15 Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 6

Terror Castle menjulang dalam gelap, di hadapan Jisung dan Doyoung, Malam itu tidak ada bulan, Hanya beberapa kerlip bintang saja memecah kegelapan ngarai.

"Malam tidak akan lebih gelap lagi dari sekarang," kata Doyoung dengan suara tertahan, "Jadi kita masuk sajalah."

Jisung menenteng senternya yang baru dan bercahaya terang, Senter itu dibelinya dengan uang sakunya. Sedang senternya yang lama masih tertinggal dalam perpustakaan, Kedua remaja itu mendaki jenjang yang sudah retak-retak, lalu melintasi teras. Doyoung agak pincang jalannya, karena ia belum berani terlalu membebani pergelangan kaki yang baru sembuh dan masih dibalut erat.

Langkah kaki mereka terdengar nyaring dalam gelap. Di salah satu tempat seekor binatang kecil kaget karena kedatangan mereka.

Binatang itu melesat pergi dari persembunyiannya, melarikan diri dari cahaya senter yang terang.

"Apapun binatang itu, pokoknya dia pintar," kata Jisung, "Dia lari dari sini."

Doyoung diam saja, Tangannya meraih tombol pintu depan, lalu menarik narik, Tapi daun pintu tidak bisa dibuka, "Agak macet rupanya," katanya. "Coba tolong sebentar."

Jisung ikut menarik, Tahu-tahu tombol yang terbuat dari kuningan itu terlepas, Jisung dan Doyoung terjungkir ke belakang, jatuh bergelimpangan di ubin.

"Uuu!" desah Jisung dengan napas sesak. "Hyung berbaring di atas perutku. Aku tidak bisa bergerak - tidak bisa bernapas."

Doyoung berguling ke samping, lalu berdiri lagi, Jisung ikut bangkit.

Dipegang-pegangnya seluruh tubuhnya, untuk memeriksa kalau-kalau ada yang patah atau terkilir.

"Rupanya semua beres," katanya kemudian,

"Kecuali akal sehatku, yang rupanya ketinggalan di rumah."

Doyoung tidak mengacuhkan sindiran temannya itu, la memperhatikan tombol pintu dengan bantuan cahaya senternya,

"Lihatlah," katanya. "rupanya sekrup yang menahan tombol ini ke batang itu terlepas."

"Mungkin aus," gumam Jisung. "Habis, belakangan ini banyak sekali orang lalu-lalang lewat pintu ini."

"Hmm." Doyoung nampak sedang berpikir. Keningnya berkerut. "Jangan jangan ada yang sengaja melepaskannya."

"Siapa sih yang mau berbuat begitu?" tanya Jisung, "Pokoknya, sekarang kita tidak bisa masuk! Jadi lebih baik kita kembali saja."

"Kurasa kita akan bisa berhasil masuk lewat jalan lain," kata Doyoung. "Kita coba saja lewat pintu angin yang di sana itu."

Dia langsung menyusur dinding depan bangunan itu. Berseberangan dengan teras, terdapat enam pintu angin yang tinggi. Pintu angin sebenarnya jendela, tapi ambang bawahnya rendah sekali sehingga lebih tepat disebut pintu.

Lima di antaranya ternyata terkunci dari dalam. Tapi yang keenam ternganga sedikit. Doyoung menariknya. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruangan di belakangnya gelap gulita.

Kegelapan itu sesaat kemudian ditembus cahaya senter Doyoung yang masih berdiri di luar. Diterangi cahayanya, nampak sebuah meja panjang dengan kursi-kursi di sekelilingnya. Di satu ujung meja nampak samar tumpukan piring

"Ini ruang makan," kata Doyoung dengan suara pelan. "Kita bisa masuk lewat sini,"

Sesampai di dalam, kedua remaja itu menyorotkan senter mereka ke sana kemari. Mereka melihat kursi-kursi bagus penuh ukiran meja panjang dari kayu mahoni, sebuah bufet besar serta dinding kamar berlapis papan berukir-ukir.

"Kelihatannya di sini ada beberapa pintu," kata Doyoung. "Lalu kita masuk lewat mana?"

"Bagiku sih sama - Huhh!" Jisung berseru dengan suara tercekik, Ketika ia hendak menjawab pertanyaan Doyoung, ia menoleh sedikit ke samping.

Saat itu dilihatnya seorang wanita memakai gaun panjang terjela-jela, datang ke arah mereka. Gaun yang dipakai berpotongan kuno, Jisung pernah melihat lukisan yang dibuat sekitar tiga abad yang lalu, menampakkan seorang wanita memakai gaun semacam itu.

Seutas tali terbelit di leher wanita itu. Ujungnya tergantung ke depan, terulur menyentuh kaki. Tangannya terselip ke dalam gaun yang lebar.

Wanita itu menatap kedua remaja itu dengan pandangan pilu.

Jisung menarik lengan jaket Doyoung

"Ada apa?" tanya Doyoung

"Li-li-lihatlah," kata Jisung gugup, "Kita tidak sendiri di sini."

Dengan cepat Doyoung berpaling. Jisung merasa tubuh temannya itu mengejang. Itu berarti Doyoung juga melihatnya melihat wanita yang menatap mereka tanpa bergerak-gerak. Wanita itu tidak kelihatan seperti bernapas. Ia hanya berdiri saja, sambil menatap. Jisung merasa tahu siapa wanita itu. Pasti hantu gadis yang menurut cerita Mr. Sangra menggantung dirinya sendiri, karena tidak mau dipaksa menikah dengan pria pilihan ayahnya.

Sesaat kedua remaja itu berdiri seperti terpaku di tempat masing masing. Sedang bayangan mengerikan itu juga tidak bergerak atau pun berbicara.

"Sorotan senter ke arahnya," bisik Doyoung, "Tunggu sampai aku memberi aba-aba... ya!"

Keduanya serempak mengarahkan sorotan senter mereka pada wanita itu. Tapi seketika itu juga bayangan itu lenyap. Mereka hanya menatap sebuah cermin, yang memantulkan sinar senter ke mata mereka,

"Cermin!" seru Jisung kaget. "Kalau begitu, selama ini dia ada di belakang kita."

Dengan cepat dia berbalik, sambil mengarahkan sinar senternya ke belakang. Tapi di situ pun tidak ada apa-apa. Hanya mereka berdua saja yang ada dalam ruangan itu,

"Dia sudah pergi," kata Jisung. "Dan aku juga mau pergi! Itu tadi hantu!"

"Tunggu!" Doyoung menggenggam pergelangan tangan Jisung, "Kelihatannya kita tadi melihat bayangan hantu dalam cermin, tadi mungkin juga kita keliru. Aku menyesal tadi bertindak terlalu tergesa-gesa. Padahal seharusnya kejadian tadi perlu kita selidiki dengan lebih tenang."

"Lebih tenang?" teriak Jisung, "Tapi kenapa Hyung tadi tidak memotretnya? Kan hyung yang membawa kamera."

"Ya, betul juga!" Dari suaranya, terdengar bahwa Doyoung agak menyesal. "Aku lupa!"

"Kalau hyung potret pun, pasti takkan kelihatan apa-apa. Hantu tidak bisa dipotret."

"Dan juga tidak kelihatan bayangannya dalam cermin," balas Doyoung

"Dan yang tadi itu kelihatan bayangannya pada cermin itu! Atau kalau tidak, ia berada dalam cermin itu sendiri. Tapi aku belum pernah mendengar ada hantu cermin. Coba dia muncul lagi sekarang."

"Itu kemauanmu, Hyung , kalau aku sih lebih baik jangan," tukas Jisung, "Sudahlah, kita sudah membuktikannya bahwa Terror Castle ini benar benar berhantu. Kita laporkan saja pada Mr. Bong joon ho."

"Kita kan baru saja mulai," balas Doyoung. "Masih banyak lagi yang perlu diselidiki. Dan mulai sekarang, aku takkan lupa memotret. Aku kepingin memotret Hantu Biru sedang memainkan orgel rusak."

Sikapnya yang tetap tenang meredakan kegugupan Jisung, dia mengangkat bahu.

"Ya deh," katanya pasrah, "Tapi apa tidak perlu kita membuat tanda dengan kapur, supaya jangan tersesat nanti?"

Doyoung berseru dengan nada kesal.

"Lagi-lagi aku lupa!" katanya, "Tapi masih belum terlambat."

Dihampirinya pintu angin tempat mereka masuk tadi, lalu dibubuhkannya tanda tanya yang besar dengan kapur di situ. Lalu dibubuhkannya pula tanda yang sama di atas meja makan yang besar. Ia melakukannya dengan hati-hati, supaya permukaan daun meja yang mengkilat itu tidak rusak. Kemudian ia mendekati cermin besar yang terpasang di dinding, untuk membubuhkan tanda Neo Culture Detektif di situ.

"Jadi kalau Kai hyung dan Renjun nanti mencari kita, mereka akan melihatnya," kata Doyoung pada Jisung, sementara dia menekankan kapur keras-keras ke permukaan cermin supaya tandanya nampak jelas di situ.

"Maksud hyung, apabila kita berdua lenyap tanpa bekas?" tanya Jisung.

Doyoung tidak menjawab,

Ketika tangannya menekan, tahu-tahu cermin tinggi itu bergerak ke belakang, seperti pintu, Dan di belakangnya menganga sebuah gang gelap.

Jisung dan Doyoung menatap lubang gelap itu sambil melongo, "Astaga" kata Jisung, "Lorong rahasia!"

"Tersembunyi di balik cermin," Kening Doyoung berkerut. "Kita perlu memeriksanya."

Sebelum Jisung sempat membantah, Doyoung sudah melangkah masuk sambil menyorotkan senternya ke depan, ke dalam lorong yang sempit dan kelihatannya panjang. Kelihatannya hanya sebuah gang saja, Dindingnya dari batu kasar. Di kiri kanannya tidak ada pintu, kecuali di ujung.

"Yuk," kata Doyoung, "Kita harus memeriksa, ke mana arah gang ini."

Jisung mengikuti dari belakang. Dia sebenarnya enggan masuk ke lorong rahasia itu. Tapi ditinggal sendiri, juga tidak mau! Lebih baik berdua daripada seorang diri, pikirnya.

Sementara itu Doyoung sibuk meneliti dinding batu lorong itu dengan bantuan senternya. Kemudian ia berpaling, memeriksa ambang pintu yang berupa cermin Cerminnya sendiri nampak biasa saja, terpasang pada daun pintu kayu. Padanya tidak terpasang tombol atau gerendel.

"Aneh," gumamnya, "Mestinya ada satu cara tertentu untuk membuka pintu ini."

Sambil berkata begitu, pintu didorongnya sampai tertutup. Terdengar bunyi detakan yang agak keras, Mereka terkurung dalam gang yang gelap

"Nah, sekarang hyung mengurung kita di sini," seru Jisung cemas.

"Hmm." Doyoung berusaha mencari pegangan, supaya bisa membuka pintu kembali. Tapi tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Sisi belakang daun pintu rata dan persis sekali menutup lubang masuk tadi. Sedikit pun tak ada celah, ke dalam mana bisa diselipkan jari, Jangankan jari, kuku saja pun tidak bisa masuk!

"Pasti ada salah satu jalan untuk membuka pintu ini," kata Doyoung, "Tadi kenapa begitu gampang terbuka? Padahal cuma kusentuh sajal"

"Sudahlah, jangan pakai heran-heran segala hyung." tukas Jisung, "Pokoknya sekarang kaubuka lagi. Aku ingin ke luar!"

"Aku yakin jika keadaan betul-betul mendesak, kita bisa memecahkan daun pintu ini serta cermin yang ada di sebelah depannya," kata Doyoung sambil meraba-raba kayu daun pintu, "Tapi itu tidak perlu, karena kita sekarang pergi ke arah sana."

Jisung sudah hendak mengatakan bahwa ia tidak sependapat. Tapi Doyoung sudah pergi menyusur gang sempit itu, sambil mengetuk-ngetuk dinding

"Seluruhnya dari batu," katanya sambil berjalan. "Tapi ada kesan bahwa di belakangnya kosong. Coba kaudengarkan."

Doyoung mengetuk-ngetuk dinding lagi, sementara Jisung mendengarkan

Kemudian terdengar olehnya bunyi lain.

Dia mendengar bunyi orgel tua yang rusak Bunyinya seperti jauh sekali.

Nada-nadanya yang aneh dan menghembus-hembus rasanya seperti mengisi lorong sempit itu, datang dari segala arah sekaligus.

"Dengar hyung" seru Jisung, "Hantu Biru mulai main musik lagi."

"Aku juga mendengarnya," kata Doyoung. Anak itu mendekatkan telinga ke dinding lorong selama beberapa waktu. "Musiknya seperti merembes lewat dinding ini," katanya kemudian. "Kuduga kita saat ini berada langsung di belakang orgel yang di ruangan proyeksi itu,"

"Maksud Hyung, Hantu Biru ada di balik dinding ini?" kata Jisung. Napasnya tersentak karena kaget.

"Mudah-mudahan saja begitu," kata Doyoung. "Karena tujuan kita kemari malam-malam ini kan untuk mencari dia dan memotretnya. Dan kalau bisa juga mengajaknya bicara."

"Bicara dengan dia?" Jisung mengeluh, "Maksud hyung, kita benar-benar akan bicara dengan dia?"

"Kalau kita bisa memergokinya."

"Bagaimana kalau kita yang dipergoki olehnya?" tanya Jisung. "Itu yang kukhawatirkan selama ini."

"Perlu kukatakan sekali lagi.." nada suara Doyoung terdengar agak galak, "berdasarkan catatan yang ada pada kita, Hantu Biru belum pernah mengapa-apakan siapa pun juga. Seluruh rencana tindakanku berdasarkan pada kenyataan itu. Ketika aku terpaksa berbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan mengenai kasus ini. Selama ini belum pernah kuceritakan, karena masih memerlukan bukti, Dan kurasa sebentar lagi kita akan tahu, segala kesimpulanku itu benar atau tidak."

"Tapi bagaimana jika hyung ternyata keliru?" tanya Jisung cemas. "Bagaimana jika kesimpulan hyung salah, dan Hantu Biru ingin agar kita turut menjadi bala hantu di sini? Kalau begitu, bagaimana?"

"Kalau itu yang terjadi, aku akan mengaku salah," kata Doyoung, "Tapi saat ini aku akan meramalkan sesuatu. Sebentar lagi kita akan merasakan kengerian yang luar biasa."

"Sebentar lagi?" Nyaris saja Jisung berteriak. "Kaukira perasaanku sekarang ini bagaimana?"

"Kau baru merasakan kegelisahan yang sangat. Tapi sebentar lagi kau akan merasakan kengerian yang luar biasa,"

"Kalau begitu sudah waktunya aku pergi dari sini, Ayo, kita pecahkan saja cermin tadi, lalu cepat-cepat lari dari sini."

"Tunggu!" Doyoung menggenggam pergelangan tangan Jisung, "Kuingatkan padamu, takut ngeri itu cuma perasaan belaka. Kau memang akan merasa ngeri, tapi kecuali itu kau takkan mengalami apa-apa lagi."

Sementara Jisung menjawab, tahu-tahu dirasakannya perubahan aneh dalam lorong rahasia itu. Tanpa disadari, sementara mereka sedang mendengarkan musik yang datang dari balik dinding, secara tiba-tiba saja ada kabut tipis bergerak-gerak di situ. Di segala penjuru lorong nampak kabut. Di lantai, sepanjang dinding, merayapi sisi atasnya.

Jisung menggerakkan senternya ke atas dan ke bawah. Diterangi cahaya senter, nampak kabut berputar-putar pelan-pelan, bergabung dan terurai lagi bergulung-gulung dan melingkar. Sementara Jisung menatap terus, ia mendapat kesan seperti melihat berbagai wujud aneh dan menyeramkan.

"Lihat!" katanya dengan suara gemetar, "Aku merasa seperti melihat muka-muka menyeramkan, Dan itu ada naga, harimau, dan bajak laut bertubuh gendut."

"Tenang" kata Doyoung, "Aku juga melihat berbagai bayangan, tapi itu cuma khayalan kita sendiri. Ini kan sama saja seperti sedang berbaring di luar sambil menatap awan, Lama-kelamaan kita mendapat kesan, seolah-olah awan yang bertumpuk-tumpuk menjelma menjadi berbagai makhluk. Kabut ini tidak apa-apa. Tapi kurasa kita sudah mulai merasakan kengerian yang luar biasa."

Diyoung dan Jisung saling bergenggaman tangan. Ternyata ramalan Doyoung tepat. Tahu-tahu Jisung merasakan kengerian merambati seluruh tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Bulu romanya meremang. Tapi karena Diyoung mestinya juga merasakannya tapi tetap teguh, Jisung lantas menahan dengan kuat keinginannya untuk lari kembali dan memecahkan cermin yang merintangi jalannya menuju ke luar.

Sementara rasa ngeri menyelubungi kabut semakin tebal, berputar putar dalam lorong yang sempit.

"Kabut Kengerian," kata Doyoung. Suaranya agak gemetar. Tapi walau begitu ia maju terus. "Mengenainya pernah ada laporan beberapa tahun yang lalu. Penjelmaan yang paling menyeramkan di kastil Setan. Sekarang kita harus berusaha memergoki Hantu Biru, sementara dia mengira kita lumpuh karena ketakutan."

"Aku tidak bisa," desis Jisung di sela giginya yang dirapatkan supaya jangan gemeletuk, "aku memang lumpuh. Aku tidak bisa menyuruh kakiku melangkah."

Doyoung berhenti.

"Sudah waktunya sekarang untuk menceritakan kesimpulan yang kuambil sewaktu masih berbaring di tempat tidur, Jisung," katanya. "Waktu itu aku menarik kesimpulan bahwa Terror Castle ini memang dihantui."

"Itulah yang selama ini selalu kukatakan!"

"benar-benar dihantui, tapi bukan oleh hantu. Tempat ini dihantui seseorang yang masih hidup. Menurut hasil pemikiran, hantu kastil Setan itu sebenarnya Suzana sendiri, yang dianggap sudah mati."

"Apa?" Jisung begitu terperanjat, sampai lupa pada rasa takutnya, "Maksud hyung, selama ini dia masih hidup?"

"Tepat! Hantu yang sebenarnya masih hidup. Menakut-nakuti supaya Tidak ada yang berani ke sini, sehingga rumah ini bisa tetap dimilikinya."

"Tapi mana mungkin?" tanya Jisung, "Maksudku, kita kan sama-sama tahu, di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang keluar masuk Bagaimana caranya memperoleh makanan serta perbekalan lainnya?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Dan justru itulah yang ingin kutanyakan padanya. Tapi pokoknya sekarang kau mengerti, dia memang sengaja menakut-nakuti kita, supaya jangan datang ke sini. dia sama sekali tidak bermaksud mencelakakan siapa pun juga, Nah, sudah lebih enak perasaanmu sekarang?"

"Ya, lumayanlah," kata Jisung, "walau aku masih tetap merasa kakiku ingin pergi ke tempat lain."

"Kalau begitu kita sempurnakan saja penyelidikan ini, dengan menyingkapkan tabir rahasia hantu itu," kata Diyoung.

Dengan segera dia menuju ke pintu yang terdapat di ujung lorong, Tahu tahu tanpa ia sendiri menyadarinya, Jisung sudah menyusul. Jisung merasa semua bisa dimengerti, setelah dijelaskan oleh Doyoung. Jadi rupanya Suzana, Raja Kengerian itu sendiri yang selama itu tinggal dalam Kastilnya, menakut-nakuti orang supaya tidak ada yang berani datang

Kedua remaja itu sampai di depan pintu di ujung lorong. Berlawanan dengan sangkaan mereka, pintu itu ternyata bisa dibuka dengan gampang. Mereka melewati ambangnya, memasuki tempat yang benar benar gelap gulita. Bunyi musik orgel semakin nyaring. Dari gemanya mereka tahu, saat itu mereka berada dalam ruangan yang jauh lebih luas dari lorong tadi.

"Ini ruang proyeksi." bisik Jisung. "Jangan nyalakan senter. Kita akan menyergap Bayangan Biru."

Mereka seiring beringsut-ingsut sepanjang dinding, lalu menikung di pojok ruangan. Tiba-tiba Jisung terpekik. Dia merasa ada sesuatu yang lembut dan licin mengayun ke bawah lalu menyelubungi muka dan kepalanya. Tapi ternyata itu cuma potongan tirai beludru yang sudah lapuk, yang robek ketika tersentuh sedikit. Tanpa bersuara lagi Jisung membebaskan diri dari tirai tua itu.

Sekali lagi mereka menikung. Dan di depan mereka kira-kira di pertengahan ruangan besar itu mereka melihat gumpalan kabut bercahaya biru di dekat orgel besar yang sudah rusak. Langkah mereka tertegun. Dalam gelap, Jisung merasa bahwa temannya sedang menyiapkan kamera untuk memotret.

"Kita akan menyelinap dan menghampirinya." bisik Doyoung, "lalu memotretnya."

Jisung memandang sinar biru pendar itu. Tiba-tiba ia merasa kasihan pada Suzana. Setelah bertahun-tahun sendiri terus dalam Kastil Seram itu pasti akan sangat mengejutkan bagi dirinya apabila rahasianya terbongkar secara tiba-tiba.

"Nanti dia malah takut lari," bisik Jisung pada Doyoung. "Kenapa tidak kita panggil saja dia, supaya tahu bahwa kita ada di sini, dan dia sempat mengerti bahwa kita sama sekali tidak bermaksud jahat."

"Idemu bagus sekali. Kita berjalan pelan-pelan menghampirinya, sementara aku memanggil-manggil."

Keduanya lantas melangkah maju, menghampiri gumpalan cahaya biru di dekat orgel.

"Ms. Suzana " seru Doyoung. "Ms. Suzana, kami cuma ingin bicara dengan Anda. Kami tidak bermaksud jahat."

Tapi musik masih terus saja terdengar, sementara gumpalan cahaya biru masih terus berpendar-pendar. Mereka maju lagi beberapa langkah

Doyoung mencoba sekali lagi.

"Ms. Suzana," serunya, "saya Doyoung NCT. Saya ditemani Jisung. Kami cuma ingin bicara sebentar dengan Anda."

Saat itu dengan tiba-tiba musik terhenti. Gumpalan kabut bercahaya biru nampak bergerak. Menjulang ke atas, ke arah langit-langit, lalu tergantung di situ,

Sementara Doyoung dan Jisung masih ternganga melihat wujud aneh yang tadinya bermain orgel itu tanpa disangka-sangka melayang ke atas, tiba tiba mereka merasakan ada orang lain di dekat mereka. Doyoung

sungguh-sungguh kaget saat itu. Sedang Jisung masih sempat memencet tombol senter untuk menyalakannya. Cahayanya menerangi sosok tubuh dua orang. Yang satu berukuran sedang, sedang temannya pendek. Keduanya memakai jubah panjang pakaian orang Arab, Keduanya melemparkan sesuatu berwarna putih ke udara.

Tahu-tahu kepala Jisung sudah terselubung jala yang lebar. Senter yang dipegangnya terpental, lalu padam. Dan jala menyelubungi seluruh tubuhnya. Dia masih berusaha lari. Tapi kakinya tersangkut ke jala, dan ia jatuh terjerembab ke lantai yang berlapis permadani. Dia meronta ronta, tapi sementara itu dia juga sadar bahwa tubuhnya teringkus jala yang makin merapat. Dia terperangkap, persis seekor ikan.

"Doyoung Hyung!" teriaknya. "Tolong"

Tapi temannya itu tidak menjawab. Jisung memutar tubuh lalu berpaling untuk menengok. Saat itu juga ia melihat, apa sebabnya Doyoung tidak memberikan jawaban

Kedua orang yang tahu-tahu muncul tadi menjunjung Doyoung, seperti mengangkat karung kentang. Doyoung juga terbungkus rapat dalam jala yang menjerat tubuhnya. Dengan bantuan sinar lentera kecil, kedua orang itu menggotong Doyoung, dibawa pergi lewat sebuah pintu. Mereka kelihatannya agak kewalahan. Maklumlah. Doyoung tidak bisa dibilang enteng tubuhnya.

Jisung tergeletak di lantai. Dia nyaris tidak bisa berkutik sedikit pun dalam jala. Dia juga tidak bisa melihat apa-apa di tempat gelap itu. kecuali gumpalan cahaya biru yang melayang di atas, seperti menempel ke langit-langit ruangan.

Gumpalan itu nampak seperti berdenyut-denyut. Kadang-kadang membesar, lalu menciut lagi. Seolah-olah Bayangan Biru sedang menertawakan dirinya,

Kemudian cahaya biru itu lenyap. Kegelapan menyelimuti Jisung. Dia berusaha kembali membebaskan diri. Tapi sebagai akibatnya, ia malah semakin terlibat dalam jala.

Gawat! Begitulah pikirnya. Bukannya mereka yang menangkap orang tua tak berbahaya yang memainkan peranan sebagai hantu, kini malah mereka sendiri yang tertangkap. Kedua orang yang menjala mereka tadi, kelihatannya galak-galak. Dan rupanya mereka memang sudah siap untuk menyergap.

Jisung teringat pada Renjun dan Kai yang menunggu dalam ngarai.

Masih bisakah dia bertemu kembali dengan mereka? Masih bisakah dia berjumpa lagi dengan Member NCT lainya?

Saat itu Jisung benar-benar merasa dirinya sengsara. Dalam keadaan begitu, kemudian dilihatnya ada cahaya bergerak-gerak menghampirinya. Setelah dekat, barulah nampak bahwa cahaya itu berasal dari lentera yang dipegang seorang laki-laki jangkung Laki-laki itu juga memakai jubah. Tapi jubahnya terbuat dari sutra, seperti yang dipakai bangsawan Cina jaman dulu.

Orang itu membungkuk di depan Jisung lalu menjamahnya. Sinar lentera menerangi mukanya. Jisung melihat mata sipit yang menatap bengis, serta bergigi emas berderet-deret.

"Anak-anak konyol," kata orang itu, "Kenapa kalian tidak menjauhi tempat ini, seperti dilakukan yang lain-lainnya? Sekarang kalian terpaksa kami bereskan."

Sambil berkata begitu dia menggerakkan jarinya seperti mengiris leher teriring suara menakutkan. Jisung langsung merasa darahnya seperti membeku. Dia mengerti maksud orang itu.

"Kau siapa?" tanya Jisung tergagap "Kalian mau apa?"

"'Hah!" sergah laki-laki itu. "Kau kubawa ke kolong Kastil ini" Jisung dijunjungnya dengan seenaknya, seperti memikul karung kentang, lalu kembali ke arah datangnya tadi.

Jisung yang dipanggul orang itu, tidak bisa banyak melihat karena mereka terus berada dalam keadaan gelap gulita. Ia hanya tahu bahwa mereka melewati pintu, menyusur lorong, lalu menuruni tangga putar. Rasanya tinggi sekali tangga itu.

Akhirnya sampai di suatu lorong. Lorong yang lembab dan dingin itu ditelusuri lewat beberapa pintu, sambil di sebuah bilik kecil seperti sel.

Sel bawah tanah. Di dindingnya tertancap gelang-gelang besi yang sudah karatan.

Sesuatu yang putih seperti kepompong tergeletak di salah satu pojok bilik itu. Orang Arab tepatnya seorang wanita yang kecil duduk di samping benda putih itu, sibuk mengasah belati.

"Mana Abdul?" tanya laki-laki berpakaian Cina, Jisung dijatuhkannya ke lantai di samping kepompong putih yang ternyata Doyoung. Wujudnya yang seperti kepompong disebabkan karena tubuhnya masih terbalut jala yang meringkusnya tadi.

"Ia pergi menjemput Zelda," kata si Arab dengan suara berat dan serak. "Zelda sedang menyembunyikan mutiara, bersama Gypsy. Kami bermaksud hendak memutuskan, akan kita apakan kedua bocah yang tertangkap ini."

"Aku setuju jika kita tinggalkan saja mereka di sini, sedang pintunya kita kunci dari luar," kata laki-laki yang bermata sipit, "Takkan ada yang datang ke sini, dan tak lama lagi kastil ini akan benar-benar ada hantunya. Sekaligus dua!"

"Bagus juga idemu," kata si Arab dengan suara serak. "Tapi supaya aman, tidak ada salahnya jika ada darah mengalir."

Jisung meneguk ludah dengan susah-payah, melihat Wanita berjubah itu menggeserkan jempolnya ke mata pisau yang tajam. Dia sebenarnya ingin membisikkan sesuatu pada Doyoung. Tapi temannya itu tidak berkutik sedikit pun di sisinya. Jisung lantas takut. Jangan-jangan Doyoung mengalami cedera.

"Kulihat sebentar, di mana Zelda sekarang." Wanita Arab itu memasukkan belati ke sarungnya, lalu berdiri. Ia melirik Jisung dan Doyoung -yang tergeletak di lantai, lalu berkata pada temannya. "Tolong aku menghapuskan jejak kita. Ikan-ikan ini takkan bisa membebaskan diri dari jeratan jala."

"Ya, betul-kita harus cepat-cepat." laki-laki jangkung yang kelihatannya orang Cina itu menggantungkan lenteranya ke dinding, sehingga cahayanya menerangi Jisung dan Doyoung. Kemudian kedua orang  itu bergegas, Jisung mendengar langkah mereka semakin menjauh.

Lalu didengarnya bunyi menggeresek berat, seperti bunyi batu besar digeserkan. Setelah itu senyap. Sampai Doyoung membuka mulut.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya

"Tergantung apa yang dimaksudkan" jawab Jisung. "Kalau maksudmu tidak ada tulang patah, ya-aku baik-baik saja, Sehat, segar bugar."

"Syukurlah kalau begitu." Dari nada suaranya, Jisung mendapat kesan bahwa Doyoung menyesal.

Temannya itu berkata lagi, "Aku harus minta maaf karena mengajakmu ke dalam marabahaya yang tidak disangka-sangka. Aku semula begitu yakin pada kesimpulan yang ditarik."

"Ah, itu kan bisa saja terjadi pada siapa saja hyung, lagi pula aku pernah mengalami yang lebih buruk bersama Jaemin hyung dan Renjun hyung di hutan dulu" jawab Jisung. "Maksudku. pertimbangan hyung masuk akal. Siapa mengira kita akan berhadapan dengan suatu gerombolan yang mungkin penjahat? Apalagi di luar kita sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa ada yang memakai kastil ini sebagai sarang."

"Ya, dan aku begitu yakin bahwa segala hal yang terjadi di sini disebabkan oleh Ms. Suzana, sampai tak terbayang sedikit pun adanya kemungkinan lain," kata Doyoung. "He, kau bisa menggerakkan tanganmu atau tidak?"

"Aku terjerat dalam jala ini," kata Jisung. "Tapi jari-jariku masih bisa kugerak-gerakkan, apabila itu ada gunanya bagimu hyung."

"Untung tangan kananku masih bisa kugerakkan dengan cukup leluasa." kata Doyoung. "Saat ini aku sedang berusaha membebaskan diriku. sendiri. Mungkin kau bisa membantu dengan jalan mengatakan mana selanjutnya yang harus kupotong."

Jisung merebahkan diri ke samping. Doyoung juga melakukan hal yang sama, sehingga punggungnya berada di depan Jisung Saat itu barulah Jisung melihat bahwa temannya itu berhasil mengambil pisau lipatnya yang tergantung pada ikat pinggang, Pisau lipat Doyoung itu ada delapan perlengkapannya, termasuk obeng serta gunting kecil. Dengan gunting itu Doyoung menggunting tali jala, sehingga tangannya bisa dikeluarkan

"Sekarang potong yang sebelah kiri, supaya tangan kiri hyung bebas," bisik Jisung. "Ya, begitu!"

Gunting yang dipakai kecil, sedang jala kelihatannya terbuat dari benang nylon yang kokoh, Tapi dengan bantuan petunjuk Jisung, tidak lama kemudian Doyoung sudah berhasil membebaskan kedua tangannya.

Setelah itu semua berjalan lebih lancar. Ketika Doyoung masih sibuk memotong seluruh bagian bawah jala, tiba-tiba terdengar langkah orang yang datang. Sesaat mereka tertegun, karena kaget dan ngeri. Tapi dengan segera otak Doyoung sudah bekerja kembali. Ia bergegas menelentangkan tubuh, menutupi bagian jala yang sudah tergunting, Sekarang tinggal menunggu perkembangan selanjutnya, dengan jantung berdebar-debar karena gugup.

Sesaat kemudian seorang wanita tua berpunggung bungkuk masuk sambil menjunjung lentera tinggi-tinggi. Dia memakai pakaian kaum pengembara yang sudah lusuh. Di kedua telinganya tergantung sepasang anting anting berupa cincin emas yang besar-besar,

"Nah, Anak-anak manis, enak rasanya istirahat di sini?" katanya sambil terkekeh-kekeh. "Kalian tidak mengindahkan peringatan Gypsy. yang telah begitu baik hati terhadap kalian! Nah, sekarang lihatlah apa yang terjadi Peringatan kaum pengembara perlu diperhatikan dan dituruti anak-anak manis, apabila ingin selamat."

Tiba-tiba perhatian wanita tua bangka itu tertarik pada sikap Jisung dan Doyoung yang nampak kaku. Dia bergegas-gegas pergi ke dekat mereka.

"Kalian mau main-main. Anak-anak manis?" katanya sambil terkekeh terus. Dengan sigap Doyoung dibalikkannya dengan segera dilihatnya bagian jala yang sudah putus digunting.

"Ah, begitu ya Bocah-bocah ini ingin melarikan diri" Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Doyoung lalu memutarnya, sehingga pisau lipat terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai.

Dengan segera wanita tua itu memungutnya, "Sekarang kalian terpaksa dihajar, Anak-anak manis," katanya. "Zelda" Wanita tua itu berseru, memanggil-manggil. "Zelda Bawa tali kemaril Burung-burung kita mau minggat!"

"Ya, ya, aku datang" Seseorang menjawab dari luar Dari logatnya, Jisung menebak orang itu pasti seorang wanita Inggris. Sesaat kemudian seorang wanita bertubuh tinggi dan berpakaian, apik muncul di ambang pintu. Ia membawa seutas tali.

"Mereka ini ternyata cerdik sekali," kata wanita tua dengan suara seperti bernyanyi. "Kita harus mengikat mereka erat-erat. Tolong pegangkan yang seorang ini dulu, sementara aku mengikatnya."

Jisung hanya bisa melihat saja, sementara kedua wanita itu dengan gerak gerik cekatan mengikat temannya kembali. Mula-mula jala dipotong dulu sampai terlepas. Setelah itu tangan Doyoung diikatkan di belakang punggung, disusul dengan kedua kakinya. Dan akhirnya pergelangan, tangan anak itu yang sudah terikat, ditambatkan pula ke sebuah gelang besi karatan yang terpasang ke dinding bilik

Karena jala yang menjerat Jisung masih utuh, tali cuma dibebatkan beberapa kali melilit tubuhnya, lalu disimpulkan kuat-kuat.

"Sekarang mereka pasti tidak bisa membebaskan diri lagi., Zelda." Wanita pengembara yang sudah tua bangka itu terkekeh-kekeh. "Aku sudah meyakinkan kedua kawan kita bahwa mereka tidak boleh bertindak kejam. Tidak, kita tidak boleh kejam, jangan sampai menumpahkan darah. Kita tinggal saja kedua bocah ini di sini, sedang pintu kita kunci dari luar. Mereka tidak akan bisa bercerita pada siapa siapa tentang kejadian yang mereka alami di sini."

"Sayang," kata wanita yang logatnya seperti orang Inggris "Kelihatannya mereka anak-anak yang baik."

"Kau tidak boleh lemah, Zelda," pekik wanita pengembara. "Kita sudah menjatuhkan pilihan, dan kau tidak boleh melawan keputusan bersama itu. Sekarang cepatlah sedikit - kita masih harus menghapus jejak lalu pergi dari sini,"

Sambil berkata begitu diambilnya lentera yang tergantung di dinding, lalu pergi ke luar. Wanita yang orang Inggris memegang lentera yang satu lagi. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi, menerangi kedua remaja yang terkapar di lantai dalam keadaan terikat erat.

"Kenapa kalian harus keras kepala, anak-anak?" tanyanya. "Orang lain semuanya ketakutan lalu tidak berani datang lagi. Sekali saja mendengar bunyi orgel hantu, langsung tak ada yang berani kembali. Tapi kalian kenapa harus keras kepala dan datang lagi?"

"Neo Culture Detektif tidak mengenal kata menyerah," kata Doyoung.

"Kadang-kadang lebih baik tidak terus nekat." jawab wanita itu, "Yah, sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kalian. Mudah-mudahan kalian tidak takut berada dalam gelap. Aku harus pergi sekarang."

"Sebelum Anda pergi, bolehkah saya bertanya sedikit?" kata Doyoung Jisung merasa kagum, karena temannya itu terdengar tenang saja Suaranya,

"Ya, tentu saja, Nak" jawab wanita Inggris itu.

"Anda serta sekutu-sekutu Anda, tergabung dalam organisasi kejahatan yang mana?" tanya Doyoung.

Wanita Inggris itu tertawa.

"Aduh, panjangnya kalimatmu," katanya. "Kalau mau tahu, kami ini penyelundup. Kami menyelundupkan barang-barang berharga dari Asia, kebanyakan berupa mutiara. Bangunan tua ini kami pergunakan sebagai markas. Bertahun-tahun kami berhasil menjauhkan orang dari sini, dengan membuatnya seakan-akan ada hantunya. Selama itu, tempat ini merupakan persembunyian yang bagus sekali."

"Tapi kenapa Anda semuanya mengenakan pakaian yang begitu menyolok?" tanya Doyoung lagi. "Siapa pun yang melihat Anda, pasti akan langsung tertarik perhatiannya."

"Tidak ada yang melihat kami. Anak muda," kata wanita itu, "Aku sebaiknya jangan menjawab segala pertanyaanmu, karena nanti tidak ada lagi yang bisa dipikirkan untuk mengisi waktumu. Nah, selamat berpisah, jika kita tidak bertemu lagi. Dan kurasa kita takkan pernah bertemu lagi"

Wanita itu bergegas pergi, sambil membawa lentera. Begitu pintu ditutup, bilik sempit itu langsung gelap gulita. Kerongkongan Jisung terasa kering.

"Doyoung hyung Ngomong dong" katanya, "Seram rasanya kalau sunyi terus."

"Maaf, aku tadi sedang berpikir," jawab Doyoung dengan nada agak linglung

"Berpikir! Dalam keadaan begini, hyung masih berpikir"

"Ya, memang," kata Doyoung. "Kau memperhatikan atau tidak tadi - ketika Gypsy meninggal kan kita beberapa saat yang lalu, ia membelok ke kanan dan menyusur gang ke arah itu."

"Tidak, aku tidak memperhatikannya. Lagipula, apa bedanya pergi ke kanan atau ke kiri?"

"Ke kanan kan berarti arah yang berlawanan dengan dari mana kita datang tadi. Jadi ia tidak kembali ke tangga, untuk naik ke Kastil. Dia menuju ke tempat yang semakin jauh ke bawah tanah. Itu berarti di sebelah sana ada jalan masuk yang tersembunyi. Dan itu juga menjelaskan, apa sebabnya selama ini tidak pernah kelihatan ada orang keluar-masuk Kastil"

Bukan main. Bahkan dalam keadaan terikat dan ditinggal dalam sel bawah tanah supaya mati kelaparan, ternyata Doyoung masih tetap mampu berpikir secara cerdas.

"Sementara hyung memikirkan hal-hal itu, kurasa hyung tentunya tidak sempat memikirkan jalan keluar bagi kita," kata Jisung.

"Memang tidak," kata Doyoung. "Aku sama sekali tidak bisa menemukan jalan keluar dari sini, tanpa bantuan orang lain, Maafkan aku, Jisung. Dalam hal ini, aku benar-benar telah salah duga."

Jisung tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sambil membisu, kedua remaja itu hanya bisa mendengarkan bunyi-bunyi yang tertangkap dalam gelap.

Terdengar langkah kaki seekor tikus berlari-lari. Di suatu tempat ada air menetes. Bunyi tetesannya yang pelan, seolah-olah menakar menit menit yang masih tersisa.

To Be Continue

avataravatar
Next chapter