-kali itu juga bayangan suaminya itu terasa lebih nyata.

"Assalamualaikum, Dek.."

"Waalaikumsalam, Mas Yusuf.."

Anin sudah benar-benar merindukan suaminya sekarang. Dia membuang semua gengsi dan segera memeluk Yusuf. Ternyata LDR-an dengan suaminya itu tidak mengenakan untuknya. Tidak ada kata bawel yang selalu dia dengar dari Yusuf meminta ini-itu segala macam. Tidak ada gombalan receh yang biasa dia dengar. Tidak ada pelukan hangat saat dia tidur. Tidak ada kecupan yang selalu di berikan oleh Yusuf. Dan banyak hal yang terasa kurang baginya saat dia di Bali saat dia terpisah dengan suaminya. Yusuf merasa menang sekarang, karena tanpa dia memintanya, Anin sudah memberikan pelukan yang dia rindukan pula.

"Bener-bener kangen ya sama Mas??"

Yusuf melonggarkan pelukannya, menatap wajah istrinya dengan lekat.

"Ihh, geer.."

Jawab Anin sambil mencubit kedua pipi milik Yusuf.

"Masih gengsi aja.. Ngga sinkron sama faktanya.."

Ucap Yusuf yang masih berdiri di depan pintu sambil mematikan teleponnya dan menowel hidung istrinya itu.

"Mas ngga di bolehin masuk nih??"

Anin hanya menghela nafas saja. Percuma berdebat panjang lebar dengan suaminya jika akhirnya Yusuflah yang pasti ngga mau ngalah.

Yusuf segera berbaring di tempat tidur. Dia merasa tidak sia-sia jika dia rela mengambil jadwal penerbangan pagi untuk menyusul istrinya. Sedangkan Anin sekarang hanya bisa menatap aneh Yusuf. Aneh, karena dia saja mau pulang, tapi justru Yusuf menyusulnya kesini. Terlebih tadi malam Yusuf bilang jika dirinya baru bisa pulang lusa depan.

"Katanya masih lusa selesainya. Kog ini malah udah sampe sini aja??"

Tanya Anin yang duduk di samping Yusuf.

"Karena Mas serius kerjanya, jadi Mas udah selesain kerjanya dengan cepat.."

Anin mencebikkan bibirnya saja merasa tersindir oleh kata-kata yang pernah dia ucapkan ke suaminya. Mereka pun akhirnya berbincang ngalur-ngidul membahas apapun yang mereka lakukan selama mereka terpisah beberapa hari kemarin.

"Kamu belum sarapan kan, Dek??"

Tanya Yusuf yang merasakan cacing-cacing dalam perutnya mulai melakukan demo.

"Nanti aja, Mas sekalian di pesawat aja nanti.."

"Mas udah cancel tiket pesawatnya. Jadi kita pulangnya baru besok malem.."

"Tapi Mas.. Kerjaanku numpuk disana. Kasian Franda yang lagi hamil juga kalau kerjaannya terlalu berat.."

"Tenang aja.. Ada Hendi kog disana.."

Yusuf sudah mempercayakan urusan kantor selama dia di Bali kepada Hendi. Tidak lupa dia juga menyuruh Hendi untuk menghandle beberapa pekerjaan dari Anin membuat Yusuf mau tidak mau mendapat umpatan dari sahabatnya itu. Yusuf yang kembali mengingat bagaimana ekspresi Hendi saat itu hanya bisa terkekeh saja.

"Beneran Hendinya ngga papa??"

"Beneran. Udah deh ngga usah mikirin Hendi..."

Anin menuruti perintah Yusuf saja. Dia segera turun untuk mengambil tasnya. Namun saat dia berdiri, dia merasa sekelilingnya menjadi gelap. Yusuf yang melihat hal tersebut langsung terduduk memastikan keadaan istrinya.

"Kamu kenapa?? Sakit??"

Yusuf memegang tangan Anin dengan rasa khawatir. Anin hanya menggelengkan kepalanya saja dan melepas tangan Yusuf.

"Ngga.. Mas tau sendiri kan kalau aku belum sarapan, pasti ngrasa pusing?? Bentar Mas.. Ambil tas sama HP dulu, habis itu langsung berangkat.."

Belum sampai Anin mengambil tasnya, dia sudah tersungkur di lantai dan seketika itu juga Yusuf langsung menghampiri Anin yang sudah tidak sadarkan diri.

"Dek.."

Yusuf mengepuk pipi Anin pelan mencoba menyadarkan Anin. Namun nyatanya, wajah Anin yang tadi masih cerah seperti biasa, sekarang nampak putih pucat.

"Anin.. Bangun, Dek.."

Yusuf langsung menggendong Anin ala bridal style dan setengah berlari menuju lift. Berharap bahwa tidak terjadi sesuatu yang buruk dengan Anin.

***

Anin nampak mengerjabkan matanya samar-samar sambil melihat di sekelilingnya yang semua bertembok putih. Bisa dia pastikan, kalau saat ini dia berada di rumah sakit. Sedangkan Yusuf berada duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya.

"Kita di rumah sakit ya, Mas??"

Kalimat retoris keluar begitu saja dari Anin, karena dia masih merasakan sedikit pusing yang menjalar di kepalanya.

"Iya, kamu di rumah sakit sekarang.."

Jawab Yusuf yang tidak berhenti tersenyum membuat Anin mengernyit heran. Suaminya yang malah tampak bahagia melihat keadaan dirinya.

"Kalian itu ya sukses banget buat Mas panik kaya tadi.."

Anin semakin bingung dengan perkataan Yusuf. Kalian?? Kalian siapa?? Memang yang pingsan bukan hanya Anin saja??

"Selamet ya, Dek.. Bentar lagi kamu jadi seorang Ibu.."

Yusuf mencubit pipi Anin pelan.

"Ibu?? Aku hamil Mas??"

Yusuf mengangguk dengan mantap mengiyakan pertanyaan dari Anin. Mendadak, lidah Anin terasa kelu untuk sekedar mengucapkan rasa syukurnya. Hanya hatinya sekarang yang mampu untuk mengucapkan kata 'Alhamdulillah' sebanyak apapun yang ingin di ucapkannya membuat Anin menangis tanpa sadar.

"Usia nya baru 9minggu. Jadi mungkin kamu pingsan sebagai efek dari trimester awal kehamilan. Ditambah lagi, kamu juga terlalu banyak kerjaan.. Jadinya malah kaya gini.."

Ucap Yusuf menjelaskan kondisi Anin saat ini sambil mengusap airmata bahagia dari istrinya tersebut. Anin di bantu oleh Yusuf segera duduk dan langsung memeluk Yusuf dengan erat. Dia justru semakin terisak saat merasakan hangat pelukan dari Yusuf yang mengusap punggungnya dengan lembut.

"Udah dong nangisnya.. Nanti dedek bayinya juga ikutan nangis loh, ngrasain Bundanya yang nangis kaya sekarang.."

"Aku nangis bahagia Mas.. dia juga pasti tau kog kalau Bundanya ini lagi seneng banget sama kehadirannya.."

Yusuf menciumi bahu dari Anin yang masih memeluknya. Dia tahu bahwa Anin sudah menanti saat seperti ini yang tidak bisa di pungkiri bahwa dirinya juga menantikan hal yang sama. Yusuf juga sadar bahwa sebentar lagi dia harus berbagi perhatiannya Anin untuk anak mereka yang sekarang ada di perut Anin. Menjadi orang ketiga yang siap mendusal di tengah dirinya dan Anin.

***