13 Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 4

Deru batu longsor sudah lenyap. Sekeliling mereka gelap gulita, Debu beterbangan, kering dan mengandung pasir halus, "Kita tidak bisa keluar lagi, Hyung," kata Jisung sambil terbatuk-batuk, "Kita terjebak di sini, kita akan mati tercekik!"

"Tutup mulut dan hidung dengan sapu tangan, sampai udara sudah bersih dari debu," kata Doyoung menasihatkan. Ia meraba-raba dalam gelap mencari temannya. Setelah ketemu, diletakkannya tangan ke bahu Jisung, untuk menenangkannya.

"Mengenai udara, jangan khawatir! Celah ini kurasa cukup dalam, jadi untuk sementara kita bisa bernapas dengan bebas. Kecuali itu berkat Haecan, kita juga punya senter."

"Berkat Haecan hyung kita terjebak di sini!" tukas Jisung dengan marah, "Awas kalau sampai ketemu, Akan kuputar lehernya itu"

"Sayangnya kita tidak bisa membuktikan, betul-betul dia yang menyebabkan batu-batu tadi merosot, lagi pula aku tidak yakin kalo Haecan akan melakukan hal yang membahayakan nyawa kita" kata Doyoung.

Sambil bicara, Doyoung menyalakan senter. Seketika itu juga sinar terang memecah kegelapan dalam celah. Doyoung meneliti tempat itu dengan seksama. Ternyata merupakan semacam gua. Tingginya hampir dua meter, sedang lebarnya satu meter lebih sedikit. Ke arah belakang celah itu sangat menyempit. Jadi tidak bisa dimasuki, walau nampaknya dalam sekali.

Sebongkah batu besar terselip dalam mulut celah itu, menyumbat bagian bawahnya. Di atasnya bertumpuk-tumpuk lagi batu-batu. Sedang celah-celah di antara batu terisi penuh dengan tanah.

"Jalan ke luar tersumpal semua karena batu-batu longsor tadi." kata Doyoung

"Dalam keadaan begini pun, hyung masih saja suka bicara panjang lebar," keluh Jisung "Kenapa tidak bilang saja, kita tidak bisa keluar'? Kita terperangkap!"

"Aku tidak mau bilang begitu, karena belum terbukti," kata Doyoung "Tolong aku mendorong batu-batu itu. kalau bisa didorong..."

Ternyata tidak bisa. Walau sudah dicoba sekuat tenaga, tapi sia-sia belaka. Keduanya menghentikan usaha itu, Napas mereka tersengal sengal.

"Kai hyung nanti pasti mencari kita," kata Jisung dengan suram, "Tapi mana mungkin bisa ketemu! Lalu dia minta pertolongan polisi dan pramuka, Mereka lantas sibuk ikut mencari. Tapi takkan mungkin ada yang bisa mendengar kita berteriak-teriak di sini. Kalau akhirnya kita bisa juga akhirnya ditemukan, jangan-jangan baru minggu depan. Dan itu pun kita sudah... Hal Apa yang Hyung lakukan di situ?"

D

ilihatnya Doyoung berlutut sambil menatap ke arah sebelah belakang celah, Senternya disorotkan ke situ untuk menerangi.

"Aku melihat abu bekas api unggun di bawah debu," katanya. "Kelihatannya pernah ada pengembara berlindung di sini."

Doyoung meraihkan tangannya ke depan. Ia menepis-nepiskan debu sebentar, lalu menarik sebatang dahan yang panjangnya kira-kira semeter, sedang besarnya lima senti. Salah satu ujungnya nampak diruncingkan. Dahan itu sebagian hangus menjadi arang, sedang ujungnya yang runcing patah.

"Dan ini," katanya, "ini dahan yang dipakainya untuk memanggang makanannya di atas api, Kita bernasib baik, menemukan dahan ini."

Jisung memperhatikan dahan itu dengan perasaan sangsi, Kelihatannya sudah tua dan rapuh,

"Masa kuat untuk mencongkel batu," katanya. "Itu jika hyung bermaksud begitu!"

"Tidak," kata Doyoung singkat.

Doyoung kalau punya niat, biasanya tidak suka repot-repot menjelaskannya lebih dulu. dia lebih senang melihat bagaimana niatnya itu terlaksana dulu. Jadi Jisunh tidak bertanya-tanya lagi, sementara temannya vokalis NCT itu mengambil pisau saku buatan Swiss yang bermata delapan, yang tergantung di ikat pinggangnya.

Dengan pisau itu diruncingkannya kembali bagian dahan yang hangus.

Setelah runcing, ia lantas menghampiri dinding batu dan tanah yang menyebabkan mereka terkurung dalam celah. Mula-mula diteranginya seluruh permukaan dinding itu dengan cahaya senter. Dipilihnya suatu tempat di dekat pojok, lalu ditusukkannya ujung dahan ke tanah yang menyumpal di situ. Dengan segera tusukannya menemui rintangan Dahan dicabut lagi, lalu ditusukkan beberapa senti lebih jauh.

Doyoung mendorong dahan sambil memutarnya dengan pelan, mencari cari celah di antara batu-batu yang menyumbat. Setelah semenit dia begitu, dahan bisa ditusukkan maju dengan gampang. Doyoung menarik dahan itu kembali ke dalam. Tanah berguguran sedikit. Kini nampak cahaya terang dari luar, masuk lewat lubang yang dibuat Doyoung.

Remaja itu kembali menusuk-nusuk dinding tanah dan batu longsor itu.

Berulang kali ia menjumpai rintangan, Tapi ia tidak putus asa. Beberapa waktu kemudian sudah cukup banyak tanah yang terdorong, sehingga nampak batu kecil berbentuk agak lonjong di sebelah teratas tembok.

"Sekarang," kata Doyoung dengan nada puas. "jika kau mendorong sisi kiri bawah batu itu agak ke arah kanan, kurasa rencanaku bisa berhasil. Tapi hati-hati, dorong agak ke kanan. jangan lurus ke depan."

Jisung berdiri di atas sebongkah batu yang terletak di tanah, lalu mendorong seperti yang disuruh Doyoung. Mula-mula tidak bisa. Tapi tahu tahu batu yang didorongnya bergerak, lalu terjatuh ke luar. Langsung berguling-guling di lereng, menyeret batu-batu lain. Dan di depan kedua remaja itu nampak lubang yang besarnya sekitar setengah meter, di ujung atas tembok batu longsor itu.

"Kau memang jenius, hyung" seru Jisung dengan gembira.

"Aduh - jangan bilang aku jenius," kata Doyoung sambil mengernyit, "Aku cuma berusaha memanfaatkan kecerdasanku dengan sebaik-baiknya."

"Ya deh," kata Jisung, "Tapi hyung berhasil mengeluarkan kita dari sini, nanti, kalau kita sudah berhasil merangkak lewat lubang yang di atas itu."

Tapi ketika akhirnya mereka berhasil dan sudah berdiri di luar sambil membersihkan tanah dan debu yang melekat pada pakaian, Jisung mulai bingung lagi.

"Aduh, coba lihat kotornya diri kital" katanya cemas.

"Kita bisa mencuci badan dan membersihkan pakaian sebisa-bisa kita di pompa bensin," kata Doyoung. "Setelah itu kita melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal Mr. Sangra,"

"Kita masih mau ke Mr. Sangra?" tanya Jisung, sementara Doyoung sudah mendului berjalan menuruni lereng yang semakin banyak diliputi batu berhamburan. Mereka kembali ke tempat Rolls-Royce tadi diparkir.

"Ya," kata Doyoung pada Jisung, "sekarang sudah terlalu sore, tidak bisa lagi memeriksa Terror Castle dalam keadaan terang, Tapi kita masih sempat mendatangi Mr.Sangra."

Kai berseru lega, ketika melihat kedua remaja itu muncul. Sebelumnya dia mondar-mandir terus dengan gelisah di samping mobil.

"Doyoung" katanya. "Saya sudah mulai cemas, kamu mengalami kecelakaan?" sambungnya, begitu melihat keadaan Doyoung dan Jisung.

"Cuma kecelakaan kecil saja hyung," kata Doyoung.

"Anda sekitar empat puluh menit yang lalu melihat dua orang pemuda keluar dari ngarai, atau tidak hyung?"

"Waktunya agak lama sedikit dari itu," jawab Kai, sementara mereka masuk ke mobil.

"Dua orang pemuda berlari-lari ke arah sini, tapi dengan segera melesat ke samping begitu melihat saya. Mereka menyusup masuk ke semak di sebelah sana, Rupanya mereka menyembunyikan mobil di situ, karena sesaat kemudian sebuah mobil sport biru nampak meluncur pergi."

Jisung dan Doyoung saling berpandangan sejenak Kedua-duanya mengangguk, mobil Haecan berwarna biru.

"Kemudian saya mendengar bunyi batu longsor." kata Kai meneruskan laporannya, "Ketika kalian berdua tidak muncul-muncul setelah itu, saya lantas mulai khawatir. Soalnya di instruksikan tidak boleh meninggalkan mobil ini tanpa penjaga, tapi jika kalian tadi belum muncul juga, saya sudah bermaksud mencari."

"Jadi bunyi batu-batu longsor hyung dengar setelah kedua orang itu pergi dari sini?" tanya Doyoung

"Ya, jelas sesudah itu," kata Kai. "Ke mana kita sekarang Sir?"

"Ke Gangnam, rumah nomor 915," kata Doyoung sambil lalu.

Jelas remaja itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan Jisung tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika Haecan beserta temannya sudah pergi sebelum batu-batu tadi longsor, lalu siapa yang menyebabkannya?

Jisung melirik Doyoung. Dilihatnya hyungnya sedang menekan-nekan bibir bawah, tanda ia sedang berpikir.

"Rasanya misteri jejak roda yang satu lagi sudah terpecahkan," kata Doyoung, "rupanya itu jejak mobil Haecan. Tapi kalau begitu, siapa yang kita lihat dalam ngarai, setelah Haecan serta temannya lari?"

"Mungkin orang yang sebetulnya tidak ada," kata Jisung, "Pokoknya bukan hantu, setan atau roh halus."

"Memang, yang kita lihat itu manusia," kata Doyoung sependapat,

"Kai Hyung, nanti kalau ada pompa bensin kita mampir sebentar ya. Kami Ingin membersihkan badan,"

Setelah selesai mencuci badan dan membersihkan pakaian di suatu pompa bensin, mobil meluncur lagi. Mereka menyusur jalan berkelok kelok, mendaki punggung gunung, lalu menurun lagi ke lembah yang ada di belakangnya.

Mobil membelok ke kanan, dan setelah berjalan satu mil sampai di awal jalan yang mereka tuju, Jalan itu pada bagian awalnya lebar dan bagus, di kiri kanannya diapit rumah-rumah yang kelihatan mahal. Tapi kemudian makin sempit dan berkelok-kelok, sementara arahnya kembali mendaki punggung gunung yang baru saja diseberangi Di kiri kanan menjulang tebing terjal, pada beberapa bagian nyaris tegak lurus. Di sana sini ada bidang yang agak datar, hanya cukup untuk sebuah rumah kecil atau pondok,

Tapi Jalanya masih belum berakhir, Jalan itu menanjak terus, makin lama semakin sempit. Dan berakhir di depan lereng terjal berbatu-batu. Di situ ada tempat memutar yang sempit.

Kai menghentikan mobil. Kelihatannya ia agak bingung.

"Kita sudah sampai di ujung jalan," katanya, "Tapi saya tidak melihat tanda-tanda tempat ini didiami orang."

"Itu ada kotak surat!" seru Jisung sambil menuding. "Dan ada tulisannya, 915. Mestinya rumah itu letaknya di sekitar sini."

Jisung turun dari mobil bersama Doyoung. Kotak surat yang dilihatnya.

terpasang miring di samping semak yang tak terawat. Di belakang semak ada jenjang batu mendaki sisi bukit, di sela semak dan pepohonan yang tidak begitu tinggi. Kedua remaja itu mulai mendaki meninggalkan mobil serta Kai di bawah.

Mereka mengitari rumpun semak. Kemudian mereka melihat sebuah rumah bergaya Spanyol dengan atap genteng merah, dekat sekali ke sisi bukit. Di sisinya yang dekat ke dinding ngarai terdapat sejumlah kandang yang besar-besar, berisi burung parkit beratus-ratus Burung-burung itu beterbongan dari satu tempat bertengger ke tempat lain, sambil berteriak-teriak membisingkan telinga.

Jisung dan Doyoung berhenti melangkah. Mereka memandang kandang yang penuh dengan burung itu, Tiba-tiba terdengar langkah orang di belakang mereka. Keduanya terkejut. lalu cepat-cepat berpaling.

Mereka menatap seorang laki-laki yang saat itu datang menghampiri, Orang itu jangkung dan berkepala botak. Matanya tidak kelihatan di balik kaca mata hitam besar. Di lehernya nampak bekas luka memanjang, dari telinga memanjang ke bawah, hampir sampai di tulang dada.

Laki-laki itu membuka mulut. Terdengar suara parau, nyaris berbisik.

"Jangan bergerak Berdiri di tempat!"

Kedua remaja itu tegak seperti terpaku. Sementara itu laki-laki tadi terus mendekat, sambil menggenggam parang, Benda tajam itu berkilat kilat matanya, kena cahaya matahari.

Laki-laki jangkung botak itu datang bergegas, "Kalian jangan bergerak!"

bisiknya. "Jangan bergerak, jika masih ingin hidup!"

Jisung tidak perlu diperingatkan lagi, ia memang sudah tidak mampu berkutik. Parang berkelebat, mengiris udara antara dia dan Doyoung,

Lalu menghunjam ke tanah dekat kaki mereka. Laki-laki yang melontarkannya berseru kecewa.

"Meleset"

Setelah itu ia melepaskan kaca mata hitamnya. Ia terkejap-kejap sesaat. Ternyata matanya bersinar ramah, Karenanya tampangnya juga tidak begitu menyeramkan, seperti semula.

"Tadi ada ular dalam rumput, di belakang kalian," katanya. "Di sini kadang-kadang berkeliaran ular berbisa. Aku mencoba mengenainya dengan lemparan parang tadi, tapi rupanya aku terlampau terburu-buru."

Laki-laki itu mengambil selembar sapu tangan berwarna merah putih, lalu menyeka kening

"Aku tadi sedang membersihkan semak di atas bukit," katanya lagi. "Semak yang kering cepat sekali terbakar. jadi perlu disingkirkan. Tapi pekerjaan begitu sangat memeras keringat. Bagaimana, kalian mau minum limun bersamaku?"

Sementara itu Jisung dan Doyoung sudah mulai terbiasa mendengar suaranya yang berbisik-bisik Menurut dugaan mereka. penyebabnya pasti luka yang bekasnya nampak jelas di leher orang itu

Sangra berjalan mendului ke bungalonya. Dalam sebuah ruangan yang satu sisinya berdinding kawat nyamuk, nampak kursi-kursi santai serta sebuah meja, Di atas meja terletak kendi gelas berisi minuman dengan bongkah-bongkah es di atasnya. Kandang-kandang burung yang berisik bunyinya terdapat di balik kawat nyamuk.

"Aku hidup dari usaha mengembangbiakkan burung parkit," kata Mr. Sangra, sementara ia menuangkan limun ke dalam gelas. Setelah menyuguhkan pada Jisung dan Doyoung, dia pergi sebentar ke kamar sebelah.

Doyoung meneguk ilmu nya sambil termenung. "Bagaimana pendapatmu tentang Mr. Sangra?" tanyanya setelah beberapa saat pada Jisung

"Kelihatannya dia ramah" jawab Jisung "Maksudku, apabila sudah terbiasa mendengar suaranya."

"Ya, ia memang sangat ramah. Cuma aku agak heran, apa sebabnya ia mengatakan baru saja merambah semak dengan parang? Padahal kelihatan jelas, tangan dan lengannya bersih. Kalau ia tadi benar-benar habis memotong semak kering, tentunya ada ranting-ranting kecil tersangkut ke tangannya"

"Tapi untuk apa ia repot-repot tidak mengatakan yang sebenarnya pada dua remaja yang baru sekali ini dilihatnya? Untuk apa ia bohong pada kita hyung?"

Doyoung menggeleng.

"Aku juga tidak mengerti sebabnya. Tapi jika ia tadi cukup lama sibuk merambah belukar, bagaimana mungkin di sini sudah tersedia kendi berisi limun, dan es di dalamnya boleh dibilang masih utuh?"

"Aduh, hyung ini!" tukas Jisung, "Mungkin jawabannya gampang saja. Mungkin ia memang senang limun."

"Jawaban selalu gampang, apabila sudah diketahui. Hanya apabila belum diketahui, itu yang sulit?"

Doyoung langsung membungkam, karena saat itu Mr. Sangra datang lagi. Dia sudah berganti baju, Kini memakai baju sport berkerah, sementara lehernya terlihat syal.

"Ada orang yang merasa kurang enak melihat bekas lukaku," bisiknya,

"Karenanya aku biasa menutupinya dengan syal, kalau ada tamu. Luka ini tanda mata perlawatanku ke Indonesia, ketika aku masih muda. Aku terlibat dalam perkelahian di sana. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa sebetulnya kalian kemari?"

Doyoung menyodorkan kartu nama NCD. Sangra menerima kartu itu dan mengamat-amatinya sesaat.

"Neo Culture Detektif. Hm," katanya. "Lalu kalian sedang menyelidiki apa sekarang?"

Doyoung lantas menjelaskan bahwa kedatangan mereka untuk meminta keterangan tentang Suzana, Sementara itu Mr. Sangra memakai lagi kaca mata hitamnya.

"Mataku tidak tahan kena cahaya terang." bisiknya. "Aku paling awas melihat kalau malam. Dalam hal apa perhatian kalian terhadap Suzana sahabat lamaku itu?"

"Kami ingin tahu," kata Doyoung, "apakah Mis. Suzana mungkin menjelma menjadi hantu jahat yang mengusir setiap orang yang berani memasuki rumah tempat ia tinggal semasa hidupnya,"

Di balik kaca mata hitam, mata laki-laki jangkung itu seakan-akan sedang meneliti kedua remaja itu dengan waspada.

"Pertanyaanmu itu bagus sekali," katanya kemudian, "Sebaiknya kujawab begini saja. Temanku Suzana, sebetulnya sangat pemalu dan berhati lembut - walau dalam film ia selalu memainkan peranan hantu dan monster, bajak, laut dan macam-macam makhluk aneh. Karena wataknya yang pemalu itulah aku dikontraknya menjadi pengelola bisnisnya. Ia sendiri tidak sanggup menghadapi orang lain dalam hubungan dengan bisnis. Coba lihat saja foto ini."

Mr. Sangra meraih ke belakang, mengambil sebuah foto besar yang dipajang di atas meja. Foto itu menampakkan dua orang, laki-laki dan perempuan yang sedang berdiri di ambang pintu sambil bersalaman. Yang satu jelas Pembisik. Sedang yang satu lagi wanita tidak begitu tinggi dan kelihatannya lebih muda. Rupanya itulah foto asli dari foto dalam koran yang disertakan dalam berkas laporan Renjun

Foto itu dibubuhi tulisan: Untuk sahabat karibku, Sanra., dari Suzana.

"Dari ini bisa kalian lihat, akulah yang menangani segala urusan bisnisnya," kata Mr. Sangra. "Aku bisa menghadapi orang-orang! Mereka segan berbantah dengan aku. Dengan begitu Suzana bisa mencurahkan seluruh tenaga dan bakatnya untuk bermain film. Suzana sangat serius mengenainya. Ia senang bisa mengasyikkan penonton dan menakut nakuti mereka. Tapi ketika dalam filmnya yang terakhir para penonton Terpingkal-pingkal mendengar suaranya yang melengking karna tenggorokanya yang sakit, ia patah semangat. Satu-satunya yang paling tidak disukainya, ialah ditertawakan orang. Kurasa kalian tentu bisa memahami hal itu."

"Ya., Sir," kata Doyoung. "Saya bisa membayangkan perasaannya, Saya juga tidak senang ditertawakan."

"Ya, begitulah," kata Mr. Sangra dengan suaranya yang berbisik-bisik.

"Berminggu-minggu lamanya setelah film terakhir itu beredar, Suzana tidak mau keluar rumah, Semua pelayannya diberhentikan olehnya. Aku yang selalu berbelanja untuknya. Laporan tidak henti-hentinya mengalir masuk memberitakan bahwa penonton selalu terpingkal-pingkal, di mana saja filmnya dipertunjukkan, Aku mendesaknya agar melupakan saja kejadian itu. Tapi tetap saja murung."

"Akhirnya aku disuruhnya menarik semua copy film-film lamanya yang masih ada, Suzana bertekad film-film itu tidak boleh dilihat siapa pun lagi. Aku berhasil mengumpulkan film-film itu, dengan biaya, tidak sedikit Dan semua film itu kubawa ke tempatnya. Kemudian aku terpaksa melaporkan padanya, bahwa bank yang membiayai pembangunan rumahnya sudah mengancam hendak menyita Kastil itu, Soalnya, waktu itu masih muda dan mengharapkan masih bisa lebih banyak membuat film lagu karenanya ia boleh dibilang tidak punya uang tabungan."

"Saat itu hanya kamu berdua saja yang ada di ruang utama kastil, Aku ditatapnya dengan mata bernyala-nyata. Mereka takkan bisa mengusir aku dari sini," katanya. Tak peduli apa yang terjadi dengan jasadku, tapi arwahku tetap akan ada di sini untuk selama-lamanya."

Suara berbisik-bisik itu terdiam kaca mata gelap menghadap ke arah Doyoung dan Jisung, seperti tatapan mata makhluk asing. Jisung bergidik. "Hii," katanya seram. "Dari cerita Anda kedengarannya seperti ia sudah berniat hendak menjadi hantu."

"Ya, betul," sambut Doyoung. "Tapi Mr. Sangra. Anda tadi mengatakan Mis. Suzana lemah lembut wataknya. Orang seperti itu sulit bisa dibayangkan akan menjelma menjadi roh jahat, yang menimbulkan kengerian luar biasa dalam hati setiap orang yang memasuki kastil itu."

"Kau benar, Nak," kata laki-laki botak itu. "Tapi makhluk-makhluk gaib yang menimbulkan kengerian orang-orang itu, mungkin bukan arwah kawanku. Barangkali saja yang menakut-nakuti itu hantu lain yang lebih menyeramkan. Keras sekali dugaanku, tempat itu kini dihuni hantu-hantu lain."

"Hantu-hantu lain yang lebih jahat?" Jisung meneguk ludah beberapa kali

"Ya, betul." jawab Mr. Sangra. "Sebetulnya, kemungkinannya ada dua! Kalian tentunya tahu, waktu itu mobil Suzana ditemukan hancur di kaki tebing karang?"

Jisung dan Doyoung mengangguk.

"Dan kalian juga mendengar tentang pesan tertulis yang ditinggalkan dalam kastil, dalam pesan di mana dikatakan bahwa tempat itu terkutuk untuk selama-lamanya?"

Kedua remaja itu sekali lagi mengangguk, sementara mata mereka tertatap terus ke wajah Mr. Sangra.

"Polisi merasa pasti, kawanku itu membunuh diri dengan jalan menjatuhkan mobilnya ke kaki tebing," kata orang itu. "Dan kurasa dugaan mereka tepat. Tapi aku sendiri tidak pernah lagi melihat Suzana sejak pembicaraan terakhir kami yang sudah kuceritakan tadi. Aku disuruhnya pergi setelah diminta berjanji tidak menginjak tempat itu lagi."

"Aku ingin tahu, apa yang dipikirkannya pada saat ia menulis surat itu. Ingat, semasa hidupnya ia kerjanya membuat orang takut. Lalu kemudian orang-orang menertawakan dirinya. Mungkin saja kan, ia bertekat setelah mati melanjutkan kerjanya menakut-nakuti, untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa seenaknya saja dijadikan bahan tertawaan?"

"Anda tadi mengatakan, ada dua kemungkinan," kata Doyoung mengingat, ketika laki-laki berkepala botak itu kelihatannya termenung. Anda juga bicara tentang hantu-hantu lain, yang lebih menyeramkan."

"Oya, betul." kata Mr. Sangra. "Ketika Suzana membangun kastilnya, dari segala penjuru dunia didatangkannya bahan-bahan yang berasal dari bangunan-bangunan yang kabarnya berhantu. Dari Jepang didatangkan balok-balok kayu dari sebuah kuil kuno yang penuh hantu, di mana pernah ada sekeluarga kaum bangsawan tumpas ketika terjadi gempa bumi."

"Ia juga memberi bahan bangunan dari puing-puing gedung tua di Inggris, di mana seorang gadis cantik mati menggantung diri karena tidak mau dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ia mengimpor batu yang berasal dari sebuah kastil di tepi Sungai Rhein di Jerman, yang kabarnya berpenghuni hantu seorang pemain musik yang mati di situ setelah dikurung selama bertahun-tahun dalam sel bawah tanah di situ, Menurut riwayatnya, pemain musik itu dihukum bangsawan yang berkuasa di situ, karena memainkan musik yang tidak sesuai dengan seleranya. Setelah pemain musik itu meninggal, lagu yang menyebabkan kebinasaan nya sering terdengar mengalun dari dalam kamar musik yang selalu terkunci."

"Aduh!" seru Jisung. "Apabila segala arwah itu kini gentayangan dalam Terror Castle, tidak mengherankan jika tempat itu tidak bisa ditinggali lagi dengan aman."

"Itu mungkin benar, tapi mungkin juga tidak," kata Mr. Sangra dengan suaranya yang nyaris berbisik. "Yang kuketahui dengan pasti cuma bahwa bahkan kaum gelandangan dan pencuri pun tidak ada yang berani mendekati Terror Castle. Sekali sebulan aku datang ke sana lalu berdiri di depannya, untuk melihat keadaan satu-satunya peninggalan kawan karibku. Dan selama bertahun-tahun, belum pernah kulihat ada tanda-tanda orang pernah ke situ."

Doyoung mengangguk. Keterangan Mr. Sangra sesuai dengan pengamatannya sendiri bersama Jisung. Tapi ia tidak menyebutkan orang tak dikenal yang menggelindingkan batu sehingga nyaris mencelakakan mereka.

"Lalu bagaimana dengan kabar dalam koran-koran yang memberitakan tentang musik aneh yang kedengarannya seperti berasal alat orgel kepunyaan Mis. Suzana? Dan juga tentang Hantu Biru?" tanya Doyoung.

"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa tentang itu Aku belum pernah melihat Hantu Biru. Yang kuketahui, sewaktu dia masih hidup Suzana pernah mengatakan bahwa beberapa kali mendengar bunyi musik aneh dari organel yang terdapat dalam ruangan proyeksi film, Sekali ia pernah mencoba untuk memeriksa. Ruangan itu dikunci dari luar. Semua peralatan listrik orgel itu dilepaskan. Tapi musik masih tetap saja terdengar. Namun langsung berhenti, begitu ia memasuki ruangan."

Jisung meneguk ludah karena merasa ngeri. Mr Sangra melepaskan kaca mata hitamnya, sementara matanya terkejap-kejap.

"Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti Terror Castle dihantui arwah sahabatku, atau arwah orang lain," bisiknya, "tapi aku sendiri, biar diupah sepuluh ribu dollar pun, tetap tidak mau menginap di tempat itu semalam."

****

"Doyoung" suara Taeil berkumandang lantang pada hari yang cerah itu. "Tumpukkan barang-barang itu ke pagar, Jisung Kau membantu Doyoung mengangkut batang-barang Itu, Dan kau, Renjun catat semuanya?"

Suasana di asrama utama NCT hari itu sibuk sekali. Renjun duduk di atas bak kursi. Sambil mencatat jumlah bermacam-macam barang ia berpikir apakah mereka sempat menyelinap pergi sebentar ke Markas Besar untuk mengadakan pertemuan. Sudah dua hari berlalu sejak Jisung dan Doyoung mengunjungi Pembisik. Tapi sejak itu mereka belum sempat mengadakan pertemuan. Manejer mereka dan Taeil tidak henti-hentinya menyuruh mereka bekerja. Dan kalau tidak, Renjun masih ada tugas pula di perpustakaan, sedang Jisung ada pemotretan iklan.

Taeil dan Menejer mereka baru saja habis memborong barang-barang untuk di sumbangkan ke panti asuhan. Karenanya banyak sekali barang baru mengalir ke Asrama mereka sebelum di berikan ke panti, untuk di data.

Melihat gejala-gejalanya, mungkin baru seminggu lagi ketiga remaja itu agak luang sedikit waktu mereka sehingga sempat membicarakan hal-hal misterius yang sedang mereka hadapi.

Menjelang tengah hari terjadi selingan, Taeil menoleh, ketika untuk kesekian kalinya truk besar masuk lewat gerbang besar. Chenle dan Jaemin,  duduk di atas sebuah kursi kayu berukir indah mereka duduk seperti bertakhta di atas tumpukan barang yang baru dibeli, mungkin mereka bete karna Haecan sedang tidak ada, dia sedang keluar bersama temanya.

Taeil dan Menejer mereka kalau pergi berbelanja barang, apa saja yang menarik perhatiannya selalu langsung dibeli, Mark dan Jonny terpekik truk itu berhenti di dekatnya.

"Masya Allah!" teriaknya "Taeil hyung! Apa lagi yang kaubeli kali ini? Lama-lama kita bisa bangkrut, kalau begini terus!"

Taeil melambai dengan pipanya ke arah mereka, sambil berpegang erat pada sejumlah tabung logam besar yang menjulur berbentuk kipas, Tabung-tabung itu merupakan bagian dari suatu organel yang tingginya sekitar dua setengah meter.

"Aku membeli orgel, Mark, itu buat ku bukan untuk di sumbangkan" seru Taeil. Walau tubuhnya kecil, suaranya berat sekali. "Aku hendak belajar main orgel. Ayo, semuanya bantu... Alat musik antik yang berharga ini harus kita turunkan dengan hati-hati sekali, supaya jangan rusak."

Taeil meloncat turun dengan gembira, disusul oleh Menejer mereka, petugas yang mengantar barang menggeser orgel itu ke landasan lift yang terpasang di sebelah belakang truk. Ketika letaknya sudah beres, menejer NCT itu menggerakkan kendali, dan dengan pelan landasan dengan muatannya turun ke tanah.

"Hyung membeli orgell" Mark begitu tercengang, sampai lupa menyuruh Doyoung serta Jisung dan Renjun bekerja terus. Anak bertubuh bongsor itu menyumpah-nyumpah. "Mau apa hyung dengan orgel?"

"Mau apa? Belajar memainkannya, Mark," katanya, "Aku dulu pernah menjadi pemain alat semacam itu di sirkus."

Dipimpin Taeil, menejer mereka dan petugas pengantar barang menurunkan bagian-bagian selebihnya dari orgel itu. Kedua laki-laki petugas itu orang Indonesia yang berasal dari daerah Sumatra. Keduanya bertubuh kekar dan langsing sekali, nyaris dua meter. Mereka sangat kuat. Apa saja bisa mereka angkot.

Kecuali gunung, tentunya!

Taeil memutuskan, orgel harus ditaruh di sisi pagar yang terdekat ke rumah. Dua laki-laki Indonesia itu sibuk mengangkut sampai akhirnya semua bagian orgel sudah dipindahkan ke situ, tinggal dipasang saja lagi.

"Ini orgel asli, yang dibunyikan dengan jalan menghembuskan udara ke dalam pipa," kata Taeil dengan bangga pada Doyoung, Jisung, Renjun serta member NCT yang lainya, "Aku menemukannya bersama Canyeol hyung dalam sebuah teater kecil yang akan digusur, di jalan menuju Gangnam."

"Masya Allah." desah Mark, "Untung saja tempat ini jauh dari tetangga."

"Kalau orgel yang benar-benar besar," kata Taeil menyambung ceritanya, "bisa dipasang pipa yang ukurannya begitu rupa besarnya, sehingga bunyinya berat sekali, tidak bisa ditangkap lagi oleh telinga manusia."

"Kalau tidak bisa didengar, masa masih disebut bunyi, hyung?" tanya Doyoung.

"Masih ada yang bisa mendengarnya mungkin gajah, karena mereka bertelinga besar," jawab Taeil sambil terkekeh.

"Apa gunanya orgel yang bunyinya tidak bisa didengar?" tanya Jisung, "Maksudku, mana ada orgel yang spesial dibangun untuk dinikmati gajah."

"Entahlah, Dek- aku juga tidak tahu," jawab Taeil,"Kurasa ada saja gunanya bagi ilmu pengetahuan."

"Ya, misalnya saja ada peluit untuk anjing, yang bunyinya tidak bisa kita dengar, karena nadanya tinggi sekali," sela Renjun.

"Ya, betul," kata Taeil. "Mungkin sirkus bisa membuat peluit untuk gajah, dengan nada rendah, kebalikan dari nada tinggi untuk anjing."

"Subsonik," sela Doyoung, "Bunyi, atau tepatnya getaran bunyi yang sangat rendah disebut getaran subsonik. Sedang yang terlalu tinggi untuk telinga manusia, namanya getaran ultrasonik."

Perhatian mereka terpusat pada orgel, sehingga tidak ada yang melihat sebuah mobil sport berwarna biru memasuki pekarangan lalu berhenti

dengan mengejut di belakang mereka, Pengemudinya, seorang bertubuh kurus jangkung dengan hidung mancung, menekan tuter.

Bunyinya mengejutkan ketiga remaja yang sedang asyik dengan orgel.

Ketiga-tiganya berpaling dengan cepat, disambut suara tertawa terbahak-bahak. Pemuda kurus jangkung itu yang tertawa, ditimpali kedua temannya yang duduk di sampingnya.

"Baekhyun hyung, Canyeol hyung dan Haecan hyung!" seru Jisung, sementara Haecan menggeser tubuhnya ke samping, keluar dari mobil.

"Mau apa mereka ke sini?" tanya Renjun.

Haecan hanya beberapa bulan saja dalam setahun tinggal di Asrama. Tapi bagi Doyoung serta Jisung dan Renjun, waktu beberapa bulan itu pun sudah terlalu lama rasanya.

Haecan merasa dirinya cerdas sekali. Ditambah keuntungan sudah bisa menyetir mobilnya sendiri, ia yang nama lengkapnya Kim Dong Hyuk berusaha keras untuk menjadi kepala kaum remaja yang sebaya dengan dia. Tapi kaum remaja SM Entertainment, pada umumnya tidak peduli terhadapnya. Hanya beberapa anak tanggung saja yang karena terpikat keroyalannya serta pesta-pesta yang diadakan olehnya, lantas mau menjadi pengikutnya. Dan pengikut yang sedikit itu, bagi Haecan sudah CUKUP untuk merasa dirinya hebat.

Hecan menghampiri Trio N.C.Detektif sambil tertawa-tawa geli Sementara Baekhyun dan Chanyeol memperhatikan dari dalam mobil. Dia menjinjing sebuah kotak sepatu yang tertutup, Ketika sudah hampir sampai di tempat Doyoung berdiri, dengan cepat diambilnya alat pembesar yang besar dari kantongnya, lalu pura-pura memeriksa keadaan sekitarnya dengan alat itu. Sementara itu Taeil dan yang lainya kecuali Jisung dan Renjun sudah pergi dengan bagian-bagian orgel, dibantu menejer mereka dan Petugas oengantar barang.

"Ah, yes." Haecan menirukan gaya bicara orang Inggris, tapi sama sekali tidak kena, "Kurasa inilah tempatnya. Ciri khas barang rombengan yang hanya bisa ditemukan di tempat jual beli barang rombengan milik Doyoung hyung."

Ucapan sok lucu itu disambut tertawa terkekeh-kekeh dari kedua pria yang ada di mobil. Jisung mengepalkan tinjunya.

"Hyung mau apa kemari, Bukanya baru bulan kemarin hyung di sini?" tanyanya dengan geram. Tapi Haecan berbuat seperti tidak mendengar. Dengan lensa pembesarnya ia pura-pura meneliti Doyoung. Setelah itu dikembalikannya ke kantong

"Jelas, tidak salah lagi - Andalah Doyoung Mac Sherlock, detektif yang kenamaan itu," katanya. Dia masih terus sok berlogat Inggris, walau kedengarannya payah. "Ini saat yang sangat menyenangkan bagiku. Aku datang dengan suatu kasus yang membingungkan seluruh Seol. Pembunuhan keji terhadap korban yang tidak bersalah, Aku yakin, Hyung pasti bisa menyingkapkan rahasia ini."

Sambil berkata begitu, disodorkannya kotak sepatu tertutup pada Doyoung. Tanpa membukanya pun, ia serta kedua temannya sudah bisa menebak Isinya. Penciuman mereka yang memberitahukan. Tapi walau begitu Doyoung masih juga membuka kotak itu dan melihat isinya, sementara Haecan memperhatikan dengan cengiran lebar

Dalam kotak itu tergeletak bangkai seekor tikus putih yang besar. Dari baunya bisa diketahui bahwa binatang itu sudah lama mati.

"Hyung merasa bisa berhasil mengusut kejahatan keji ini, Mac Sherlock?" tanya Haecan, "Aku menyediakan hadiah besar bagi barang siapa yang berhasil membekuk pelakunya. Lima puluh kupon toko serba ada!"

Baekhyun dan Chanyeol yang di mobil tertawa terkekeh-kekeh mendengarnya.

Rupanya mereka menganggap ucapan itu lucu. Tapi air muka Doyoung sedikit pun tidak kelihatan berubah. Ia hanya mengangguk dengan pelan, dengan sikap berwibawa.

"Aku bisa mengerti bahwa kau ingin menuntut keadilan." katanya, "karena kulihat korban ini salah satu teman karibmu."

Begitu kalimat itu terdengar, kedua orang yang ada dalam mobil langsung berhenti tertawa. Sedang Haecan yang tadi meringis, kini merah padam mukanya.

"Menurut pengamatanku secara sambil lalu," kata Doyoung melanjutkan "kurasa sahabatmu ini mati karena sakit perut. Mungkin karena terus menerus terpaksa menelan omongan besar seseorang yang identitasnya untuk sementari masih tersembunyi di belakang huruf-huruf K.D.H."

"Hyung mau kocak, ya?" tukas Haecan.

Sayangnya remaja itu selalu lenyap kemampuannya bersilat lidah, justru pada saat yang paling diperlukan

"Aku lantas teringat, ada sesuatu padaku yang harus kuserahkan padamu," kata Doyoung. Kotak sepatu berisi tikus mati digeletakkannya di atas tumpukan besi itu, lalu ia bergegas ke kantor perusahaan yang hanya beberapa langkah dari situ. Ia kembali ia membawa senter yang dipungutnya di Lereng.

"Di sini terukir huruf-huruf K.D.H." katanya. "Mungkin singkatan Kim Dong Hyuk?"

"Kemarikan senter itu" tukas Haecan, sambil menyambarnya dari tangan Doyoung, lalu berbalik kembali ke mobilnya,

"Detektif" ejeknya kemudian, "Uahh, detektif konyol. Anak-anak pasti tertawa setengah mati membayangkan kalian sebagai penyelidik."

Ia mengundurkan mobilnya dengan kasar. Kendaraan itu melesat ke luar lewat gerbang besar, diperhatikan oleh Doyoung, Jisung dan Renjun.

"Sudah kusangka dialah yang mengambil kartu itu di perpustakaan," kata Renjun. "Kenyataannya, ia tahu bahwa kita mendirikan biro Detektif."

"Memang kita menginginkan semua orang tahu," kata Doyoung. "Sekarang kita harus semakin berusaha agar jangan gagal dalam menangani kasus pertama ini."

Dia memandang berkeliling, Dilihatnya Anak anak lainya sedang sibuk memasang orgel dekat pagar, dibantu oleh Menejer mereka dan sua orang yang membawa orgel ke asrama.

"Saat ini tidak ada yang memperhatikan kita," katanya. "Jika kita bergegas sedikit, kita sempat mengadakan rapat sebentar sebelum disuruh makan siang."

Da mendului berjalan menuju ke Terowongan Dua,

Dan tepat pada saat itu terjadi kesialan. Tanpa disengaja. Doyoung menginjak sebatang pipa yang langsung tergulir ke samping. Doyoung terpeleset dan terbanting keras ke tanah. Jisung dan Renjun melihat teman mereka itu menggeretakkan geraham karena kesakitan, ketika mencoba bangkit

"Pergelangan kakiku terkilir," katanya. Ditariknya kaki celananya ke atas untuk memeriksa. Ternyata pergelangan kakinya nampak mulai bengkak.

"Kurasa aku perlu ke dokter," katanya kesal.

To Be CONTINUED

avataravatar
Next chapter