1 Harapan

Di kala itu, umat manusia mengalami kekalahan setelah perang yang begitu besar terjadi karena tantangan akan satu makhluk yang entitasnya berada jauh di atas umat manusia. Singkatnya, entitas itu ialah makhluk spesial ciptaan Tuhan yakni Malaikat.

Seseorang dengan tubuh yang compang-camping dan juga, ia sekarang hanyalah sendirian. Berdiri kukuh seakan ia menolak untuk kalah dan tetap memegang dengan kuat senjata-senjata yang saat ini juga sudah lah rusak.

Meskipun ia berdiri kukuh saat itu, dirinya juga punya rasa menyerahnya sendiri. Jauh di dalam hatinya, karena kini ialah yang tersisa di antara ribuan manusia di medan perang.

"Mengapa semua harus seperti ini? Apakah Tuhan telah meninggalkan kita dan membiarkan kita menjadi korban?" gumamnya selagi merasakan lelah dan letih di antara kaki-kakinya.

Kala itu baginya, mungkin dalam 1 menit, ataupun kurang akan menjadi akhir baginya. Karena kini, ia telah merasakan lelah yang luar biasa parahnya. Tubuh remuk, tangan berlumuran darah akibat luka yang tidak tertutup, dan hal lainnya.

Tapi, ada sisi lain yang di mana ia tak ingin menyerah. Ingin terus maju, apapun yang terjadi karena sekarang nasib umat manusia ada di tangannya seorang.

Karena yang ada di depannya saat ini adalah makhluk dengan entitas yang seharusnya tak dilawan. Pejuang terakhir itu tahu, bahwa tidak ada yang mau melawannya bahkan dengan gelar ksatria atau pahlawan perang sepertinya.

"Tidak! Bukan itu lah yang harus kupikirkan! Ini adalah akhir, yang mungkin saja adalah akhir dari pertarungan ataupun kehidupan ku." gumamnya, yang mau tak mau juga akan terdengar oleh target pertarungannya. Sehingga malaikat tersebut berpikir kecil, 'Ada apa dengan manusia yang satu ini, sungguh keras kepala dan tak mau menghadapi kenyataannya.'

Malaikat itu kemudian turun sedikit mulai sedikit dan kemudian berpijak tepat di tanah, menghadap ke manusia yang ia anggap begitu keras kepala. Kemudian, ia tampakkan senyum remeh mengejek sembari menuturkan kalimat 'pembangkit semangat', "Jangan terlalu banyak bergumam, karena di sini di bumi ini adalah tempat terakhir mu beserta seluruh entitas mu-"

Tanpa disangka, pejuang itu kemudian sudah berada di depan malaikat tersebut beserta dengan kepalan tangannya yang begitu keras juga ikut dan kemudian meninju bagian wajah bagian kanan hingga terpental jauh.

"Jika memang kemungkinan tempat ini adalah akhir bagi ku, maka aku tak segan-segan lagi sekarang untuk memukul wajah hingga bokong mu itu!

Tak disangka memang, karena seseorang yang harusnya sudah terluka banyak luar dan dalam tiba-tiba punya kekuatan besar sehingga dapat memukul makhluk dengan entitas di luar nalar dengan cepat dan besar.

Malaikat terkesan dengan kekuatan yang dilontarkan kepadanya. Ada perasaan senang, dan kemudian ia mulai berdiri kembali, mengeluarkan sayap hingga setelahnya ia sudah berada di langit. Dengan sayap panjangnya yang jika pejuang itu lihat, seperti awan yang menutupi langit-langit gelap di mana kala itu sedang dilanda hujan.

Kini mereka benar berhadapan kembali, antara manusia dan juga malaikat bersama dengan sayap besar panjangnya.

Mereka akan bertarung secara, cepat atau lambat kembali. Karena keduanya siap, atas apa yang akan terjadi selanjutnya di mana mereka berdua punya alasan mengapa harus saling bermusuhan entah itu alasannya.

Senjata demi senjata, diambil dari tempat terdekat oleh sang pejuang terakhir. Mayat yang berlumuran darah di sekitar, tak membuatnya bergeming sekali pun. Karena dulunya, ia sudah banyak melihat hal seperti ini.

Pedang besar, kapak dengan mata utamanya yang agak kecil disertai dengan gagang panjang, juga pisau genggam khusus yang selalu ia letakkan di pinggang. Kini, dirinya sudah siap melawan apa yang ada di depannya.

Jika orang bilang bahwa itu mustahil, maka memang benar apa adanya. Karena sebenarnya, pejuang tersebut memiliki kekuatan lain yang terpendam di dalam tubuhnya. Lebih dari apa yang dapat manusia duga, seperti halnya malaikat yang sekarang berada di depannya.

Kuda-kuda di antara keduanya kini sudah ditampakkan, kemudian pertarungan sengit terakhir dimulai.

….

Tidak ada hal yang begitu spesial di antara pertarungan mereka, karena keduanya agaklah imbang. Karena manusia yang menjadi satu-satunya pejuang di medan perang kali ini lebih kuat dari pertarungan sebelumnya. Dengan perkiraan, bahwa mungkin saja ia belum berani untuk mengeluarkan atau bahkan ia tak tahu bagaimana cara melewati batas yang biasanya dapat ia capai.

Kenyataan dari sebuah hukum kekuatan manusia yakni over limit, atau melewati batas kemampuan dirinya. Mungkin saja dari sini, manusia tersebut tak takut lagi akan tubuhnya yang akan hancur akibat pertarungannya.

Karena itu, ia mencoba mengimbangi apa yang sekarang ada di hadapannya.

Namun, sebetulnya meskipun ia dapat mengimbangi malaikat itu, yang hanya dapat ia imbangi hanyalah lapisan satu dari kekuatan entitas di atas manusia ciptaan Tuhan itu.

Karena sekarang, dirinya kembali tergeletak. Ia tak menduga, jika ternyata meskipun dirinya melebihi batas kekuatannya tetap percuma saja dalam melawannya. Misalnya, seperti pedang besar raksasa yang berukuran lebih besar dari rumah telah tertancap miring tepat berada di sampingnya.

Ada rasa penyesalan, meskipun ia tak mau menyesalinya..

Ia menutupi kedua matanya dengan sisa satu tangannya yang masihlah utuh, tapi tak layak secara bentuk. Kemudian, 'Sial.'

Malaikat tadi pun turun dari tempat bertarungnya yang begitu luas nan biru, tanpa bekas luka yang begitu banyak ketimbang lawan bertarungnya yang seorang manusia dengan keadaan sedang tergeletak akan luka.

Meskipun begitu, ia kemudian memuntahkan darah yang tidaklah banyak. Dirinya adalah malaikat, tapi bisa terluka. 'Apakah ini pertanda, bahwa aku tidaklah lagi seperti Malaikat?'

[Smirk]

Tak disangka yang akhirnya, malaikat tersebut membuat senyum yang begitu aneh dan penuh akan kelucuan seperti sebuah ironi.

'Jadi begini ya? Ha! Tidak kusangka.'

Dalam keadaan yang sedang menyesali, ia kemudian bangun dan duduk bersandar di pedang raksasa yang tadi berada di sampingnya.

Mengatur napas, dan menstabilkan emosi-emosi di hatinya ia tak banyak bergerak. Pasrah tak mendesah, seperti seseorang yang ikhlas akan ajal menjemputnya.

Ujung bilah mata pedang putih panjang, sudah berada di depan matanya.

"Akhir untukmu, juga dunia mu." ujar sang Malaikat tersebut yang kini sudah siap untuk mengakhiri perjuangan si Pejuang. Wajahnya begitu datar, menatap manusia yang kini tengah tak berdaya lagi dalam bergerak. Tanpa adanya emosi, tak banyak bercakap. Namun, itu hanyalah luar yang kini ia tampakkan.

Di kalanya pejuang tersebut masih menunduk, sedikit-demi sedikit ia angkat wajahnya dan menatap ke arah pedang yang kini di arahkan hanyalah untuknya. Dengan mulut penuh darah akibat pendarahan dalam, kemudian dengan tambahan senyum pasrah ia berikan kepada lawan yang telah menundukkannya.

"Sebenarnya, apa alasan mu menyerang manusia hingga sejauh ini?" pertanyaan ia lontarkan kepada Malaikat di depannya, sebagai penyampaian terakhir seperti yang biasa lawan-lawannya tunjukkan ketika ia masihlah berperang di waktu dulu.

Malaikat itu kemudian tersenyum sinis, "Agar kalian merasakan penderitaan, dari sesuatu yang berada di atas kalian. Juga, jangan lupakan kalian manusia suka akan hal pertumpahan darah."

Senyuman sinis itu berubah di besarkan lagi menjadi senyum yang begitu jahat jika diistilahkan, "Dan juga untuk bertarung dengan mu."

Sontak, pejuang tersebut terkejut akan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Makhluk paling taat akan penciptanya. Jelas saja jika pejuang itu terkejut, karena seharusnya Malaikat selaku pelaksana tugas taat akan perintah penciptanya termasuk menghormati dan menghargai manusia.

"Setidaknya, jika pada akhirnya kau ingin bertarung dengan ku maka datanglah hanya kepada ku sejak awal. Jangan melibatkan yang lain-"

"Agar kau juga merasakan penderitaan lanjutan juga, seperti saat di masa lalu mu ketika 'dia' dihidangkan tepat depan mata mu." potong Malaikat tersebut saat pejuang hendak ingin mengakhiri kalimat ucapannya.

Dengan senyuman yang sama lagi, malaikat tersebut melanjutkan kembali kalimatnya. "Menjadi alat pasukan kerajaan, mesin pemenang perang, kalah akan batin manusia terkhianat, kehilangan orang-orang tercinta."

Geram, perasaan dan emosi campur aduk tak terkendali.

"Benar-benar tontonan yang begitu mengasyika-"

Bisa-bisanya makhluk seperti ini menikmati penderitaan makhluk lainnya, padahal makhluk yang ia tertawakan ciptaan sempurna Tuhannya. Tentu saja, makhluk mana pun pasti tak akan terima dan ingin sekali berteriak yang kemudian dilanjutkan dengan menghajar si pelaku.

Tapi, apa daya dirinya yang kini sudah cacat dan tak punya kekuatan untuk melawannya lagi.

"Mengapa kau? Bukankah seharusnya malaikat juga membantu manusia? Meski hanya dalam beberapa hal?!" Pertanyaan ia berikan lagi, tapi kali ini sebagai bentuk emosinya setelah terpicu oleh kalimat sang Malaikat yang sebentar lagi akan menjadi Malaikat Kematiannya.

Nasib, takdir manusia maupun di sekitar tidaklah ada yang tahu.

Walaupun ada yang mencoba untuk mengubahnya, tetap sulit untuk mengubah sesuatu yang akan terjadi. Tapi, beberapa hukum mengatakan bahwa seseorang dapat mengubah takdir yang haruslah tetap milik manusia.

Namun, apakah itu pasti?

"Tanyakan pada pencipta mu sana, itu tidak ada hubungannya dengan ku mulai dari sekarang. Karena aku akan menikmati apa yang akan ku lakukan di hari ke depannya." akhir tuturan kata yang mungkin tak bisa ia tambahkan perihal hal tersebut kembali. Karena sudah di luar pengetahuannya.

Malaikat itu kemudian mengeluarkan sayapnya, dan kali ini lebih besar dari sebelumnya. Serta, pancaran kekuatan besar sekarang dirasakan secara langsung oleh pejuang itu.

Bahkan semua manusia yang tersisa juga ikut merasakan, dan juga mereka dapat melihat langit gelap yang tertutup oleh kumpulan bulu besar yakni sayap.

Energi yang panas, memenuhi langit para manusia tak berdaya ini. Selanjutnya, dengan kehebatan yang pemilik sayap besar itu, gunung-gunung berapi aktif dan bererupsi satu demi satu.

Semua yang masih hidup, mengetahui kebahayaan yang sekarang ini sedang terjadi. Hewan-hewan mulai berpergian, begitu dengan manusia.

Namun, beberapa manusia yang berpikir bahwa hal bahaya ini mungkin adalah akhir baginya kini berdiam lemas dan kemudian hanya dapat berpasrah kepada Sang Maha Kuasa.

Menatap ke arah yang ada di depannya, langit di sekitarnya agak berwarna merah mengeluarkan panas yang luar biasa. Dirinya menikmati sesi terakhir dari hidupnya ini, termasuk manusia dan makhluk lainnya jika Dia telah berkehendak.

Lemas, tak berdaya, tak mampu berbuat lebih banyak lagi. Meresap semua yang ada di sekitarnya saat ini, "Merah panas, tapi aku malah merasakan kehangatan. Seperti kehangatan yang selama ini ku inginkan selama hidupku setelah sekian lamanya."

Pandangannya kemudian mulai memudar, tapi ia tak menyadarinya. Karena, pejuang tersebut tak peduli lagi dengan akhir yang akan mendatanginya.

"Aku harap, aku dapat merasakan kehangatan itu kembali. Entah itu di kehidupan selanjutnya, meski nantinya aku akan merasakan hal yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ku rasakan."

Satu detik, satu menit ia tak menunjukkan gerak tubuhnya lagi. Hanya ada wajah dengan penuh harapan di mana ia menginginkan banyak hal yang tak bisa ia capai sebelumnya.

Sekarang, bumi yang biasa dilihat adalah tempat penuh akan air. Kini, penuh akan tanah panas. Tak ada kehidupan mana pun yang dapat bertahan di situasi sekarang. Kembali ke masa di mana manusia belum ada dan bumi belum bersuhu stabil.

Tapi, bumi tak akan stabil kembali. Karena setelahnya, bintang-bintang bertabrakan antar satu sama lainnya begitu juga dengan planet hingga bulan mulai menuju ke arah bumi dengan kecepatan yang tak dapat diukur. Dan klimaksnya, matahari kini telah lebih memanas dan membesar seakan ia siap meledak.

Hingga akhirnya, hal yang sudah terprediksi terjadi.

Semuanya, yang ada di galaksi tersebut sudahlah hitam. Tak ada cahaya, hanya ada kegelapan yang batasnya entah sampai mana.

Tapi di sisi lain, di langit yang entah ada di mana. Yakni di tempat tak terhinga, bercahaya. Sebuah tempat yang tak akan dapat dijangkau oleh semua makhluk dunia.

"Harapan mu, ku terima."

avataravatar
Next chapter