webnovel

Naruto Story : Love, Decision, And Hatred

Dua tahun telah berlalu sejak perang dunia shinobi ke-4. Semua kembali normal Sasuke telah kembali dan menjalani petualangan bersama tim taka. Naruto mulai belajar untuk mengejar mimpinya sebagai Hokage dan Sakura mulai menyadari perasaannya terhadap Naruto telah berubah. Sementara itu sosok misterius muncul mengancam kedamaian dunia shinobi apa yang akan terjadi? Naruto masih milik paman Masashi Kishimoto

VaughnLeMonde · Anime & Comics
Not enough ratings
40 Chs

Chapter 38 : Love

"Aw! Kau terlihat sangat cantik Sakura!"

"Benarkah?"

Sakura memutar-mutar tubuhnya, meneliti dari bawah hingga atas pantulan bayangan di dalam cermin, terkagum-kagum dengan Kimono yang tersemat di tubuhnya.

"Ya! Ibu jadi semakin tidak sabar menunggu besok!" Seru Mebuki, mengangguk sambil tersenyum manis.

"Ah, Sakura kecilku akan menikah, aku jadi tidak rela!" Rengek Mebuki, dengan cepat memeluk Sakura dsri belakang, membuat Sakura sedikit terkejut.

"Nanti pasti kamu sibuk, rumah bakal terasa sepi deh." Gerutu Mebuki, semakin mengeratkan pelukannya.

"Kaa-san bicara apa sih, aku pasti akan sering berkunjung kok!" Seru Sakura, terkekeh melihat kelakuan manja ibunya.

"Benarkah?" Tanya Mebuki, menatap lekat-lekat ke arah Sakura dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tentu saja Kaa-san!" Ujar Sakura, tersenyum manis.

"Janji ya, kau tahu kan bagaimana kelakuan ayahmu itu, Kaa-San bakal kerepotan menanggapi jokes bodohnya itu sendirian." Ujar Mebuki, mulai melepaskan pelukannya.

"Ya akhir-akhir ini ayah jadi mempengaruhi Naruto, sepertinya Naruto menyukai jokes ayah." Gerutu Sakura, menunduk suram mengingat jokes ayahnya.

"Haha, dasar sepertinya mereka tidak boleh dekat-dekat terus, kita harus menjauhkan mereka Sakura!" Tegas Mebuki, menepuk kedua pundak Sakura, menatapnya dengan raut wajah serius.

"Kau benar Kaa-San, kita tidak boleh membiarkan masalah ini, aku tidak mau Naruto berubah menjadi seperti ayah dalam hal jokesnya!" Seru Sakura, sangat bersemangat.

Setelahnya, pasangan ibu dan anak itu akhirnya tertawa keras, menertawai rencana konyol mereka, bagaimana pun itu hanyalah candaan belaka, sekedar mencairkan suasana.

"Nah sekarang aku ingin bertanya, bagaimana cerita kalian hingga akhirnya berujung dengan pertunangan? Sepertinya romantis sekali, Kaa-San jadi pengen dengar langsung darimu!" Tanya Mebuki, tersenyum lembut di akhir.

Sakura terkesiap, semburat merah kecil mulai menghiasi kedua pipinya, sedikit memalingkan muka sambil menggaruk pelipisnya, mulai gugup.

"Ituu.. ceritanya agak panjang, Kaa-San yakin ingin dengar?" Tanya Sakura pelan, masih menggaruk pelipisnya.

"Cerita kalian waktu itu terlalu cepat!" Dengus Mebuki sebal, segera bergerak ke arah bangku di ujung ruangan, meninggalkan Sakura yang mulai mengerenyit bingung.

"Mari duduk, kau bisa cerita lebih detail sekarang." Ujar Mebuki, terduduk di atas bangku sambil menepuk sebelah sisi yang kosong, meminta Sakura menghampirinya.

Sakura yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecil, segera menghampiri ibunya yang sudah terduduk manis dan memasang kedua telinga untuk mendengarkan semua cerita dari Sakura.

-------------------

"Hmm, tidak buruk anak muda!"

"Heh, begitukah?"

Kizashi mengangguk mantap, menatap Naruto yang tengah berdiri di depan cermin, terus tersenyum sambil menyenderkan punggungnya di depan pintu ruangan.

"Apa Kimono pernikahan itu harus berwarna hitam ya?" Tanya Naruto, memutar bola matanya, meneliti seluruh bagian Kimono yang dikenakannya.

"Tentu saja, ini kan acara pernikahan, kau harus mengenakan Kimono yang paling formal!" Sahut Kizashi, mulai menghampiri Naruto yang masih terus sibuk memperhatikan penampilannya saat ini.

"Heh, benar juga, aku hampir lupa." Ujar Naruto, menggaruk belakang kepalanya, tertawa canggung menertawakan kebodohannya tadi.

"Naruto." Kizashi menggenggam erat kedua pundak Naruto, membuat Naruto sedikit terkejut, apalagi saat ini Kizashi menatapnya dengan sangat serius.

"I-iya?"

"Jagalah Putriku."

"Eh?"

Naruto terkesiap, Kizashi terus menatapnya dengan serius, membuat kedua mata Naruto membulat, seger menunduk kecil sebelum akhirnya tersenyum.

"Tentu saja paman, kau tidak perlu mengingatkan hal itu padaku!" Seru Naruto, mengacungkan jempolnya, tersenyum lebar.

"Panggil aku ayah."

"Eh?"

"Sehari lagi kau akan resmi menjadi menantuku, jadi mulai sekarang kau harus panggil aku ayah!" Seru Kizashi, tersenyum lebar smabil mengedipkan matanya.

"Baik ayah!" Seru Naruto cepat, membungkuk singkat pada Kizashi.

"Ternyata dugaanku tidak salah ya." Gumam Kizashi, membuat Naruto yang mendengarnya mengerenyit bingung.

"Maksud ayah?"

Tep.

Naruto kembali terkesiap, Kizashi kembali menggenggam kedua bahunya dengan erat, menatap tajam ke arah Naruto, sedikit membuat Naruto merinding.

"Kau memang orang yang paling pantas!" Ekspresi Kizashi seketika itu melembut, tersenyum lebar ke arah Naruto.

"Pantas? Pantas untuk apa?" Ekspresi Naruto kembali berubah, mengerenyit bingung sekarang, tak bisa mencerna maksud dari perkataan Kizashi tadi, akibat dari kegugupan yang melanda.

"Tentu saja pantas untuk meminang Sakura kecilku!" Tegas Kizashi, terkekeh pelan di akhir.

"Aku tidak pernah ragu untuk menjadikanmu satu-satunya orang yang pantas untuk menikahi Sakura, hanya kau, tidak ada pilihan lain." Tambah Kizashi, tersenyum lembut.

Naruto terdiam, kedua matanya kembali membulat, mengerjapkannya sesekali, kembali terkejut dengan perkataan Kizashi.

"Ah, ternyata itu ya...." Gumam Naruto, tersenyum kecil.

"Hmm?" Kizashi mengerenyit bingung, tidak mengira respons Naruto akan seperti itu.

"Terima kasih, terima kasih telah percaya padaku." Jawab Naruto, tersenyum lebar di akhir.

"Hah, aku seharusnya yang berterimakasih nak, kau yang telah membuat Sakura menjadi wanita kuat seperti itu, bahkan aku sebagai ayahnya tidak bisa melakukan hal itu."  Jelas Kizashi, mulai menghela nafas, merasa respons Naruto tadi terlalu berlebihan.

"Tidak, Sakura lah yang membuatku menjadi seperti ini, dialah yang menyelamatkanku, aku seharusnya yang berterimakasih." Sanggah Naruto, nada bicaranya mulai melembut, tatapannya begitu tenang.

"Mungkin jika bukan karena Sakura, aku sudah mati saat misi pertamaku sebagai ninja!" Tambah Naruto, tersenyum lembar sambil menggaruk belakang kepala.

"Benarkah? Sakura tidak pernah cerita waktu itu, dia hanya menceritakan betapa ketakutan dirinya melihat si bocah Uchiha itu hampir mati." Sela Kizashi, mengangkat dagu menggunakan salah satu tangannya sambil memejamkan mata.

"Tentu saja, mungkin dia lupa, atau mungkin dia tidak menyadarinya, entahlah." Naruto mengangkat kedua bahunya.

"Yang pasti aku ingat peristiwanya, jika bukan karena Sakura yang mendorong tubuhku waktu itu, mungkin aku sudah mati mengenaskan dengan tubuh yang terbelah dua karena serangan shuriken waktu itu." Tambah Naruto, terkekeh pelan, menertawakan kecerobohannya waktu itu.

"Wow aku tidak mengira kau akan sesantai ini membicarakan kejadian mengerikan itu!" Sela Kizashi, terlihat sangat terkejut dengan sikap Naruto tadi.

"Dan sepertinya ayah juga melewatkan maksud dari perkataanku tadi." Sela Naruto, tersenyum kecil.

"Hmm, katakan apa yang aku lewatkan?" Tanya Kizashi, mulai penasaran.

"Yang ingin kukatakan adalah, kau salah mengira jika aku yang membuat Sakura menjadi kuat seperti sekarang, Sakura-Chan, dia, kuat karena usahanya sendiri..." jelas Naruto, mengalihkan pandangan ke arah langit-langit ruangan.

"Dia kuat karena dirinya sendiri, dia adalah gadis paling berani, bahkan saat itu dia bisa membahayakan nyawanya sendiri, namun dia tetap menolongku, tanpaku.... dia sudah menjadi seorang Kunoichi yang hebat!" Tambah Naruto, tersenyum lebar.

Kizashi terkejut, matanya mulai berkaca-kaca, mulai merasakan perasaan bersalah sekarang.

"Kau benar, sepertinya sebagai ayah aku hanya terus menganggap Sakura sebagai sosok yang lemah." Ujar Kizashi pelan, mulai menunduk lesu.

"Tidak perlu merasa bersalah paman, mungkin itulah tandanya kau sangat mengkhawatirkan Sakura, mungkin jika aku menjadi seorang ayah kelak aku pasti akan memikirkan hal yang sama." Sela Naruto, mencoba membuat Kizashi tidak merasa bersalah lagi.

"Tunggu sebentar." Sela Kizashi, nada bicaranya terdengar datar.

"Apa Sakura hamil? Apa aku akan menjadi seorang Kakek sebentar lagi?!" Pekik Kizashi tiba-tiba, dengan cepat mengangkat kepalanya sambil menatap Naruto dengan mata yang berbinar-binar.

Naruto terkesiap, muncul semburat merah kecil di kedua pipinya, dengan segera menggeleng cepat.

"Tidak-tidak, Sakura-Chan tidak hamil kok! Kenapa paman tiba-tiba berpikir seperti itu?" Pekik Naruto, masih tergugup, rasanya calon mertuanya ini menyimpulkan sesuatu dengan sangat cepat.

"Heh? Bukankah tadi kau bilang kau akan menjadi ayah?" Tanya Kizashi, terlihat sedikit kecewa, keinginannya tak jadi terkabul.

"Etoo.. bagaimana ya, aku memang akan menjadi ayah, tapi bukan berarti Sakura sudah hamil sekarang kan?" Tanya Naruto sedikit tergugup, menggaruk pelipisnya.

"Ah, kau membuat harapanku hilang!" Seru Kizashi, menunduk suram.

"Lagipula bukannya terlalu cepat untuk memikirkan hal itu? Kita bahkan belum resmi menikah."

"Tidak, kalian harus cepat memberi aku cucu, aku tidak mau menunggu terlalu lama!" Seru Kizashi, kembali tersenyum lebar ke arah Naruto, sambil menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.

Naruto terkesiap kembali, sedikit menjauh dari Kizashi yang mencodongkan wajahnya ke arah dirinya.

Melihat ekspresi Naruto yang terlihat gugup dan ketakutan membuat Kizashi akhirnya tertawa keras.

"Hei, tidak usah gugup begitu, aku hanya bercanda." Ujar Kizashi, membuat Naruto akhirnya menghela nafas lega.

"Hmm, kalau begitu bagaimana kalau kita pergi ke ruangan pengantin wanita, kau tentu sudah penasaran bukan?" Ajak Kizashi, tersenyum aneh ke arah Naruto.

"Lagipula aku punya sedikit rencana!" Tambah Kizashi, mulai menyeringai.

"Sepertinya menarik, baiklah aku ikuti rencanamu ayah!" Naruto ikut menyeringai.

-----------------

Tok.. Tok...

"Permisi, ada kiriman!"

Ketukan pintu terdengar di sana, membuat Mebuki dan Sakura yang sedang asik saling bercerita menoleh ke arah pintu, mengerenyit bingung.

"Kaa-San pesan sesuatu?" Tanya Sakura, mengalihkan pandangannya ke arah ibunya yang terlihat bingung juga.

"Tidak, apa kau pesan sesuatu Sakura?" Mebuki menggeleng singkat, balik bertanya.

"Hmm, ini aneh." Ujar Sakura, berbalik kembali menatap pintu yang masih tertutup rapat, sesekali terdengar kembali ketukan pintu.

"Buka saja, mungkin Naruto pesan sesuatu?" Ujar Mebuki, mengangkat kedua bahunya.

"Hmm." Sakura berdehem, beranjak dari kursinya sambil melangkah mendekati pintu, mulai sedikit penasaran.

"Permisi!" Seru sebuah suara dari balik pintu, terdengar sedikit meninggi sekarang.

"Tunggu sebentar!" Sahut ketus Sakura, mulai risih dengan orang yang terus mengetuk dari balik pintu.

"Hihihi, kau tau bukan apa yang harus kau lakukan?" Seseorang tertawa kecil dari balik pintu, Sakura tidak dapat mendengarnya.

"Tentu, ini akan menyenangkan!" bisik Salah satu orang itu, ikut tertawa kecil, mulai menghirup udara dalam-dalam sambil memejamkan mata.

"Ada apa ya?" Tanya Sakura setelah membuka pintu, tanpa melihat secara langsung siapa yang ada di hadapannya sekarang.

"Ah, Maaf, apa benar ini ruangannya nona-"

Perkataannya tercekat, sosok itu terkesiap melihat penampilan Sakura yang ada di hadapannya sekarang, begitu cantik hingga membuat dirinya merona tipis.

"-Sakura-Chan...."

"Permisi?" Sakura berkerenyit bingung, sedikit risih dengan orang asing yang tiba-tiba memanggilnya dengan panggilan seperti itu.

Duk.

Salah satu sosok asing itu menyikut pelan temannya yang masih terkesiap, berusaha membuat temannya itu untuk sadar kembali.

Sikutan itu akhirnya menyadarkan dirinya, mengerjapkan mata-nya sesekali sambil menggeleng singkat.

"Ehem, maaf sepertinya aku sudah lancang, apa benar ini ruangan nona Sakura?" Sosok tinggi itu berdehem singkat, mencoba bertanya dengan tenang, mulai menunjukkan ekspresi muka datar.

"Iya benar, ada apa ya?" Tanya Sakura, sedikit ragu, rasanya sosok di sampingnya ini terasa familiar sekali, apalagi mendengar panggilan tadi, membuat Sakura sedikit curiga.

"Begini, ada yang ingin kami sampaikan kepada Nona Sakura, tapi kami ingin berbicara langsung dengannya, apa dia ada di dalam?" Sahut sosok satu lagi, menyela temannya yang hendak menjawab,erasa temannya itu sudah sedikit gugup.

"Saya Sakura, jadi apa yang ingin kalian bicarakan?" Tanya ketus Sakura, sedikit kesal dengan kedua sosok asing di hadapannya itu, memanggil dengan panggilan seperti itu tapi tidak mengenali dirinya dengan benar, sungguh aneh.

'Siapa sih mereka ini? kok bisa masuk dengan mudah? apa mereka pengawal Hikaru ya?'

"Jadi anda Nona Sakura?!" Pekik si sosok tinggi, menunjuk ke arah Sakura sambil menunjukkan ekspresi wajah terkejut.

Si temannya ikut terkejut, terlihat sudah melongo menatap Sakura, kedua matanya bahkan mulai berbinar-binar.

'Oh, apa ini benar Sakura kecilku?'

'Sakura-Chan sangat cantik, aku tidak percaya akan menikahi gadis secantik ini besok!'

"Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian kesini ya? kalian bilang ada kiriman kan? boleh aku minta sekarang?" Tanya Sakura, tersenyum paksa menahan kesal, alisnya bahkan sudah mulai bergetar.

"Sebenarnya kami hanya di titipkan pesan oleh tunanganmu, katanya bisakah anda mengusir kerumunan fans yang ada di luar, dia sedikit terganggu." Jelas sosok tinggi itu, terlihat bangga sekali menekankan kata fans, membuat Sakura semakin kesal.

'Fans dia bilang?! oh jadi si baka itu mulai sombong ya!'

"Oh, aku tidak bisa, bilang saja ke tunanganku itu untuk mengurus masalahnya sendiri!" Tegas Sakura ketus, masih memaksakan sebuah senyuman.

"Ternyata tampangnya saja yang cantik, aslinya bahkan dingin sekali, membantu tunangannya saja tidak mau!" Bisik si sosok tinggi itu kepada temannya, dengan nada yang sedikit keras, seakan sengaja agar Sakura mendengarnya.

"Iya, padahal ku dengar dia adalah Kunoichi yang paling baik di desa ini, ternyata kita salah!" balas bisik temannya, membuat Sakura segera berbalik, kembali memaksakan sebuah senyuman ke arah mereka berdua.

"Apa kalian membicarakan sesuatu?" Tanya Sakura, mulai merasa semakin kesal.

"Hmm, memangnya kita tadi mengobrol ya?" Tanya Sosok tinggi itu kepada temannya.

"Kurasa tidak, mungkin Nona salah dengar." Sosok yang bertubuh lebih pendek mengangguk setuju mendebgar pertanyaan temannya, membuat Sakura sedikit malu, karena merasa kegeeran.

"Sudahlah, bukannya kalian tidak ada perlu lagi? kenapa kalian tidak pergi saja?" Sahut Sakura, mencoba untuk mengusir kedua sosok yang telah membuatnya kegeeran setengah mati.

"Kau jahat sekali." Si sosok tinggi menunduk lesu.

"Sebenarnya bukan itu saja tujuan kami kesini.." Ujar si sosok pendek, mulai menggaruk pelipisnya.

"Eh? ada lagi?" Tanya Sakura, mulai merasa penasaran, akhirnya mulai menghela nafas pelan.

"Cepat katakan, ada apa lagi?"

Kedua sosok itu saling menatap, serentak mengangguk, lalu menatap Sakura dengan mata yang berbinar-binar.

"Eh?"

"Sebenarnya kami adalah fans Nona Sakura, jadi bolehkah kami minta tanda tangan?" Sahut sosok tinggi, dengan segera menyodorkans ebuah kertas dan pulpen ke arah Sakura.

"Iya, kami sangat kagum dengan Kunoichi hebat seperti anda, bahkan sepertinya tidak ada kunoichi yang lebih hebat dari anda di dunia ini!" Tambah si sosok pendek.

"Eh?"

Sakura terkesiap, kedua orang di hadapannya secara tiba-tiba berubah menjadi salah satu fansnya, bahkan sampai melontarkan banyak sekali pujian, membuat Sakura sedikit terbawa suasana.

"Benar, sudah kuat Cantik lagi!" Sosok tinggi mengangkat telunjuk di depan dada, terlihat semangat sekali.

"Ya, benar! padahal tidak biasanya Kunoichi kuat itu memilik wajah cantik yang seperti ini." Sosok pendek menyilangkan kedua tangan di depan dada, mengangguk setuju kembali.

"Tapi Sayang, nona akan segera menikah ya, jika saja kau belum bertunangan, diri anda pasti akan lebih sempurna!" Tambah si sosok pendek, mengacungkan telunjuk di atas udara.

"B-benarkah?" tanya Sakura malu-malu, rona merah kecil mencuat di kedua pipinya.

Sementara si sosok tinggi terdiam di sana, kedua matanya sudah membulat sempurna, menatap tajam ke arah temannya itu.

'Hei ingat ini anakmu!'

Sementara si sosok pendek hanya bisa menyeringai kecil, sesekali dengan menatap temannya dnegan tatapan merendahkan.

"Ah, padahal si tunanganmu itu biasa saja, tidak ada yang spesial, tapi kenapa dia banyak fans ya? lalu kenapa juga kau mau menikah dengannya?" Tanya si sosok pendek, masuh menyeringai tipis ke arah temannya yang terlihat menahan kesal.

"Itu.. entahlah, si baka itu...."Sakura semakin malu-malu, perasaannya semakin senang seiring dengan oujian yang terus dilontarkan.

"Ehem, bukannya itu berarti tunangannya adalah orang yang spesial, kulihat dia juga tampan, pasti dia orang yang hebat bisa mendapatkan gadis secantik Nona Sakura!" Sela si sosok tinggi, membuat Sakura terkejut, semebtara temannya semakin menyeringai.

"Benarkah? kenapa kau bisa menyimpulkan itu, apa jangan-jangan?!" Tanya si sosok pendek, membuat sebuah ekspresi terkejut.

Si sosok tinggi segera sadar, sedikit gelagapan sambil menggaruk belakang kepalanya, bahkan Sakura sudah menatapnya dengan raut wajah penasaran.

"Yah kudengar dia adalah pahlawan desa, berarti dia spesial bukan?" Ujar Si sosok tinggi, mulai menyeringai melihat temannya mendengus kesal.

'Sial pintar juga anak ini!'

"Ehem, kalau begitu bisa aku minta tanda tangannya, rasanya temanku ini sudah berubah menjadi salah satu fans tunanganmu!" Ujar si sosok pendek, kembali menyeringai tipis.

"Hei, aku juga mau tahu!" sahut si sosok tinggi, mengikuti langkah temannya mendekati Sakura.

"Eh? apa kalian benar ingin minta tanda tanganku?" Tanya Sakura malu-malu, mencoba memastikan dirinya tidak salah dengar tadi.

Kedua sosok itu mengangguk mantap, membuat Sakura terkejut, segera menghela nafas sambil mengukir sebuah senyuman.

'Haha liat ini Naruto! bukan kau saja yang memiliki fans, aku juga punya!'

"Nona?"

"Ah, maaf-maaf, jadi dimana aku bisa tanda tangan?" tanya Sakura lembut, mengukir sebuah senyum manis.

Sosok tinggi itu segera menyodorkan pulpen dan sebuah kertas yang langsung disambut semangat oleh Sakura.

"Kalian beruntung menjadi fansku, itu berarti kalian memiliki selera yang bagus, tidak seperti fans tunanganku!" ujar Sakura percaya diri sambil menggoreskan tanda tangan di atas kertas.

Kedua sosok itu mulai menyeringai, hingga akhirnya kepulan asap muncul seketika.

"Kena kau!"

"Hahaha, anakku ini percaya diri sekali setelah memiliki fans!"

"Eh?"

Sakura terkesiap, mendapati kedua sosok di hadapannya berubah menjadi sosok Naruto dan ayahnya yang sedang tertawa keras sekarang.

Dengan segera melihat ke arah kertas yang berada di atas tangannya, kembali terkejut melihat sesuatu di sana.

Selamat anda memiliki seorang fans

Tapi Boong....

Hahahahahaha.

"Hahaha, aku tidak kuat, dia bahkan sangat percaya diri sekali menyombongkan fansnya!" Naruto tertawa keras sambil memegangi perut yang mulai terasa sakit.

"Hahahaha, kau benar anak muda, padahal kan jumlah fansmu dan dia tidak sebanding!" Kizashi tertawa keras, sesekali menepuk pundak Naruto.

Sakura terdiam di sana, tanpa sadar kertas sudah dia remas sekuat tenaga, muncul sebuah aura hitam pekat dari sekelilingnya, akhirnya dia sadar dengan apa yang terjadi.

"Jadi ini semua ide kalian ya?" Tanya Sakura horor, membuat Naruto dan Kizashi seketika itu berhenti tertawa, mulai menegak ludahnya sendiri melihat aura hitam pekat yang muncul di sekeliling Sakura.

"Tidak, ini semua ide ayahmu!" Sahut Naruto cepat menunjuk ke arah Kizashi.

"Heh, kau tidak sopan anak muda, bukankah kau juga setuju?" Kizashi menatap malas Naruto yang terlihat sudah merinding sekarang.

"Oh, jadi sekarang main salah-salahan ya? biar aku yang jawab, kalian semua salah di sini!" Tegas Sakura, menatap Horor Kizashi dan Naruto.

Sakura semakin mendekat, kedua tangannya sudah terkepal dengan erat, membuat Naruto dan Kizashi bergidik ngeri.

"Lari?"

"Sial, aku tidak bisa lari dengan kimono ini!"

"Kalau begitu... aku lari duluan!"

Kizashi dengan cepat berlari menyusuri lorong, menjauhi Naruto dan Sakura.

'Gaki, Jangan diam saja!'

Mendengar perkataan Kurama membuat Naruto seketika itu lari terbirit-birit sambil mengangkat bagian bawah kimononya, mencoba menyusul Kizashi yang semakin menjauh.

"Kembali kesini kalian berdua!" Teriak Sakura horor, menggema di dalam lorong, membuat Kizashi dan Naruto semakin mempercepat langkahnya.

'Yes, rencanaku berhasil!'

'Sial-sial, aku tidak seharusnya menyetujui rencana ini, Sakura mode imut membuatku lupa dengan mode seramnya!'

'Gaki, lebih cepat, dia semakin mendekat!'

Naruto sedikit menoleh ke arah belakangnya, bergidik ngeri kembali mendapati Sakura yang dengan cepat menyusulnya sambil menekan-nekan pulpen.

'Sial, kenapa pulpen itu terlihat seperti pisau sih!'

"Kembali kesini Naruto!"

"Tidaakk, maafkan aku Sakura!"

-------------

"Hah, kau kejam sekali Sakura-Chan!"

"Huft, suruh siapa mengerjaiku!"

Sakura mendengus sebal, memilih memalingkan muka dari Naruto yang berjalan di sampingnya.

"Tapi-tapi kan-"

"Tidak ada tapi-tapian, kamu salah!" Sela Sakura cepat, menunjuk ke arah Naruto, membuat Naruto hanya bisa menunduk lesu.

"Yaudah iya deh, aku minta maaf ya?" Ujar Naruto, menatap Sakura dengan mata yang berbinar-binar.

"Ga mau ah, aku kesel banget!" Sakura mendengus kesal, segera membalikkan badan, bergerak mendahului Naruto.

"Ayolah Sakura, maaf ya? aku ga ulangin lagi deh!" Bujuk Naruto, dengan cepat sudah berada di samping Sakura lagi.

"Bener?" Tanya Sakura, mendelik tajam ke arah Naruto.

"Bener!" Sahut Naruto cepat, tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Iya deh aku maafin, lagi pula aku ga bisa marah terlalu lama sama kamu." Jawab Sakura, menghela nafas pelan, lalu mulai tersenyum manis.

"Wah benarkah?!" Pekik Naruto girang, senyumnya makin melebar.

"Tapi-"

"Eh, ada syaratnya?"

"Tentu ada, berhentilah menjadi antek ayahku dalam melakukan lelucon bodohnya!" Sakura mendelik tajam, membuat Naruto meringis, dan akhirnya mengangguk pasrah.

"Yee, ya sudah ayo kita jalan lagi!" Sakura seketika itu berubah ceria, menarik tangan Naruto sambil tersenyum lebar, membiarkan Naruto yang hanya bisa pasrah mengikuti sambil menunduk suram.

-----------------

'Hinata.'

Tep.

"Eh, Toneri-Kun?" Pekik Hinata kaget, menyadari Toneri yang secara tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Ada apa?" Tanya Toneri Santai.

"Tidak ada apa-apa." Sahut Hinata cepat, segera memalingkan muka dari Toneri.

Toneri yang melihatnya mulai mengerenyit bingung, menghela nafas sambil memalingkan muka ke arah depan.

"Hinata?"

"Ya?"

"Apa kau sedih?"

"Eh?" Pekik Hinata Kaget, kali ini akhirnya menatap Toneri secara langsung, namun kali ini Toneri yang tidak melihatnya secara langsung.

"Kutanya Sekali lagi, apa kau bersedih?" Tanya Toneri lagi, masih memalingkan muka, tatapannya sangat datar.

"Hmm, aku tidak mengerti, kenapa aku harus bersedih?" Tanya balik Hinata, mulai mengerenyit bingung, sama sekali tak mengerti dengan maksud Toneri sekarang.

"Akhir-akhir ini kulihat kau selalu menyendiri di taman ini, apa kau sedang bersedih?" Tanya Toneri sekali lagi, menjelaskan maksudnya dengan nada dingin.

"Tidak, aku kan memang sering menyendiri di sini, menurutku taman ini benar-benar indah!" Jelas Hinata, mulai tersenyum lembut, menatap bunga-bunga yang bermekaran di hadapannya.

"Tidak, kulihat kau memang sering kesini, tapi itu semenjak berita pertunangan itu." Toneri menekankan kalimat akhirnya, nada bicaranya berubah sangat dingin, bahkan sekarang sudah menatap Hinata dengan sangat tajam.

"Hah, apa maksudmu?" Hinata bertanya, kali ini benar-benar mulai tidak mengerti dengan arah pembicaran ini.

"Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu." jawab Toneri sedikit ketus.

"Sungguh aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan Toneri-Kun?" Tanya Hinata dengan nada tenang, berharap Toneri mulai melunak.

"Sepertinya memang tidak bisa ya.." Toneri menghela nafas panjang, membuat Hinata mengerenyit bingung.

"Biar ku tanya sekali lagi, apa kau sedih dengan pertunangan itu?" Tanya Toneri, menatap serius ke arah Hinata.

"Apa? tentu saja tidak!" Snaggah Hinata cepat, ikut menatap Toneri dengan tatapan serius.

"Lalu bisa kau jelaskan, kenapa semenjak pertunangan itu kau selalu menyendiri?" Tanya Toneri dengan nada sindiran.

"Itu..." Hinata sedikit meragu, rasanya dia malu untuk mengatakan apa yang sebenarnya dia khawatirkan sekarang.

"Sudah jelas bukan?" Tanya Toneri ketus, membuat Hinata terkesiap.

"Sekarang coba jelaskan, apa yang kau ingin bicarakan dengan Naruto tadi pagi?" Tambah Toneri, memilih memalingkan muka.

"Kau mengikutiku?!" Pekik Hinata, sedikit terkejut mendengar pertanyaan Toneri.

"Itu tidak penting!" Sela Toneri, mendengus kesal.

'Sial, mulut sialan, kenapa bisa keceplosan sih?!'

"Itu sebenarnya..." Hinata kembali meragu, mulai memainkan kedua telunjuknya.

'Apa aku bilang yang sejujurnya saja ya? tapi nanti dia salah paham, bagaimana iniiii?!'

"Cih, benarkan, kau pasti sedih kan melihat Naruto akan menikah besok? dan pasti kau ingin menyatakan perasaanmu tadi pagi kepada Naruto bukan?" Toneri melontarkan banyak pertanyaan dengan nada tinggi, terlihat sangat kesal, membuat Hinata sangat terkejut.

"Tidak, kau salah Toneri-Kun!" Sela Hinata cepat, menatap tajam ke arah Toneri.

"Kalau aku salah, seharusnya kau bisa jawab pertanyaanku!" Sahut Toneri tidak terima, beranjak dari kursinya.

"Ituu... aku sebenarnya.."

'Aduh bagaimana ini? Toneri-Kun pasti salah paham, ayo Hinata, mengaoa tidak mengatakan yang sebenarnya saja sih!'

"Ck, Benar ya, sudahlah lebih baik aku mencarinya saja!" Toneri berdecak kesal, segera membalikkan badan, bergerak menjauhi Hinata.

"Kau mau pergi kemana?" Tanya Hinata, dengan cepat mencekal tangan kanan Toneri.

"Menyelesaikan masalah ini!"

"Aku ikut!"

"Terserah!"

-----------------

'Hmm, apa harga standarnya memang segini ya?'

Naruto menyipitkan kedua matanya, mencodong ke arah depan, untuk membaca papan menu yang berada di luar restoran.

Sedikit heran dengan harga yang tertera di sana, mau bagaimana pun, itu terlihat mahal sekali.

'Uang di dompetku sisa berapa ya?'

Naruto mengelus pelan kantung kecil yang berada di belakangnya, mulai sweatdrop mengingat jika dia tidak membawa terlalu banyak uang di dalam dompet katak hijaunya itu.

'Hmm, bagaimana ini?'

"Hmm?"

Sakura yang sejak tadi memperhatikan sekitar, akhirnya mulai menoleh ke arah Naruto, merasakan keanehan dari Naruto yang sejak tadi tak beranjak dari papan daftar menu.

Sedikit mengerenyit bingung, akhirnya mulai menatap restoran apa yang ingin dikunjungi oleh Naruto.

Kedua matanya membulat seketika, mengenal dengan baik restoran yang ada di hadapannya sekarang, Sakura mulai sadar apa yang terjadi sebenarnya.

'Hmm, tidak baik jika harus mengu-'

Grep.

"Eh?"

Naruto mengerenyit bingung, mendapati Sakura yang menggenggam kecil bagian belakang jaketnya sambil tersenyum manis.

"Ada apa?"

"Aku ingin ke Ichiraku saja!" Jawab Sakura sambil tersenyum lembut.

"Eh, begitukah?" Tanya Naruto, mulai menghadap ke arah Sakura sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Itu restoran favoritmu kan? aku ingin kesana saja, aku lebih senang di sana!" Jelas Sakura masih tersenyum lembut.

Naruto terkesiap, sedikit tersenyum kikuk, mulai menggaruk pelipisnya.

"Ayo!" Ajak Sakura sambil tersenyum, mulai menarik pelan lengan jaket Naruto.

"Ah, ayo!"

---------------

"Hmm, Oishii!" Pekik Sakura sambil memagangi kedua pipinya, mengunyah pelan mie ramen yang ada di mulutnya.

"Wah sepertinya kau sedang senang sekali ya Sakura-San!" Sahut Ayame dari balik meja, terkekeh pelan di akhir.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" Sahut Teuchi, mulai tertarik dengan arah pembicaran.

"Tidak-tidak, tidak terjadi apa-apa kok!" Sahut Sakura, masih tersenyum manis, sambil mengibaskan tangan di udara.

"Dia habis bertemu fansnya!" Sahut Naruto tiba-tiba, tertwa kecil sambil menutup mulutnya.

"Benarkah?"

Duk.

"Aw!"

"Jangan ungkit-ungkit lagi!" Sahut Sakura setelah menyikut pelan Naruto, semburat merah kecil mulai menghiasi kedua pipinya, kejadian itu benar-benar memalukan.

Ayame yang melihat hal itu hanya bisa terkekeh pelan, sebelum akhirnya kehadiran seseorang mulai mengambil alih fokusnya.

"Satu porsi ramen sedang ya!"

"Segera Iruka-Sensei!"

"Eh?"

"Iruka-Sensei!"

Naruto terkejut, seketika itu memasang senyum lebar ke arah Iruka yang baru saja duduk di sampingnya, sudah 5 hari dia tidak bertemu senseinya itu.

"Ah Naruto dan Sakura ada di sini juga ya!"

"Halo Iruka-Sensei!" Sapa Sakura sambil melambaikan tangan.

"Kau kemana saja sensei?" Tanya Naruto tanpa basa-basi, melempar sebuah senyuman.

"Ah, aku akhir-akhir ini sibuk dengan persiapan ujian menjadi wakil kepala sekolah!" Jawab Iruka sambil menggaruk belakang kepalanya. tersenyum kikuk.

"Eh?"

Semua orang terkejut, perhatian semua tertuju kepada Iruka seorang, membuat Iruka mengerenyit bingung.

"Ada apa?"

"Wah, kau hebat sekali sensei!" Sahut Naruto, mengacungkan jempolnya ke arah Iruka sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Ah bukan apa-apa kok, aku bahkan belum pasti lulus ujiannya." Jelas Iruka, suaranya mulai terdengar pelan di akhir.

"Eh, kenapa?" Tanya Naruto, mulai mengalihkan pandnagan ke arah mangkuk ramen yang masih bersisa.

"Entahlah, aku sedikit ragu, apa aku pantas ya?" Sahut Iruka, mengangkat dagu menggunakan tangannya.

"Tentu saja! kau adalah guru yang paling baik menurutku!" Sahut Naruto bersemangat, kembali mengacungkan jempolnya.

'Paling baik ya?'

"Sudah pasti ayahku ini akan diterima sebagai wakil kepala sekolah!" Tambah Naruto, dengan entang berbicara kembali.

Semua terdiam, pandangan semua orang tertuju kepada Naruto yangs ekarang tengah menyeruput mie ramen, seperti tidak sadar dengan apa yang baru saja dia katakan.

Semua mata yang membulat tertuju kepada Naruto, saking kagetnya Teuchi bahkan menjatuhkan peralatan masaknya, begitu pula Sakura yang tanpa sadar kedua buah sumpitnya sudah tenggelam ke dalam kuah ramen.

"Hmm, ada apa?" Tanya Naruto sambil menyeruput mie ramen, heran dengan tatapan semua orang.

"Kau tadi memanggilku apa Naruto?" Tanya Iruka dengan nada yang bergetar, mencoba memastikan pendengarannya tadi tidak salah.

Deg.

Naruto seketika itu sadar, saking terkejutnya hingga membuat dirinya tersedak oleh mie ramen yang berada di tenggorokannya, terbatuk-batuk, membuat Sakura yang melihatnya langsung menyodorkan segelas air putih, walaupun dirinya masih tetap terkejut.

"Ehem, maksudku... euh.. Iruka-Sensei.... euh.... pasti diterima sebagai kepala sekolah!" Sahut Naruto memecah keheningan, sedikit gugup sambil menggaruk pelipisnya.

'Ayah ya?'

'Ah benar juga!'

Sakura seketika itu beranjak dari kursinya, membuat semua perhatian tertuju kepadanya sekarang.

"Mau kemana Sakura-Chan?" Tanya Naruto.

"Ada sesuatu yang aku lupakan, maaf ya Naruto, nanti aku kembali sebentar lagi!" Jawab Sakura sambil tersenyum, dengan cepat segera berlari meninggalkan kedai Ichiraku.

"Naruto." Sahut Iruka, membuat Naruto akhrinya menoleh ke arahnya.

"Ya?" Tanya Naruto sedikit gugup, rasanya suasana canggung mulai menghinggapi kedai Ichiraku ini.

"Tidak jadi." Jawab Iruka singkat, dengan segera memalingkan muka, menatap datar ke arah meja di hadapannya.

"Eh?"

"Sudah lupakan, aku ingin menraktirmu saja!" Sela Iruka cepat, masih menatao datar ke arah meja di hadapannya.

"Wah benarkah? kalau begitu satu porsi ramen lagi paman!" Sahut Naruto cepat, seketika itu melupakan suasana canggung, tampak sangat bersemangat sekali.

'Hmm, apa aku benar harus ambil pekerjaan itu ya?'

---------------

Cring..

"Selamat datang!"

"Eh, Bibi, Inonya kemana?"

Sakura sedikit terkejut, mendapati bukan Ino yang kali ini menjaga toko bunga.

"Ah, Ino ya, entahlah tadi katanya dia ada perlu sebentar, baru saja dia pergi beberapa menit lalu." Jelas sosok di balik meja Kasir, sambil tersenyum.

"Oh begitu ya." Sakura melanjutkan langkahnya menghampiri sosok di balik meja.

"Apa kau mau membeli bunga, Sakura?" Tanya sosok itu lagi, sambil memasang senyum.

"Oh, iya, hmm bunga apa ya?" Gumam Sakura, mengangkat dagunya  sambil memejamkan mata.

"Untuk siapa emangnya?" Tanya sosok itu lagi.

"Untuk orang yang spesial!" Sahut Sakura, tersenyum lebar.

"Sekaligus untuk berterima kasih." Tambah Sakura dengan suara pelan.

"Hmm, bagaimana kalau bunga matahari?" Tanya sosok itu, menghampiri etalase bunga matahari di salah satu sudut toko.

'Bunga matahari ya? matahari ya?'

"Jadi bagaimana Sakura?" tanya sosok itu lagi, memecah lamunan Sakura.

"Boleh bibi, aku pesan dua tangkai ya!" jawab Sakura, sambil tersenyum manis.

----------------

"Apa kau pacar Naruto?"

"Eh? hmm, ya-ya bisa dibilang-"

Duak...

"Jangan banyak bicara! kau masih belum pulih tau!"

"Euh, kau seharusnya menyembuhkanku ,tapi kenapa aku malah kesakitan lagi!"

"Tenang saja, aku akan sembuhkan juga bagian itu!"

"Ah, Ha-ha."

Sakura tertawa kecil mengingat kejadian itu, dasar Naruto itu menolaknya di negara Besi, tapi malah seenaknya menganggap dia pacar waktu itu!

"Ano Baka.." Sakura menggeleng pelan sambil memegangi dahinya, terus berjalan menaiki anak tangga.

Tep.

Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah monumen berbentuk sebuah simbol api besar, tersenyum kecil setelah melihatnya, dengan kedua tangan yang nampak memeluk erat dua tangkai bunga matahari.

"Di sini ya." Gumam Sakura, mendekat ke arah monumen.

Langkahnya kembali terhenti, mulai menghirup udara dalam-dalam, seketika itu tersenyum lembut sambil menatap monumen tersebut.

"Bagaimana aku memulainya ya?" Gumam Sakura lagi, tampak bingung.

"Ah, iya aku datang berkunjung, paman, bibi." Sapa Sakura entah kepada siapa, hanya terus memandang lembut monumen di depannya.

"Perkenalkan, namaku Haruno Sakura." Ujar Sakura sambil tersenyum manis, entah kepada siapa dia berbicara, jika dilihat hanya dia sendiri yang berada di pemakaman ini.

"Kalau boleh mengingat, aku sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan paman, namun sepertinya aku belum bisa mengenal sosok bibi." Ujar Sakura pelan, tatapannya mulai sendu.

"Ah iya, aku datang kesini ingin memberi sesuatu, dan juga meminta persetujuan.." Sakura melangkah kembali, menempatkan kedua bunga di hadapan monumen.

"Mungkin bibi kenal saya, ya saya adalah anak sahabat bibi yang bibi goda waktu kecil." Ujar Sakura, kembali berdiri sambil terkekeh pelan.

"Ah, apalagi ya, oh iya!"

Sakura Segera membungkukkan badan, tepat ke arah monumen.

"Terima kasih, terima kasih, karena pengorbanan kalian, anak kalian akhirnya bisa hidup bahagia!"

"Kalian adalah orang tua yang terbaik menurutku, dan sepertinya Naruto juga setuju akan hal itu."

"Dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa sekarang, jadi kalian tidak perlu lagi khawatir!"

"Bibi, walaupun kita tidak pernah bertemu, tapi aku merasa bibi adalah orang yang paling baik!"

"Jadi, aku kesini ingin memberitahu kalian sesuatu!" Tegas Sakura, menatap lembut ke arah monumen.

"Anak kalian akan segera menikah besok! aku harap kalian senang mendengarnya!" Sakura tersenyum manis.

Wushh..

Angin kecil menerpa Wajah Sakura, menerbangkan beberapa helai rambut merah mudanya.

"Untuk calonnya, euh bagaimana ya?" Sakura tampak meragu, sedikit tersipu malu.

Sakura menarik nafas lagi, bersiap untuk berbicara tanpa keraguan sedikitpun.

"Aku kesini ingin meminta persetujuan kalian." Ujar Sakura pelan.

"Akulah yang akan menikah dengan Naruto, jadi aku ingin meminta persetujuan kalian."

"Mungkin aku bukanlah gadis yang kalian harapkan." Jawab Sakura sendu.

"Tidak, kau adalah yang kami harapkan."

"Mungkin aku memang bukanlah gadis yang cantik."

"Tidak, kau adalah gadis yang sangat cantik, kau benar-benar mirip denganku!"

"Tapi, aku berjanji satu hal!"

"Aku akan membuat Naruto bahagia!"

"Aku janji!"

"Aku tidak akan mengecawakan kalian!"

"Kami tahu."

Kedua mata emeral mulai berkaca-kaca, tampak menahan isak tangis yang akan keluar.

"Aku adalah seorang yang buruk, aku dulu tidak pernah berperilaku baik padanya..."

"Aku hanya membebani saja, apa aku pantas?"

"Apa aku pantas menikah dengannya?" Sakura mulai menteskan air mata, perasaan bersalah membuatnya seperti itu.

Tep.

Sakura merasakan sesuatu menepuk pundaknya, diikuti dengan hembusan angin yang mulai dia rasakan.

"Kau pantas, jangan lagi bersedih."

"Kami setuju Sakura."

Bisikkan itu membuat tubuh Sakura menegang, mulai menghilang diikuti dengan hembusan angin yang mulai menghilang.

Sakura akhirnya sadar, segera memasang senyum tipis.

"Terima kasih."

Sakura berbalik badan, bersiap menuruni anak tangga.

Tep.

"Aku pamit, ayah, Ibu!"

"Aku janji akan membuat Naruto bahagia!"

----------------

"Hei aku tidak bohong!"

"Hmm?"

Sakura menoleh, mendapati teman-temannya yang sedang berkumpul di bawah pohon.

"Hadiah kita akan dinilai untuk menentukan siapa yang hadir di pesta pernikahan itu!" Sahut Konohamaru keras, membuat Sakura terkejut, memilih untuk bersembunyi di balik dinding, berusah mendengar pembicaraan mereka lebih jelas.

"Apa?!" Ino semakin erat mencengkram kerah baju Konohamaru.

"Hentikan, Ini bukan salahku!" Konohamaru berusaha melepaskan cengkraman itu, hingga akhirnya terjatuh, tersandung bangku taman.

"Itu benar juga, pasti akan banyak shinobi yang menghadiri pesta itu, tapi bukan berarti kita tidak akan diberi misi pada hari itu." Jelas Shino tenang.

"Dan pastinya akan banyak tamu penting yang menghadiri acara itu!" Sahut Shikamaru.

"Jadi masudnya, kita harus mengundi siapa yang akan menghadiri pesta itu?" Tanya Kiba.

"Tidak mungkin!" Sahut Lee, masih tidak percaya.

"Kalau begitu caranya, kita tidak akan bisa menghadiri acara itu!" tambah Lee.

'Aku tidak percaya, pernikahan kami menjadi masalah sebesar ini?'

"Shikamaru, apa kau sudah tahu?" Tanya Chouji tiba-tiba, membuat semua perhatian tertuju ke arah Shikamaru sekarang.

"Merepotkan, ya aku sudah tahu." Sahut Shikamaru sambil mengorek kupingnya.

"Eh?"

Semua terkaget, tidak percaya Shikamaru akan sesantai itu dalam berbicara.

"Kakashi-Sensei juga terlihat kerepotan sekali." Sahut Konohamaru.

"Pasti akan begitu." Sahut Shino santai.

"Jadi kita hanya perlu menunggu keputusan akhirnya kan?" Tanya Kiba, terlihat sangat serius.

"Itu tidak perlu, aku yang akan mengerjakan pekerjaan itu, aku pasti akan melakukannya." Sahut Shikamaru tenang, mencoba mengambil tanggung jawab seorang diri.

"Aku ingin semua menghadiri pesta itu, jadi aku yang akan menjadi relawannya!" Sahut Lee, mengacungkan tangan di udara.

'Tidak-Tidak!'

"Kalau begitu aku juga ikut!" Sahut Kiba.

"Ya, aku juga akan mendaftar!"

"Aku juga akan menjadi relawannya."

"Tidak bisa seperti itu Sai!" Sahut Ino, menoleh ke arah Sai.

"Sasuke sudah pasti tidak akan menghadiri acara itu, jadi sudah seharusnya ada perwakilan tim tujuh yang menghadiri pesta itu!" Tambah Ino.

"Tapi, aku tidak mungkin seperti itu, kalian adalah teman-teman Naruto yang paling dekat, sudah seharusnya aku yang berkorban." Jelas Sai sambil tersenyum.

'Tidak-Tidak, tidak boleh seperti ini!'

"Aku tahu, kita semua pasti merasakan hal yang sama." Ujar Ino pelan, mulai menyendu.

'Tidak, ini tidak bisa terjadi seperti ini!'

Sakura dengan cepat berlari, menjauhi taman, tergesa-gesa menyusuri jalanan desa dengan ekspresi sedih.

---------------

"Hah, ternyata tidur tidak menyelesaikan apapun."

Kakashi menghela nafas panjang, terbaring di atas rumput hijau di samping sungai.

"Ah, ini tidak ada gunanya." Gumam Kakashi, bangkit dari tidurnya, mulai memandnag ke arah Sungai di depannya.

"Kakashi-Sensei!"

"Huh?"

Tap. tap.

"Kakashi-Sensei!"

Kakashi terkesiap, mendapati Sakura yang berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa, sedikit meringis melohat tatapan Sakura yang terlihat sangat aneh.

"Maafkan aku!" Sahut Sakura, membungkuk di hadapan Kakashi.

"Eh?" Kakashi mengerenyit bingung sekarang.

'Sial, apa dia sudah tahu ya?'

"Hah? Euh , ada apa Sakura?" Tanya Kakashi, memalingkan muka, lalu kembali menatap Sakura dengan rasa penasaran.

"Aku mendengarnya." Sahut Sakura kembali, mulai menegakkan tubuhnya.

"Karena pesta pernikahan kami, kau pasti kerepotan ya Sensei." Tambah Sakura, sangat serius dari tatapannya.

'Benarkan!'

"Hah, apa? ada apa?" Tanya Kakashi kembali, pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi.

"Kau pasti belum memutuskan siapa yang hadir di pesta pernikahan kami, kan?" Tanya Sakura balik, mencoba menjelaskan sambil menatap Kakashi dengan tatapan merasa bersalah.

'Oke, sekarang sepertinya aku tidak bisa mengelak lagi.'

"Eh? apa kau mendengarnya?" Tanya Kakashi, sambil menggerlingkan mata ke arah samping, terlihat sedikit terkejut di awal.

"Ya!" Jawab Sakura singkat.

"Tentang misinya juga?" Tanya Kakshi lagi.

"Ya!"

"Tentang semuanya?!"

"Ya."

"Begitu ya..." Kakashi menunduk lesu, gagal sudah semua rencananya.

Melihat hal itu Sakura segera mengeratkan kepalan tangannya, mulai merasa sangat bersalah.

"Kami...kami tidak ingin pesta pernikahan kami menyulitkan semua orang." Tegas Sakura dengan nada pelan.

Kakashi mendengarnya seketika itu terkejut, kembali menatap Sakura yang ada di hadapannya.

"Tidak-tidak, tidak-tidak!" Kakashi menggeleng cepat.

"Kita harus mengadakan resepsi pernikahan kalian!" Tegas Kakashi, menatap serius ke arah Sakura.

"Itu tidak mungkin kan..." Lirih Sakura, nampak mulai menyendu.

"Kami tidak ingin merepotkan kalian semua, lagipula lebih mudah bagi kami untuk membatalkan resepsinya sekarang!" Tambah Sakura, mulai tersenyum kecil.

Kedua mata Kakashi membulat, tidak percaya Sakura akan mengatakan hal seperti itu.

"Tidak apa-apa kok, kami tetap senang mengadakan pernikahan tanpa acara resepsi!" Tegas Sakura lagi, tersenyum kecil ke arah Kakashi.

Kakashi menyipitkan kedua matanya, mulai kembali memandang Sakura serius.

"Itu tidak perlu!" Sanggah Kakashi.

"Eh?"

"Hari pernikahanmu adalah hari yang bahagia, maka sudah sepatutnya kita mengadakan pesta untuk merayakan hal itu." Jelas Kakashi, mulai beranjak dari atas hamparan rumput.

"Lagipula ini sudah menjadi tugasku sebagai Hokage untuk memastikan semua orang terdekatmu hadir di acara pernikahan itu." Jelas Kakashi, menepuk pundak Sakura.

"Tapi sensei-"

"Aku akan melakukan sesuatu tentang pembagian tugasnya." Sela Kakshi cepat, memandang lembut ke arah Sakura.

"Jadi jangan khawatir, percaya saja dengan senseimu ini!" Tambah Kakashi, menunjuk bangga dirinya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sakura terdiam, tatapannya masih menyendu, sangat merasa bersalah dengan beban berat yang dipikul gurunya itu.

"Baiklah." Sakura mengangguk pasrah, sekeras apapun dia menolak, Kakashi tidak mungkin merubah pikirannya.

"Pernikahan kalian besok kan? jadi fokus saja dengan itu, masalah ini biar aku yang urus!" Jelas Kakashi, mulai membentuk sabit di kedua matanya.

"Oh, waktu istriahatku sudah habis, kalau begitu aku pamit ya Sakura!" Ujar Kakashi, melangkah mundur menjauhi Sakura yang masih terlihat tidak tenang, melambaikan tangan dengan pelan.

-----------------

Duak.

"Toneri-Kun!"

"Hadapi aku brengsek!" Ujar sengit Toneri, mengangkat tubuh Naruto yang baru saja membentur dinding kedai di sebrang Ichraku.

"Hoi kalian berdua, tenanglah!" Teriak Iruka, berusaha menengahi.

"Kau kenapa sih? emang aku salah apa?" Jawab sengit Naruto, menatap tajam ke arah Toneri yang mengangkat kerah jaketnya, segera menepis tangan itu dengan kasar.

"Kau tanya, kau salah apa?! ini jawabanku!" Toneri dengan cepat melayangkan kepalan tangan kearah Naruto.

Tep.

Naruto dengan cepat menahan layangan pukulan itu, menatap semakin tajam ke arah Toneri.

"Bisa kita bicara baik-baik?" Ujar sinis Naruto, dengan cepat membuang kasar lengan Toneri.

Toneri tidak terima, kepalan tangan semakin erat, membalas tatapan Naruto dengan tatapan yang lebih tajam, bersiap untuk melayangkan pukulan lagi.

"Sudah cukup, bisakah kalian sadar kalian ada dimana sekarang?!" Sahut Iruka, dengan ceoat menjauhkan Naruto dan Toneri.

Naruto dan Toneri seketika itu memperhatikan sekitar, mendapati beberapa warga yang melihat ke arah mereka, membuat mereka akhirnya tersadar.

"Hah, oke, aku akan jelaskan sekarang!" Toneri menghela nafas pelan.

"Aku dengarkan!" Sahut ketus Naruto, masih kesal dengan perbuatan Toneri tadi.

"Tidak di sini, aku menunggumu di tempat latihan." Jawab Santai Toneri, dengan cepat menghilang dari penglihatan semua orang.

Naruto yang tersadar, seketika itu melompat ke atas, bergerak melompati atap-atap menuju ke suatu tempat.

Iruka yang melihatnya hanya bisa menghela nafas lega, mulai memegangi kepalanya sambil menggeleng pelan.

"Iruka-Sensei, maafkan aku, karena Toneri-Kun, kalian berdua kerepotan." Sahut Hinata tiba-tiba, segera membungkukkan badan ke arah Iruka.

"Eh, tidak-tidak, kau tidak salah di sini Hinata!" Sanggah Iruka, sedikit merasa canggung.

"Ehem, apa kau tahu sesuatu Hinata?" Iruka berdehem singkat, mulai bertanya.

"Aku tidak tahu, Toneri-Kun tidak membicarakan apapun tentang ini." Jawab Hinata sambil menggeleng cepat.

"Begitu ya, Hinata bisakah kau susul mereka? aku takut terjadi sesuatu yang lebih buruk." Pinta Iruka, sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Hai Sensei! aku akan menyusul mereka!" Hinata dnegan ceoat kembali membungkuk, sebelum akhirnya bergerak cepat menelusuri jejak yang ditinggalkan Naruto.

'Haahhh, masalah apalagi ini?'

---------------

"Apa kau tidak merasa bersalah?"

"Hah, apa maksudmu?" Naruto mengerenyit bingung.

"Ck, susah ternyata berbjcara dengan orang bodoh sepertimu." Toneri berdecak kesal.

"Maksudmu?! oke, sekarang beri aku satu alasan lagi supaya aku tidak menghajarmu sekarang!" Balas Sengit Naruto, menatap sinis ke arah Toneri.

"Hinata terlihat sedih." Jawab Toneri cepat, mulai menyendu.

"Hah?" Naruto semakin tidak mengerti, berusaha melunak setelah melihat Toneri yang mulai menyendu.

"Sepertinya dia sedih mendengar kabar pertunanganmu." Jelas Toneri pelan, semakin menyendu.

"Tidak mungkin." Jawab Naruto cepat.

"Hinata sudah membuat keputusannya sendiri, malah sepertinya kau yang terlihat tidak senang mendengar kabar pertunanganku!" Tambah Naruto, menyeringai tipis.

"Hei, untuk apa aku tidak senang, lagipula aku tidak suka dengan wanita jelek seperti tunaganmu!" Sanggah Toneri cepat.

"Katakan sekali lagi? kau bilang tunanganku apa?" Alis Naruto mulai berkedut, mulai menahan kesal setelah Toneri yang kali ini malah mengejek Sakura.

"Sudah kubilang, tunanganmu itu-"

Duak.

Toneri terpental sejauh beberapa meter, setelah Naruto melayangkan pukulan teoat kearah pelipis kanannya.

"Kau sudah kelewat batas, Sakura-Chan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini, dan lagi jangan lagi kau mengejek tunanganku!" Sahut Naruto tinggi, menatap tajam ke arah Toneri, emosi nya sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Cih, apa bagusnya dia sih? kau tahu Hinata selalu menunggumu, dan sekarang kau malah bertunangan dengan gadis lain!" Sahut Toneri tak kalah sengit.

"Diam, kau tidak berhak mengatakan hal apapun tentang Sakura-Chan!" Balas Naruto, semakin menatap tajam Toneri.

"Sekali lagi kau mengatakan sesuatu yang buruk tentang Sakura-Chan, aku tidak akan segan-segan mengirimmu kembali ke bulan!" Tambah Naruto.

"Ck, lalu apa kau pernah memikirkan perasaan Hinata sekali pun? sekali pun? apa kau tidak pernah merasa bersalah?" Tanya Toneri tajam, membuat Naruto terkesiap.

"Bisakah kau lihat? Hinata sedih mendengar kabar pertunanganmu!"

"Hihihi!"

Terdengar tawa kecil di sana, membuat Naruto dan Toneri seketika itu bingung, menoleh ke arah suara.

"Bukan itu yang membuatku sedih, Toneri-Kun!" Sahut Hinata, mulai mendekati keduanya sambil terkekeh pelan.

"Sebentar, aku semakin tidak mengerti di sini!" Sela Naruto cepat, kepalanya terasa pusing setelah melihat ekspresi bingung Tonerj ditambah tawa aneh Hinata.

"Tidak Naruto-Kun, sepertinya ada kesalah pahaman di sini." Jawab Hinata, masih terkekeh pelan.

"Apa maksudmu Hinata, bukankah kau sedih dengan pertunangan itu?" Tanya toneri, mulai sedikit bingung sekarang.

Hinata menggeleng pelan, segera mendekati Toneri yang masih terduduk di atas tanah, mulai membisikkan sesuatu.

"Hmm?" Naruto sedikit penasaran, namun memilih berdiam, mencoba menghargai privasi Hinata.

"Oh begitu ya." Gumam Toneri pelan, segera berdiri.

"Maafkan aku!" Sahut Toneri cepat, membungkukkan badan ke arah Naruto, membuat Naruto lagi-lagi terkejut.

"Eh? apalagi ini?"

"Hanya kesalah pahaman, Naruto-Kun, hanya kesalah pahaman."

-------------

Tep.

Tep..

"Hmm, eh apa itu kau Sakura?" Pekik Iruka, melihat ke arah sosok Sakura yang terduduk di atas hamparan rumput sambil memandang sungai di hadapannya.

"Hmm?" Sakura mulai berdiri, menoleh ke arah belakangnya, membuat Iruka sedikit terkejut di sana, kedua mata Sakura terlihat berkaca-kaca.

Iruka dengan cepat berlari kea rah Sakura, membuat Sakira sedikit terkejut.

"Apa Naruto telah melakukan sesuatu?!"

"Hah?"

"Maafkan aku Sakura!" Iruka segera menunduk di hadapan Sakura, membuat Sakura lagi-lagi terkejut.

"Aku memang tidak pernah mengajarinya cara memperlakukan wanita!" Tambah Iruka, semakin mendramatisir suasana.

"Eh? apa terjadi sesuatu pada Naruto?" Tanya Sakura bingung.

"Eh?" Iruka yang kali ini bingung.

"Aku sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi! tapi aku minta padamu, tolong maafkan Naruto!" Iruka kembali menunduk sambil menautkan kedua telapak tangan.

"Tolong!" kali ini Iruka mulai bersujud.

Kedua mata Sakura membulat, namun akhirnya malah tertawa keras, melihat tingkah Iruka yang terlalu berlebihan.

"Eh? apa yang lucu?"

"Iruka-Sensei... aku padahal tidak mengatakan apapun loh, tapi kau malah meminta maaf kepadaku, seolah-olah Naruto telah melakukan hal yang buruk padaku." Jelas Sakura, tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

"Oh, bukan yang itu ya?" Iruka terkesiap sekarang, rasanya dia salah paham sekarang.

-------------

"Mungkin aku yang terlalu naif ingin mengadakan pesta pernikahan tanpa menyulitkan orang lain."

"Tapi itu membuatku sadar, ini bukanlah tentang pernikahan kami, tapi Naruto yang sekarang telah menjadi pahlawan yang menghubungkan semua desa."

"Aku mungkin memang naif, hanya memikirkan menikah dengan pria yang akan mencintaiku selamanya." Sakura mulai menunduk pelan.

"Kau salah Sakura." Sanggah Iruka cepat, menatap serius ke arah Sakura yang duduk di sampingnya.

"Eh?"

"Tidak peduli seberapa hebat dia sekarang, tidak peduli dia pahlawan sebesar apa." Iruka mulai berdiri, membuat Sakura sekarang menatapnya lekat-lekat.

"Naruto akan tetap menjadi Naruto, bagiku dan untuk semua orang." Tegas Iruka, tanpa menoleh ke arah Sakura.

"Iruka-Sensei...." Sakura mulai ikut berdiri, terfokus menatap Iruka.

"Tidak akan ada yang mengubah niat kami untuk memberikan yang terbaik untuk kau dan Naruto..... jadi, jangan berpikir itu adalah masalah yang besar." Jelas Iruka, mulai menatap lembut Sakura.

"Yah, terima kasih Iruka-Sensei!" Sahut Sakura, seketika itu membungkuk hormat ke arah Iruka.

"Tolong terima pemberianku ini!" Tambah Sakura, menyodorkan sebuah amplop putih ke arah Iruka.

"Eh?"

"Aku ingin berterima kasih kepada orang yang selalu berada di sisi Naruto, bahkan sebelum aku berada di sisinya seperti sekarang!" Tegas Sakura, menatap serius ke arah Iruka.

"Eh?"

--------------

"Jadi kalian sudah tahu ya?"

Semua orang mengangguk, menatap serius Kakashi yang baru saja tiba di ruangannya.

"Shikamaru memberitahu kalian?" Tanya Kakashi.

Semua kembali mengangguk, masih menatap serius Kakashi.

"Begitu ya.."

"Tuan Hokage, tolong dengarkan permintaan kami!"

"Tidak." Sela Kakashi cepat.

"Aku tahu kalian pasti akan bereaksi seperti ini, sudah menjadi tanggung jawabku untuk memastikan kalian semua hadir di hari pernikahan itu."Tambah Kakashi, menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Tapi bagaimana dengan pembagian tugasnya?" Tanya Kiba tiba-tiba.

"Hmm..."

"Kau tidak perlu bingung Kakashi!"

"Eh?"

Tsunade secara tiba-tiba muncul dari balik meja, berteriak dengan keras, membuat semua perhatian tertuju ke arahnya sekarang.

"Sebenarnya peraturan itu aku buat jika di saat hari pernikahan terjadi sesuatu yang sangat mendadak, dan itu hanya berlaku jika kita kekurangan orang yang siap dalam melakukan misi. seperti saat perang dunia tiga tahun yang lalu." Jelas Tsunade dengan tenang.

"Lagipula situasinya berbeda sekarang, dan yang lebih penting. Kau adalah Hokagenya, Kakashi!" Tegas Tsunade.

"Jangan terjebak dengan aturan lama, pilihlah jalan yang menurutmu paling adil!"

"Dengan begitu, kau pasti mengizinkan kami bekerja di hari itu kan?" Sahut Lee tiba-tiba, kembali bersemangat.

"Ya, lagipula kita bisa bekerja secara shift bukan, dengan begitu semua bisa hadir di acara pernikahan besok!" Sahut Kiba, membuat semua temannya mengangguk setuju.

"Tidak bisa seperti itu." Sela Kakashi lagi.

"Sudah kubilang bukan, tugasku sebagai Hokage adalah memastikan semua orang yang ingin hadir di acara pernikahan itu, bisa hadir." Tegas Kakashi.

"Aku akan pastikan semua orang tidak pulang cepat maupun hadir terlambat dalam acara itu." Tambah Kakashi.

"Tapi tidak ada cara lain kan?"

"Aku akan melakukan sesuatu." Tegas Kakashi, menunjukkan sebuah keseriusan.

"Lagipula, kita harus melakukan yang terbaik untuk Naruto dan Sakura bukan?" Sahut Iruka tiba-tiba, melangkah masuk ke dalam ruangan Hokage yang terlihat sangat ramai.

"Naruto telah menghubungkan semua desa kedalam perdamaian, sudah seharusnya kita membalas kebaikannya itu." Tambah Iruka, mulai tersenyum.

Cing!

"Iruka-Sensei, Terima kasih, kau telah membuat solusi dalam masalah ini!" Sahut Kakashi tiba-tiba, dengan mata yang berbinar-binar menatap Iruka.

"Eh?"

Sementara Iruka terkesiap, Kakashi mulai memperhatikan sekitar, dengan cepat terfokus ke arah Konohamaru yang sedang memegang sebuah handycam.

"Eh, kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Konhamaru bingung.

"Hmm, sepertinya aku punya ide yang bagus!" Ujar Kakashi sambil tersenyum.

---------------

"Iruka-Sensei!"

"Hmm, Eh Naruto?!"

Iruka terkejut, baru saja keluar dari ruangan Hokage, mendapati Naruto yang sudah berdiri di hadapannya sekarang.

"Ada apa? dan hei, bantulah Sakura! kau tidak tahu dia itu sangat kerepotan tau!" Iruka dengan kesal menunjuk-nunjuk Naruto, menbuat Naruto hanya bisa sweatdrop.

"Maa-maa Iruka-Sensei, Bisa kita jalan sebentar?" Ajak Naruto lembut, menatap Iruka dengan pandangan penuh arti.

"Hmm, ada apa?"

----------------

"Oh, begitu ya, jadi hanya sebuah salah paham?"

Naruto mengangguk pelan, terlihat raut wajahnya begitu penuh arti, hendak mengatakan sesuatu.

"Ya tapi tetap saja, kau harus membantu Sakura, kau tahu dia sangat kesusahan mengurus semuanya sendiri!" Tegas Iruka, menatap sinis ke arah Naruto.

"Hei, aku juga membantu tahu!" Gerutu Naruto.

"Hmm, aku tidak percaya!"

"Beneran tahu!"

Iruka akhirnya tertawa keras, entah apa yang menyebabkan hal itu, bahkan membuat Naruto mengerenyit bingung sekarang.

"Apa yang lucu?"

"Tidak ada, aku hanya tidak percaya kau akan menikah besok, kau benar-benar menjadi sosok yang dewasa sekarang, Naruto." Jelas Iruka, memasang senyum lembut ke arah Naruto.

Kedua mata Naruto membulat seketika, sebelum akhirnya mengukir senyum tipis.

"Ya, aku juga tidak percaya."

"Apa kau gugup?" Tanya Iruka lagi.

"Sedikit."

"Hei, ayolah jangan gugup, kau adalah sosok yang berani Naruto!" Tegas Iruka, menepuk pundak Naruto sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Ya, terima kasih Iruka-Sensei." Jawab Naruto pelan.

"Ah, kita akan berpisah di sini, ya aku duluan ya Naruto!"

"Tunggu!"

Tep.

Langkah Iruka terhenti, mulai membalikkan badan untuk menatao Naruto yang sedang menunduk sekarang.

"Ada apa?"

"Bisakah aku meminta satu hal?" Tanya Naruto pelan, mulai tersenyum tipis, namun masih memalingkan muka dari Iruka.

"Bolehkah aku memintamu menghadiri pernikahanku sebagai ayahku?" Tanya Naruto, menatap wajah Iruka penuh arti.

'Naruto..?'

Kedua mata Iruka seketika membulat, mulai berkaca-kaca, berusaha menahan rasa haru.

"Serahkan saja padaku!" Jawab Iruka serius, tersenyum ke arah Naruto.

"Iruka-Sensei.. Terima kasih!" Naruto dengan cepat membungkuk hormat kepada Iruka.

"Hei, kau ngomong apa sih, Naruto?" Melihat Naruto yang membungkuk hormat kepadanya, membuat Iruka sedikit gugup.

"Harusnya aku yang berterima kasih, terima kasih!" Iruka segera membungkuk, membuat Naruto terkesiap.

"Hei, kau tidak perlu berterima kasih." Jawab Naruto tidak enak hati.

"Sampai jumpa besok, Iruka-Sensei!" Naruto dengan cepat mulai melangkah menjauh, sambil melambaikan tangan, merasa terlalu gugup.

"Ya!"

To Be Continued.