webnovel

2. Baroness

"Kau bisa turun di sini, terimakasih sudah merawatku tadi." ucap perempuan itu pada Caesar.

Setelah tiga puluh menit perjalanan, telah sampailah mereka pada sebuah desa yang dibangun di pinggiran sungai.

Menjelang siang begini, tingkat keramaian desa itu berada di puncaknya. Berdagang, menempa, bekerja, desa ini hidup seperti desa-desa pada umumnya.

Caesar turun dari kudanya, segera setelah ia menapak tanah terlihat beberapa prajurit bergerak ke arahnya, memantik sedikit kekhawatiran di benak mantan kaisar Romawi itu.

"Tenang saja, aku orang yang tak suka berhutang budi," ucap gadis itu, menebak kekhawatiran Caesar.

"Walaupun aku membunuh tiga orangmu?"

Gadis itu menoleh ke Caesar, "Maaf, salahku, tapi tolong rahasiakan itu."

Prajurit-prajurit itu akhirnya sampai di hadapan atasan mereka, satu per satu dari mereka mulai menanyakan di mana rekan atasannya yang lain.

"Kami bertemu beberapa bandit tadi. Mereka berpengalaman, jadi.." ia menatap kembali hutan yang ia masuki sebelumnya.

"Ikuti jalanan itu dan ambil jasad mereka, kuburkan dengan layak, beri keluarga mereka lima koin emas sebagai bentuk kompensasi."

"Baik, nona!" balas mereka serentak kemudian pergi melaksanakan tugasnya.

Untuk sesaat, Caesar melihat kepergian mereka, ia bertanya-tanya, apa jabatan gadis itu dan siapa namanya. Semua prajurit memanggilnya nona dan menuruti semua titahnya. Sebelum itu Caesar pikir ia hanya komandan squad biasa.

"Kau perwira? Apa jabatanmu?"

"Dan siapa namamu?"

"Aku menanyakan itu sebelumnya, tapi kau tidak menjawab," timpalnya gadis itu.

"Karena kupikir agak berbahaya membocorkannya kepada orang asing," Caesar menghela napas.

"Gaius Julius Caesar, aku bukanlah seorang perwira, aku merampas pedang dan perlengkapan ini."

"Kalau kau payah dalam bertarung, aku bisa percaya, tapi kau tidak."

"Tadi itu hanya beruntung."

Caesar memalingkan wajah dan hendak beranjak pergi, namun sebelum itu si perempuan berkata; "Cornelia Alleusas, itu namaku."

Pengakuan itu bak paku yang menancap Caesar di tanah, pria itu menoleh ke Cornelia dengan mata sedikit melebar. Tak perlu heran, nama itu begitu familiar di telinganya.

"Aku tangan kanan seorang Baro-, hei! kenapa kau memandangiku seperti itu?"

Caesar meraih kembali kesadarannya, Cornelia yang berada di situ bukanlah Cornelia yang ia kenal, dan ia harus menerima itu.

Sejak dulu hingga seterusnya, mungkin ia takkan pernah punya kesempatan tuk bertemu dengan sang istri, tapi bertemu orang dengan nama serupa, sedikit menghangatkan hati tirannya.

"Tidak, tidak apa." Caesar menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan.

"Tunggu, apa katamu tadi? Kau tangan kanan seorang Baro?"

"Barones," koreksi Cornelia,

"Ya, Baron, apa ia semacam orang berkasta tinggi di sini?"

"Dia seorang bangsawan, bodoh, kau dari kerajaan mana sih?"

"Apa aku boleh bekerja untuknya?"

"Aku tau itu! Kau seorang mata-mata!" tuduhnya sambil mengacungkan pedang.

"Hentikan tuduhan tak berdasarmu," Caesar mundur selangkah.

"Kau mengenakan pelat baja yang entah dari negara mana, dan kau anggap tuduhanku tak berdasar?? Katakan! Kau dari luar benua, kan?! Apa kalian berencana menginvasi kami?"

Caesar tak habis pikir, baru sehari di dunia ini sudah di tuduh sebagai serdadu negara musuh, ia bahkan tak tahu nama pemukiman yang saat ini disinggahinya.

Dari kejauhan, datang tiga orang menggunakan kuda, dua di antara mereka berpelat baja sama dengan milik Cornelia, yang terdepan tampak hanya mengenakan pelat dada saja, walau seorang wanita ia terkesan tidak peduli pada keselamatannya sendiri.

"Cornelia!" wanita itu melambaikan tangan, baik Caesar dan Cornelia sama-sama terpancing oleh panggilan itu dan menoleh ke arahnya.

Wanita itu memiliki rambut pirang, wajah cantik nirmala yang tampak tak memiliki lemak sedikitpun, tubuh kurus dibalut kulit putih mulus, dan mata sebiru safir yang indah mengkilap.

"Barones!" Cornelia turun dari kuda, namun ia melupakan luka di paha yang mengakibatkannya jatuh ke tanah. Selagi meringis, Barones yang khawatir langsung melajukan kudanya dan turun menghampiri gadis itu.

"Kau.. Kau tak apa-apa?" wanita yang dipanggil Barones itu mengecek ke seluruh tubuhnya, ia merasa begitu bodoh karena baru menyadari terdapat perban yang melilit kepala Cornelia. Tak hanya itu, perban yang serupa juga melilit tangan dan paha.

"Siapa yang menyerangmu?!"

"Bandit, Barones.." jawabnya lirih, "Dua rekanku mati karena aku ceroboh, maafkan aku."

"Kau sudah memberi keluarga mereka kompensasi?" tanyanya lagi.

Cornelia mengangguk.

Ia kemudian menoleh ke Caesar, bibirnya bergerak seolah membisikkan pada pria itu untuk pergi. Walaupun menangkap apa yang ia katakan, Caesar justru mendekati kedua wanita itu.

"Apa kau Barones?" tanyanya.

Sang Barones mengangguk. "Ya."

"Bisakah aku bekerja untukmu?"

Pertanyaan itu sontak mengejutkan Cornelia, ia memasang wajah tak senang sambil menggertakkan gigi.

"Apa? Siapa kau?"

"Aku yang menyelamatkan nyawa Cornelia." Caesar mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

"Namaku Julius Caesar, nona."

Perempuan itu menoleh ke Cornelia, menantikan jawaban.

"Benar, Barones," bohongnya.

Setidaknya lebih baik daripada mengatakan ialah yang membunuh ketiga rekannya, Cornelia adalah ksatria berharga diri tinggi, berhutang budi pada orang lain adalah hal yang tak pernah ada di kamusnya.

"Kalau begitu terimakasih!" tanpa ragu sang Barones menjabat tangan Caesar. "Namaku Adorus Milius, panggil saja Milius!"

"Aku sedang membuka perekrutan untuk menjadi pengawal pribadiku, tiga minggu yang lalu pengawal terbaikku meninggal karena penyakit, padahal ia orang yang baik."

"Baiklah, berapa upahnya?"

"Seratus koin perak per bulan!"

"Berapa banyak roti yang bisa kubeli dengan uang sebanyak itu."

"Hah?"

Suasana menjadi hening sesaat, Caesar telah menanyakan pertanyaan yang tergolong aneh bagi Cornelia dan Milius, tapi ia tak menyadarinya.

"Kau sinting, kau bisa membeli sebuah rumah kecil dalam satu tahun dan tiga bulan dengan upah sebesar itu," ujar Cornelia.

"Tidak apa-apa Cornelia, mungkin ia tak bisa berhitung." Milius berdiri dan menepuk-nepuk pundak Caesar. "Pengawalku selalu mendapat kenaikan gaji seratus koin perak tiap tahun, tahu? Itu belum termasuk tunjangan dan uang pensiun."

Harga diri Caesar hampir roboh ketika Milius memperlakukannya seperti kaum Plebia, untung saja tak ada yang mengenalnya sebagai Diktator Roma. Padahal alasannya menanyakan itu adalah karena ia tak tahu nilai mata uang di negara ini.

Ia hanya bisa menghela napas, dan menyetujui tawaran bangsawan itu.

"Baiklah."

Milius tersenyum, "Tapi sebelum itu kau harus melewati ujian masuk sebagai pengawalku."

"Aku mengerti."

"Kalau begitu ayo pergi ke mansiun ku." Milius berjalan kembali ke kudanya.

Setelah melompat ke atas kuda itu, ia berkata; "Ujian pertamamu, tunggangi kuda ini!"

Tanpa pertanyaan dan rasa ragu Caesar mendekati Milius lalu melompat ke kudanya. Begitu ia di atas terjadi penolakan kuat dari kuda tersebut, kuda itu meringkik sambil melompat-lompat, memicu reaksi panik dari Cornelia dan dua prajurit lain yang mengkhawatirkan keselamatan majikan mereka, namun Milius mengambil inisiatif dengan memeluk pinggang Caesar erat-erat.

Hingga akhirnya Caesar menaklukkan kuda itu dengan mengelus leher dan kepalanya.

"Kudanya sudah tenang, Milius, kau bisa melepaskan tanganmu," ujar Caesar.

Namun Milius tidak lekas melepaskan pelukannya.

"Milius?"

"Kuberitahu, kudaku sangat tidak stabil, Caesar, jadi untuk berjaga-jaga jika nanti kudanya mengamuk lagi, akan lebih baik jika aku tetap seperti ini."

Milius menguatkan pelukannya, sesaat kemudian menyandarkan kepalanya di punggung Caesar.

Sementara itu, Cornelia terlihat bingung. Ia tahu betul karakter kuda tersebut, memang agak kasar ke orang asing, tapi sekali dijinakkan ia takkan mengamuk lagi. Dan lagi, Milius adalah seorang bangsawan, ia takkan berbohong tanpa tujuan tertentu.

Caesar tak memperdulikannya, ia ingin cepat-cepat mengakhiri tes ini, lantas ia bertanya pada Cornelia; "Kita ke arah mana?"

"Aku mau menunjukkannya, tapi.." gadis itu melirik lukanya di pergelangan tangan, untuk berdiri saja tidak bisa karena luka di paha.

"Astagaa.. Cornelia! Aku lupa kalau kau sedang terluka!" ucap Milius dengan nada pura-pura lupa.

"Caesar, bolehkah kau maju sedikit?" mintanya.

"Tentu."

Caesar memajukan posisi duduknya ke depan, sementara Milius ikut melakukan hal sama, hanya saja ia menempelkan hampir seluruh tubuhnya ke badan pria itu, bermaksud memberi ruang untuk Cornelia di belakang.

"Naiklah Cornelia!" Milius mengulurkan tangannya.

Dengan susah payah gadis itu bangkit, dan sambil geleng kepala meraih tangan majikannya lalu menaiki kuda tersebut.

"Salah satu dari kalian bawalah kuda Cornelia!" ucapnya pada kedua pengawalnya. Salah satu dari mereka pun membawa kuda Cornelia.

"Lurus saja ke depan."

Caesar menjalankan kuda dan memimpin rombongan, dengan instruksi Cornelia ia memilih jalan.

Desa ini cukup ramai, yang mereka lintasi saat ini adalah jalanan pasar yang penuh dengan pedagang dan pembeli. Satu dua prajurit juga berlalu lalang di sini, menjaga ketertiban kota dari ancaman yang sekiranya meresahkan.

Sejauh mata memandang, tidak ada satupun orang yang terduduk lesu di pinggir jalan sambil mengangkat tangannya ke atas, meminta kepada orang dermawan untuk membagikan rezeki mereka. Desa ini, cukup makmur. Dan Caesar kagum akan hal itu.

"Apa yang kau lihat, Caesey?" sebuah pertanyaan keluar dari bibir merah muda nona Barones, nadanya terkesan menggoda.

"Caesey?"

"Ya! Karena kau nanti akan menjadi pengawalku, aku akan memanggilmu Caesey, oke?"

Caesar sejatinya ingin geleng-geleng kepala, namun mungkin kesempatan kerjanya akan hilang karena hal itu, tak ada pilihan lain baginya selain mengurungkan niat tersebut.

"Baiklah."

"Itu baru Caesey!" ucap Milius kegirangan.

"Ke kiri," seru Cornelia. Diam-diam ia merasa jengkel, melihat majikannya langsung akrab pada orang asing yang baru dia kenal beberapa menit yang lalu.

Andai Milius tahu bahwa orang itu telah membunuh tiga serdadunya, mungkin perlakuannya akan berbeda.

"Sedikit wawancara yang berhubungan dengan pekerjaanmu nanti, Caesey. Apa menurutmu Cornelia cantik?" tanya Milius, Cornelia sontak terkejut, kemudian melihat setengah wajah Milius dengan mata dan senyuman yang jahil

"Ya, sangat cantik, Milius." nada pria itu tenang dan datar seolah tak peduli.

"Oowh.. Apa yang kau sukai darinya?"

"Rambutnya, wajahnya, bohong kalau aku bilang hatinya,"

"Bagaimana denganku?" tanyanya tiba-tiba.

Pria itu menyadari kecantikan Milius, ia tetap lebih cantik dari rata-rata wanita yang pernah ditemuinya, dari kaum Plebia sampai Patrisia. Kecantikannya tak pernah kalah dari tangan kanannya, tapi soal preferensi pribadi, ia jelas memilih Cornelia

"Kau juga cantik."

"Hei apa ini pembicaraan yang pantas?" timpal Cornelia karena risih.

"Ah!" Milius menoleh ke belakang, dengan mulut yang sedikit terbuka untuk sesaat.

"Orangnya marah, Caesey, lebih baik kita ganti pertanyaannya!" ia lalu tertawa kecil.

"Darimana asalmu, Caesey?" sesuai yang dikatakan, Milius mengganti topik pembicaraan.

"Dari suatu tempat yang cukup jauh, ada banyak kekacauan di sana, jadi aku memutuskan tuk meninggalkan tempat itu," dustanya.

"Oooh.. Kau tidak mau memberi jawaban pastinya, Caesey?"

Caesar menggeleng pelan.

"Baiklah, tidak masalah! Tapi satu pertanyaan lagi."

"Apa kau sudah pernah melakukan... Itu?"

Tanpa diberitahu pun Caesar sudah tahu maksud dari 'itu'. "Bukankah ini topik yang sangat vulgar?"

"Menurutku tidak!"

Caesar menghela napas.

"Ya, sudah pernah." secara teknis, ia tidak berbohong, ia bahkan mempunyai satu anak bersama Cornelia, dan mungkin satu lagi bersama Pharaoh dinasti Ptolemaik mesir, Kleopatra.

"Oh ya?? Dengan siapa?"

"Takkan kujawab."

Untuk kesekian kalinya, Milius tertawa riang.

"Maaf, Caesey. Tapi jujur, aku tak menduganya! Kau terlihat sangat polos..."

Dengan sedikit gairah gadis itu meraba perut Caesar secara perlahan, kemudian bergerak ke dada, lalu ke bahu, dan yang terakhir kembali ke pinggang.

Dengan pipi merah merona, Milius mendekatkan bibir menggodanya ke daun telinga sang mantan kaisar, lalj membisikkan sesuatu.

"Hei Caesar, badanmu sangat terbentuk. Pasti kau bekerja sangat keras untuk membentuk badan ini, ha?"

"Badan ini? Tentu saja! Tak ada pria yang berhak menjadi amatir dalam hal latihan fisik. Sangat memalukan bagi seorang laki-laki untuk menjadi tua tanpa sekalipun melihat keindahan dan kekuatan yang mampu ditampung tubuhnya."

Lagi-lagi Milius tertawa, tapi kali ini alasannya lebih jelas, yaitu karena melihat Caesar yang tiba-tiba sedikit bersemangat dalam menanggapi topik ini.

Sejauh ini, Caesar tidak goyah, namun itu bukan berarti Milius menyerah.

Ia kembali membisikkan kalimat-kalimat dengan nada menggoda.

"Caesar.. Karena tubuhmu sangat kuat, aku yakin kau sangat tahan lama dalam hal itu.. kan?" Milius mempererat pelukannya.

"Jadi bagaimana kalau kau ke kamarku nanti malam?"

Caesar menggeleng, "Tidak."

Milius terkejut, lawan bicaranya lebih kokoh dari yang ia perkirakan.

"Kenapa? Apa aku kurang cantik??"

Kini kedua tangan Milius bergerak ke dua arah yang berbeda, satu ke paha atas, dan satunya lagi ke dada.

"Aku juga akan ajak Cornelia.. Dia takkan menolak karena aku majikannya.. Bagaimana?"

Cornelia, saat mendengar nama itu, yang ia ingat justru Cornelia yang berada di dunianya dulu. Wanita yang amat malang, ia mati dalam usia mudanya, dan yang lebih parah lagi anak perempuannya mati dengan cara yang sama.

"Kenapa kau terdiam?"

"Tutup mulutmu."

Walaupun singkat, tapi ucapan itu mampu membungkam sekaligus mengejutkan Milius dan Cornelia.

"Apa kau bilang tadi?"

"Kau anggap dirimu seorang bangsawan, hah? Kau seperti lacur bagiku. Setiap perkataanmu, setiap gerak-gerikmu, mengingatkanku pada lacur tamak di kampung halamanku dulu. Jadi tutup mulutmu dan bersikaplah seperti seorang Patrisia."

Cacian itu menusuk jantung sang Barones, merobek-robek harga dirinya, dan menutup bibir tipisnya. Suasananya tegang, namun ia berusaha memikirkan cara untuk memecah suasana tegang itu.

"Selamat, kau lulus tes keduanya. Kau adalah satu-satunya dari seratus pendaftar yang berhasil melewati tes ini, tahu? Tapi kata-katamu sangat menyakitkan, bodoh." Milius dengan berat hati melepaskan pelukannya.

"Masih ada satu tes lagi yang harus kau ikuti."

Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah mansiun besar, seorang penjaga membukakan pintu gerbang yang panjangnya setara dengan bagian depan sebuah rumah kecil, lantas Caesar dan rombongannya pun masuk.

Dua buah air mancur dan dua buah taman dibangun simetris di kiri dan kanan jalanan batu putih yang Caesar kini lewati, jalanan ini menuntunnya pada pintu depan mansiun yang juga dijaga oleh dua orang prajurit.

Di antara dua prajurit itu berdiri dua orang; seorang pelayan yang terlihat tua dari kumis putihnya yang meruncing ke atas, dan seorang prajurit yang juga tua dengan perlengkapan lebih baik dari yang lain.

Si Pelayan membungkuk pada majikannya begitu ia turun dari kuda, "Selamat siang, nona."

"Siang Alfred!" balasnya.

Pelayan itu menggeser pandangan ke   Caesar, ia mengajukan pertanyaan singkat; "Dan..?"

"Caesar."

Caesar turun dari kudanya.

"Caesar... Nama yang bagus, nak!" prajurit tua itu menepuk-nepuk pundak Caesar.

"Kau adalah yang pertama, tahu?" dia membisikkan sesuatu di telinga pria itu.

Caesar hanya tertawa simpul, walau sejatinya tak mengerti dengan apa yang ia maksud.

"Caesar, perkenalkan, pelayan ini namanya Seraval, dan pak tua Cuirass ini adalah satu-satunya penjagaku saat ini, kalian akan menjadi partner yang baik," tutur Milius.

Caesar mengangguk simpel dan mengulurkan tangan sambil berkata; "Caesar."

Baik Seraval maupun Cuirass sama-sama membalas uluran tangan tersebut, kurang jelas jika mereka membalasnya dengan hangat ataupun tidak, wajah mereka terlihat ramah, tapi Caesar beranggapan wajah ramah mereka hanyalah formalitas belaka.

Milius melirik Caesar dan berkata, "Mandi lah, kau agak bau."