2 Bab 2. Ijin Selingkuh atau Perintah?

Selamat membaca

Mulutku hanya terkatup. Menunggu solusi apa yang ditawarkan oleh suamiku tercinta. Lelaki yang menyandang status sebagai suamiku itu menyunggingkan senyuman yang dulu mampu menggetarkan kalbuku.

Dan kini masih, namun ada kegelisahan kini saat menyadari arti senyuman penuh bahagia itu.

Apa benar dia akan memintaku mengijinkannya menikahi wanita yang baru saja bertukar rindu melalui ponsel?

"Sayang ... kita akan bisa punya anak. Maksudku, kamu bisa mengandung," ucapnya dengan wajah penuh binar bahagia.

Aku tertegun sejenak. Apa maksudnya? Dia tidak memintaku merestuinya dengan siapapun yang tadi di telponnya? Apa barusan aku yang salah dengan pembicaraannya? Tapi aku yakin sekali, pendengaranku masih normal. Namun kenapa???

"Hei ... kok malah bengong!" tegurnya tak suka. Kini wajahnya mengernyit marah.

"Aku bingung," ujarku jujur.

Dia kembali tersenyum sumringah.

"Aku ... maksudku keluarga Hartono tetap akan memiliki keturunan, kamu akan melahirkan keturunan bagi keluarga Hartono. Dan Johan tidak akan mendapatkan apa pun lagi dariku. Bahkan aku akan mengambil semua yang dia rebut dariku," ujarnya dan bergumam di akhir kalimat. Namun aku masih bisa mendengarnya dengan baik.

Jadi dia mau memanfaatkanku demi mendapatkan wanitanya kembali? Benarkah? Apa dia pikir aku bisa dia bodohi?

"Caranya?" tanyaku pura-pura tak mengerti maksud terselubungnya. Tak juga mendengar gumamannya. Dia bernafas lega mendengar antusiasku.

"Begini sayang, aku ... maksudku kita sama-sama tau kondisi aku tak memungkinkan kita memiliki keturunan. Makanya aku mengijinkanmu menerima benih lelaki lain."

Aku menatapnya tak percaya. Begitu mudahnya dia menyuruh istrinya dihamili lelaki lain. Dalam artian, lelaki—yang sayangnya suamiku ini, mengijinkanku dimasuki lelaki lain. Bercinta atau just having sex hingga hamil. Hell, sound a crazy thing.

Apa dia pikir aku ini seorang jalang? Hingga mudah melakukannya dengan sembarang lelaki? Tanpa ikatan apapun?

Lelucon apalagi ini?

"Kamu sadar dengan yang kamu bicarakan?" tanyaku masih berharap dia akan menyadari kesalahannya.

Namun anggukannya membuatku berpikir lain tentangnya. Semakin membuatku meyakini posisiku dalam hidupnya.

"Aku ini, bagimu apa?" tanyaku dengan air mata yang mulai tak dapat kucegah.

"Apakah aku sedikitpun tak berarti bagimu?" tanyaku lagi. Kini dia diam termangu. Apa kini dia menyadari kesalahannya?

"Begitu mudahnya kau menyuruhku berhubungan intim dengan lelaki lain hingga hamil anaknya? Begitu tak berharganyakah aku di matamu?" isakku kini tak mampu kubendung.

"Apa janji suci kita di depan Tuhan tak ada artinya bagimu? Apa pernikahan kita hanya lelucon?" hardikku lagi penuh emosi.

"Aku kecewa padamu Mar, suami yang harusnya melindungi kehormatan istrinya, kini menyuruh istrinya melacurkan diri demi keturunan bagi keluarga kalian," ucapku lagi penuh rasa jijik padanya.

"Kini aku tahu artiku bagimu Mar. Aku hanya pelarianmu dari Mbak Karin kan? Kamu tidak pernah mencintaiku kan? Kamu hanya berpura-pura mencintaiku, supaya aku juga mencintaimu dan mudah kau bohongi. Aku terlalu naif kan?" kekehku menertawakan kebodohanku yang begitu mudahnya dia tipu hingga berakhir jatuh cinta kepada lelaki pembohong di depanku ini.

"Baguslah kalau kamu sudah sadar. Sejujurnya, aku dan Karin masih berhubungan sampai detik ini. Aku yang memintanya menikah dengan Johan, supaya dia bisa hamil. Karena dia ingin jadi ibu. Sedang aku tidak bisa memberikannya. Nanti setelah dia hamil, dia akan meninggalkan Johan dan kami akan kembali bersatu."

Kejujuran akhirnya terkuak juga. Dia bahkan tidak merasa perlu menjaga perasaanku, atau bahkan berusaha meyakinkanku bahwa tuduhanku salah. Dia malah mengakui semuanya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Aku menghela nafas panjang, karena rasa sesak di dada yang seakan membuatku mati saat ini juga.

Aku menatap matanya. Kini tak ada tatapan hangat yang selalu dia pancarkan. Jadi tatapan matanya juga palsu. Yang tertinggal hanya tatapan datar yang melecehkan.

"Karena kamu sudah tau, jadi kurasa aku tak harus berpura-pura baik dan manis kan?"

"Tentu saja," sahutku malas. Jadi ini wujud asli seorang Martin Hartono. Hanya seorang pecundang yang menutupi kekurangannya dengan tindakannya yang licik.

"Jadi jangan kaget kalau melihatku dengan Karin berduaan." Wajahnya penuh rona bahagia saat mengatakannya.

"Kalau begitu kenapa menyuruhku hamil dengan pria lain?" ujarku tak mengerti dengan rencananya.

Dia kan bisa mengklaim anak yang dikandung Karin sebagai anaknya. Dan akhirnya menjadi penerus trah Hartono.

"Sebagai rencana kedua kalau Karin belum juga hamil," ujarnya tanpa merasa bersalah.

Aku tertawa miris. Jadi memang benar aku hanya pemain cadangan. Begitupun anakku nantinya.

"Kamu pikir aku akan begitu bodohnya menurutimu? Bagiku, tak ada istilah berbagi suami. Aku akan menuntut cerai darimu," ujarku memberanikan diri. Semoga dia tidak menyadari suaraku yang bergetar. Aku tak mau dia tahu aku terluka karenanya. Cintaku ... ternyata hanya sampai di sini.

"Menurutmu? Lalu bagaimana nasib kakakmu yang kerap terjerat hutang? Selama ini siapa yang membayar setiap ada debt collector menagih padanya? Aku!" ejeknya.

Ya. Kakakku yang kecanduan judi! Bodohnya aku.

"Mulai sekarang kau tak perlu lagi membayarnya. Biarkan saja dia membusuk karena dipukuli debt collector itu!"

"Benarkah? Menurutmu siapa yang akhirnya akan memohon padaku saat kakakmu diseret oleh para penagih hutang itu? Lalu bagaimana dengan pengobatan ibu kamu? Harus dihentikan juga? Hutangmu padaku sudah terlalu banyak. Apa kau sanggup melunasinya hingga meminta cerai dariku?"

"Kau memintaku membayar semuanya?" tanyaku tak percaya dia akan menggunakan keluargaku untuk menjeratku dalam pernikahan penuh drama ini.

"Tentu saja. Tak ada yang gratis di dunia ini. Lahirkan satu bayi untuk keluarga Hartono maka hutang keluargamu akan lunas dan ... aku akan memberikan tunjangan padamu setelah kita berpisah. Ingat! Jangan ada yang tau!"

Lelaki itu tersenyum dengan cara yang sama mempesonanya. Namun kini aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Bagiku kini senyuman itu menyerupai seringai menjijikkan.

Wajah tampannya yang dulu mampu menjeratku dalam pesonanya, kini begitu memuakkan bagiku.

"Dan aku tak memintamu setuju denganku. Karena kamu tak punya cara lain untuk itu!"

"Sampai kapan aku terjebak dalam pernikahan gila ini?"

"Sampai kamu melahirkan penerus bagi keluarga Hartono."

"Apa kamu akan memisahkanku dengan anakku nantinya?" tanyaku memastikan seberapa busuknya lelaki ini.

"Tentu saja! Jika Karin belum juga hamil maka anak kamu akan menjadi milik kami."

Aku terkekeh mendengar jawaban absurb-nya. Kasihan sekali dia, harus merawat anak lelaki lain. Baik dariku atau dari Karin, akhirnya anak itu bukanlah darah dagingnya.

Antara membencinya atau mengasihaninya. Lelaki yang malang!

"Kenapa kamu tertawa?" tanyanya tak suka. Aku mengernyit menatapnya. Ada kegusaran yang bisa kutangkap dari wajahnya.

"Kenapa? Tak boleh? Apa tertawapun haram hukumnya bagiku?" tanyaku balik. Dia hanya mendengkus menanggapi pertanyaanku.

"Jangan pernah mengasihaniku!" bentaknya sambil berlalu saat aku masih menertawakannya.

"Oh ya?"

"Aku tertawa karena bahagia. Bagian mana aku mengasihanimu? Harusnya aku mengasihani diriku sendiri!" teriakku supaya dia bisa mendengarku.

Setelah hanya tertinggal aku di ruang keluarga, pikiranku mengelana. Mulai mencari kandidat calon bapak dari anakku kelak. Aku harus segera hamil, supaya aku bisa segera melunasi hutang keluargaku dan segera terbebas dari pernikahan palsu ini.

Ya!

Tapi siapa? Aku bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta. Apalagi berhubungan badan dengan sembarang pria.

Tidak! Aku tak bisa memilih secara random calon penabur benih di rahimku.

Oh, ini pasti tak akan mudah!

Tidak, jika harus melakukan 'itu'. Aku bisa membayangkan betapa tersiksanya aku jika harus melakukan 'itu' tanpa adanya rasa 'cinta' di sana. Aku bukanlah jalang yang dengan mudah berganti pasangan. Selama ini, hanya suamikulah yang pernah menyentuhku. Yah, walau bukan kepuasan yang kudapatkan. Karena kondisi suamiku. Atau selama ini dia hanya berpura-pura tidak bisa bangun?

Sialan! Dia membodohiku lagi!

Awas saja kau Martin! Aku akan membalas semuanya! Semuanya! Berikut bunganya!

Kamu menginginkan anak? Baiklah. Kamu akan mendapatkannya. Tapi begitu harapanmu setinggi langit aku akan merusaknya. Itulah balasannya bagi pembohong yang sudah membuat pernikahan hanya sebagai lelucon.

Namun, aku butuh bantuan seseorang. Seseorang yang sama kuatnya dengan keluarga Hartono.

Siapa?

bersambung

Hayooo, siapa yang nungguin lanjutannya Amanda???

Kalian vote dan komen ya, biar aku juga rajin publishnya.

Cahya46

Gresik

avataravatar
Next chapter