1 Prologue

Pada sebuah ruangan yang cukup sunyi, terlihat dua orang yang terpisahkan sebuah meja panjang saling duduk berhadapan.

Di salah satu sisi, terlihat pria yang duduk itu sudah lumayan berumur dikarenakan memiliki kerutan di wajahnya. Akan tetapi jika dilihat dari pakaiannya yang menggunakan jas hitam dengan rapi, serta postur tubuhnya yang tegap saat duduk, bisa dikatakan kalau dia adalah orang yang berwibawa.

Sedangkan orang di sisi satunya hanyalah seorang remaja laki-laki berumur 16 tahunan. Matanya sangat kelam seperti mata Panda, wajahnya pucat dengan beberapa bintik jerawat, rambutnya begitu berantakan serta panjangnya sampai ke bahunya, dan juga badannya sedikit membungkuk.

Seakan-akan remaja itu tidak memiliki harapan hidup lagi.

"Kenapa kau memanggilku ke sini?" tanya remaja itu. Suaranya sedikit membuat telinga orang yang mendengarnya sakit.

Suasana di sana benar-benar berat, tapi mereka berdua mengabaikan suasana tidak nyaman tersebut.

"Seperti yang sudah kamu tahu. Di luar sana masih banyak orang seperti dirimu, para pemilik kemampuan—"

Seakan sudah mengerti ke arah mana pembicaraan ini menuju, remaja tadi mendadak berdiri dari kursinya sebelum selesai mendengar jawaban dari pak tua di seberangnya. "Maaf saja, tapi aku tidak akan membantu kalian seperti waktu itu lagi."

"Tunggu!" perintah pak tua dengan sedikit bentakan.

Wajah remaja itu yang dari awal sudah kecut tambah kecut saja mendengar bentakan itu. "K-kenapa? apa k-kau mau memaksaku lagi? M-maaf saja tapi mau bagaimanapun kalian memaksaku, aku tidak akan menurut lagi!" ujarnya gagap seraya kakinya tetap melangkah.

Pak tua itu kemudian memukul meja dengan keras. "Sudahku katakan tunggu!"

"Hiiiiiii!" Mendadak bulu kuduk di sekujur tubuh remaja itu berdiri.

"A-aku mohon maaf! Ini salahku! T-tapi tetap saja aku tidak mau melakukan hal yang sama dengan yang kalian perintahkan terakhir kali...." Remaja itu langsung sujud meminta maaf di lantai ruangan. "Aku sungguh minta maaf!"

Pak tua yang melihat perilaku remaja itu segera duduk kembali ke kursi miliknya. Pak tua itu menghela nafas dan berkata, "Berdirilah. Kami tidak pernah mengajarimu untuk melakukan hal seperti itu."

Remaja itu dengan cepat berdiri kembali. Dia melirik pak tua itu dengan mata kelamnya yang sedikit basah oleh air matanya sendiri.

"Dengar. Kali ini kami menginginkan kamu untuk memasuki salah satu SMA unggulan yang sedang dikelola oleh pemerintah," jelas pak tua.

"He? Sekolah?! Apakah kalian akan mulai menyekolahkan aku lagi?! Wah, sudah lama aku tidak mengenyam pendidikan normal... Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya pulang dan berkumpul bersama teman. Kira-kira bagaimana rasanya ya..." cela remaja itu. Wajahnya yang seperti tidak ada semangat hidup tadi seketika berubah menjadi berkilauan.

"Dengarkan dulu perkataanku ini. Aku tahu kamu sudah lama tidak bersekolah seperti anak-anak normal lainnya, tapi kali ini kamu juga harus mengemban sebuah tugas saat bersekolah di sana. Apakah kamu akan menyanggupinya?" lanjut pak tua.

"Tugas?"

Pak Tua itu melanjutkan. "Benar. Sebuah tugas."

Remaja itu meletakan jarinya ke dagu, menandakan kalau dia sedang memikirkan sesuatu. "Anu- bukan berarti aku akan menerima tugas itu, tapi bisakah kau menjelaskan r-rincinya?" pintanya.

Pak tua itu sedikit terkejut mendengar perkataannya. Tapi dengan cepat pak tua itu menjawab, "Kami akan memberikan kamu izin untuk mulai bersekolah di sebuah sekolah negeri ternama sampai tamat, tapi dengan syarat kamu mau menerima sebuah tugas jangka panjang yang cukup berat."

"Bukan hanya jangka panjang, tapi tugas ini juga merupakan tugas berlapis. Kamu akan diberi tiga tugas utama. Selama bersekolah di sana, kamu harus bertahap menjalankan tugas yang kami berikan."

Remaja itu mulai berpikir keras setelah mendengar penjelas pak tua itu. Ia mulai memikirkan keuntungan serta kerugian dalam hal ini secara lebih mendalam. Jika diperhatikan, ia seakan orang yang berbeda dengan yang berbicara sebelumnya.

Melihat reaksi sang remaja, pak tua mulai melanjutkan penjelasannya lagi. "Tentu saja selama bersekolah di sana, kamu akan diberikan kebebasan. Selama tidak merugikan ataupun menghalangi tugasmu, kami tidak akan membatasi kamu untuk melakukan hal yang kamu inginkan."

"B-bukankah penjelasanmu terlalu berbelit. Katakan saja apa tugasnya. Jika tugasnya sama berbahayanya seperti yang waktu itu, maaf saja aku sudah muak. Minta tolong saja kepada sang putri itu," ujar remaja itu kesal. Dalam kata-katanya juga menyinggung seseorang yang sedang tidak berada di tempat itu.

Pak tua itu tersenyum kecil ketika mendengar perkataan itu. "Baiklah. Pertama, kami ingin memintamu untuk memata-matai beberapa organisasi di dalam sekolah itu—termasuk OSIS tentu saja. Kedua, kami ingin memintamu menilai secara pribadi, penuh pertimbangan, dan dengan fakta dari hasil observasi langsung tentang sistem yang dijalankan sekolah itu."

"Ehem." Pak tua itu berdeham sebagai jeda sebelum melanjutkan. "Yang ketiga, seperti yang sudah kamu duga, kami ingin memintamu mencari tahu identitas sejumlah murid yang memiliki kemampuan supernatural di sana. Tentu saja tugas ini terbilang mudah jika kamu menggunakan kemampuanmu. Tapi untuk berjaga-jaga, jangan terlalu mencolok ketika menggunakan kemampuan itu, karena itu merupakan rahasia negara."

"B-begitu ya. Yah... Aku cukup mengerti untuk inti dari tugasnya. T-tapi bukankah mengirim sang putri lebih efisien dalam hal ini? Kenapa kau memilihku?"

"Ahaha. Untuk itu, sebenarnya gadis itu sudah ditugaskan lebih dulu satu tahun yang lalu. Jika kamu menerima tugas ini, maka gadis itu juga akan menjadi seniormu di sana."

Remaja itu kaget dan dengan cepat mendekati kursi pak tua itu. "S-serius?! J-jadi tugas yang diberikan kepadanya tahun lalu itu..."

"Benar. Tugasnya sama sepertimu," jelas pak tua.

Remaja itu dengan panik berkata, "B-baiklah! Akan kuterima! Aku— Faresta Haerz akan menerima tugas itu!"

avataravatar
Next chapter