1 1. Pangeran dan Hades

Seorang pangeran menunggangi kuda putih tengah mengulurkan tangannya ke arah Halwa yang duduk di atas rumput. Halwa menatap pria itu dengan mata menyipit, sorot dari matahari membuatnya kesulitan untuk melihat. Di tambah lagi pria itu memunggungi matahari sehingga wajahnya tampak gelap tak terlihat.

"Apa ini pangeran yang akan menolongku dari kejamnya Raja Hades?" gumam Halwa dengan mata berbinar binar.

"Naiklah, wahai putriku!" perintah pangeran tersebut. Suaranya terdengar berat dan maskulin. "Aku akan membawamu ke singgasanaku," imbuhnya kemudian.

Halwa tersenyum lebar. Ia merasa lega karena seorang pangeran datang menyelamatkan upik abu sepertinya. Ia lalu bangkit dan naik ke atas kuda.

"Berpeganganlah, Cantik. Kita akan terbang ke singgasanaku di atas awan." Pangeran itu kembali bersuara.

Halwa menatap punggung sang pangeran cukup lama. Meskipun belum bisa melihat wajahnya, ia bisa merasakan ketampanan tiada tara dari pangeran tersebut. Lalu tanpa menunggu waktu lama, ia segera mendekap erat pinggang sang pangeran.

"Aku akan pergi kemana pun Engkau membawaku, Pangeran," ujar Halwa semakin memeluk erat punggung Sang Pangeran.

Lalu layaknya sihir, kuda putih dengan surai emas itu bergerak sampai akhirnya melayang terbang ke udara. Halwa bisa merasakan desiran angin yang menyapa kulitnya, membuat rambutnya yang terurai berterbangan. Ia menoleh ke bawah, menyaksikan pemandangan pegunungan, laut dan juga rumah rumah.

"Heh, si Hades itu tidak akan bisa menindasku lagi," gumam Halwa mendramatisir.

"Wahai Putriku, kita sudah sampai." Sang Pangeran menurunkan kudanya di sebuah taman bunga. Sebuah istana megah menjulang di ujung taman.

Pangeran tersebut turun, ia lalu membantu Halwa untuk turun dari kuda. Saat itulah Halwa bisa melihat wajah tampan Sang Pangeran. Wajah yang bersinar dan penuh aura ketampatan.

"Eungh, tampan." Halwa menggeliat dalam tidur cantiknya. Kakinya yang panjang bergerak dan tak sengaja menjatuhkan jam weker yang entah kenapa bisa terletak di bawah kakinya. Perempuan itu memeluk guling dengan semakin erat, tersenyum kecil saat dunia mimpi sesuai dengan ekspektasinya.

"Bersediakah engkau menikah dengaku dan tinggal di istanaku?" Sang Pangeran berlutut di hadapan Halwa.

Halwa tersenyum semakin lebar, matanya berbinar binar. Degub jantungnya semakin bergemuruh.

"Iya, aku mau." Halwa bergumam dalam tidurnya.

Putri tidur itu ternyata bertemu dengan pangeran dalam mimpinya. Mereka berjalan mengitari taman yang penuh dengan bunga, lalu menunggangi kuda putih milik kerajaan. Keduanya lalu menunggang kuda bersama, saling tertawa dalam perjalanannya menuju istana. Namun, tiba tiba saja sebuah anak panah meluncur ke arah mereka, beruntung Sang Pangeran bisa cepat menghindar.

Halwa melihat siapa yang telah berani memanah pangeran dan juga dirinya. "Hades!" teriaknya dengan kedua mata melotot marah.

Anak panah kedua meluncur kali ini berhasil membuat kuda yang mereka tumpangi terkejut. Kuda tersebut hilang kendali, mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkih panik. Alhasil, Halwa dan pangeran jatuh ke tanah karena kuda semakin tak terkendali.

"Argh!" Halwa mendesis saat merasakan rasa sakit di pantatnya. Perempuan itu mengerjapkan kedua matanya, menyesuaikan dengan cahaya pagi yang menerobos masuk ke dalam kamarnya.

"Kenapa aku ada di kamar? Pangeranku? Kudaku?" Halwa meringis saat mengetahui jika pangeran dan kuda putih yang sebelumnya ia lihat hanya sebuah mimpi di pagi hari.

Halwa lalu mencoba duduk, ia menatap wajahnya pada kaca besar seukuran tubuhnya. Rambut ikal yang berantakan, liur di sudut bibirnya, belek di mata dan juga baju tidur kumal satu satunya.

"Ouh, mengerikan," gumam Halwa kemudian. Ia lalu menoleh ke arah meja nakas. "Hehm, dimana jam wekerku?" Dahinya berkerut samar saat tak melihat jam weker bentuk bebek di atas meja nakasnya.

Halwa menoleh ke sekitar, ia bahkan melongo ke kolong tempat tidur. "Ck, gajiku habis untuk membeli jam weker," omelnya setelah melihat jam weker yang baru ia beli 5 hari yang lalu teronggok begitu saja di kolong tempat tidur.

Halwa menggunakan kakinya untuk meraih jam weker tersebut, setelah cukup mudah untuk di jangkau, ia baru meraihnya dengan tangan. Kedua matanya memicing saat melihat jam. "Oh, astaga!" serunya kemudian saat mendapati jarum jam menunjuk pukul 7 pagi.

"Aku terlambat!" seru Halwa kembali melempar jam weker ke arah kasur. Perempuan itu mengambil langkah seribu untuk pergi ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi untuk membasuh liur dan juga belek di wajahnya. Mandi akan menghabiskan waktu sehingga ia memutuskan untuk cuci muka dan menggunakan parfum saja.

Halwa menuruni anak tangga satu persatu dan karena terlalu terburu-buru, kakinya tak sengaja mengatuk anak tangga. Dug.

"Argh!" desis Halwa saat kakinya menabrak anak tangga terakhir. "Assh." Perempuan itu mengaduh kesakitan, ia berjalan terpincang menuju meja makan. "Mama kok nggak bangunin aku sih?" tanya Halwa setelah mencapai meja makan. Ia bersungut kesal kepada ibunya yang duduk sendirian di meja makan.

"Jam weker kamu rusak lagi 'kan?" Sofia justru bertanya dengan nada menyindir.

Halwa hanya mendengkus mendengar pertanyaan ibunya barusan. Ia mengambil dua lembar roti dan selai kacang di atas meja.

"Bunyi jam weker level maksimal aja nggak bisa bangunin kamu, apalagi suara mama," omel Sofia kemudian.

"Ya paling enggak, mama 'kan bisa gedor gedor kamar aku." Halwa Kembali mengomel. Perempuan berumur 28 tahun itu memasukan roti isi selai ke dalam mulutnya. "Akwu bwerwangkwat dwulwu!" Halwa segera bergegas pergi setelah mengatakan kalimat tak jelas tersebut.

"Heh, punya anak perawan satu satunya kok begini amat ya," gumam Sofia geleng geleng kepala.

******

Halwa berlarian di sepanjang lobi Gedung N.raka Corporation. Perempuan itu berlari dengan nafas terengah engah, sembari beberapa kali mengecek jarum jam di pergelangan tangannya yang terus menerornya.

"Stop!" teriak Halwa saat melihat pintu lift di hadapannya nyaris menutup.

Tepat sebelum benar benar menutup, seseorang menekan tombol hingga membuat pintu kembali terbuka. Halwa melesat masuk ke dalam. "Thanks," ujarnya dengan nafas terengah engah. Ia mendesah lega karena bisa masuk lift tepat waktu.

"10." Suara bas seseorang di balik punggung Halwa membuat tubuh perempuan itu diam memaku. "Ini sudah ke-10 kalinya kamu datang terlambat." Suara itu kembali meneror gendang telinga Halwa.

Halwa menggigit bibirnya tanpa sadar. Ia menoleh ke belakang dengan gerakan pelan, memutar tubuhnya 180º. Ia bersiap menerima umpatan atau makian dari seseorang yang sedari tadi menerornya. "Eh, ada Pak Kron—Eh, Pak Abi," ujarnya kemudian cepat cepat mengkoreksi. Fikriannya masih terdistraksi dengan mimpinya tadi. Halwa meringis malu saat melihat tampang bosnya berdiri di hadapannya. "Baru datang, Pak?" tanyanya basa basi.

Well, sebenarnya yang perlu di garis bawahi. 'Terlambat' yang dibicarakan pria kurang senyum itu bukan 'terlambat' secara harfiah—sesuai jam kantor. Melainkan datang setelah pria itu—yang kalau di fikir fikir lagi selalu datang 30 menit lebih awal dari jam kantor. Jadi ibaratnya, kalau jam kantor umum untuk karyawan lain pukul 07.30 wib, maka jam kantor untuk Halwa adalah pukul 07.00 wib.

Menyebalkan sekali 'kan?

Pria bernama Abiya itu hanya diam saja. Sorot matanya semakin menajam, membuat nyali Halwa semakin menciut. "Kalau kamu sudah bosan bekerja di ged…"

"Saya nggak pernah bosan, Pak!" Halwa berteriak memotong ucapan Abi barusan. Beruntung di dalam lift hanya ada mereka berdua. Jadi tidak ada yang terganggu dengan teriakan Halwa barusan, kecuali pria yang lebih tinggi 28 cm darinya itu.

Abi memejamkan kedua matanya begitu mendengar teriakan Halwa barusan. "Tulis surat keterlambatan kamu dan taruh di meja saya. Bulan ini gaji kamu saya potong 5%," ujar Abi lalu berjalan melewati Halwa setelah pintu lift terbuka.

"Huft." Halwa mendesah lega. Perempuan itu berbalik badan, lalu berjalan menyusul Abi.

Well, pekerjaan Halwa adalah mengikuti Abi kemana pun dan kapan pun. Menjadi jongos seorang Abiya Naraka, CEO dari N.raka Corporation. Kesialannya ini sudah berlangsung sejak empat tahun yang lalu.

Sebuah keberuntungan karena ia bisa di terima di sebuah perusahaan elite di Jakarta Pusat, sebuah perusahaan raksasa yang merupakan salah satu perusahaan besar yang masuk TOP EXCELLENT CORPORATION Se-Asia. Sebagai seorang lulusan baru, tentu saja ia tidak pilih pilih pekerjaan sehingga langsung menerima pekerjaan apapun yang diberikan—meskipun tidak sesuai passion atau basic pendidikannya.

avataravatar
Next chapter